Friday, October 03, 2014

Pujian Yang Berdaya Cipta

“Worship GOD if you want the best, Worship opens doors to all His goodness”

Psalm 34:9 (MSG)

Khotbah oleh Pdt. Chris Manusama dan Penyembahan & Pujian oleh GBI Rock Ambon, JPCC, 21 September 2014

Hari Minggu 21 September 2014, saya bersama istri hadir di kebaktian pertama JPCC di Kota Kasablanka, Jakarta. Pagi itu, kami disambut oleh nyanyian penyembahan dan pujian yang sangat indah dari GBI Rock Ambon. Rupanya, dalam tema Penyembahan atau Worship di bulan September, JPCC mengundang mereka untuk melayani di hari itu. Saya langsung terkesan dengan pelayanan musik dari GBI Rock ini.

Lihat! Paduan Suara berdiri teratur menghadap mikrofon dengan sudut ideal sehingga suaranya terdengar lantang dan seimbang. Musik ditata dengan rapi. Noly, sebagai pemimpin nyanyian, posturnya tinggi besar, suaranya bariton yang mantap. Wajahnya, ekspresinya, dan komandonya, dengan tegas memimpin nyanyian sehingga seluruh jemaat hanyut dalam keindahan harmoni musik. Saya tercekat, tidak bisa menyanyi dengan lancar, karena mata seringkali mendadak basah karena air mata haru. Sesuatu yang ada di udara saat ini, alunan musik ini, menyentuh hati saya, seolah tangan Tuhan sendiri mengelusnya sampai terasa sangat damai. Tuhan, terasa hadir disitu.

Belum habis saya terkesan, mulailah Pdt. Chris Manusama berkhotbah. Yang kami dengar adalah bagian yang pertama, yakni ‘Elemen Surga’. Namun, ijinkan saya menuliskan kesan saya secara umum terhadap Firman Tuhan yang dibagikan saat itu.

Chris Manusama adalah seorang pemusik terkenal di jamannya. Beliau pengarang lagu Kidung yang dipopulerkan Chrisye, juga lagu Kasih oleh Lidya/Imaniar. Jadi, beliau tentu mahfum akan kehidupan gemilang musisi di tahun 1980-an. Sampai kira-kira 25 tahun yang lalu, Chris – menurut beliau sendiri – sedang ‘guling-guling’ di Puncak ketika bertemu dengan J.P. Sinaga, ketua Lembaga Alkitab Indonesia pada masa itu.

“Chris, kau mau ikut Tuhan?” tanya Sinaga dengan logat Batak yang kental.
“Mau Pak”
“Kalau kau tidak bisa makan (karena ikut Tuhan), kau kasih tahu aku! Aku akan berhenti jadi pendeta, kucopot togaku ini!” tegasnya.

Dan sampai saat ini, memang Chris tidak pernah tidak makan! Luar biasa memang kasih karunia Tuhan. Dari situlah Chris memulai perjalanannya sebagai hamba Tuhan.

Dan Chris memiliki bidang yang unik: ahli penyembahan. Apakah penyembahan itu mudah? Yang penting nyanyi kan? Yang penting bilang Haleluya, bilang Puji Tuhan, lalu tepuk tangan. Beri kemuliaan bagi Tuhan! Lalu kitapun bertepuk tangan. Kalau tepuk tangan adalah kemuliaan bagi Tuhan, maka lebih banyak kemuliaan di lapangan bola daripada di gereja! Tukas Chris. Betul sekali bukan?

Ternyata, penyembahan memiliki arti yang mendalam. Bukan sekedar menyanyi, bukan sekedar memetik gitar. Tapi, menghasilkan sesuatu dari hati, membuat karya yang sungguh-sungguh keluar dari hasil usaha kita untuk Tuhan. Bukan sekedar tampil keren dengan rambut landak. Tapi, latihan berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, demi sebuah lagu, mungkin hanya 5 menit, namun sempurna, bak biduan yang bersiap menyanyi di hadapan kaisar. Itulah penyembahan yang sejati!

Dan kata-kata Chris yang membuat saya terhenyak adalah bahwa pujian dan penyembahan yang indah buat Tuhan itu berdaya cipta. Maksudnya apa? Kemudian Chris memberikan Daud sebagai contoh. Kata-kata apakah yang ingin kita katakan pada Tuhan yang belum dikatakan oleh Daud? “Biarlah renunganku manis kedengaran kepadaNya!” (Maz. 104:34), “Ke mana ku dapat pergi menjauhi roh-Mu” (Maz 139:7). Betapa ungkapan kasih pada Tuhan membuat seorang Daud menjadi pujangga besar. Dan bukan cuma Daud! Johann Sebastian Bach menghasilkan ratusan karya musik klasik jenius yang ditujuan untuk penyembahan. Michelangelo menghasilkan lukisan luar biasa, yang dipersembahkan untukNya. Kahlil Gibran menulis ratusan puisi indah untukNya. Dan banyak lagi contohnya, bagaimana penyembahan bisa berdaya cipta, mencipta suatu karya yang melampaui masaNya dan menyentuh jadi Tuhan!

Kemudian, dimanakah kita? Sudahkah kita menghasilkan karya tersebut? Sudahkah penyembahan kita berdaya cipta?

Disinilah kemudian Chris menjelaskan: berapa nilai yang kita beri untuk Tuhan? Apakah perjuangan kita untuk Tuhan hanya cukup dengan bangun pagi di hari Minggu? Apakah layak kita membalas kasih karuniaNya dengan menyanyi 3 lagu dalam satu kebaktian? Apakah sudah cocok jika kita mengimbangi perhatianNya dengan dua lembar lima puluh ribuan di dalam kantung persembahan?

Kemudian, Chris memulai sebuah pemaparan yang membuat saya terhenyak. Empat puluh tahun Tuhan memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Empat puluh tahun lamanya Tuhan menurunkan roti, menurunkan daging , memberi air, menudungi dengan awan, dan mengawal Israel dengan gada api. Dan ada waktu dimana Tuhan memerintahkan Musa membawa bangsa Israel ke Gunung Horeb, karena Ia rindu disembah oleh umatNya! Begitu penting penyembahan sehingga Tuhan pun rindu!

Dimanakah kita empat puluh tahun lalu? Bagaimana kondisi kita saat itu? Kita masih kuliah, kita kesulitan biaya, kita takut menikah, kita melangkah dengan gentar. Dan dimanakah kita sekarang? Kita bisa hadir di gedung kebaktian yang megah, kita bisa naik mobil baru, kita bisa menikmati AC yang dingin, tidak masalah bayar parkir belasan ribu. Lalu, kalau Tuhan mau kita bersyukur, menyembahNya untuk semua anugerah itu, mengapakah kita masih menyanyi malu-malu? Mengapakah kita masih berpuas diri dengan satu jam seminggu di gereja? Datang terlambat, pulang sebelum selesai. Takut antri?

Jangan biarkan masalah mengambil nyanyian dari mulutmu! Jangan biarkan tantangan mengambil lagu dari hatimu! Jangan biarkan takut antri merampok 10 menit dari waktu penyembahanmu! Jangan biarkan bunyi smartphone memalingkan wajahmu dari Tuhan!

Pak Chris, terima kasih untuk membukakan mata saya. Dan terima kasih atas pujian yang indah, yang bahkan di DVD-nya tidak ada, namun masih saya ingat betapa waktu itu memang frekuensinya berbeda – ada Elemen Surga yang saya rasa. Terima kasih GBI Rock Ambon yang membawa saya lebih dekat dengan Tuhan. Saya menghargai Anda berkhotbah dengan kata-kata runut, puitis, tanpa sepatah katapun dalam bahasa asing. Anda telah membuktikan, tidak perlu bahasa asing untuk menyembah Tuhan – selama semangat Daud ada dalam pelayanan kita.

Saya akan berusaha mencapai standar yang Anda buat, dengan apa yang saya bisa: merangkai kata menjadi untaian inspirasi, menjangkau hati melalui jembatan sastrawi.

Terima kasih!

-Harry Nazarudin-