Tuesday, June 05, 2012

Mengenang Daniel Nazarudin, Thio Tjong Bing (1)

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Matius 5:3 Papi Tjong Bing, atau Daniel Nazarudin, selalu punya relasi yang unik dengan harta. Sebagai seorang dokter gigi, beliau paham betul, bahwa uang bukanlah tujuan utama seorang dokter (atau, paling tidak, begitulah yang seharusnya). Beliau pernah berkata sambil bercanda, bahwa jadi dokter itu memang nasibnya tidak bisa kaya. Bayangkan: waktu muda, ketika tenaga masih kuat dan semangat masih tinggi, pasiennya nggak ada. Ya wajar, dokter baru mana ada yang percaya? Sementara ketika sudah tua, senior istilahnya, pasiennya memang banyak, tapi tenaga sudah pas-pasan dan semangat juga sudah kendor. Alhasil, uang yang didapat ya tidak pernah maksimal! Begitu katanya. Benar juga! Memang, papi dan mami memulai membangun keluarga nyaris dari nol. Kami memulai kehidupan keluarga dengan rumah kontrakan kecil di Jl. Bima, sebuah televisi hitam-putih, dan motor bebek 'dukun' C70 merah untuk papi bekerja. Tidak jarang ia pulang basah kuyup karena kehujanan. Tapi, dengan bekerja tekun bertahun-tahun, akhirnya sedikit demi sedikit ekonomi keluarga pun membaik, sampai bisa punya rumah dan mobil. Tapi, papi tetap merasa miskin, karena "Apa yang dihasilkan adalah dari keringat sendiri!" katanya. Uangnya datang dari tangannya sendiri, jadi kalau tidak praktek ya tidak ada uang! Enak ya, kalau uang bisa datang tanpa bekerja sendiri, kata papi. Namun papi sendiri mengerti benar, bahwa menjadi dokter betul-betul 'miskin di hadapan Allah'. Untuk mereka ini, Alkitab menjanjikan seperti perikop diatas, bahwa justru orang seperti papi menjadi sangat kaya sampai-sampai seperti 'Yang punya Kerajaan Sorga'. Bayangkan, mau beli mobil bekas saja, ketika tahu papi seorang dokter, mobilnya langsung diantar ke rumah. "Lho, ini belum tentu beli lho!" kata papi. "Gak papa Dok, pakai saja dulu, 1 atau 2 minggu. Kalau gak cocok tinggal dikembalikan saja!" kata yang punya mobil. Astaga! Walaupun akhirnya Honda Civic Wonder hijau itu jadi kita beli, namun sebuah kebanggaan bahwa pemiliknya begitu percaya sama papi. Sebuah Honda Freed baru untuk test-drive pun pernah seminggu diparkir di rumah! Saya saja, anaknya yang kerja kantoran, susahnya minta ampun ketika mau test drive. Sementara papi.... "Pakai saja dulu Dok! Gak beli juga gak papa..." kata manajer dealernya. Hebat! Banyak urusan papi justru dimudahkan, bahkan lebih enak dari 'orang kaya'. Urusan kesehatan, urusan dengan kantor pemerintah, bahkan urusan dengan bank, begitu gampang mengalir tanpa pelicin, karena begitu percayanya masyarakat pada seorang dokter. Saya saja selalu naik pitam urusan bank - sedangkan untuk papi, kok begitu tahu ini 'dokter', semua urusan lancar? Ya, ini karena papi juga tidak pernah ragu-ragu mempermudah urusan orang. Banyak tetangga di rumah yang kurang mampu, bisa berobat gratis di praktek papi. Harga bukan jadi urusan penting, yang penting adalah kesungguhan dalam bekerja, bertindak benar, dan tidak menyerah walaupun banyak masalah. Mungkin dari sinilah muncul sifat saya juga yang tidak terlalu memperhatikan uang sampai ke sen terkecil. Memang, dengan demikian, papi tidak pernah jadi kaya, apalagi jadi konglomerat. Tapi, papi menjadi miskin di hadapan Allah karena kemurahan hatinya, dan kini, ia menjadi pemegang saham di Surga! Tomang, 5 Juni 2012 Tulisan berseri mengenang papi tercinta, drg Daniel Nazarudin, yang meninggalkan kami tanggal 23 Januari 2012

