Wednesday, August 23, 2006

Orang Kristen dan Nyanyi-Menyanyi

“Haleluya! Nyanyikanlah bagi Tuhan nyanyian baru! Pujilah Dia dalam jemaah orang-orang saleh”
Mazmur 149:1

Saya pernah melihat suatu kejadian lucu ketika berlibur di Danau Toba, Sumatera Utara. Waktu itu, diatas kapal yang membawa kami dari Parapat menuju Pulau Samosir, ada seorang bocah yang membawa gitar untuk mengamen. Menurut saya, anak ini cukup bagus suaranya, ketika menyanyikan lagu ‚O Tano Batak’ yang terkenal itu. Tetapi, di tengah-tengah lagunya, salah seorang pendengar tiba-tiba menghentikan nyanyian pengamen itu. „Stop!“ katanya. „Kurang tepat kau menyanyikannya. Sini gitarmu!“ katanya, sambil mengambil gitar dari sang pengamen. Mulailah bapak ini menyanyi sambil bergitar, wow! Ternyata suara dan lantunannya jauh lebih bagus lagi! Hmmm, rupanya, jangan main-main kalau jadi pengamen di Tanah Batak - bukannya menghibur, malah diajari oleh pendengarnya!
Di Papua, nyanyian punya makna yang lain lagi. Ketika sedang bekerja di ladang, mereka memiliki suatu struktur nyanyian yang cukup rumit. Nyanyian ini berupa teriakan singkat yang bersahutan antara pria dan wanita. Ternyata, bukan hanya pria dan wanita, melainkan setiap tingkatan dalam keluarga - misalnya paman, ayah, atau kakek - memiliki nada dan bunyi tertentu, sehingga ketika mereka bergabung di ladang, terbentuklah suatu simfoni bunyi yang indah. Kebiasaan menyanyisambil bekerja ini juga dimiliki oleh orang Israel, yang tercatat dalam Bilangan 21:17-18.
Memang, agama Kristen erat kaitannya dengan nyanyian. Bahkan, penyanyi-penyanyi ulung di negri ini banyak yang beragama Kristen, atau berasal dari daerah yang mayoritas beragama Kristen. Nama-nama dari Ambon, Irian, dan tentu saja Batak atau Sumatra Utara, banyak sekali menghiasi panggung hiburan kita. Bahkan, pemenang Indonesian Idol, yang dipilih berdasarkan jutaan sms yang masuk dari seluruh Indonesia, dua kali berturut-turut dimenangkan oleh orang Kristen!
Padahal, tidak ada tulisan dalam Alkitab yang secara khusus menganjurkan kita untuk bernyanyi. Dalam kitab Taurat tidak ada kewajiban untuk menyanyi, bahkan Tuhan Yesus pun tidak pernah memberikan perintah untuk menyanyi. Hanya sekali tercatat dalam Matius 26:30, bahwa Tuhan Yesus bersama murid-muridNya menyanyi bersama. Lalu, mengapa kebiasaan menyanyi ini selalu erat dikaitkan dengan agama Kristen? Trend ini rupanya bukan hanya di Indonesia, tapi di dunia. Lihat saja karya-karya komponis besar seperti Johann Sebastian Bach dan Wolfgang Amadeus Mozart, yang banyak sekali diinspirasikan oleh iman Kristen mereka. Jadi mengapa nyanyian begitu erat berekatan dengan iman Kristen?
Di Amerika Serikat pernah diadakan sebuah survei mengenai tema apa yang paling banyak menginspirasi sebuah lagu. Apakah perang, perdamaian, keindahan alam, atau cuaca? Jawabannya ternyata mudah saja: cinta! Ya, cinta dan kasih adalah tema yang paling banyak menginspirasi sebuah lagu. Nyaris semua lagu yang saya kenal, dari jaman The Beatles (She Loves You) sampai musik cadas seperti Avril Lavigne (Sk8ter Girl), semuanya bicara cinta. Di Tanah Air pun sama: dari Bang Thoyib yang belum pulang juga, sampai jeritan hati Glenn Fredly - semuanya berputar-putar sekitar cinta. Nah, ketika Tuhan Yesus ditanya, apakah hukum yang terpenting bagi orang Kristen? Jawabannya: kasih! (Mat 22:37-39)
Kini mulai terlihat benang merahnya. Karena esensi dari kehidupan kristiani adalah cinta kasih, maka tak heran jika kasih yang dirasakan orang-orang Kristen begitu mudahnya meluap dan mewujud menjadi jalinan nada-nada yang indah untuk didengar. Dari jaman Abad pertengahan, dimana Johann Sebastian Bach mengarang komposisinya yang terkenal: „Jesus, Joy of Man’s Desiring“, sampai akhir-akhir ini, ketika pemusik dari Hillsong Australia melantunkan „Shout to the Lord!“. Semuanya adalah hasil dari luapan cinta kasih yang mereka alami, mereka resapi, dan mereka wujudkan dalam bentuk musik dan lagu. Itulah sebabnya mengapa orang Kristen begitu mudah berdendang, dan bahkan kini musik dan lagu menjagi bagian yang tak terpisahkan dari liturgi kristiani. Karena dalam liturgi kita menyelami dan mensyukuri kasih Tuhan terhadap kita, tentu saja nyanyian menjadi alat utama untuk mewujudkannya. Nyanyian yang selalu baru, seperti tertulis dalam Mazmur 149:1. Karena, kasih Tuhan selalu baru, setiap hari! Haleluya!

