Friday, October 03, 2014

Pujian Yang Berdaya Cipta

“Worship GOD if you want the best, Worship opens doors to all His goodness”

Psalm 34:9 (MSG)

Khotbah oleh Pdt. Chris Manusama dan Penyembahan & Pujian oleh GBI Rock Ambon, JPCC, 21 September 2014

Hari Minggu 21 September 2014, saya bersama istri hadir di kebaktian pertama JPCC di Kota Kasablanka, Jakarta. Pagi itu, kami disambut oleh nyanyian penyembahan dan pujian yang sangat indah dari GBI Rock Ambon. Rupanya, dalam tema Penyembahan atau Worship di bulan September, JPCC mengundang mereka untuk melayani di hari itu. Saya langsung terkesan dengan pelayanan musik dari GBI Rock ini.

Lihat! Paduan Suara berdiri teratur menghadap mikrofon dengan sudut ideal sehingga suaranya terdengar lantang dan seimbang. Musik ditata dengan rapi. Noly, sebagai pemimpin nyanyian, posturnya tinggi besar, suaranya bariton yang mantap. Wajahnya, ekspresinya, dan komandonya, dengan tegas memimpin nyanyian sehingga seluruh jemaat hanyut dalam keindahan harmoni musik. Saya tercekat, tidak bisa menyanyi dengan lancar, karena mata seringkali mendadak basah karena air mata haru. Sesuatu yang ada di udara saat ini, alunan musik ini, menyentuh hati saya, seolah tangan Tuhan sendiri mengelusnya sampai terasa sangat damai. Tuhan, terasa hadir disitu.

Belum habis saya terkesan, mulailah Pdt. Chris Manusama berkhotbah. Yang kami dengar adalah bagian yang pertama, yakni ‘Elemen Surga’. Namun, ijinkan saya menuliskan kesan saya secara umum terhadap Firman Tuhan yang dibagikan saat itu.

Chris Manusama adalah seorang pemusik terkenal di jamannya. Beliau pengarang lagu Kidung yang dipopulerkan Chrisye, juga lagu Kasih oleh Lidya/Imaniar. Jadi, beliau tentu mahfum akan kehidupan gemilang musisi di tahun 1980-an. Sampai kira-kira 25 tahun yang lalu, Chris – menurut beliau sendiri – sedang ‘guling-guling’ di Puncak ketika bertemu dengan J.P. Sinaga, ketua Lembaga Alkitab Indonesia pada masa itu.

“Chris, kau mau ikut Tuhan?” tanya Sinaga dengan logat Batak yang kental.
“Mau Pak”
“Kalau kau tidak bisa makan (karena ikut Tuhan), kau kasih tahu aku! Aku akan berhenti jadi pendeta, kucopot togaku ini!” tegasnya.

Dan sampai saat ini, memang Chris tidak pernah tidak makan! Luar biasa memang kasih karunia Tuhan. Dari situlah Chris memulai perjalanannya sebagai hamba Tuhan.

Dan Chris memiliki bidang yang unik: ahli penyembahan. Apakah penyembahan itu mudah? Yang penting nyanyi kan? Yang penting bilang Haleluya, bilang Puji Tuhan, lalu tepuk tangan. Beri kemuliaan bagi Tuhan! Lalu kitapun bertepuk tangan. Kalau tepuk tangan adalah kemuliaan bagi Tuhan, maka lebih banyak kemuliaan di lapangan bola daripada di gereja! Tukas Chris. Betul sekali bukan?

Ternyata, penyembahan memiliki arti yang mendalam. Bukan sekedar menyanyi, bukan sekedar memetik gitar. Tapi, menghasilkan sesuatu dari hati, membuat karya yang sungguh-sungguh keluar dari hasil usaha kita untuk Tuhan. Bukan sekedar tampil keren dengan rambut landak. Tapi, latihan berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, demi sebuah lagu, mungkin hanya 5 menit, namun sempurna, bak biduan yang bersiap menyanyi di hadapan kaisar. Itulah penyembahan yang sejati!

