“I have been crucified with Christ and I no longer live, but Christ lives in me. The life I now live in the body, I live by faith in the Son of God, who loved me and gave himself for me.”
Galatia 2:19-21
Saya tertegun ketika kemarin menonton serial ‘Cops’ di televisi, yang mengisahkan kerja polisi-polisi di Amerika Serikat sehari-hari. Setelah panggilan 911 dari sebuah rumah, polisi yang langsung ke lokasi mendapati seorang ibu yang berteriak-teriak di depan rumahnya membawa pistol. “I don’t want to live, I want to die!” teriaknya. “I can’t live with this anymore. It’s not my problem. It’s your problem. I want to die. Just with one pull of the trigger, I’m dead, and it’s all over!” teriaknya. Ibu berusia 60 tahun ini rupanya punya pacar seorang pria berusia 50-an tahun, yang memiliki anak pecandu narkoba. Sang ibu kesal dengan perilaku pacarnya yang terus membela anaknya. Ia merasa tidak dihargai. Ia depresi. Itulah sebabnya, ia berdiri di rumahnya dengan pistol yang terarah ke kepalanya sendiri.
Peristiwa berikutnya seperti sebuah drama. Sang ibu tiba-tiba mau masuk ke rumahnya. Kuatir beliau menembak orang lain, polisi kemudian menembaknya dengan peluru karet. Dor! Dor! Letusan senjata menyalak, sang ibu jatuh ke lantai bersimbah darah. Pistolnya terjatuh. Polisi kemudian berlari menghampirinya. “Oh my God, it hurts!” kata sang ibu. Kini ia merintih kesakitan. “It hurts! Why did you shoot me? Why? I didn’t want to shoot anybody! Oh my left eye hurts! Why did you shoot me?” begitu kata si ibu, yang sekarang menunjukkan kemarahan pada polisi. Polisi yang bertugas hanya tersenyum masam.
Itulah manusia. Beberapa menit yang lalu, si ibu berteriak ingin mati. Ia mengarahkan moncong pistol ke kepalanya. Ia sudah yakin, kematian adalah jalan terbaik – walaupun ia sendiri tidak tahu apa itu kematian. Ternyata, baru kena peluru karet saja, ia berubah pikiran! Baru berdarah sedikit saja, baru terasa sakit karena luka saja, ia sudah merintih, kesakitan, mohon ampun, bahkan menyalahkan polisi yang menyelamatkan nyawanya. Bukankah ia tadi ingin mati? Ya – tapi ia tidak tahu bagaimana rasanya mati. Baru luka sedikit saja, wajahnya berubah. Ia ingin hidup sekarang.
Pagi tadi, saya menerima berita mengejutkan. Adik dari sahabat karib saya, seorang atlet sepak bola yang rajin olah raga dan berbadan kekar, mendadak pingsan dan meninggal dunia sesudah main futsal. Umurnya baru 20-an, dan langsung menjadi pukulan kesedihan bagi seluruh keluarganya. Bagaimana bisa terjadi? Ia paling sehat diantara seluruh keluarganya, perutnya six-pack, olahraganya rajin dan bahkan profesinya adalah olahragawan. Bagaimana mungkin, hanya dalam hitungan menit, nyawanya bisa melayang? Hidup dan mati memang misteri.
Tapi, saudaraku, jangan bilang hidup hanya menunggu mati. Karena, hidup itu berarti! Kita cuma hidup sekali, dan kita harus membuatnya berarti, bukan? Ketika kita mati, kita sudah tidak punya kesempatan lagi untuk berubah atau melakukan sesuatu. Yang sudah terjadi tetap terjadi, dan kita akan bersatu penuh denganNya. Namun, untuk kita yang masih hidup, kita masih punya kesempatan di dunia ini. Masih bisa berbuat lebih baik lagi, bisa berkarya lebih banyak lagi, bisa menghasilkan lebih banyak lagi kebahagiaan. Apapun masalahnya, apapun kesulitannya, seberapa berat pun bebannya, saudaraku, selama nafas masih ada, hidup masih kita rengkuh, maka kesempatan masih ada. Masih ada waktu, untuk berkembang menjadi lebih baik, lebih indah, berbuah lebih banyak.
Jadi, jangan sekali-kali memikirkan untuk mengakhiri hidup Anda, seberapapun berat permasalahannya. Lebih baik Anda pindah ke sebuah pulau, bawa uang satu koper, lalu buka lahan dan memulai hidup baru, jauh dari kehidupan Anda yang lama. Ingat si ibu tadi, betapa sombong dia di depan kematian, tetapi ketika bersentuhan dengan rasa sakit saja, ia sudah mengkeret. Barulah makna kehidupan muncul di matanya. Ingat, hidup cuma sekali. Buatlah berarti!
Kedoya 24 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment