Wednesday, December 15, 2010

Cahaya Kelahiran Yesus - Renungan Advent Ketiga

“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.”
“Datanglah seorang yang diutus Allah, namanya Yohanes; ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya”
Yohanes 1:1,6-7


Injil Yohanes, berbeda dengan Injil Matius dan Lukas, tidak menceritakan tentang kelahiran Yesus. Tetapi, Yohanes memulai kisahnya dengan sebuah perumpamaan, sebuah alegori yang mengacu kepada konsep kelahiran Tuhan Yesus itu sendiri.

Ia menyebutkan bahwa pada mulanya adalah Firman. Memang, sampai Tuhan Yesus lahir, manusia hanya bisa berpegang kepada Firman. Firman ini digaungkan berkali-kali dalam Perjanjian Lama, melalui berbagai macam nubuatan para nabi. Bahwa akan datang seorang Mesias yang akan menyelamatkan manusia, yang oleh bilur-bilurNya kita menjadi sembuh. Bahwa akan datang seorang Raja, yang akan memerintah kerajaan yang tidak akan berakhir sampai selamanya. Selama beratus-ratus tahun, di tengah praktek budaya manusia yang najis saat itu – perbudakan, nabi-nabi palsu, penyembahan dewa-dewa – bangsa Israel bertahan dengan Firman itu, bertahan dengan janji itu, walaupun jatuh bangun diterpa perkembangan jaman.

Kemudian, Yohanes secara menarik melukiskan bahwa Firman itu kemudian menjadi terang. Firman adalah janji, yang walaupun semanis madu, tetap saja sebuah janji, tanpa wujud yang sesungguhnya. Tanpa jaminan, tanpa hakikat. Tetapi, ketika Firman itu berubah menjadi terang, maka Firman itu mulai terlihat. Firman itu tidak lagi berupa rangkaian kata yang tertulis di dalam sebuah kitab, melainkan bisa dilihat, bisa dirasakan hangatnya, bisa dilihat warnanya.

Firman itu mulai terwujud sebagai sebuah terang, cahaya yang menerangi dunia yang kelam.
Kelahiran Tuhan Yesus dilukiskan penuh dengan cahaya. Bintang terang di langit, sebagai pertanda kelahiranNya, tentu saja merupakan petunjuk yang penting. Bayi Yesus pun dilukiskan bercahaya, terbaring diatas palungan. Uniknya, Ialah satu-satunya cahaya di tempat kelahiranNya. Ia tidak lahir di Istana, yang terang benderang dan berlampu banyak, Ia juga tidak lahir di rumah bersalin yang memiliki penerangan cukup. Ia lahir di kandang, yang memang gelap gulita. Dalam keadaan gelap, secercah cahaya pun akan terasa terang. Itulah kelahiranNya, yang berpendar di tengah kegelapan malam, dibawah naungan bintang terang, siap menerangi ruang-ruang gelap dalam hati manusia.

Saya ingat pengalaman saya ketika naik ke Penanjakan untuk melihat matahari terbit di Gunung Bromo. Kami naik ke puncak Bromo kira-kira pukul empat pagi. Hawa udara dingin menggigit, sepertinya jaket tebal saya tidak cukup untuk membendung hantaman angin ini. Titik-titik cahaya seperti pasir nampak terhampar di kaki gunung, menambah dingin suasana. Tubuh saya mulai merasakan akibatnya: leher mulai sakit, kepala mulai pusing, badan mulai masuk angin, ketika saya bersiap memandang ke arah Bromo untuk menunggu mentari. Tiba-tiba, ketika sinar mentari mulai terbit, dan wilayah sekitar mulai terang, bukan saya mata yang bisa melihat jelas. Tubuh pun tiba-tiba terasa hangat, leher mendadak membaik, padahal suhu sekitar belum naik banyak. Kehangatan mentari tidak hanya terasa di tubuh secara fisik, namun juga di hati, sehingga pelan-pelan tubuh kembali pulih.