Sunday, April 29, 2012

The rightbman at the right place at the right time

And said, I beseech thee, O Lord God of heaven, the great and terrible God, that keepeth covenant and mercy for them that love him and observe his commandments: (Nehemiah 1:5 KJV) Nehemia adalah salah seorang nabi besar dalam bangsa Israel. Nehemia tidak ditulis mampu membuat mukjijat atau berkuasa atas langit dan bumi. Pencapaiannya pun sederhana, hanya membangun Bait Allah saja. Lalu, mengapa Nehemia dianggap nabi besar sampai kisahnya tiba di tangan kita hari ini? Ya - Nehemia menjadi penting karena timing atau waktu pada saat ia berkarya. Dalam ungkapan bahasa Inggris, Nehemia adalah the right man at the right place at the right time. Mengapa 'the right man'? Karena bangsa Israel sudah ratusan tahun tidak lagi memiliki orang sekaliber Nehemia. Sekali lagi bukan dalam hal adu kuat atau kuasa, melainkan dalam ketulusannya. Sesudah Allah menyelamatkan Israel dari tanah Mesir, bangsa ini jatuh ke dalam comfort zone. Raja-raja menjadi lalim, pemuka agama menjadi koruptor, rakyat berperilaku seperti binatang, dan tata krama yang diturunkan oleh Musa sudah kacau balau. Tak heran jika Allah sendiri murka dan mengijinkan bangsa Israel dikalahkan oleh bangsa lain, dan menjadi bangsa terjajah lagi. Tembok Bait Allah pun hancur, hartanya dibawa ke Babilonia untuk dijadikan persembahan pada dewa-dewa kafir. Mengapa ini bisa terjadi? Karena Israel tidak memiliki pemimpin seperti Musa dan Harun lagi. Semua pemimpin bangsa Israel cenderung korup, serakah, dan tidak mengindahkan ajaran Allah. Sampai Nehemia tiba. Nehemia adalah 'the right man' karena ketulusannya. Ia tidak diwarnai kepentingan pribadi, ia tidak dicemari nafsu kekuasaan. Hatinya hancur ketika ia mendengar Bait Allah luluh lantak. Dengan tulus pula ia berdoa, mengingatkan Allah akan janjinya pada semua orang yang taat kepadaNya. Ya - Allah mendengar Nehemia, karena ketaatan dan ketulusannya. 'The right time' karena bangsa Israel sedang benar-benar terpuruk. Kalau dua bab sebelumnya dalam Alkitab dikisahkan betapa bangsa Israel berjaya, kini mereka tunduk dalam cengkeraman bangsa asing. Semua keindahan masa lalu, paskah, sepuluh tulah, terbelahnya Laut Merah, kini hanya legenda belaka! Disinilah waktu kehadiran Nehemia sangat penting. Karena jika tidak ada Nehemia, maka Allah dan bangsa Israel akan tetap berjauhan. Karena Nehemia-lah Allah mengingat bangsa Israel kembali. 'The right place' karena Nehemia adalah pemegang piala Raja. Pemegang piala sama dengan pencicip makanan Raja, yang sangat dipercaya oleh Raja dan setiap saat siap mati jika ada yang ingin meracun Raja. Pada posisi ini, Nehemia bisa melakukan sesuatu untuk bangsanya melalui tangan Raja. Jika posisi Nehemia tidak sepenting ini, mungkin saja Nehemia didepak dan dilupakan. Jadi, integritas seorang Nehemia, bersamaan dengan waktu yang tepat dan fasilitas yang dimilikinya, membuat ia mampu membangun kembali Bait Allah dan menegaskan kembali janji Allah pada bangsa Israel dan umat manusia. Jika bukan Allah sendiri yang merencanakannya, siapa lagi yang mampu? Periksalah diri kita masing-masing. Apa yang menjadi panggilan kita? Karena Allah pasti sudah menyiapkan the right time dan the right place untuk kita. Am I the right man to do the job? Tomang, 29 April 2012

Friday, February 10, 2012

Hidup dan Mati


“Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan”
1 Korintus 15:13
“Sebab jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan”
1 Korintus 15:16
“Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu”
1 Korintus 15:17

Dari semua tantangan alam, hampir semuanya sudah bisa ditangani oleh manusia. Dinginnya udara bersalju sudah bisa dibuat nyaman oleh teknologi pemanas dengan boiler dan pemanas lantai. Hembusan angin dingin sudah bisa ditahan oleh jendela ganda dengan gas Helium di tengahnya sebagai insulasi. Sungai-sungai raksasa bisa dibendung dan dijinakkan untuk dijadikan pembangkit tenaga listrik. Bahkan gunung berapi sudah bisa dibuat pemodelannya, sehingga peringatan bisa disebar sebelum meletus untuk menghindari korban. Terakhir, teknologi nuklir dan fisika materi sudah menjangkau ranah sub-molekuler untuk dieksploitasi sebagai penghasil tenaga listrik. Jika ribuan tahun lalu manusia terlihat lemah: mudah terinjak oleh dinosaurus, mati kelaparan kalau musim dingin tiba, atau terserang penyakit yang tidak ada obatnya – kini manusia sudah berbeda. Bisa dibilang, manusia sudah hampir menguasai alam semesta.