Dan kata-kata Chris yang membuat saya terhenyak adalah bahwa pujian dan penyembahan yang indah buat Tuhan itu berdaya cipta. Maksudnya apa? Kemudian Chris memberikan Daud sebagai contoh. Kata-kata apakah yang ingin kita katakan pada Tuhan yang belum dikatakan oleh Daud? “Biarlah renunganku manis kedengaran kepadaNya!” (Maz. 104:34), “Ke mana ku dapat pergi menjauhi roh-Mu” (Maz 139:7). Betapa ungkapan kasih pada Tuhan membuat seorang Daud menjadi pujangga besar. Dan bukan cuma Daud! Johann Sebastian Bach menghasilkan ratusan karya musik klasik jenius yang ditujuan untuk penyembahan. Michelangelo menghasilkan lukisan luar biasa, yang dipersembahkan untukNya. Kahlil Gibran menulis ratusan puisi indah untukNya. Dan banyak lagi contohnya, bagaimana penyembahan bisa berdaya cipta, mencipta suatu karya yang melampaui masaNya dan menyentuh jadi Tuhan!

Kemudian, dimanakah kita? Sudahkah kita menghasilkan karya tersebut? Sudahkah penyembahan kita berdaya cipta?

Disinilah kemudian Chris menjelaskan: berapa nilai yang kita beri untuk Tuhan? Apakah perjuangan kita untuk Tuhan hanya cukup dengan bangun pagi di hari Minggu? Apakah layak kita membalas kasih karuniaNya dengan menyanyi 3 lagu dalam satu kebaktian? Apakah sudah cocok jika kita mengimbangi perhatianNya dengan dua lembar lima puluh ribuan di dalam kantung persembahan?

Kemudian, Chris memulai sebuah pemaparan yang membuat saya terhenyak. Empat puluh tahun Tuhan memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Empat puluh tahun lamanya Tuhan menurunkan roti, menurunkan daging , memberi air, menudungi dengan awan, dan mengawal Israel dengan gada api. Dan ada waktu dimana Tuhan memerintahkan Musa membawa bangsa Israel ke Gunung Horeb, karena Ia rindu disembah oleh umatNya! Begitu penting penyembahan sehingga Tuhan pun rindu!

Dimanakah kita empat puluh tahun lalu? Bagaimana kondisi kita saat itu? Kita masih kuliah, kita kesulitan biaya, kita takut menikah, kita melangkah dengan gentar. Dan dimanakah kita sekarang? Kita bisa hadir di gedung kebaktian yang megah, kita bisa naik mobil baru, kita bisa menikmati AC yang dingin, tidak masalah bayar parkir belasan ribu. Lalu, kalau Tuhan mau kita bersyukur, menyembahNya untuk semua anugerah itu, mengapakah kita masih menyanyi malu-malu? Mengapakah kita masih berpuas diri dengan satu jam seminggu di gereja? Datang terlambat, pulang sebelum selesai. Takut antri?

Jangan biarkan masalah mengambil nyanyian dari mulutmu! Jangan biarkan tantangan mengambil lagu dari hatimu! Jangan biarkan takut antri merampok 10 menit dari waktu penyembahanmu! Jangan biarkan bunyi smartphone memalingkan wajahmu dari Tuhan!

Pak Chris, terima kasih untuk membukakan mata saya. Dan terima kasih atas pujian yang indah, yang bahkan di DVD-nya tidak ada, namun masih saya ingat betapa waktu itu memang frekuensinya berbeda – ada Elemen Surga yang saya rasa. Terima kasih GBI Rock Ambon yang membawa saya lebih dekat dengan Tuhan. Saya menghargai Anda berkhotbah dengan kata-kata runut, puitis, tanpa sepatah katapun dalam bahasa asing. Anda telah membuktikan, tidak perlu bahasa asing untuk menyembah Tuhan – selama semangat Daud ada dalam pelayanan kita.

Saya akan berusaha mencapai standar yang Anda buat, dengan apa yang saya bisa: merangkai kata menjadi untaian inspirasi, menjangkau hati melalui jembatan sastrawi.

Terima kasih!

-Harry Nazarudin-

 

 

Sunday, September 28, 2014

Jangan Berbuat Dosa Lagi!

“Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: ‘Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?’ Jawabnya: ‘Tidak ada, Tuhan.’ Lalu kata Yesus: ‘Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang’”

Yohanes 8:10-11

Persekutuan Doa Agape, Petrotec Group, 19 September 2014
Oleh: Pdt. Berghouser Benget

Pdt. Berghouser Benget dari GKI Ampera sudah dua kali hadir di PD Agape. Kali ini, tema yang dibawakan cukup berat, yakni pesan Tuhan Yesus kepada wanita yang nyaris dirajam karena tertangkap basah berdosa. Pesan yang sederhana, lembut, namun membawa bobot yang berat. Pesan untuk ‘jangan berbuat dosa lagi’. Berat nih! Bagaimana caranya? Ketika membaca tema ini, panitia segera paham bahwa tugas ini bukan untuk orang biasa, melainkan perlu mengundang pembicara luar.

