“Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu”
Matius 11:28
Jahja Daniel Dharma adalah sosok yang cukup unik. Beliau lahir di Manado, 9 Maret 1911. Akrab dengan laut sejak kecil membawa John Lie menjadi seorang anggota angkatan laut Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang kemudian bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia. Melalui buku biografinya terbitan Yayasan Nabil, kita dapat mengenal kisah pribadi yang teguh imannya dan kuat semangatnya ini secara lebih mendalam.
John Lie memegang peranan penting dalam masa perjuangan: memasok senjata bagi para pejuang di Indonesia. Perlu diingat bahwa pada masa itu Indonesia tidak bisa memproduksi senjata sendiri, sehingga amunisi dan persenjataan gerilyawan harus dipasok dari luar. John Lie, seorang nakhoda yang piawai, kemudian mengoperasikan sebuah kapal kecil yang ia beri nama “The Outlaw”. Dengan keahlian maritimnya, John Lie membawa “The Outlaw” bolak-balik melalui pesisir Timur Pulau Sumatera dari Medan dan Aceh ke Singapura dan Malaka, untuk mengirim senjata. Ia bukan membeli senjata dan menjualnya lagi, melainkan bertugas mengirimkan senjata ke Indonesia.
Tugas ini tidak mudah. Sampai hari ini, Selat Malaka adalah selat perbatasan 3 negara yang paling banyak dipatroli oleh kapal-kapal angkatan laut ketiga negara. Jaman dulu pun begitu: mudah ditebak bahwa senjata gerilyawan RI pasti datang dari Singapura atau Malaka. Kapal-kapal fregat Belanda pun lalu-lalang disana, mencegat dan menghancurkan hampir semua kapal nelayan kecil seperti “The Outlaw” yang mengirim senjata membantu perjuangan Indonesia. Namun, “The Outlaw” tetap bertahan, bukan dengan senjata, tapi dengan iman.
Ya! John Lie adalah seorang Kristen yang sangat taat. Dalam buku dikisahkan betapa kapal kecilnya penuh dengan hiasan tulisan ayat dari Alkitab. Iapun selalu membawa Alkitab dalam perjalanannya, sehingga sempat dijuluki “The Smuggler With A Bible” – Sang Penyelundup dengan Alkitabnya. Sempat kapalnya mogok di tengah laut yang kelam, sementara fregat Belanda dengan sorotan lampunya mengintai sejak lama. Moncong senjata pun pernah terarah pada “The Outlaw”, namun senjatanya bisa macet dan John Lie bisa lolos. Sebuah petualangan yang hebat, penuh patriotisme dan keteguhan iman!
Yang hebat dari perjuangan John Lie adalah, tidak pernah ia meragukan Tuhan dan negaranya. Walaupun dilihat dari kacamata akal sehat, misinya adalah sebuah ‘mission impossible’ – menembus blokade Belanda dengan modal perahu nelayan kecil – tapi tak sekalipun John Lie ragu dalam melaksanakan tugasnya. Bisa saja John lie menyelewengkan uang yang diterimanya untuk membeli senjata, atau menjual senjata itu kepada orang lain. Namun, tidak pernah ia melakukannya. Dua hal jelas menjadi motornya: cintanya kepada Republik dan imannya kepada Tuhan yang tidak pernah goyah. Ketika beliau meninggal dunia tahun 1988, Presiden Soeharto ikut melayat. Dan ketika mendirikan gereja selalu menjadi masalah, pemerintah memberikan ijin bagi John Lie, yang sesuai anjuran pemerintah juga mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma – untuk mendirikan sebuah gereja GPIB. Gereja yang diberi nama GPIB ‘Yahya’ ini masih ada sampai sekarang di wilayah Grogol, berlokasi persis di sebelah sebuah masjid, melambangkan sebuah toleransi yang indah.
Masalahnya adalah, terlalu sedikit orang seperti John Lie. Sebuah autokritik bagi orang Kristen di Indonesia: orang Kristen mudah lantang bicara jika ditanya mengenai iman dan agama, namun lambat bertindak jika melihat kemiskinan atau keterbelakangan. Orang Kristen membangun gereja-gereja megah yang dikelilingi bedeng-bedeng orang miskin yang tidak memiliki rumah yang layak. Berapa banyak orang Kristen yang turut andil dalam pemerintahan, dirasakan jasanya oleh bangsa dan negara, atau terkenal karena kebajikannya? Terlalu sedikit. Kita seolah-olah memisahkan antara ‘agama’ dan ‘negara’ dalam pikiran kita, dimana ‘agama’ adalah urusan saya sementara ‘negara’ adalah urusan ‘mereka’.
Padahal, tidak seharusnya demikian bukan? Tuhan Yesus menjadi kontroversial pada jamanNya dan jaman sekarang bukan karena kecerdasanNya atau mukjijatNya, melainkan karena ketegasanNya dalam membela yang lemah, yang sakit, yang tertindas. Untuk merekalah kekristenan ada, dan dengan semangat yang sama pulalah, kita harus terus berjuang. Jangan berpangku tangan dan merasa cukup dengan gereja yang megah – tapi buatlah jasa dan tindakanmu dikenang oleh seluruh bangsa! Seperti Jahja Daniel Dharma, yang berhasil menjadi seorang Kristen sejati, kebanggaan bangsa dan negara Indonesia.
Tomang, 19 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment