‘Maka kata Pilatus kepadaNya: “Tidakkah Engkau mau bicara dengan aku? Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?” Yesus menjawab: “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. Sebab itu: dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya”’
Yohanes 19:10-11
Dalam suasana Paskah seperti sekarang ini, kita diingatkan kembali oleh sebuah film controversial yang disutradarai oleh Mel Gibson dan dibintangi oleh James Carviziel, berjudul “The Passion of Christ”. Film ini controversial sekaligus indah karena menyajikan gambaran visual dalam bentuk film mengenai peristiwa Paskah, mulai dari penangkapan Tuhan Yesus, proses pengadilannya baik di hadapan Mahkamah Agama maupun di hadapan Pilatus, kemudian peristiwa penyaliban, sampai Ia bangkit dari kubur di hari ketiga. Film ini controversial baik karena sudut pandang yang diambilnya maupun dari sinematografinya, yang menunjukkan banyak sekali kekerasan, darah, dan kekejaman. Film ini seolah mengingatkan kita kembali mengenai apa yang disebut ‘penyaliban’ itu sebenarnya: bukan sesuatu yang agung, megah, apalagi cantik, melainkan sebuah proses yang keji, penuh darah, dan mengerikan.
Namun, menarik merenungkan komentar rekan yang bukan beragama Kristen setelah menonton film ini. Beliau bertanya dengan polos: mengapa Tuhan-nya umat Kristen begitu lemah? Bayangkan, sesosok Tuhan bagi sebuah agama biasanya melambangkan kekuatan, keperkasaan, dan kemenangan. Tapi, kisah Tuhan Yesus dalam penyalibanNya justru sebaliknya: Tuhan umat Kristen ditunjukkan selalu dalam keadaan terpojok, terdesak, disiksa, dan tak berdaya. Bahkan, Tuhan Yesus digambarkan hanya diam saja. Ia tidak membalas tuduhan Imam Besar dengan retorika dan pidato berapi-api, tidak menguliahi Pilatus dengan khotbah yang jenius, dan tidak berusaha berpidato di hadapan rakyat banyak supaya mereka berbalik mengeroyok Imam Kelapa dan Ahli Taurat. Apakah Tuhan Yesus tidak bisa melakukan hal itu? Pasti bisa! Ia pernah mengucapkan Sabda Bahagia pada khotbah di sebuah bukit yang berhasil mencengangkan ribuan orang. Ia pernah membuat Ahli Taurat kehilangan kata-kata ketika Ia menyembuhkan seorang sakit pada hari Sabat. Ia pernah menyembuhkan anak seorang prajurit Romawi. Ia bahkan pernah membalikkan meja-meja dagang di Bait Allah. Ia bisa dengan mudah menjawab tuduhan dan fitnahan terhadapNya dengan khotbahNya yang jenius. Walaupun Ia tidak menurunkan malaikat untuk menolongNya, bisa saja Ia melawan, berdebat, atau berperang dengan musuh-musuhNya. Toh, Ia tidak melakukannya. Ia hanya diam. Menghadapi fitnah keji, cacian, ludahan, pukulan, hinaan, dan cambukan. Ia hanya diam, dan diam.
Kadangkala kita merasa Tuhan berlaku seperti itu dalam kehidupan kita. Ia diam seribu basa. Ia tahu persis kita sedang dalam keadaan terpuruk. Ia mengerti benar kita sedang berusaha merangkak keluar dari kubangan permasalah kita. Ia bisa melihat dengan jelas, betapa dengan membuka satu pintu itu, Ia bisa menolong kita. Menyelamatkan kita dari masalah, memberikan kita kebebasan dan kelegaan. Ia bisa mengangkat kita, memberikan kita kesuksesan dan keberhasilan sehingga kita bisa bahagia. Kita bisa gembira, keluar dari belitan masalah yang bertubi-tubi. Namun, Ia tidak melakukan itu. Ia hanya terdiam, diam seribu basa. Kemudian kita menangis di sudut ruangan, sambil bertanya: Tuhan, mengapa Engkau membisu? Mengapa Engkau diam, tidak menjawab semua pertanyaan dan tuduhan yang diberikan kepadaMu?