Pak Benget memulai khotbahnya dengan sebuah pertanyaan: “Apakah ada diantara kita yang pernah tertangkap basah?”. Pernah, tentu saja. Waktu kecil mencuri mangga tetangga, atau ketahuan polisi masuk jalur busway. Saya pun terbayang para tersangka kasus korupsi KPK yang tertangkap basah, betapa pucat wajahnya ketika ditangkap. Bahkan mantan hakim konstitusi sampai menempeleng seorang wartawan, disaksikan jutaan rakyat Indonesia melalui televisi! “Bagaimana perasaannya waktu tertangkap basah?” tanya Pak Benget lagi. Kami pun terdiam.

Menurut Pak Benget, jika seseorang berbuat dosa, maka sudah ada hukuman yang terpaut pada dosa itu sendiri tanpa dijatuhkan hukuman tambahan, yakni rasa bersalah. Itulah sebabnya beliau bertanya apakah kita sendiri pernah tertangkap basah. Tidak enak bukan? Baik itu mencuri jambu tetangga atau melirik istri tetangga, namanya ketahuan pasti tidak enak. Tanpa dihukum pun, orang sudah jera. Itu sebabnya, sebagian besar – tidak semua memang – akan jera jika sudah tertangkap basah.

Lalu apa esensi dari tindakan Tuhan Yesus dalam peristiwa ini? Kasusnya sama: seorang wanita tertangkap basah berzinah. Hukumannya jelas: dirajam sampai mati. Walaupun sudah menanggung malu, para kaum Farisi dan Ahli Taurat, sebagai pihak yang lebih suci, ingin menambahkan sebuah hukuman yang sempurna: hukuman mati. Jika perempuan ini mati, maka ia tidak bisa berdosa lagi bukan? Maka dunia akan lebih baik jadinya! Inilah hukum manusia.

Tuhan Yesus, seperti biasa, sangat cerdik. Pertama-tama ia bertanya kepada yang akan menghukum – kebanyakan laki-laki tentu saja. “Yang merasa tidak berdosa, silahkan lempar batu pertama!” kata Tuhan Yesus. Apakah hukuman rajam bagi wanita yang ketahuan berzinah itu adil? Bagaimana dengan partner zinahnya, seorang laki-laki? Dimana dia? Pernah dengar ada laki-laki dirajam karena zinah? Tidak pernah bukan? Apa jangan-jangan, wanita itu berzinah sendirian? Tentu saja tidak bisa. Dengan satu kalimat, Tuhan Yesus mematahkan konsep ‘adil’ pada hukuman rajam karena zinah.

Lalu, proses berikutnya juga sangat indah. Ketika yang tadinya mau menghukum satu-persatu pulang, tinggallah si wanita tadi. Ia bertanya kepada Yesus, satu-satunya orang yang berhak melempar batu dan menjatuhkan hukuman, karena Ia tidak berdosa. Dan Ia menjawab dengan bijak: “Aku tidak menghukum kamu. Pergilah, jangan berbuat dosa lagi!”

Jika Anda tertangkap basah mencuri jambu, lalu dikejar oleh pemilik pohon, dan Anda tertangkap. Lalu pemilik pohon tersenyum, membiarkan Anda membawa jambunya dan berkata: “Dik, kalau mau jambu, ketuk saja ya! Nanti Bapak ambilkan... tidak peru repot-repot memanjat!”. Apakah Anda akan mencuri lagi? Inilah yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Ia tidak memberikan ‘hukuman mati’, tetapi ia memberikan ‘hukuman hidup’. Ia mengijinkan perempuan itu untuk  hidup lebih lanjut, dengan tanggung jawab baru dari pengalaman pahit di hari itu. Jangan diulangi lagi!