Namun, ada dua hal yang tidak bisa ditaklukkan oleh manusia: waktu dan kematian. Semua yang hidup akan mati – hanya masalah waktunya saja kapan. Dan mati bukanlah masalah teknologi – bahkan di jaman canggih, dengan Magnetic Resonance Imaging untuk scan otak, dengan antibiotik untuk membunuh bakteri, dengan teknologi kloning dan transplantasi sekalipun, semua orang tetap saja akan mati. Dan, semua orang beranjak dari muda ke tua. Tidak ada teknologi yang bisa membelokkan kematian, tidak ada teknologi yang bisa melengkungkan waktu. Yang ada hanya manusia, yang bercengkrama, berkegiatan, berbicara, tertawa, tetapi tiba-tiba kemudian meninggal. Dan, habislah hidup ini!

Hidup adalah hakekat. Hidup adalah yang membuat segala sesuatu menjadi baik. Hidup adalah pertanda adanya harapan. Tahun 1977, Ilya Prigogine, seorang ahli kimia fisik, menggagas tentang konsep sebuah satuan bernama entropi dalam termodinamika. Entropi adalah derajat kekacauan suatu sistem. Angkanya negatif, dan semakin besar angka negatifnya, semakin mudah proses itu terjadi. Misalnya seperti ini: proses pecahnya vas keramik memiliki entropi yang negatif. Proses ini disebut spontan, karena vas keramik cenderung pecah: tersenggol, tertiup angin, atau miring sedikit saja, vas akan pecah. Bahwa vas itu tidak pecah, hanya karena dijaga terus-menerus. Jadi, harus ada usaha untuk menjaganya agar tidak pecah – apalagi membuatnya dari tanah liat. Nah, proses pembuatan vas, dan penjagaan vas, entropinya positif. Tidak spontan. Harus ada yang membuat, berusaha, berkeringat, berlelah-lelah berjam-jam, untuk membuat sebuah vas keramik. Usahanya sulit, entropinya positif. Untuk pecah, butuh waktu beberapa detik saja. Entropinya negatif – proses ini spontan.

Jadi, semua proses di dunia ini yang melibatkan kehancuran, kerusakan, nihilisme, adalah spontan. Jadi, semua yang ada di dunia, cenderung akan menjadi rusak, busuk, hancur, dan berantakan.
Kecuali hidup. Hiduplah yang membuat manusia berganda, hewan berkembang biak, tanaman berkecambah. Seseorang yang baru meninggal dunia, wajahnya sama persis dengan waktu dia hidup, bukan? Namun, hidup sudah tidak ada dalam tubuhnya. Proses pembusukan sudah mulai, bakteri mulai merusak jaringan dalamnya. Hidup sudah tidak ada, dan kini entropi meraja lela: menghancurkan semuanya kembali menjadi debu. Hidup, selalu kalah oleh waktu, oleh kematian.

Oleh karena itu, berbahagialah kita karena Tuhan Yesus sudah bangkit! Satu-satunya harapan melawan kematian, ketiadaan, dan kesia-siaan, adalah kebangkitan Kristus. Jarang sekali Rasul Paulus mengulang sebuah topik, tapi dalam 1 Korintus 15, dua kali ia berkata: bahwa kalau Tuhan Yesus tidak bangkit, maka percuma saja kita beriman. Kalau Ia tetap mati, maka Ia tidak ada bedanya dengan kita, yang akan mati juga. Kalau Ia tidak mengalahkan kematian, maka buat apa kita beriman? Bukankah kita hanya akan menjadi subyek dari pergulatan para dewa, seperti dalam kisah Yunani ‘Perang Para Dewa’?

