“Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.”
Galatia 5:22-23
Pernahkan Anda terjebak kemacetan ketika Anda sudah terlambat? Kalau Anda tinggal di Jakarta, ibukota macet sedunia, pasti Anda ingat betapa mengerikannya situasi seperti itu. Anda harus tiba di Sudirman pada jam 14.00, sementara sekarang sudah jam 13.30, posisi Anda di Slipi. Di depan Anda berjajar mobil-mobil berdesakan, motor yang melintas nekad, bus yang malang-melintang, metromini dan kopaja yang gagah memotong jalur siapa saja yang menantangnya, serta busway yang berusaha menyeruak di tengah kerumunan lalu lintas Jakarta. Padahal, rapat sore ini sangat penting, Anda bertemu pelanggan dari Jepang yang terkenal sangat tepat waktu, ingin mengadakan pembicaraan finalisasi order yang sangat Anda butuhkan dan sudah Anda rintis sejak 3 bulan yang lalu. Celaka dua belas, bukan?
Suara lagu di radio yang biasanya merdu menjadi jeritan yang menakutkan. Tawa renyah penyiar radio bagaikan tawa kuntilanak yang menertawakan keterlambatan Anda. AC mobil yang sudah disetel maksimum gagal mencegah mengucurnya keringat Anda. Jantung Anda berdetak semakin kencang, ingin rasanya membunuh dan mencincang motor atau pejalan kaki yang memotong jalan di depan Anda. Tidak sedikitpun Anda memberi kesempatan pada orang lain untuk melintas, kalau perlu, tabrak saja! Tekanan darah terasa meningkat, setitik saja kejadian bisa memicu pertengkaran, adu jotos, bahkan saling merusak. Ya – Anda siap membunuh siapa saja yang menghalangi jalan Anda! Semuanya yang sudah lambat bergerak semakin lambat, seolah-olah seperti melalui lorong waktu. Sementara detik waktu melalui kelipan tanda titik dua di jam digital mobil Anda berkelip-kelip tanpa dosa, begitu cepatnya, seolah tidak peduli pada suasana super stress yang Anda alami.
Namun, rute yang sama pernah pula saya alami dengan suasana yang jauh berbeda. Jamnya sama, hanya kali ini saya ada di Slipi jam 2 sore, tetapi janji rapat saya adalah jam 4 sore, pada hari yang sama. Mobil-mobil berdesakan seperti biasa, motor-motor berseliweran tak perduli. Bus damri pun tetap memotong jalan dengan gagahnya. Tetapi mengapa hati saya lebih tenang? Lantunan musik Jazz dari sebuah radio mengalun merdu, bahkan sesekali lelucon penyiar radio membuat saya tertawa terbahak-bahak. Saya sempat mengeluarkan kamera untuk memotret gedung pencakar langit di jalan S. Parman yang nampak cantik diterpa sinar mentari sore, dan tersenyum pada motor yang menyerempet spion saya. Mengapa perjalanan ini menjadi terasa indah, menyenangkan, santai?
Padahal, waktu tempuh dari Slipi ke Sudirman tetap sama. Dari keluar tol Slipi sampai Gedung Mid Plaza, butuh waktu kira-kira 1 jam. Mau saya lalui dengan super stress, marah-marah, atau dengan tersenyum sambil foto-foto, waktu tempuhnya tetap 1 jam, bukan? Tapi, ketika saya punya banyak waktu, jalanan nampak mengalir tenang, sementara pada saat saya terpepet waktu, semuanya terasa seperti slow motion. Heran ya, bisa sedemikian besar bedanya, untuk jarak dan waktu tempuh yang sama?
Teman, jalanan ,macet tadi adalah hidup kita, dan anugerahnya adalah kesabaran. Kita punya hidup yang sudah digariskan olehNya, dari satu titik awal ke satu titik akhir. Jarak tempuhnya tetap sama. Kita punya dua pilihan: melaluinya dengan penuh ketidaksabaran, seperti ketika terlambat tadi, atau melaluinya dengan kesabaran, seperti contoh berikutnya. Waktu tempuhnya tetap sama. Macetnya pun sama. Tetapi, dengan kesabaran, perjalanan menjadi sangat indah, bukan? Segala amarah dan detakan jantung ekstra serta makian pada motor, toh tidak akan mempercepat perjalanan kita barang sedetik pun. Namun, betapa stress yang diakibatkannya sungguh terasa bagi tubuh kita!
Lalu, bagaimana menyiapkan waktu yang cukup dalam kehidupan kita, tanpa terjebak seperti contoh pertama? Jawabannya adalah kesabaran. Kita seringkali tidak sabar pada Tuhan. Kita ingin segalanya terjadi sekarang dan saat ini juga. Kita ingin masalah segera selesai, persoalan segera tuntas, problem secepat mungkin menguap. Padahal, tidak bisa! Sama seperti di jalan raya, setiap masalah kita bersinggungan dengan orang lain, dan ketika kita diuntungkan secara tiba-tiba, maka pasti ada orang lain yang merugi. Sementara, Dia yang memberi keputusan adalah adil. Maka, kita harus bersabar dalam menghadapi hidup. Bersabar menanti keputusanNya pada saat yang tepat, bersabar menunggu hasilNya yang sempurna. Toh, segala usaha kita untuk marah dan memaki, sama seperti derasnya kucuran keringat dan peningkatan detak jantung pada suasana macet tadi: hanya sia-sia, tidak bisa sedetikpun mempercepat perjalanan kita.
Jadi, tidak heran bahwa kesabaran adalah salah satu buah roh yang diharapkan ada pada orang beriman. Bersabar pada kehidupan, bersabar pada Tuhan, memberikan ruang kepadaNya agar bisa menyiapkan segala sesuatunya dengan sempurna. Niscaya, perjalanan hidup Anda akan terasa indah, semuanya bergerak secara sinkron, bahkan ada waktu untuk foto-foto sebagai kenang-kenangan. Berilah ruang padaNya untuk bekerja, dan bersabarlah!
Kedoya, 7 September 2011
No comments:
Post a Comment