“Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu, sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu”
Yohanes 13:14 - 15
Bagi umat Katolik, pada Misa Kamis Putih sebelum Paskah, Pastor biasanya melakukan ritual membasuh kaki jemaatnya. Hal ini dilakukan untuk memperingati tindakan Tuhan Yesus saat sebelum mengadakan perjamuan terakhir, dimana tertulis dalam Yohanes 13, bahwa Ia membasuh kaki para muridNya. Biasanya, dua atau tiga orang dipilih dari jemaat, untuk kemudian disiapkan duduk di tengah koridor. Lalu, sebelum pembagian Komuni, sang Pastor akan melepaskan jubah kepastorannya, mengenakan kain putih, lalu membasuh kaki jemaat yang dipilih tersebut.
Namun, pada suatu hari, ada seorang Pastor yang merasa gundah dengan ritual tersebut. Ia merasa, bahwa tatacara pelaksanaan ritual tersebut sudah tidak sesuai dengan makna dari pembasuhan kaki itu sendiri. Oleh karena itu, sebelum Misa Kamis Putih, ia berkata pada para sukarelawan gereja yang biasanya mengatur jemaat mana yang akan dibasuh kakinya, untuk tidak memilih siapapun tahun itu, bahkan tidak perlu menyiapkan baki dan kain. “Lalu bagaimana Pastor, apakah Pastor akan memilih seseorang langsung dari mimbar? Nanti terlihat tidak rapi lho Pastor, apalagi kalau baki dan lapnya tidak siap. Jangan-jangan umat akan merasa persiapan kita kurang matang…” kata Ibu Agnes yang menjadi sukarelawan dengan kuatir. Sang Pastor hanya menjawab dengan tersenyum.
Kemudian, Liturgi Misa pun berjalan seperti biasa. Namun, tidak ada kursi khusus di tengah koridor, tidak ada baki dan kain, walaupun ritual pencucian kaki jemaat masih ada di liturgi. Ibu Agnes, dan beberapa sukarelawan lain, nampak makin gelisah ketika liturgi makin mendekat ke upacara pembasuhan kaki. Bagaimana ini? Sama sekali tidak ada persiapan, pikir mereka. Namun, suara sang Pastor yang tetap tegas dan tenang, menunjukkan bahwa ia sudah punya rencana. Apakah Pastor akan meniadakan ritual ini? Apakah ia merasa ritual ini sudah tidak cocok dengan kehidupan jaman sekarang? Atau, jangan-jangan Sang Pastor merasa terlalu merendahkan diri, jika ia membasuh kaki jemaatnya? Mungkin Pastor merasa, tidak semestinya seorang Pastor yang adalah gembala jemaat, justru membungkuk-bungkuk berlutut di bawah kaki jemaatnya?
Kemudian, tibalah saat ritual pembasuhan kaki jemaat. Ibu Agnes makin panik, sudah mau pingsan rasanya. Suasana sunyi senyap, musik pun berhenti, menunggu apa yang akan dilakukan oleh Pastor. Namun, Sang Pastor tetap tenang. Ia menanggalkan jubah luarnya, lalu ia melepaskan jubah putihnya, sehingga Sang Pastor hanya berkemeja biasa. Ia lalu mengambil nampan perak yang ada di Altar, yang biasanya digunakan untuk meletakkan kain hosti. Sang Pastor berkata dengan tenang “Para jemaat, mohon menunggu sebentar ya”. Iapun turun dari mimbar, dan melenggang keluar melalui pintu gereja, dengan membawa nampan perak di tangan kiri dan jubah putihnya di tangan kanan. Para jemaat mulai gelisah, Bu Agnes merasakan napasnya semakin sesak. Ruang gereja dipenuhi bisik-bisik yang menimbulkan bunyi seperti menggumam, menggema di relung-relung atap gereja yang tinggi dan megah itu.
