Sunday, February 22, 2015

Perempuan Siro-fenisia: Anjing dan Inlander Dilarang Masuk!

Photo from noe847.blogspot.com


"Lalu Yesus berkata kepadanya: ‘Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.’ Tetapi perempuan itu menjawab: ‘Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.’”

Markus 7:27-28

Diinspirasi dari khotbah Romo Ferdinand di Petrotec Air Power, 13 Februari 2015

Romo Fey memang selalu membawa pemahaman baru ketika memberikan khotbah. Walaupun gayanya nyeleneh, tapi perenungannya mendalam dan bisa memberikan pemahaman baru mengenai suatu topik. Kali ini – entah disengaja atau kebetulan – yang menjadi topik salah satunya adalah perempuan Siro-fenisia.

Kisah mengenai perempuan Siro-fenisia ini memang buat saya sudah lama menjadi suatu misteri. Kisah ini ditulis dalam dua Injil, Markus 7:24-30 dan Matius 15:21-28, walaupun Matius menyebut ‘Kanaan’ sementara Markus lebih detail, menyebut ‘Siro-fenisia’.

Fenisia atau bahasa Inggrisnya Phoenicia adalah bangsa yang maju pada jaman Tuhan Yesus. Mereka terkenal karena ekpor pewarna kerang Murex, yang berwarna ungu, dan digunakan untuk memberi warna jubah para bangsawan (Mat 27:28). Mereka dekat dengan Yunani, berbahasa Yunani, dan sistem politiknya pun mirip dengan Yunani, pemerintahan kota seperti Sparta dan Athena. Kota Tirus, yang disinggahi Tuhan Yesus, adalah batas Selatan wilayah Fenisia. Kata ‘Siro-‘ mengacu pada orang Fenisia yang berasal dari propinsi romawi Siria.

Pastor Fey mengingatkan kita, betapa orang Siro-fenisia itu lebih ‘keren’ dari orang Yahudi. Abjad fenisia adalah dasar semua abjad di dunia, mereka sangat dekat dengan mitologi dan filosofi Yunani, budaya mereka tinggi, bahkan penampilan mereka keren bak pahatan dewa-dewi di kuil Olympus. Sementara waktu itu, bangsa Yahudi hanyalah bangsa mantan budak Mesir yang baru digilas penjajahan Romawi. Bait Allah-nya yang megah kini tinggal reruntuhan saja, kekayaannya dirampok berkali-kali. Boro-boro filsafat, untuk hidup saja susah!

Bayangkan, kata Pastor Fey, kalau ada orang bule yang duduk semeja dengan kita. Wuih, keren bukan? Kita akan menghormati dia lebih daripada Pastor Fey sendiri bukan? Persis! Saya baru saja dapat pengalaman yang mirip. Tiga minggu lalu, saya mengunjungi pelanggan untuk menjelaskan sesuatu. Sepatah kata pun mereka tidak percaya! Nyaris saya dilempar keluar dan semua laporan saya diragukan. Kemudian, beberapa hari lalu saya membawa principal, seorang asal Barat, bertemu pelanggan yang sama, yang menjelaskan hal yang persis sama. Apa yang terjadi? Sang pelanggan manggut-manggut, seluruh timnya mantuk-mantuk bak perkutut terpekur, semua setuju sepakat sependapat. Hayyah! Begitulah memang budaya kita. 

Lalu, apabila tiba-tiba ada seorang Indonesia yang berkata pada seorang bule: “Maaf mister, roti untuk anak-anak dulu ya, tidak layak kalau saya berikan pada anjing”. Hmmm. Orang bule – penjajah kita dulu – pernah sih berslogan ‘anjing dan inlander dilarang masuk’. Kalau dia yang jadi anjing, apa pernah? Rasanya tidak pernah.

Lalu, kenapa pula Tuhan Yesus mendadak rasis?

Rupanya, Tuhan Yesus tidak rasis. Toh, akhirnya Ia menngusir setan yang mengganggu anak perempuan itu. Tapi, ada pelajaran penting yang Ia berikan pada hari itu.

Pertama, Ia sedang menguji iman wanita ini, sama seperti ia menguji iman orang yang memohon sesuatu padaNya (prajurit Romawi, orang yang buta sejak lahir, dan lain-lain). Seorang wanita, beragama Kanaan, bukan Yahudi. Dari bangsa yang lebih makmur, gaya yang lebih keren, dan mendadak memohon pertolongan pada Tuhan Yesus dan rombongannya yang kumal tapi sombong. Justru bukan Tuhan Yesus, tapi para murid-Nyalah yang rasis! Nyaris mereka mengusir perempuan ini, karena menganggap ini toh orang asing.

Kemudian, dengan perkataan roti tadi, Tuhan Yesus menguji ego wanita ini. Apakah ia akan berteriak balik: “Heh, dasar Yahudi, miskin aja sombong!”… Atau dia akan bilang: “Cih, perfeilen jij, kok rasis bilang2 anjing segala!”. Tidak! Bahkan ia merendahkan diri lagi dan ia sendiri yang menyamakan dirinya sendiri seperti anjing yang menanti remah. Bahkan untuk remah pun ia rela! Dan bukan Tuhan Yesus yang menyebut dia anjing, dia sendiri yang rela disamakan dengan anjing. Ini bukti totalitasnya dalam sebuah permohonan, bukti kesungguhannya meminta pertolongan. Ketika lulus ujian, maka Tuhan Yesus pun mengabulkan permohonannya. 

Pesan kedua adalah: bahwa berkat Tuhan adalah untuk semua bangsa yang percaya. Istilah roti dan remah roti hanyalah untuk menguji iman perempuan ini. Justru jika Anda orang asing, bukan Yahudi, jangan takut! Bukankah interaksi Tuhan Yesus dengan orang asing justru sering membuat Ia kagum atas iman mereka? Dari perempuan ini sampai prajurit Romawi, selalu dipuji Tuhan Yesus karena iman yang lebih tulus dari bangsa Yahudi sendiri. Sampai Tuhan Yesus mengeluh dalam Matius 23:37, betapa Ia rindu bangsa Israel punya iman seperti kita!

Belajarlah dari perempuan Siro-fenisia. Totalitas dalam permohonan, dan jangan rendah diri karena kita bukan orang Yahudi. Karena berkat itu adalah untuk semua bangsa!

Salam,

Harnaz