Orang Kristen dan Nyanyi-Menyanyi

“Haleluya! Nyanyikanlah bagi Tuhan nyanyian baru! Pujilah Dia dalam jemaah orang-orang saleh”
Mazmur 149:1

Saya pernah melihat suatu kejadian lucu ketika berlibur di Danau Toba, Sumatera Utara. Waktu itu, diatas kapal yang membawa kami dari Parapat menuju Pulau Samosir, ada seorang bocah yang membawa gitar untuk mengamen. Menurut saya, anak ini cukup bagus suaranya, ketika menyanyikan lagu ‚O Tano Batak’ yang terkenal itu. Tetapi, di tengah-tengah lagunya, salah seorang pendengar tiba-tiba menghentikan nyanyian pengamen itu. „Stop!“ katanya. „Kurang tepat kau menyanyikannya. Sini gitarmu!“ katanya, sambil mengambil gitar dari sang pengamen. Mulailah bapak ini menyanyi sambil bergitar, wow! Ternyata suara dan lantunannya jauh lebih bagus lagi! Hmmm, rupanya, jangan main-main kalau jadi pengamen di Tanah Batak - bukannya menghibur, malah diajari oleh pendengarnya!
Di Papua, nyanyian punya makna yang lain lagi. Ketika sedang bekerja di ladang, mereka memiliki suatu struktur nyanyian yang cukup rumit. Nyanyian ini berupa teriakan singkat yang bersahutan antara pria dan wanita. Ternyata, bukan hanya pria dan wanita, melainkan setiap tingkatan dalam keluarga - misalnya paman, ayah, atau kakek - memiliki nada dan bunyi tertentu, sehingga ketika mereka bergabung di ladang, terbentuklah suatu simfoni bunyi yang indah. Kebiasaan menyanyisambil bekerja ini juga dimiliki oleh orang Israel, yang tercatat dalam Bilangan 21:17-18.
Memang, agama Kristen erat kaitannya dengan nyanyian. Bahkan, penyanyi-penyanyi ulung di negri ini banyak yang beragama Kristen, atau berasal dari daerah yang mayoritas beragama Kristen. Nama-nama dari Ambon, Irian, dan tentu saja Batak atau Sumatra Utara, banyak sekali menghiasi panggung hiburan kita. Bahkan, pemenang Indonesian Idol, yang dipilih berdasarkan jutaan sms yang masuk dari seluruh Indonesia, dua kali berturut-turut dimenangkan oleh orang Kristen!
Padahal, tidak ada tulisan dalam Alkitab yang secara khusus menganjurkan kita untuk bernyanyi. Dalam kitab Taurat tidak ada kewajiban untuk menyanyi, bahkan Tuhan Yesus pun tidak pernah memberikan perintah untuk menyanyi. Hanya sekali tercatat dalam Matius 26:30, bahwa Tuhan Yesus bersama murid-muridNya menyanyi bersama. Lalu, mengapa kebiasaan menyanyi ini selalu erat dikaitkan dengan agama Kristen? Trend ini rupanya bukan hanya di Indonesia, tapi di dunia. Lihat saja karya-karya komponis besar seperti Johann Sebastian Bach dan Wolfgang Amadeus Mozart, yang banyak sekali diinspirasikan oleh iman Kristen mereka. Jadi mengapa nyanyian begitu erat berekatan dengan iman Kristen?