Tuhan Yesus bukan hanya memberi sebuah konsep, tapi sebuah bukti. Ia bangkit! Berarti, kita juga bisa bangkit. Berarti, perjuangan kita di dunia ini tidak sia-sia. Berarti, ada harapan untuk mengalahkan nasib, mengalahkan alam, mengalahkan entropi, dari Sang Pencipta Termodinamika itu sendiri. Jadi, kita harus hidup lebih optimis. Paulus sendiri menjelaskan, kalau tidak ada kebangkitan, maka “marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati” (1 Korintus 15:32). Tidak perlu beramal baik, tidak perlu sopan-sopan. Reguklah kenikmatan dunia sebanyak mungkin, selagi bisa. Bukankah begitu? Untungnya, Tuhan Yesus sudah bangkit!

Maka, fokus kita harus dialihkan. Bukan hanya pada hidup di dunia sekarang ini – tetapi kehidupan nanti, setelah mati. Ingat, semuanya tidak sia-sia. Kristus telah mengalahkan kematian untuk kita. Ada harapan, bahkan harapan itu sudah dibuktikan oleh Kristus sendiri! Maka, hiduplah dengan benar, fokuslah pada Kristus. Ya – semua orang akan mati. Tetapi dalam Kristus – semua orang akan bangkit dan hidup kembali! Marilah memusatkan pikiran kita melewati kematian, menuju kehidupan yang kekal itu.

Amin.

10 Februari 2012 

Sunday, January 29, 2012

Obituary: Drg. Daniel Nazarudin, born Thio Tjong Bing. A Good Dentist, A Great Person, The Greatest Dad


On Monday, January 23rd, 2012, at 20.40, my father, Drg. Daniel Nazarudin, born Thio Tjong Bing, passed away. He was 64.

Thio Tjong Bing was born in Pekalongan, Central Java, on February 3rd, 1947, to Thio Tjin An and Oey Sioe Kim. Thio Tjin An owned a car workshop in Pekalongan, which is why my father always had a passion for all things mechanical. In our family, he is ‘the last handyman’ – while the younger generation prefer to throw away broken stuff and getting new ones, he would dutifully spend much time and money in trying to fix broken equipments. Just weeks before he passed away, he had a project to fix our water pumps, causing a shortage of water supply in our house for a while – then he later told me: “You’re right – in the end I decided to buy a new one!”. But he didn’t give up – eventually he did fix the broken pump and now we have 2 pumps in our house.

Thio Tjong Bing had an older sister, Thio Giok Hiang. Both had a happy childhood, my dad being the adventurous one and his sister being the obedient one. He often spoke of my grandmother’s fondness for kungfu novels and movie theatres, and my grandfather’s excel in Dutch language and music. His happy childhood was cut short as his father, Thio Tjin An, passed away when he was in Junior High School. I remember my grandmother told me that both children came crying to her, because they were afraid that they can’t go to school anymore. “From that moment on, I sold everything I had, one by one, to finance the education of your dad and your aunt” said my grandmother.

Pursuing education brought Thio Tjong Bing from Pekalongan to Semarang, where he spent his Senior High School at Loyola College, and then to Bandung. My father always wanted to be a civil engineer or an architect. But at that time, he did not have a chance to go Bandung’s Institute of Technology, which had a good architecture department (where his sister studied and I got my degree from). Instead, faith brought him to the Faculty of Dentistry, Padjadjaran University, also in Bandung. He doesn’t like dentistry, but that does not stop him from being a perfectionist at work. “I never liked dentistry, so I need more energy to perform my work perfectly” he said once. “Being a dentist is a dilemma: when you’re young, you have a lot of energy, but not enough experience so you have only few patients. When you’re older and more experienced, you’ll have more patients, but not anymore the energy to perform the work – so you just can’t reap the maximum financial benefit out of this profession” he said.

After he retired from hospital duty and focused on his own practice, he seemed to enjoy his work more – not because of the work itself, but because his profession prompted him to meet a huge network of friends. “When I go to your father to fix my teeth, it takes him 15 minutes to do the job and 45 minutes to chat!” commented a friend of mine. He was always a ‘people person’, and in people finally he is at peace with his career.

It is in his university years, in 1967, that the Indonesian Government required all Chinese Indonesian to bear an Indonesian name. He chose ‘Daniel Nazarudin’ as his name, stated by a decree on the same year. It is also in this period, that he met my mother, Ketty Wilandow (born Oey Ketty), a student at the Law School of the University of Parahyangan in Bandung. They told me a story of how they met: it involves a roundabout at Jl. Dr. Otten, Bandung. Under the shade of the waving mahogany branches, my father rode a motorcycle on one side of the roundabout, going from his dorm at Jl. Dago to his campus at Jl. Dipati Ukur, while my mother rode a motorcycle on the other side, going from her house at Jl. Pasirkaliki to her campus at Jl. Merdeka. Their family already knew each other, so the story is probably romanticized, but yet it is in those frequent rendezvouz that they fell in love. My mother, three years senior to my father, was fixing her mind to her study, not marriage. “But your father was very persistent” she said with a smile.

