“Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu”
Markus 11:24
Pernahkah Anda cek in di bandara tanpa tiket alias go show? Sambil santai, Anda menatap pramugari yang ketak ketik di komputer dan mencari apakah masih ada seat untuk Anda. Jawabannya, ada! Murah lagi harganya. Bagaimana perasaan Anda?
Saking gembiranya, pengalaman ini akan Anda ingat terus bukan? Selalu diceritakan kembali sebagai ‘hari keberuntungan’ Anda. Bahkan ratusan kali Anda naik pesawat, booking dulu, dan kembali dengan selamat, tanpa masalah, bisa terlupakan oleh satu insiden keberuntungan, dimana Anda tidak bersiap, tidak memiliki kepastian, tetapi memperoleh keberuntungan. Anda akan ingat yang satu itu, dan lupa akan ratusan yang lainnya.
Dunia modern – apalagi untuk saya yang sangat rasional – tidak suka akan ketidakpastian. Kita malas untuk masuk ke restoran yang terlihat penuh tanpa reservasi dahulu. Kita ogah mengantri tiket film di bioskop yang antriannya mengular, takut tidak kebagian. Jika ingin bertemu dengan seseorang, kita pastikan dulu rute lokasinya dengan GPS, WA orangnya untuk memberikan lokasi persisnya, dan foto selfie ketika sudah ketemu sebagai bukti. Semuanya serba pasti!
Semakin maju suatu negara, semakin tinggi kepastian dalam hidup warganya. Sayangnya, kepastian ini justru berbanding lurus dengan egoisme. Semakin canggih teknologi, semakin malas pengguna teknologinya. Nggak mau susah, yang penting pasti dan mudah walaupun harus bayar mahal sedikit.
Celakanya, ada fenomena yang mengkhawatirkan di kalangan generasi teknologi semacam ini. Jumlah pernikahan menurun. Buat apa menikah, repot kan mengurus ke kantor KUA? Tinggal bareng saja sudah cukup. Punya anak? Haduh, repot! Mengurusi pipis dan eek-nya, tidak bisa tidur nyenyak, apalagi dugem seragem. Mari kita jadi muda selamanya, tetap cantik dan ganteng sampai tua!
Padahal, dalam paragraf pertama diatas, secara intuitif kita memahami mengapa ketidakpastian itu penting. Mengapa secara kultural, masyarakat maritim kebih religius dari masyarakat agraris? Karena dunia maritim – menjadi nelayan – penuh ketidakpastian, badai, resiko tenggelam, hilang di laut, dan sebagainya. Bahkan Bob Sadino, seorang mantan kuli bangunan yang jadi pengusaha sukses, ketika ditanya kapan beliau merasa paling sukses, jawabannya mencengangkan: bahwa sukses itu adalah ketika masih jadi kuli bangunan dan bisa makan warteg sampai kenyang. Sisanya hanya biasa saja, katanya!
Jika Anda seperti saya – maunya yang pasti-pasti saja – maka Anda perlu sedikit bermain dengan ketidakpastian. Mengapa? Karena disitulah Tuhan bekerja! Jika kita mematenkan hidup kita dalam genggaman sendiri, maka tangan Tuhan tidak akan kentara. Tetapi ketika ketidakpastian ada di depan kita : sebuah pernikahan yang belum pasti mulus, sebuah bisnis baru yang belum tentu berhasil, seorang anak yang belum tentu sukses – maka kehadiran Tuhan akan semakin kita rasakan. Apalagi ketika pertolonganNya yang indah kita alami sendiri : jika satu tempat parkir kosong di sebuah mall di Sabtu sore saja bisa Ia jadikan, apalagi pernikahan, anak, bisnis, dan yang lainnya?
Percayalah, maka hal itu akan diberikan kepadamu. Berilah kesempatan pada dirimu untuk percaya!
Jakarta – Jambi, 30 Desember 2014
No comments:
Post a Comment