Di Amerika Serikat pernah diadakan sebuah survei mengenai tema apa yang paling banyak menginspirasi sebuah lagu. Apakah perang, perdamaian, keindahan alam, atau cuaca? Jawabannya ternyata mudah saja: cinta! Ya, cinta dan kasih adalah tema yang paling banyak menginspirasi sebuah lagu. Nyaris semua lagu yang saya kenal, dari jaman The Beatles (She Loves You) sampai musik cadas seperti Avril Lavigne (Sk8ter Girl), semuanya bicara cinta. Di Tanah Air pun sama: dari Bang Thoyib yang belum pulang juga, sampai jeritan hati Glenn Fredly - semuanya berputar-putar sekitar cinta. Nah, ketika Tuhan Yesus ditanya, apakah hukum yang terpenting bagi orang Kristen? Jawabannya: kasih! (Mat 22:37-39)
Kini mulai terlihat benang merahnya. Karena esensi dari kehidupan kristiani adalah cinta kasih, maka tak heran jika kasih yang dirasakan orang-orang Kristen begitu mudahnya meluap dan mewujud menjadi jalinan nada-nada yang indah untuk didengar. Dari jaman Abad pertengahan, dimana Johann Sebastian Bach mengarang komposisinya yang terkenal: „Jesus, Joy of Man’s Desiring“, sampai akhir-akhir ini, ketika pemusik dari Hillsong Australia melantunkan „Shout to the Lord!“. Semuanya adalah hasil dari luapan cinta kasih yang mereka alami, mereka resapi, dan mereka wujudkan dalam bentuk musik dan lagu. Itulah sebabnya mengapa orang Kristen begitu mudah berdendang, dan bahkan kini musik dan lagu menjagi bagian yang tak terpisahkan dari liturgi kristiani. Karena dalam liturgi kita menyelami dan mensyukuri kasih Tuhan terhadap kita, tentu saja nyanyian menjadi alat utama untuk mewujudkannya. Nyanyian yang selalu baru, seperti tertulis dalam Mazmur 149:1. Karena, kasih Tuhan selalu baru, setiap hari! Haleluya!

Friday, August 11, 2006

Hyperlink dalam Alkitab

“Jadi seluruhnya ada: empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan ke babel sampai Kristus”
Matius 1:17


Saya punya kebiasaan untuk membaca Alkitab secara acak sebelum tidur. Jadi, saya membuka Alkitab secara ack, lalu diantara halaman yang terbuka, tempat mata saya pertama kali tertuju, biasanya menjadi perikop pilihan malam itu. Tujuannya, supaya saya bisa membaca Alkitab secara utuh, tidak hanya ayat-ayat yang terkenal saja. Untuk tujuan ini juga, saya tidak pernah menggarisi atau mewarnai ayat-ayat Alkitab tertentu dengan stabilo. Dengan demikian, semua ayat Alkitab terlihat sama dan sama pentingnya, dimanapun ayat itu berada.