Tak lama kemudian, Sang Pastor kembali masuk. Ia tidak sendiri. Ia menggandeng tangan seseorang yang nampak akrab di mata semua jemaat. Siapa dia? Ya, dia adalah Pak Saleh, pengemis yang setiap minggu mangkal di pagar gereja. Ia sudah tua renta, mungkin 70-an tahun umurnya, konon sudah tidak punya keluarga dan tidak punya rumah lagi. Pakaiannya kumal, badannya hitam legam karena tidak pernah mandi. Rambutnya yang putih dibiarkan acak-acakan, kulitnya wajahnya yang keriput nampak membuat penampilannya semakin menyedihkan. Ada apa gerangan, mengapa Pak Saleh kok dibawa masuk gereja?
“Ayo, duduk Pak. Duduk, nggak apa-apa” kata Sang Pastor sambil tersenyum. Pak Saleh nampak grogi, tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba bisa masuk ke gereja yang megah ini. Apalagi, dipersilakan duduk oleh Pastor yang menyediakan sebuah kursis persis di depan Altar, di depan bapak-bapak dan ibu-ibu yang ganteng, cantik, dan wangi. Pak Saleh merasa rikuh, merasa ia begitu kotor, begitu hina, sebenarnya tidak layak untuk masuk apalagi duduk di depan seperti ini. “Anu, Pastor, saya….” kata Pak Saleh, namun senyum Sang Pastor, yang nampak ramah dengan kemeja coklatnya, meluluhkan hatinya. Iapun duduk.
Sang Pastor meminta seorang diaken untuk mengisi baki perak tersebut dengan air. Ia meletakkannya di samping kaki Pak Saleh. Pak Saleh menggunakan sebuah sepatu kulit tua yang sudah kumal, bolong di sana-sini, dan sudah terbuka sol bagian depannya. Tanpa kaus kaki, karena ia sudah tidak mampu membelinya. “Mohon ijin ya Pak Saleh…” kata Pastor lembut, diikuti oleh anggukan Pak Saleh. Pastor lalu membuka sepatu Pak Saleh, menampilkan telapak kakinya yang kotor, kapalan, bahkan ada luka borok di tumitnya. Langsung tercium bau busuk, sampai-sampai beberapa jemaat yang duduk di depan mulai menutup hidung. “Waduh, Pak Saleh jarang mandi ya Pak…” kata Pastor, disambut senyum Pak Saleh dan tawa jemaat, seolah-olah mencairkan suasana yang sedari tadi sunyi senyap.
Dengan telaten, Pastor mulai menggunakan nampak perak sebagai tempat air, menggunakan jubah putihnya sebagai kain, dan membasuh kaki Pak Saleh. Dicelupkannya kaki yang borokan itu ke dalam nampak perak tersebut, lalu disekanya pelan-pelan dengan kain jubahnya. Sela-sela jari kaki yang berdaki membuat kain yang tadinya putih langsung ternoda hitam. Lalu, diaken sudah menyiapkan sabun Lux, yang digunakan Pastor untuk menyabuni kaki Pak Saleh. Ujung-ujung kukunya, yang menebarkan bau busuk yang amat sangat, dibersihkannya satu-persatu dengan ujung kain jubahnya, sampai bersih. Dengan sabun, ia membersihkan telapak kaki serta tumit yang berborok itu. Digosoknya kaki Pak Saleh perlahan-lahan, sampai kulitnya menjadi bersih. Sampai terlihat bedanya antara telapak kaki dengan betisnya, yang masih hitam legam.
Setelah selesai, diaken membantu Pastor mengambil jubah dan nampan tadi, sekaligus mengambilkan sepasang sendal jepit untuk Pak Saleh. “Pak Saleh, sudah makan belum?” kata Pastor. “Belum Pastor, nggak ada uang…” jawabnya lirih. “Pak Koster baru saja masak sayur asem dan tempe goreng di pastoran. Pak Saleh mandi saja di pastoran, lalu makan dulu ya? Ditemani sama Pak Koster. Hari ini kan bukan hari Minggu, anggap saja Pak Saleh cuti dulu sehari…” kata Pastor setengah becanda, disambut lagi oleh tawa riuh para jemaat. Lalu, Pastor berjalan lagi keluar gereja melalui pintu samping, mengantar Pak Saleh menemui Koster. Kemudian, dengan tenang, seolah-olah tidak terjadi sesuatu yang aneh, Sang Pastor mencuci tangannya, kembali lagi ke Altar, mengenakan jubah putih yang baru, lalu mengenakan jubah ungunya kembali. Ketika Pastor sedang mengenakan jubah, seorang jemaat mulai bertepuk tangan, yang kemudian disambut dengan jemaat lainnya, dan terus-menerus sampai seluruh ruang gereja riuh rendah. Beberapa jemaat dengan spontan berdiri, seperti memberikan standing ovation untuk sebuah pertunjukan opera kelas dunia.