Karena temanya adalah mengenai aplikasi kekristenan dalam kehidupan karir, maka diskusi berlanjut. Beberapa rekan menyuarakan bahwa bila semua rekan di kantor diperlakukan dengan prinsip ‘cinta kasih’ – tidak boleh ditegur, dihukum, diberi SP, atau di-PHK, maka kacaulah perusahaan kita. Tetapi, ada suara yang berlawanan: bahwa tidak selalu suara ‘kristiani’ berarti ‘mengampuni semua kesalahan’. Bukankah Tuhan Yesus adalah seorang yang tegas, dan bukan lemah?

Kemudian, Pak Benget menutup diskusi dengan sangat bagus. Bagaimana jika ada seorang karyawan yang melakukan kesalahan? Haruskah kita rajam, atau kita ampuni? Kalau diampuni, lalu bagaimana dengan SOP perusahaan? Jawabannya sederhana. “Tuhan itu membenci dosa, tetapi mengasihi manusia yang berdosa” kata Pak Benget. Itulah jawabannya! Membenci dosa, tapi mengasihi manusia yang berdosa, dan memberikannya tanggung jawab untuk menjadi manusia lebih baik.

Amin, terima kasih Pak Benget!

Tuesday, July 29, 2014

Mari Kita Berjalan Diatas Air!

“Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: ‘Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?’”

Matius 14:31

Perikop: Matius 14:22-33

Saya sudah berkali-kali membaca mengenai peristiwa ini. Ya, Yesus berjalan diatas air mendapati para murid yang ada di kapal. Ya, lalu Petrus mencoba berjalan juga tapi gagal. Namun, beberapa bulan lalu ketika saya membaca ayat ini sebelum tidur, tiba-tiba ada sesuatu yang menggelitik di dalam hati. Kisah ini, rupanya sangat indah, dan yang paling indah bukan mukjijatnya – melainkan reaksi Tuhan Yesus ketika menolong Petrus.

Jadi kisahnya begini: sesudah memberi makan lima ribu orang, para murid sudah berangkat terlebih dahulu dengan perahu ke tengah danau Galilea dan bermalam di perahu. Tuhan Yesus, setelah memberi makan lima ribu orang di sore harinya, mungkin merasa ingin menyepi dulu. Ia naik ke atas bukit dan berdoa. Kira-kira pada jam tiga pagi, Tuhan Yesus menyusul para murid-Nya di kapal. Tidak, Ia tidak naik getek, tapi Ia berjalan diatas air!

Selama ini, jika mendengar ‘Tuhan Yesus berjalan diatas air’, saya selalu membayangkan airnya tenang. Ya, seperti kolam renang infinity pool di Hotel Padma Bandung, dimana kita seolah merasa punya iman kuat dan melangkahkan kaki untuk menginjak permukaan air yang tenang itu – dan langsung kecebur tentu saja. Itulah bayangan saya: Tuhan Yesus melangkahkan kaki di permukaan Danau Galilea yang tenang, seperti berjalan diatas kaca.

Tapi, ada satu gambar kalender yang membuat saya terhenyak. Disitu digambarkan Tuhan Yesus berjalan diatas air danau yang sedang bergolak! Ya, memang dicatat dalam Alkitab bahwa air sedang tidak tenang seperti infinity pool. Berarti, Tuhan Yesus tidak ‘berjalan’ diatas air – karena kalau airnya bergolak kena angin maka Ia harus lompat-lompat! Lebih tepatnya mungkin Ia ‘melayang’ diatas air danau yang sedang menggelegak.

Para murid, yang meringkuk kedinginan sambil merem-melek di dalam perahu yang digoncang angin, semua terbelalak heran. Jaman itu belum ada lampu sorot! Ada satu sosok yang melayang diatas air. Hayyah! Hantu! Tuhan Yesus mengetahui ketakutan mereka. Dalam ayat 27, Ia berteriak: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”

 Petrus, murid-Nya yang paling berani, lalu merasa tertantang. Bisakah Petrus juga berjalan diatas air? Keren kan, bisa melalui danau tanpa harus mengantri naik perahu? Iapun menantang Tuhan Yesus. Tuhan, saya cuma manusia biasa, katanya. Bisakah saya – manusia – berjalan diatas air seperti Tuhan Yesus? Kalau Tuhan Yesus memang benar-benar manusia, dan saya juga manusia, mustinya saya bisa juga kan? Mungkin Petrus berpikir, paling-paling Tuhan Yesus akan menjawab dengan perumpamaan panjang yang menjelaskan bahwa tidak mungkin manusia biasa seperti Petrus bisa jalan di atas air.