Namun, kadang-kadang kalau saya menjumpai ayat seperti Matius 1:1-17, apalagi kalau hari itu saya sudah lelah dan mata sudah sulit diajak kompromi, makin sulitlah ‘tantangan’ membaca Alkitab ini. Siapa memperanakkan siapa, siapa kakek dan siapa cucunya, menjadi sangat tidak menarik dan kadang-kadang saya berpikir, apa ada gunanya membaca silsilah seperti ini ini?
Khotbah Pdt. Bigman Sirait yang saya dengar 2 minggu lalu mengubah pandangan saya mengenai silsilah ini, khususnya yang disinggung dalam Matius. Beliau mengatakan bahwa bukankah Allah pernah berjanji kepada Abraham, bahwa keturunannya akan sebanyak bintang di langit dan pasir di laut? (Kej 22:17), bukankan Allah berjanji bahwa keturunan Abraham akan mendiami tanah Kanaan dan mengalami berbagai macam berkat?

Jika ya, nampaknya kenyataan jauh dari janji Allah. Bangsa Israel, keturunan Abraham, berkali-kali dijajah dan diusir dari tanah Kanaan. Hanya dengan pimpinan Raja Daud dan Salomo, mereka boleh dibilang berjaya. Namun, pemimpin mereka lagi-lagi berdosa dan berdosa, sehingga Allah mencampakkan mereka berkali-kali dalam penjajahan Mesir, Babel, bahkan Romawi. Sampai sekarang pun, seperti kita lihat di koran-koran, “Damai di Timur Tengah” belum bisa terwujud - sesudah ribuan tahun! Orang Israel masih belum bisa hidup tenang, selalu dihantui perang dan rasa tidak aman.

Nah, silsilah ini rupanya menjadi kunci bagi terwujudnya janji Allah. Kalau tidak ada silsilah ini, maka Yesus tidak ada hubungannya dengan Abraham. Namun, dengan adanya benang merah antara Abraham dengan Yesus, dan memperhitungkan perkataan Yesus bahwa yang percaya kepadaNya adalah anakNya, maka kita semua dengan perantaraan Yesus menjadi keturunan Abraham. Jadi, status ‚Bangsa Terpilih’ tidak lagi ditentukan oleh keturunan (ius sanguinis), tetapi oleh perbuatan dan iman terhadap Yesus. Dengan demikian, janji Allah ditepati: kaum yang percaya kepada Yesus kini semakin banyak di dunia, bahkan seperti pasir di laut! Jadi, dalam silsilah yang seolah tidak penting ini, terdapat sebuah hyperlink - yang memberika benang merah kepada seluruh Alkitab, dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru. Amin!

Wednesday, May 24, 2006

Menabur dengan Menangis

“Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan sorak sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya“
Mazmur 126:5-6