“Bapak Ibu sekalian” kata Pastor, sambil mengangkat tangan untuk meredakan tepukan tangan para jemaat.
“Mengapa saya melalukan hal ini hari ini? Saya merasa, bahwa ritual pembasuhan kaki yang biasa kita lakukan sudah keluar dari makna aslinya. Ritual pembasukan kaki kita begitu bersih, begitu agung, begitu rapi direncanakan, sampai-sampai para jemaat sudah siap-siap dari rumah pakai kaus kaki paling bagus, kalau perlu kakinya disemprot minyak wangi, siapa tahu dipilih oleh Ibu Agnes!” katanya, disambut tawa jemaat.
“Tapi, pada waktu Tuhan Yesus membasuh kaki para muridNya, suasananya sama sekali bukan seperti itu. Baru beberapa minggu sebelumnya, berturut-turut terjadi peristiwa yang menyenangkan hati para pengikut Yesus. Ia diurapi di Betania. Kemudian, Lazarus dibangkitkan oleh Tuhan Yesus, menandakan kuasaNya yang luar biasa. Lalu, Tuhan Yesus disambut bak seorang Raja ketika Ia masuk ke Yerusalem. Semua pengikut Tuhan Yesus merasa bahwa mereka diatas angin, inilah saatnya Tuhan Yesus akan menang, dan semua musuhnya akan dibinasakanNya”
“Jadi, ketika Tuhan Yesus ingin membasuh kaki para muridNya, tidak seorangpun mengerti maksudnya. Ada yang bilang, ‘Jangan sekali-kali Tuhan membasuh kakiku!’, ada juga yang bilang ‘Jangan kakiku saja Tuhan, sekalian wajah dan badanku!’. Padahal, dengan tindakanNya ini, Ia ingin memberikan sebuah teladan, sebuah revolusi dalam dunia rohani manusia. Ia menyatakan dengan lantang, bahwa seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya, dan setiap orang Kristen dituntut untuk melayani sesamanya. Mulai sekarang, Tuhan bukanlah Dewa yang haus darah, atau Dewi yang menuntut disembah, tetapi Tuhan adalah Kasih yang melayani, yang menuntut umatNya untuk melayaniNya dengan melayani sesamanya. Ubi caritas, et amor, Deus ibi est! There is charity, selfless love, God is truly there! Jadi, wujud Tuhan adalah kasih, yang menjadi kesaksian bagi orang lain.”
“Sejak itulah lahir kekristenan yang melayani. Dari sanalah hadir jutaan jiwa manusia yang diselamatkan karena sekolah-sekolah Katolik, hati-hati yang tersentuh oleh kesembuhan dari rumah sakit-rumah sakit Katolik, tubuh-tubuh yang disegarkan oleh bantuan bencana dari yayasan sosial Katolik. Dari sanalah lahir Ibu Theresa, Romo Mangunwijaya, Paus Yohanes Paulus II, dan masih banyak lagi orang suci lainnya, yang menjadi teladan melalui kasih mereka terhadap sesama sebagai pelayan, bukan sebagai jenderal perang yang menghabisi musuh. Itulah esensi dari peristiwa pembasuhan kaki ini. Amin, dan selamat Paskah!”
Hangzhou, 03.04.2010
1 comment:
ya,itulah realita.dimana kenyataan hidup yg mesti dijalani,seandainya saja seluruh umat manusia mau (krn saya yakin smua pasti bisa)saling berbagi,dalam segala hal.perhatian dan saling membantu.dimana kenyataan hidup ini terkadang terasa tak adil bagi sebagian orang yg tertimpa masalah atau musibah.mmg benar sebagian orang tak percaya bila org lain itu butuh uluran tangan.
Post a Comment