Diluar dugaan Petrus, Tuhan Yesus tersenyum dan menjawab: “Oke – datanglah kesini!”. Waduh! Petrus mengernyitkan dahi. Apakah saya bisa? Saya kan manusia biasa? Ia mencoba menjejakkan kaki ke air. Ingat, ini angin sakal. Angin yang berlawanan arah dengan perahunya, sehingga perahu terombang ambing. Eh, pas kaki Petrus menginjak air, lho kok keras seperti lantai. Hore! Petrus bisa! Ia lalu mulai melangkah menuju Yesus. Hebat! Aku bisa! Bisa berjalan diatas air! Seperti Yesus!

Namun, ketika kapal semakin jauh dan tidak terjangkau lagi oleh tangan, sementara angin bertiup semakin kencang, Petrus mulai gamang. Wah, ngeri juga nih – seperti berjalan diatas tali! Harus menginjak yang mana? Satu langkah lagi, dan lagi. Haduh, Tuhan Yesus kok jauh amat ya! Masih kira-kira 5 langkah lagi! Dan, air memercik ke kaki Petrus. Aduh! Basah nih! Tenggelam! Dan iapun mulai terperosok tenggelam!

Petrus pasti panik! Sepanik jika kita diceburkan ke kolam renang oleh teman-teman waktu ulang tahun. Air memang bisa membuat panik. Walaupun kita bisa berenang, tetap saja kecebur air itu bikin kaget. Pernahkah kita mengalami hal ini? Waktu kecil belajar berenang dulu, ketika kita mulai tenggelam. Ketika kita mulai minum air dan hidung terasa sakit. Ingatkah kita, apa yang kemudian terjadi?

Ya! Ada tangan yang menolong kita. Tangan ayah kita, yang mengangkat kita dari air, atau tangan guru renang yang menolong kita. Persis seperti Petrus – ada tangan yang tiba-tiba menolongnya. Rupanya, Tuhan Yesus buru-buru lari dan mengulurkan tangan-Nya untuk Petrus. “Pet, hayyah kamu sih, kok gak percaya amat” kata Yesus. Sama seperti suara ayah kita, yang lembut berkata: “Kamu sih, sudah papi bilang kakinya harus gerak supaya nggak tenggelam”. Jantung kita berdetak kencang, namun terasa aman karena tubuh kita dipegang oleh ayah. Untuk Petrus, yang sekarang terengah-engah, tangan Tuhan Yesus yang memegangnya. Bukan cuma itu: Tuhan Yesus menggendong Petrus sampai naik ke perahu lagi.

Buat saya, yang membuat kisah ini luar biasa bukan hanya mukjijatnya, tetapi bagaimana Tuhan Yesus bereaksi atas permintaan Petrus. Ingat bahwa Petrus adalah manusia biasa, sama seperti Anda dan saya. Imannya tentu saja lemah. Ia tidak bakalan bisa berjalan di atas air, karena imannya jauh dibawah Tuhan Yesus. Namun, Petrus berani mencoba! Ia berani bangkit dan berteriak: “Tuhan Yesus! Bisakah saya seperti Tuhan Yesus?”. Dari 12 murid yang ada di perahu, hanya Petrus yang berani begini.

Jaman sekarang, ada sekelompok orang di gereja yang termasuk ‘kristen skeptis’. Maksudnya apa? Mereka beriman, tetapi skeptis. Setelah selesai membahas Alkitab, maka mereka berkata: “Ya, tapi itu kan Tuhan Yesus, saya kan bukan Tuhan Yesus. Mana bisa saya melakukan semua itu? Mana bisa saya jujur terus? Ya sudah lah, korupsi sedikit tidak apa-apa. Toh Ia akan mengerti kelemahan kita!” Nah, memang males ngomong sama orang seperti ini ya! Soalnya, ia memisahkan antara ‘Yesus’ dan dirinya. Itu ‘Yesus’, ini saya. Jangan disamain dong, saya kan bukan Anak Allah. Padahal, untuk apa Yesus memberikan teladan dalam Alkitab? Ya, supaya kita mengikutinya! Tidak ada alasan bahwa kita tidak bakalan bisa seperti Yesus. Kalau Yesus bisa 20 langkah, kita bisa 2 langkah saja sudah lumayan bukan?