Dalam perikop ini dikisahkan sebuah peristiwa yang mengharukan, seperti dijelaskan oleh seorang pendeta asal Semarang di GKI Nurdin minggu lalu. Judul perikop yang nampaknya optimistis ini adalah ‚pengharapan di tengah-tengah penderitaan’ - dan jika Anda membawa seluruh perikop ini, Anda akan mengerti mengenai maksud yang sesungguhnya dari mazmur ini.
Pengalaman seperti ketika bangsa Israel menderita dikepung oleh bangsa-bangsa di sekelilingnya mungkin sudah sering kita alami. Membaca koran nampaknya semakin hari semakin suram saja dengan berita-berita dan isu-isu yang mengkhawatirkan, seolah-olah kita hidup di rimba belantara, siap menjadi mangsa yang lebih kuat. Sakit penyakit yang sudah lama didoakan dan diobati namun belum juga sembuh. Jodoh yang sudah dicari dengan sekuat tenaga dan sepenuh hati, mengorbankan perasaan hati ketika cinta bersemi di tempat yang tak seharusnya, justru tidak muncul-muncul juga. Yang ada hanyalah kesendirian dan kehampaan, bersama jeritan demi jeritan yang seolah menggema tak terjawab di dinding gua. Pedihnya hati ketika orang yang kita kasihi justru terhanyut oleh pengaruh buruk lingkungannya dan jatuh tanpa daya, sementara kita hanya bisa menjerit pedih menyaksikannya. Lalu, kita jugalah, yang sejak dahulu menentang, yang kini harus memungut keping-keping luka dan berusaha membangun hidup kembali. Tuhan, jika demikian adanya, kekuatan apa yang ada dalam hambaMu, yang tersisa untukMu?
Perikop ini mengajarkan kita satu hal yang penting: optimisme! Dikisahkan waktu itu betapa orang Israel menabur sambil menangis, karena benih gandum yang ditabur adalah jatah makanan yang terpaksa dikorbankan untuk ditanam. Perih perut yang kosong harus ditahan untuk menunggu sampai gandum tumbuh, tanpa bisa menjamin bahwa benih tersebut akan mati atau lenyap dibawa lari burung gagak. Tangan yang menabur tiap hari semakin gentar, gemetar menahan lapar, sementara hati sudah hancur menahan derita. Tapi, ada suatu kehangatan dalam hati, suatu teriakan penuh keyakinan dari nurani, yang terus menggema tanpa henti.
Ya! Sekarang kita menabur dengan menangis, tetapi kita akan menuai dengan sorak-sorai! Kita akan membajak sambil meringis, tapi akan memanen dengan girang! Karena Tuhan sudah menolong kita, dan pasti pertolonganNya akan datang lagi. Ia sudah menunjukkan kasihNya kepada kita selama ini, dan pasti Ia akan beraksi lagi menunjukkan kasihNya kepada kita. Tetaplah menabur, jangan berdiam diri! Tetaplah berusaha, berjalanlah terus. Ia tahu hati kita sedang tersedu, Ia mendengar senggukan napas kita. Tanah menjeritkan kepadaNya jatuhnya tetes air mata kita, dan langit memanggilNya karena gema jeritan tangis kita! Jangan kuatir dan jangan takut, tanganNya yang kuat akan menolong kita. Yang perlu kita jaga, adalah bahwa jangan sampai rasa lapar membujuk kita untuk memakan benih yang kita miliki. Jangan sampai rasa haus memaksa kita berhenti membajak. Tabur terus dengan tangis, wahai kawan - dan kita akan menuai dengan bersuka cita!

Thursday, March 09, 2006

Penjajah Yang Sesungguhnya

“Lalu Ia mengajar mereka, kataNya: ‘Bukankah ada tertulis: rumahKu akan disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun!’”
Markus 11:17

Tuhan Yesus adalah seorang tokoh yang kontroversial. Bukan saja untuk orang Kristen, tetapi juga untuk semua orang. Tuhan Yesus dikenal sebagai seorang tokoh reformasi, tokoh pendobrak, yang tidak takut menghadapi kekuatan yang lebih besar. Ia tetap teguh pada ajarannya, konsekuen sampai setiap senti dari kehidupannya, dan sesuai nubuat para nabi, akhirnya dijatuhi hukuman salib secara tidak adil. Tapi, pernahkah kita memperhatikan, apa yang membuat Tuhan Yesus begitu berpengaruh pada masyarakat Yahudi saat itu? Mengapa kehadiran dan ajaranNya langsung bisa diterima oleh banyak orang?

