“Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan sorak sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya“
Mazmur 126:5-6
Dalam perikop ini dikisahkan sebuah peristiwa yang mengharukan, seperti dijelaskan oleh seorang pendeta asal Semarang di GKI Nurdin minggu lalu. Judul perikop yang nampaknya optimistis ini adalah ‚pengharapan di tengah-tengah penderitaan’ - dan jika Anda membawa seluruh perikop ini, Anda akan mengerti mengenai maksud yang sesungguhnya dari mazmur ini.
Pengalaman seperti ketika bangsa Israel menderita dikepung oleh bangsa-bangsa di sekelilingnya mungkin sudah sering kita alami. Membaca koran nampaknya semakin hari semakin suram saja dengan berita-berita dan isu-isu yang mengkhawatirkan, seolah-olah kita hidup di rimba belantara, siap menjadi mangsa yang lebih kuat. Sakit penyakit yang sudah lama didoakan dan diobati namun belum juga sembuh. Jodoh yang sudah dicari dengan sekuat tenaga dan sepenuh hati, mengorbankan perasaan hati ketika cinta bersemi di tempat yang tak seharusnya, justru tidak muncul-muncul juga. Yang ada hanyalah kesendirian dan kehampaan, bersama jeritan demi jeritan yang seolah menggema tak terjawab di dinding gua. Pedihnya hati ketika orang yang kita kasihi justru terhanyut oleh pengaruh buruk lingkungannya dan jatuh tanpa daya, sementara kita hanya bisa menjerit pedih menyaksikannya. Lalu, kita jugalah, yang sejak dahulu menentang, yang kini harus memungut keping-keping luka dan berusaha membangun hidup kembali. Tuhan, jika demikian adanya, kekuatan apa yang ada dalam hambaMu, yang tersisa untukMu?
Perikop ini mengajarkan kita satu hal yang penting: optimisme! Dikisahkan waktu itu betapa orang Israel menabur sambil menangis, karena benih gandum yang ditabur adalah jatah makanan yang terpaksa dikorbankan untuk ditanam. Perih perut yang kosong harus ditahan untuk menunggu sampai gandum tumbuh, tanpa bisa menjamin bahwa benih tersebut akan mati atau lenyap dibawa lari burung gagak. Tangan yang menabur tiap hari semakin gentar, gemetar menahan lapar, sementara hati sudah hancur menahan derita. Tapi, ada suatu kehangatan dalam hati, suatu teriakan penuh keyakinan dari nurani, yang terus menggema tanpa henti.
Ya! Sekarang kita menabur dengan menangis, tetapi kita akan menuai dengan sorak-sorai! Kita akan membajak sambil meringis, tapi akan memanen dengan girang! Karena Tuhan sudah menolong kita, dan pasti pertolonganNya akan datang lagi. Ia sudah menunjukkan kasihNya kepada kita selama ini, dan pasti Ia akan beraksi lagi menunjukkan kasihNya kepada kita. Tetaplah menabur, jangan berdiam diri! Tetaplah berusaha, berjalanlah terus. Ia tahu hati kita sedang tersedu, Ia mendengar senggukan napas kita. Tanah menjeritkan kepadaNya jatuhnya tetes air mata kita, dan langit memanggilNya karena gema jeritan tangis kita! Jangan kuatir dan jangan takut, tanganNya yang kuat akan menolong kita. Yang perlu kita jaga, adalah bahwa jangan sampai rasa lapar membujuk kita untuk memakan benih yang kita miliki. Jangan sampai rasa haus memaksa kita berhenti membajak. Tabur terus dengan tangis, wahai kawan - dan kita akan menuai dengan bersuka cita!