Kalau kita mau mencoba, walaupun akan gagal, pasti Tuhan Yesus juga akan senang. Seperti orang tua yang bangga melihat anaknya mau mencoba belajar berjalan, walaupun mereka tahu bahwa sang anak pasti tersandung. Tapi sang anak tidak menyerah, terus mencoba berjalan. Kita sebagai orang tuanya merasa bangga, bukan? Itulah sebabnya, ketika Petrus mengajukan diri untuk berjalan diatas air, Tuhan Yesus tidak berkata: “Hush, Petrus kau jangan macam-macam. Ini urusan Anak Allah!” atau, Ia bersabda: “Petrus, silahkan coba, kalau imanmu kuat. Silahkan, ayo kesini!” kata-Nya sampai melipat tangan dan tersenyum sinis, dan berpikir: “Hehehe, pengen liat Petrus basah kuyup nih!”

Mengapa saya tahu bahwa Tuhan Yesus tidak tersenyum sinis? Lewat reaksi-Nya ketika Petrus tenggelam.

Alkisah, Petrus tenggelam. Wajar bukan? Dan untuk Petrus, ini bukan pertama kalinya ia tenggelam. Petrus itu nelayan lho! Pasti ia bisa berenang (kalau petani belum tentu). Yohanes 21:7 pun mencatat bahwa Petrus bisa berenang. Jadi, sebenarnya, jika eksperimen ini gagal, Petrus bisa saja berenang kembali ke perahu. Iya kan? Apa susahnya? Paling sial, Petrus akan basah kuyup. Itu saja!

Tuhan Yesus, bisa saja bersabda: “Wahai Petrus, udah dibilangin imannya harus kuat. Kalau iman kamu memang cuma segitu, berenang sono balik ke kapal!” Alkitab tidak mencatat sejauh mana Petrus berjalan, tapi rasanya belum terlalu jauh. Tebakan saya, paling baru beberapa langkah. Wajar kan kalau Petrus berenang? Tuhan Yesus kemudian berjalan ke perahu, lalu dengan baju kering melihat Petrus yang basah kuyup dan berkata: “Kamu manusia beriman lemah, jangan sekali-kali sok-sokan mau bermukjijat! Gak bakalan bisa!”.... Itukah yang terjadi?

Sama sekali tidak! Dan inilah yang membuat peristiwa ini begitu indah. Tuhan Yesus sama sekali tidak memarahi Petrus. Tebakan saya juga, jarak Tuhan Yesus agak jauh dari perahu dibanding Petrus – karena kalau sudah dekat Tuhan Yesus pasti Petrus berani. Alasan Petrus takut adalah, perahu sudah tidak bisa diraih tangan, dan Tuhan Yesus masih jauh! Tapi mereka masih bisa saling mendengar jika berbicara – maka anggaplah, jarak Tuhan Yesus dari Petrus adalah 5 meter atau 5 langkah kira-kira.

Ketika Petrus mulai tenggelam, Tuhan Yesus pasti melihatnya. Bayangkan bahwa untuk menolong Petrus, Tuhan Yesus harus lari beberapa langkah, dan mengulurkan tangan-Nya memegang Petrus! Bayangkan, Ia harus begitu repot. Dan coba kita pikirkan: jarak perahu dari tepi danau waktu itu beberapa mil jauhnya. Satu mil adalah 1,6 km, kalau yang dimaksud adalah mil laut (nautical mile), maka satu mil laut adalah 1,852 km! Beberapa mil berarti kira-kira 3-5 kilometer dari tepi danau. Bayangkan, Tuhan Yesus sudah berjalan diatas air kira-kira 3-5 kilometer, atau kalau dijalankan dengan kecepatan biasa, kira-kira 30 menit berjalan kaki. Jauh juga lho! Mengapa Tuhan Yesus kok harus berjalan diatas air? Ia kan bisa berenang? Ya, tapi berenang capek, dan pasti basah kuyup. Jaman itu tidak ada kantung kresek! Mungkin, Tuhan Yesus ingin ke perahu tanpa berenang atau basah kuyup.