Pada masa hidup Tuhan Yesus, bangsa Yahudi berada di bawah jajahan Romawi. Setelah beberapa kali gagal melakukan pemberontakan, penjajah Romawi menghancurkan seluruh sendi pemerintahan dan keyakinan orang Yahudi sehingga hanya reruntuhan Bait Allah yang tersisa. Kebencian terhadap penjajah Romawi kemudian memuncak, sehingga ada kerinduan yang kuat dari bangsa Yahudi untuk hadirnya seorang pemimpin. Tetapi, bukan hanya itu. Ada penjajah yang justru lebih kejam, justru lebih bertangan besi. Mereka adalah golongan petinggi agama Yahudi sendiri, yakni orang Farisi, orang Saduki, dan Mahkamah Agama Yahudi.

Para petinggi agama Yahudi memang sarat dengan penyelewengan. Salah satu yang pertama tercatat adalah masalah korupsi pada seorang bujang Elia (II Raja-raja 5:26). Kekuasaan pemuka agama yang mutlak dan turun-temurun menjadi sarat dengan penyelewengan, dimana kekuasaan mereka tidak digunakan secara semestinya. Agama yang seharusnya membawa kedamaian dan ketertiban, malah membawa ketakutan dan rasa tidak aman. Setiap orang bisa diciduk dan didakwa dengan dalih agama, padahal belum tentu bersalah. Agama kemudian menjadi momok yang menakutkan! Itulah sebabnya, mereka acapkali menjadi sasaran kritik Tuhan Yesus. Berkali-kali mereka mencobai, menjebak, dan ingin menjerumuskan Tuhan Yesus, hanya karena Ia membongkar topeng dan kemunafikan mereka. Berkali-kali pula Tuhan Yesus menunjukkan sikap yang sangat kontras dengan para pemuka agama, yakni akrab dan dekat dengan kaum lemah: kaum miskin, cacat, pemungut cukai, dan kaum tuna susila. Dengan kasihNya ia menunjukkan esensi dari kehidupan beragama yang sesungguhnya, yang membawa damai dan membela yang lemah.

Kalau Tuhan Yesus mengajarkan perlawanan pada penjajah Romawi, pastilah Ia dengan mudah didakwa. Tetapi, tidak pernah sekalipun Tuhan Yesus bertindak ke arah situ. Itulah sebabnya, Pontius Pilatus sampai tidak menemukan kesalahan pada Tuhan Yesus. Mahkamah Agamalah yang sekuat tenaga mengarang cerita supaya Tuhan Yesus bersalah, dengan delik dan aturan yang tidak jelas. Misi Tuhan Yesus adalah melawan penjajah dari bangsaNya sendiri, penjajah yang konon mendapat mandat dari BapaNya, namun menyelewengkannya sekehendak hati selama ratusan tahun. Itulah sebabnya para pemuka agama sangat membenci Tuhan Yesus, namun Ia sangat dicintai oleh rakyat kebanyakan. Karena Ia menunjukkan kepada mereka, siap penjajah yang sesungguhnya!

Sunday, March 05, 2006

KPK a la Nabi Elisa

“’Tetapi penyakit kusta Naaman akan melekat kepadamu dan kepada anak cucumu untuk selama-lamanya.’ Maka keluarlah Gehazi dari depannya dengan kena kusta, putih seperti salju.”
II Raja-raja 5:27, baca perikop II Raja-raja 5:15-27

Bangsa Indonesia kini sedang berjuang menghadapi penyakit yang namanya korupsi. Korupsi, dengan konsep tukang parkir atau „Kiri, kanan, prit! Seribu rupiah“ – seperti istilah seorang rekan bisnis asal Eropa – sudah begitu mendarahdagingnya di masyarakat kita sampai-sampai dianggap sebagai hal yang ‚wajar’. Saya pernah sekali tersesat di pelosok Jakarta dan terpaksa bertanya jalan kepada penduduk sekitar. Betapa terkejutnya saya, karena sesudah mendapat petunjuk dengan ramah, dia berkata „Uang rokoknya dong bos!“. Entah kenapa, hati saya rasanya kesal, karena keramahan dan bantuannya ternyata mengharapkan imbalan. Bahkan, yang tidak membantu, tetapi ikut ‚mendengar’ pun, meminta imbalan, dengan dalih ‚uang dengar’. Bukankah wajar, menerima imbalan sesudah memberikan bantuan?

