Friday, January 28, 2011

Menanti Mukjijat

‘ “You see the people crowding against you, his disciple answered, “and yet you can ask, “Who touched me?” ‘
Mark 5:31

Baru-baru ini saya mendengar sebuah lagu rohani dengan lirik sebagai berikut:
“Tapi satu hal yang Dia minta, tetaplah engkau percaya, mukjijat pasti terjadi”

Dengan spontan, saya nyeletuk: “Kelamaan kali, kalau nunggu mukjijat”. Namun, kemudian saya menyesal sesudah mengucapkannya. Apakah ucapan itu terlalu ekstrem? Ataukah memang merefleksikan perasaan manusia modern, di tengah kemajuan teknologi yang semakin lama semakin kering akan mukjijat?

Rupanya tema mukjijat sedang nge-trend dalam hidup saya. Baru-baru ini juga saya mengadakan diskusi tak terduga di tengah malam, yang membuat mata yang tadinya mengantuk menjadi terbuka lebar. Topiknya sama: tentang mukjijat. Seorang rekan mengajukan pertanyaan yang menggelegar: apakah saya percaya mukjijat? Saya hanya bisa tersenyum, yang langsung disambar dengan berbagai argumen bahwa mukjijat itu ada. Coba dengar, ada sepasang suami istri yang mendoakan bayinya yang lahir tanpa tempurung kepala, dan tiba-tiba setelah beberapa hari tempurung kepalanya tumbuh sendiri. Coba lihat, ada seorang ibu yang tadinya lumpuh, kini bisa berjalan. Coba pikirkan, bagaimana seseorang bisa hidup dengan tanpa ginjal? Tetapi, ya, dia bisa, dan itu adalah sebuah mukjijat!

Lalu, saya menjawab dengan sebuah disposisi: mengapa tidak semua orang mendapatkan mukjijat? Kalau demikian, apa syaratnya seseorang mendapatkan mukjijat?

Rekan yang lain pun menimpali dengan semangat. Jawabannya: iman! Percaya! Doa! Harus berdoa dengan sepenuh hati. Dengan sekuat tenaga, sampai menangis tersedu-sedu. Tapi, harus berserah juga. Artinya, harus rela, apabila mukjijat yang diharapkan tidak terjadi. Harus rela apabila yang sakit tetap sakit, yang lumpuh tetap lumpuh, yang miskin tetap miskin. Percaya bahwa sesuatu akan terjadi tetapi menyerahkan semuanya pada Tuhan.
Sebuah syarat yang kontradiktif secara logika, bukan?

Bagaimana seseorang bisa percaya 100% bahwa mukjijat akan terjadi tetapi juga rela 100% apabila mukjijat tidak terjadi?

Seorang rekan lain mengajukan argumen yang memang sulit dibantah. Dia menuduh saya terlalu kuat logikanya, terlalu pintar otaknya, sehingga sulit percaya mukjijat. Seorang ber-IQ jongkok bisa merasakan mukjijat ketika dapat nilai C walaupun tidak mengerti, sementara saya bisa mendapat nilai A walaupun tanpa belajar. Saya memang setuju. Hidup saya tidak selalu enak, tetapi Tuhan memberkati saya sehingga saya selalu berkecukupan.

Secara logika, saya jarang berada dalam keadaan kepepet, di dalam keadaan tak berdaya, di tengah himpitan hidup. Maka, ketika dalam situasi yang demikian, justru harapan saya tidak terwujud juga, maka kekecewaan yang menelan saya menjadi segunung tingginya. Otak yang sudah sangsi menjadi semakin yakin, bahwa mukjijat tidak ada. Bahkan saya menjadi takut pada mukjijat: takut untuk berharap mendapat mukjijat. Karena, secara logika, resiko gagalnya sangat besar, dan jika gagal justru saya malah jadi mempertanyakan dan mempersalahkan Sang Pemberi Mukjijat. Daripada jadi musuhan karena harapan yang salah, lebih baik tidak berharap saja, bukan?