Sekarang, apa yang terjadi? Gara-gara Petrus, Ia harus mengulurkan tangan-Nya! Petrus sudah mulai kecebur, ia pasti sudah basah. Gara-gara menolong Petrus, Tuhan Yesus jadi basah juga! Apalagi Alkitab mencatat bahwa Ia tidak hanya mengulurkan tangan-Nya, tetapi naik ke perahu bersama Petrus. Ia mungkin menggendong atau merangkul Petrus yang sekarang ngos-ngosan ketakutan. Bisa saja Ia membuat Petrus melayang seperti telekinesis, bisa saja Ia menyuruh malaikat menolong Petrus. Tetapi... tidak! Ia mengulurkan tangan-Nya – dan jadi basah – untuk menarik Petrus dari air. Hanya satu komentar-Nya: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” Seperti ayah kita: “Sudah papi bilang, kakinya digerakkan biar nggak tenggelam”. Dan hati kita terasa teduh.

Pelajaran apa yang bisa kita dapat dari peristiwa ini?

1.       JANGAN TAKUT UNTUK MENCOBA.

Iman kita lemah, kita semua tahu. Tapi, jangan takut untuk mencoba! Dari 12 murid di perahu, hanya Petrus yang berani mencoba berjalan diatas air. Ya, akhirnya ia tenggelam. Tapi, bukankah akhirnya Tuhan Yesus juga menolong dia? Bukankah hanya Petrus yang merasakan uluran tangan Tuhan Yesus sendiri? Hanya Petrus yang mengalami pengalaman iman luar biasa, sementara yang lain hanya nonton dari perahu? Ya. Jangan takut untuk mencoba, selemah apapun iman Anda.

2.       IA YANG MEMANGGIL, IA YANG MENOLONG.

Bukankah Tuhan Yesus yang berkata kepada Petrus: “Datanglah!”? Walaupun iman Petrus lemah, walaupun Ia tahu Petrus pasti tenggelam. Tetapi, Ia toh tetap memanggil Petrus dan memintanya untuk mencoba, walaupun pada akhirnya Petrus akan membuat Tuhan Yesus repot dan bahkan basah juga. Jadi, jangan kuatir. Jika Ia sudah berkata: “Datanglah!” Maka Anda harus datang. Ambil langkah iman itu, mulailah berjalan diatas air. Jangan kuatir! Sejak itu, mata Tuhan Yesus senantiasa menyertai Anda, dan tangan-Nya siap terulur untuk Anda.

3.       IA RELA REPOT UNTUK KITA.

Dalam kisah ini, Petrus toh bisa berenang. Tuhan Yesus, sesudah berjalan 30 menit diatas air, tidak perlu repot-repot mengulurkan tangan-Nya bukan? Ia tidak perlu basah untuk Petrus, toh paling-paling Petrus hanya basah kuyup saja. Ini bukan soal hidup mati. Nggak penting-penting amat Tuhan Yesus mengulurkan tanganNya. Tapi, toh Ia lakukan. Kasih-Nya luar biasa bukan? Ia rela repot mengulurkan tangan-Nya. Ia mau repot tergopoh-gopoh menghampiri Petrus, lalu mengulurkan tangan-Nya. Tangan-Nya sendiri yang Ia ulurkan, bukan tangan malaikat. Ya! Ia rela repot, rela basah, rela lari tergopoh-gopoh, rela mengulurkan tangan-Nya, hanya untuk melindungi Petrus dari basah kuyup. Apalagi untuk pertaruhan yang lebih penting? KasihNya luar biasa!

4.       TUHAN TIDAK MAU KITA SKEPTIS!

Terakhir, kembali mengenai skeptis tadi. Kalau kita punya karyawan atau anak yang melakukan kesalahan, cobalah melakukan cross check antara sikap kita dan Tuhan Yesus. Jika anak yang melakukan kesalahan, apa tindakan kita? “Kamu sih, bla bla bla!!!”. Karyawan apa lagi. Tapi coba lihat Tuhan Yesus! Ia hanya berkomentar dengan bertanya, mengapa kok iman Petrus lemah. Ia tidak mengomeli Petrus: “Hai kamu ular beludak! Gara-gara kamu saya basah juga!” Tidak bukan? Ia tidak menghardik Petrus, kesal karena kelemahan muridnya. Ia penuh kasih menghadapi ‘kesalahan’ Petrus. Untuk itu, janganlah kita skeptis!

Akhir kata, Tuhan ingin kita mencoba, bukan karena Ia ingin kita gagal. Ia ingin kita mencoba, supaya kita dapat merasakan uluran tangan-Nya, dan merasakan kasih-Nya yang tiada tara. Jadi, jika Ia sudah berkata: “Datanglah!” maka, yuk datang segera. Langkahkan kaki Anda ke atas air. Niscaya, mukjijat akan terjadi!