Alkitab Perjanjian Lama mencata sebuah kasus mengenai seorang koruptor yang tertangkap tangan. Dalam II Raja-raja 5 dikisahkan mengenai Naaman, panglima Raja Aram yang terkena kusta. Melalui kuasa Tuhan, Elisa kemudian menyembuhkan Naaman. Namun, ketika Naaman menawarkan hadiah kepada Elisa sebagai tanda terima kasih, Elisa menolaknya dengan menekankan bahwa ia hanya seorang pelayan dan kuasa sesungguhNya adalah dari Tuhan. Setelah Naaman pergi, Gehazi, bujang Elisa, kemudian berpikir bahwa sudah selayaknyalah dia menerima hadiah dari Naaman – pada jaman sekarang disebut ‚uang dengar’. Ketika Elisa mengetahui, bahwa Gehazi mengejar Naaman dan meminta hadiah, Elisa langsung mengutuk Gehazi yang walaupun menerima harta dari Naaman tapi akan terkena penyakit kusta sampai keturunannya.

Sayangnya, KPK tidak berkuasa menjatuhkan penyakit kusta! Tapi paling tidak, kasus ini menjadi peringatan bagi semua orang kristen yang pernah terlibat dengan ‚uang jasa’ atau ‚uang dengar’. Kita harus selalu sadar, bahwa semua berkat dan talenta yang kita miliki adalah dari Tuhan – bukan hasil usaha kita sendiri. Jadi, tentu saja tidak elok meminta ‚uang jasa’ apalagi ‚uang dengar’ bagi sesuatu yang bukan milik kita. Bukannya jika Tuhan memberi berkat begitu melimpahnya, Ia juga akan mencukupi kebutuhan kita? Mengapa harus melakukan korupsi, jika kita selalu percaya bahwa berjalan bersama Tuhan adalah jalan yang paling baik? Ingatlah apa yang dialami Gehazi: harta memang bisa dimiliki, tapi kita seseorang terkena kusta atau tulah lainnya akibat perbuatan korupsi, dengan berapa talenta emaskah kesembuhan itu bisa dibayar?

Mulailah Dengan Yang Mudah

“Manakah yang lebih mudah, mengatakan kepada orang lumpuh ini: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah?”
Markus 2:9

Kambing apa yang paling banyak dicari di Indonesia? Jawabannya: kambing hitam! Lelucon garing namun nyelekit ini memang sudah sering kita dengar dan kita maklumi keberadaannya. Betapa ketika kita melihat seseorang yang sedang mengalami masalah, atau bahkan kita sendiri yang sedang dirundung malang, yang selalu dicari adalah kambing hitam – siapa atau apa yang menyebabkan kemalangan ini terjadi. Dan kenapa si kambing ini harus spesifik berwarna hitam? Karena, kambing yang hitam memang sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Alhasil, ketika berhasil menjerat si kambing hitam, nyaris mustahil untuk mengkonfirmasi apakah ini kambing hitam yang benar-benar bertanggung jawab atau hanya kambing yang kebetulan kesasar masuk perangkap kita.

Begitulah sifat prasangka manusia. Tudingan bahwa permasalahan yang diperoleh seseorang merupakan ‘hukuman’ atas tindakan di masa lalu membuat sang penderita seperti jatuh dan tertimpa tangga. Tudingan ini bukannya meringankan beban sang penderita, tetapi justru membuatnya tambah sengsara, penasaran mencari penyebab azab yang dideritanya itu.