They got married in Queen Restaurant Bandung, on December 22nd , 1974. After the marriage, they had three children: Harry Hardianto Nazarudin, and twin sisters Erika Amelia Nazarudin and Erina Natania Nazarudin. My memories of my childhood were very happy ones, although we did not have much at that time. I remember my father went to work on a red ‘Duck’ Honda 50 motorcycle, often braving through rains and bad weather. I remember our first black and white TV, which was a great luxury for us. But my father always cherished his cars – it is by the cars he owns, he measures his success. We went from a frequently-broken battered-old Peugeot 405, to a rattling loud red Daihatsu Taft, and finally my father managed to buy his first pride: a green Honda Civic Wonder sedan. “I dreamt last night, that your grandpa came and had a look at our new car!” he exclaimed to me one morning.

Tooth by tooth, filling by filling, he managed to grow our family’s finances from scratch. We moved from a small house at Jl. Bima 155, where he had his private practice, to Jl. Walik 11. We spent some years there, then moved to Jl. Bima 98, right in front of his practice, so he does not have to travel far to go to work. This house was his dream: bought as a run-down house, he built it brick by brick over long periods of time, depending on a tight budget, to become a 2 story residence. His prized car also improved: now it’s a white Honda Accord Maestro. He used to polish and treat the car like his most valuable possession, nobody could tamper with its white paint.

Nothing could have prepared us for what was coming in 2007: on a dark day, July 15th, 2007, his daughter, dr. Erina Natania Nazarudin, who studied medicine and was sent on assignment in Fakfak, West Papua, lost her life in a car accident after having saved 2 lives: a mother and her baby with a birth problem. It was a shock for the whole family, whom hitherto had a peaceful, calm, and happy life. This was the first introduction to death, in its most dreadful form, for the whole family. My father was deeply saddened by the incident. But after a while, he seemed to accept it. “Erina is already happy in Heaven” he said, repeatedly. “It is the living that we need to take care of”.

Dad has an uncanny ability to laugh. Whenever he gathers with his companions, there is always laughter on the table. His friends call him names, and he would retaliate. He is a true sanguine: from laughter to anger, from sadness to joy, for him it’s just a matter of time. They were all short bursts – he was never sad or angry at long periods of time. He is always good with people, he can connect with almost everybody. Being a doctor, his true calling is to help people. And he is always proud of it. “Doctors work on their own – there is no boss to supervise you. So you can only be true to yourself” he said. That’s also why, he never became ‘a businessman’ he’d always wanted to be. The business world is just too complex for him – full of mischief and dark strategies. Yet, sometimes he became disappointed with himself, not being able to be ‘the rich businesspeople’.

On death, he had one wish. “I don’t want to be sick for a long time” he said once. “If my time comes, just make it quick – I don’t want to be a burden to the living”. Just a few weeks before, we had a conversation when he visited me in Jakarta, discussing about family members who have been given longevity. “Most of them, Dad, are not like your father – exuberant dynamic person with bursts of emotion. Most of them are calm, relaxed people, who accept life as it is and not trying to change it too much. So you have to be like that, if you want to live a long life” I told him. He smiled – he knew he’s not that type, and neither am I. On January 24th, 2012, in the arms of his wife Ketty Nazarudin, at their residence in Jl. Bima 98, Drg Daniel Nazarudin passed away suddenly after having his last dinner: a hearty portion of chicken satay and lontong from his favorite, RM Sate ‘Asli’ at Jl. Maulana Yusuf Bandung. He passed away according to his wish: blisteringly fast, sending another shockwave for the family.

But then again – as Dad always said: we need to care for the living, as the dead is already happy with Lord Jesus in Heaven. Looking back, if there is one thing that I could change, it is that I would like him to see myself making a family, going through struggles and tribulations as he did, listening to his advice along the way. It is rather sad that as my journey is starting, his ended. What I can do now, is to share memories of him, like he did with his own father, and uses it to propel my life into the future with great confidence and strength, so Dad would visit me in a dream one day when I buy my first Ferrarri and said: Well done son!  I know you can do it!

Farewell, Dad. Till we meet again.

PS: please pray for my mother, Ketty Nazarudin, who is currently being treated for stroke at a hospital. May the Lord give her strength to move on.

Bandung, 29 January 2011