Masalahnya, jalan keluar masalah saya satu-satunya adalah mukjijat. Lalu bagaimana? Relakah saya membayar lunas di depan dalam bentuk tenaga, energi, waktu, doa, air mata, detak jantung, ratusan batang rokok, untuk berharap, sementara hasilnya tidak dijamin ada? Bahkan sikap benarnya adalah harus rela 100% sekalipun mukjijatnya tidak terjadi?

Untuk menjawab dilema ini, mari kita kembali ke Alkitab. Sebuah kisah mukjijat yang paling sederhana dan mengesankan dalam Alkitab adalah kisah kesembuhan seorang perempuan yang mengalami sakit pendarahan selama 12 tahun. Perempuan ini mendekati Tuhan Yesus dari jarak jauh, ketika puluhan orang sedang berdesakan di sekitarNya. Sang perempuan ini percaya, bahwa jika ia bisa menyentuh jubahNya saja, maka ia akan sembuh. Iapun berdesakan, lalu menyentuh jubah Tuhan Yesus, dan seketika itu pula ia sembuh. Kemudian Tuhan Yesus melontarkan sebuah pertanyaan yang menggelegar: “Siapa yang menyentuh jubahKu?” (Markus 5:30)

Tentu saja Tuhan Yesus tahu persis siapa, dimana, dan apa yang terjadi. Ia tahu persis iman sang perempuan tadi. Seolah menggemakan maksudNya, seorang murid bertanya: “Guru, begitu banyak orang berdesakan disekitarMu, mengapa Engkau bertanya, siapa yang menyentuhKu?”.

Sadarkah kita? Kita seringkali menjadi orang yang berdesakan di sekitar Tuhan Yesus. Orang yang memegang tanganNya, melayaniNya, sibuk mengurus kehadiranNya. Kita bersentuhan denganNya setiap hari: dalam doa sebelum makan dan sebelum tidur, sebelum kerja, di gereja. Kita bahkan sibuk berdesakan di sekelilingnya, rapat, latihan koor, membaca Alkitab, atau melakukan kegiatan gereja lainnya. Apakah mukjijat terjadi pada kita? Apakah ada diantara para murid – yang bisa menyentuh Tuhan Yesus dengan mudah setiap saat – yang mendapatkan mukjijat? Tidak. Hanya seorang perempuan inilah, yang kemudian menjadi sembuh, yang ‘menyentuhNya’. Yang lain secara fisik berdesakan, secara fisik bersentuhan, tetapi hati mereka jauh dari Tuhan. Sementara ibu ini, secara hati sangat dekat dengan Tuhan, sehingga hanya menyentuh jubahNya saja, ia memperoleh kesembuhan.

Jadi, syarat mendapatkan mukjijat sebenarnya sederhana. Namun, menjadi sederhana adalah tantangan terberat bagi saya dan banyak orang lainnya yang hidup di jaman modern ini. Menganalisis syarat logika mukjijat secara empiris dan analitis saja sudah merupakan langkah yang salah. Bahwa mukjijat itu ada, sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, karena di Alkitab banyak sekali tercatat kejadiannya. Tetapi apakah mukjijat itu masih ada? Dan apa syaratnya? Syaratnya sederhana: bahwa saya bisa ‘menyentuh’ Tuhan. Bukan berdoa, berdagang, membayar uang muka, ataupun mencoba memaksaNya menerima ‘terms and conditions’ dari kita. Syaratnya: percaya dan berserah, sama seperti yang dilakukan sang perempuan di dalam kisah ini. Lalu, saya mengerti: bahwa percaya sederhana itulah yang paling sulit saya lakukan!

Maafkan saya atas komentar kemarin ya Tuhan. Ajarilah saya terus untuk percaya, jangan bosan ya. Lama-lama anakMu yang bodoh ini pasti akan bisa juga!

Puri, 28 Januari 2011