“Supaya kami tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia”
FIlipi 2:15
“Ada yang mau jadi ketua disini?”
Senyap.
Sebuah pemandangan yang sudah biasa bukan? Gabungan antara ajaran
Kristen yang dipahami salah kaprah, dengan budaya Timur yang dulu bikin kita
terjajah. “Masak di gereja mau berambisi?” begitu kata beberapa orang. “Jangan
saya, saya belum siap, masih berlumuran dosa…” kata yang lain. Padahal, nggak
ada yang bilang bahwa untuk melayani di gereja harus suci dulu bukan? Tapi,
itulah kenyataan yang ada, yang mengakibatkan terjadinya “brain drain” hebat di
gereja. Bagaimana seseorang yang sigap bersemangat di tempat kerja, berubah
jadi pasif melongo di gereja, dengan dalih diatas tadi. Lalu, harus bagaimana?
Saya pernah punya pengalaman yang tak terlupakan. Ketika
dalam sebuah persekutuan kecil yang tidak penting, nggak ada juga nggak
apa-apa, terjadi dialog seperti diatas. Kalau tidak ada yang mau, ya bubar
jalan. Nggak apa-apa kok, kan masih banyak persekutuan lain! Semua
menjembrengkan alasan dirinya tidak bisa menjadi pemimpin, atau lebih tepatnya
pelayan, dalam kegiatan ini.
Saya ada disitu, dan saya terpikir oleh sesuatu. Saya seolah
melihat Tuhan Yesus, duduk di sudut ruangan, mengamati kami. Dan saya
membayangkan, bagaimana perasaan saya, jika saya menjadi Dia? “Baru kemarin, Aku
menolong si Joko yang duduk disitu, supaya tidak jatuh ketika motornya oleng”
kataNya. “Si Polan, yang di sebelah Joko, sudah bertahun-tahun Aku selamatkan
dari resiko bangkrut” sambungNya lagi. “Ratna? Baru saja bulan lalu Aku beri
mukjijat supaya dia punya cukup uang untuk memperpanjang kontrak rumahnya”
kataNya lagi. Dan ketika ditanya: siapa yang mau maju melayani Aku disini?
Semuanya membisu… Joko, Polan, Ratna, semuanya merasa sibuk…
Untung, saya bukan Tuhan Yesus. Kalau iya, maka langsung ada
petir menyambar dan menghanguskan semua orang di ruangan itu! Kenyatannya,
Tuhan Yesus begitu mengasihi kita, sehingga Ia tidak marah. Dan tentu saja Ia
tidak membalas, meskipun Ia berhak. Tapi saya yakin, jika ada satu orang yang
angkat tangan: “Ya, saya mau!” – maka Tuhan Yesus pasti senang. Ia pasti
bangga, akhirnya ada juga yang mau membela! Memang, Ia tidak perlu dibela. Tapi
kalau ada yang belain, ya boleh toh tersenyum sejenak?
Pada dasarkan, punya ambisi yang mulia dalam pelayanan
adalah sederhana: mau membuat Tuhan Yesus tersenyum. Sama seperti senyum kita
ketika anak kita yang baru saja memecahkan gelas mahal, tiba-tiba menyodorkan
kertas bergambar buruk bertuliskan “I am sorry Daddy”. Bukankah sang daddy
kemudian akan memeluk anaknya, dan membelikan apa yang membuatnya bahagia –
meskipun besoknya giliran piring yang ia pecahkan? Yuk, kita bikin senang hati
Tuhan!
Serpong, 23 Februari 2022