Tanpa sadar, kita sudah menjadi Pilatus dalam perikop diatas. Menjadi Pilatus, yang bertanya kepada Tuhan Yesus: mengapa Engkau diam? Dalam merenungkan kisah Paskah, kita semua tahu, mengapa Tuhan Yesus terdiam. Ia terdiam karena Ia tahu apa yang akan terjadi. Ia Maha Tahu, bahkan di Taman Getsemani ia sudah bisa melihat apa yang akan terjadi, apa yang harus dilaluiNya untuk menjadi Juruselamat manusia. Pandangannya jauh ke depan: manusia di sekitarnya hanya bisa melihat 30%, sementara Ia memiliki pandangan 100%. Ia tahu, bahwa Ia harus disalibkan, mati dan dikuburkan, dan bangkit pada hari ketiga. Ia tahu, bahwa hanya dengan cara inilah Iblis bisa dikalahkan, dosa bisa dipulihkan, dan manusia bisa diselamatkan. Ia tahu, inilah satu-satunya jalan keselamatan manusia, dan Ia memiliki kasih yang luar biasa sehingga Ia rela mati untuk menyelamatkan umat manusia. Betapa berat perjalanannya – bayangkan, di Taman Getsemani Ia sudah bisa melihat betapa Ia akan disiksa, dicambuk, dipaku, dibunuh! Itulah sebabnya Ia menangis sampai berdarah. Namun, kita semua paham, bahwa kematian dan kebangkitanNya kemudian menjadi titik awal keselamatan manusia. KebangkitanNya membawa sebuah kehidupan baru, dimana dosa dikalahkan dan maut dibekuk.
Mengapa Ia diam? Karena Ia lebih tahu. Ia lebih paham. Ia diam, karena Ia sedang mempersiapkan sesuatu. Tidak ada gunanya berbicara, sehingga Ia diam. Tetapi Ia bekerja: menekan perasaanNya, membiarkan nubuatan terjadi. Ia bertekun, dan kemudian menang dengan gemilang. Hidup kita, adalah pada titik manusia-manusia di sekitar Tuhan Yesus sebelum Ia disalib. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Dan kita melihat Ia diam, diam seribu basa. Menghadapi fitnah, menghadapi cambukan, menghadapi cacian. Kita menghadapi masalah, kita menunggu cinta, kita terbelenggu hutang, kita diberondong sakit penyakit. Tetapi Ia diam.
Namun, diamNya bukan berarti Ia menyerah. DiamNya adalah diam yang dalam, dimana Ia sedang bekerja, menyiapkan sebuah rencana kehidupan yang indah bagi kita. Mungkin sulit kita memahami apa yang kita alami saat ini, karena kita hanya memiliki 30% informasi mengenai situasi kita. Namun percayalah, bahwa Ia mengenal kita dan situasi kita 100%. Ia bisa melihat jauh ke depan, memilih apa yang terbaik bagi kita, dan menyiapkan segala sesuatunya untuk kebaikan kita, karena kasihNya. Lalu, apakah yang kita bisa lakukan dalam penantian yang seolah tiada akhir ini?
Apa yang bisa kita kerjakan selain menangis dan meratap? Lakukanlah seperti apa yang Tuhan Yesus lakukan di Taman Getsemani. Berdoalah, untuk orang-orang terdekat, untuk masalah kita. Berdoalah, agar kita diberi kekuatan, supaya cawanNya, yang harus kita minum, segera berlalu. Supaya kita kuat dan sabar menghadapi penantian ini. Supaya kita diberi kekuatan untuk bertekun dan menunggu, tidak kehilangan akal atau iman kita. Supaya kita menyaksikan Tuhan Yesus yang diam dengan hati teguh, bahwa rencanaNya-lah yang terbaik untuk kita. Niscaya Allah akan mengirimkan malaikatNya untuk menghibur kita, dan kita akan dikuatkanNya.
Amin.
Tomang, 4 April 2011
1 comment:
Dalam persekutuan di kantor saya, setelah saya membagikan renungan ini, ada sebuah tanggapan yang menarik. Salah seorang peserta berkata bahwa, mungkin jika Tuhan tidak memberi jawaban, maka jawabannya adalah 'TIDAK'. Misalnya, jika kita mendoakan kesembuhan bagi orang yang sakit, lalu yang bersangkutan tetap sakit, kemungkinan memang itu sudah menjadi kehendak Tuhan.
Namun, ada situasi dimana kita memang harus menunggu. Misalnya, dalam menunggu sebuah keputusan yang belum keluar, dalam menanti sebuah jawaban yang belum ada, atau menunggu sesuatu yang belum pasti. Dalam hal ini, fenomena Tuhan yang diam tetap ada dan patut direnungkan. Sikap kita tetap sama, mendoakan agar diberi kekuatan ketika jawaban itu tiba.
Apakah Tuhan berkata 'TIDAK' atau sedang meminta kita untuk menunggu?
Post a Comment