Dalam perikop diatas, Tuhan Yesus ingin menunjukkan hal ini kepada para ahli Taurat.
Adalah anggapan umum dalam agama Yahudi bahwa apabila seseorang menderita cacat, hal itu dianggap sebagai hukuman dari dosanya maupun dosa nenek moyangnya di masa lampau. Akibatnya, penderita cacat ini sudah menderita masih dihakimi pula, sehingga membuat penderitaannya bertambah. Lewat ungkapan cerdik “mengampuni dosa”, Tuhan Yesus ingin menunjukkan, bukankah ungkapan “dosamu diampuni”, begitu melegakan bagi para penderita cacat itu? Bukankah ungkapan bahwa apa yang terjadi sekarang hanyalah bersifat sementara dan bukan konsekuensi dari apapun, terdengar begitu indah dan menenangkan? Dan bukankah itu mudah, karena tidak beresiko? Siapapun bisa melakukannya! Tapi, untuk berkata “Bangun dan berjalanlah”, dibutuhkan kekuatan mukjijat yang luar biasa, seperti ditunjukkan Tuhan Yesus. Dengan ungkapan perikop diatas, Tuhan Yesus memberikan tantangan kepada kita: kalau memang kita tidak memiliki kuasa mukjijat, mengapa tidak melakukan hal yang sederhana: dengan meringankan beban sang penderita lewat ungkapan yang menghibur? Mulailah dengan yang mudah!

Sunday, February 19, 2006

Happy Birthday to Me!

February 12th, 2006
(Sorry for the late posting!)

I'm 29 years old!

Cheers,

-HarryHN-

Sunday, January 22, 2006

Panggilan Alah

“Lalu datanglah Tuhan, berdiri disana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: “Samuel! Samuel!” Dan Samuel menjawab “Berbicaralah, sebab hambaMu ini mendengar.”
I Sam 3:10

Saya baru saja mengalami sebuah pengalaman pahit. Ada seseorang yang memanggil saya, berusaha menegur saya, namun saya tidak mendengarkan. Saya kemudian kembali tenggelam dalam kesibukan saya, kembali tenggelam dalam keseharian saya, sementara suara yang memanggil saya semakin lemah dan waktu berjalan semakin jauh. Tanpa terasa suara itu kemudian lenyap, dan tidak terdengar lagi. Justru pada saat saya mulai menyendengkan telinga untuk mendengar, berbicara, dan bercengkerama. Justru pada saat saya mulai memalingkan hati, suara itu lenyap, hilang dan tidak ditemukan lagi. Apapun yang dilakukan kemudian sudah terlambat, dan saya hanya bisa menyalahkan diri sendiri.

Samuel nyaris mengalami hal yang sama. Ketika Tuhan memanggil Samuel, yang sebenarnya tidur 'dekat' dengan Tuhan yaitu di dekat Tabut Perjanjian, ia tidak menyadari panggilan Tuhan. Ia kembali tidur sesudah bertanya kepada Imam Eli, yang juga tidak menyadarinya. Begitu seterusnya sampai tiga kali! Persis sama dengan kita, yang mendengar panggilan Tuhan, namun kemudian hanya kembali ke kehidupan kita sehari-hari, dengan dosa-dosa dan kejijikan seperti biasa. Berkali-kali pula Ia memanggil, berkali-kali pula kita acuhkan. Untungnya, Samuel memiliki Imam Eli yang membatunya memahami pesan Tuhan yang sesungguhnya. Dan, Tuhan juga panjang sabar dan penuh kasih setia, karena Ia tetap memanggil Samuel walaupun sudah diacuhkan sebanyak 3 kali. Tuhan punya rencana besar untuk Samuel, dan Tuhan tidak mudah menyerah.

Untuk itu, kita harus selalu menjaga kepekaan telinga dan hati kita. Jangan lengah, sebab Tuhan dapat memanggil sewaktu-waktu. Jangan juga berjuang sendirian, carilah seorang pembimbing dalam Kristus, seperti Imam Eli dan Samuel, yang bisa membimbing kita mengenali suara Tuhan yang sesungguhnya. Ingat, Allah memanggil kita sewaktu-waktu. RencanaNya tetap, indah pada waktunya!