Jakarta, 29 Juli 2014

Friday, February 07, 2014

Gembala Yang Baik, Bukan Manajer Yang Baik!


“Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya”
Yohanes 10:11

“Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor diantaranya sesat, tidakkah ia akan meinggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu?”
Matius 18:12

Renungan ini berasal dari pikiran iseng saya. Awalnya adalah ketika dalam sebuah persekutuan terjadi konflik antara pemimpin persekutuan dan anggotanya. Sang anggota entah kenapa merasa tidak dihargai oleh sang pemimpin, sampai-sampai tersinggung dan marah. Sementara sang pemimpin, menganalisa masalah dari sisi pemimpin, bahwa memang si anggota yang terlalu sensi. Toh, pemimpin bertindak tidak untuk satu-dua orang saja, tetapi harus memperhatikan kepentingan banyak orang. Dan ketika kelompok yang lebih kecil kemudian kalah suara, beberapa lalu mutung, pundung. Kalau menggunakan istilah domba, ketika yang lain bergerak ke kanan, yang ini minggir ke kiri. Biarin deh, toh suaraku tidak didengar, katanya.

Sang pemimpin persekutuan pun bersikukuh. Yah, sebenarnya dia sudah mencoba untuk merangkul kembali anggota ini. Namun, tidak berhasil. Akhirnya dia bilang, well, life must go on, the show must go on. Akhirnya persekutuan terus berjalan dan untunglah, sang domba tersesat ditampung oleh persekutuan lain.

Waktu itu, saya bilang terang-terangan bahwa saya tidak setuju sikap sang pemimpin tadi. “Untung Tuhan Yesus itu gembala yang baik, bukan manajer yang baik” celetuk saya. “Kalau Dia manajer yang baik, maka FirmanNya menjadi: Akulah jalan kebenaran dan hidup, yang tidak mau melewati Aku, silakan cari kerja di tempat lain!” kata saya sambil cekikikan. Dan, ada sambungannya! “Gembala yang baik itu mencari itu meninggalkan 99 ekor domba demi mencari 1 yang hilang. Kalau dalam manajemen, satu yang hilang atau tidak mau ikut, bisa dipersilakan resign saja segera biar diganti domba yang baru!”

Betul sekali bukan? Kita sangat beruntung bahwa Tuhan Yesus berfirman bahwa Ia adalah gembala yang baik. Coba kalau Ia bersabda, Ia adalah manajer yang baik! Mungkin kita sudah dipecat karena lebih dari tiga kali berdosa (dengan surat SP3), atau karena kita bukan team-player, atau karena kita tidak bisa ikut dengan yang lain. Hanya seorang gembala, yang memimpin tim domba-domba bodoh, yang cukup sabar untuk mencari domba yang hilang, menarik domba yang kabur, atau membujuk domba yang stress supaya tidak terjun bunuh diri ke jurang. Untunglah Tuhan Yesus gembala yang baik!

Saudaraku, itulah yang paling sulit: mengalahkan ego kita sendiri.  Mengalahkan ego, adalah prinsip dari seorang gembala. Pernah memelihara anjing atau kucing? Pernah setengah mati manggil2, atau membujuk dengan muka lucu, agar anjing dan kucing kita mau makan? Nah, itulah sebenarnya kegiatan mengalahkan ego yang indah. Betapa kita sebagai manusia yang canggih, mau nunduk2 pada si Bleki, supaya dia makan – bukannya bunuh saja si Bleki dan beli anjing baru. Ironisnya, yang mudah bagi anjing dan kucing, ternyata sulit diterapkan untuk manusia!

Rasa ego yang begitu tinggi, kadang-kadang adalah hal tersulit yang harus dilampaui untuk menjadi seorang gembala yang baik. Inilah tantangan bagi setiap pemimpin Kristiani, baik dalam organisasi besar maupun persekutuan kecil. Bagaimana kita bisa meniru Tuhan kita – yang diam ketika diludahi, meram ketika dicambuk, dan bahkan menempelkan kembali telinga penjahat yang akan mendzalimiNya. Ketika kita mengalahkan ego kita, kita memenangkan kasih Kristus.

Jakarta, 7 Februari 2014