Seperti itulah terang yang dilukiskan oleh Yohanes: terang yang jatuh ke bumi yang gelap dan dingin. Terang yang hangat, dirasakan oleh semua orang, terlihat dan teraba dengan jelas efeknya. Dan Terang ini akan terus menjadi kesaksian, sampai semua orang menjadi percaya.

Amin.

Gembala dan Raja

“Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi.”
Matius 2:18

Kisah kelahiran Yesus Kristus menjadi pusat perhatian setiap kali hari Natal tiba. Sejak kita kecil, kisah kelahiran Kristus selalu menarik karena dibuat sandiwara setiap tahunnya, dan setiap kita akan dapat bagian: apakah diberi kumis dengan pensil alis dan menjadi Yusuf, atau untuk anak perempuan, jika cukup beruntung, bisa memerankan Maria sebagai aktris utama, lengkap dengan tudung kepala dan jubah panjang pastinya. Saya sendiri paling mentok hanya sebagai gembala, yang dicoreng mukanya juga karena konon gembala pada saat itu bercambang dan berjanggut. Saya malah pernah menjadi keledainya, pengalaman yang cukup menyenangkan karena saya ingat kostumnya yang lucu.

Kebanyakan kita sudah hapal ceritanya: sebuah bintang di langit, lalu ada kandang yang sederhana. Maria dan Yusuf duduk disana, dengan bayi Yesus di atas palungan. Ada keledai dan domba, kemudian tiga raja dari Timur (yang ini paling bagus kostumnya, selalu mengenakan mahkota dari kertas emas atau perak), gembala dengan tongkap yang panjang, nampak duduk di sisi menyaksikan Keluarga Kudus. Dekorasi kandang biasanya dari kayu, atau Styrofoam yang dicat coklat dengan Pilox, beserta rumput-rumput untuk menambah suasana kandang.

Sebenarnya, sangat ironis bukan? Sang Mesias, Sang Raja, justru hadir dengan begitu sederhana. Hanya ada tiga unsur yang menyambutNya: Tiga Raja dari Timur yang notabene bukan orang Israel sehingga terhitung kafir, gembala yang merupakan kasta terendah dari masyarakat Yahudi, serta hewan-hewan di kandang yang menyaksikan semuanya dengan seksama. Sementara, di Yerusalem, Raja Herodes, yang seharusnya bersuka cita menyambut Mesias, malah murka dan membunuh semua anak berumur dibawah 2 tahun di Bethlehem.

Walaupun kisah ini diyakini betul-betul terjadi, namun makna filosofisnya sangat luar biasa. Injil Matius dengan runut dan rinci menjelaskan begitu banyak nubuatan yang dipenuhi dengan kelahiran Tuhan Yesus yang sederhana, dari mulai lokasi kelahiran di Bethlehem sampai peristiwa pembunuhan anak-anak oleh Herodes. Adanya bintang Timur yang ditulis dalam Alkitab bisa dirunut waktunya secara astronomis. Bahkan catatan Lukas bahwa kelahiran Tuhan Yesus adalah bersamaan dengan diumumkannya sensus oleh Kaisar Agustus dari Roma, menempatkan kelahiran Tuhan Yesus pada sebuah titik dalam sejarah, bukan hanya sebuah legenda.

Jika direnungkan, kisah kelahiranNya ini secara tersirat juga melukiskan apa yang akan terjadi pada kehidupan Tuhan Yesus nantinya. Justru raja yang menyembahNya adalah raja dari Timur, yang merupakan orang asing, tidak tahu-menahu mengenai Hukum Taurat apalagi nubuatan para Nabi. Mereka hanya datang dengan iman, berdasarkan bintang yang mereka lihat di langit, namun begitu kuatnya iman ini sampai-sampai mereka rela berjalan ribuan kilometer mencari Sang Raja yang akan datang itu. Kenyataan ini seolah-olah sebuah kiasan mengenai fakta bahwa sekarang ini sebagian besat umat Kristen bukan berasal dari orang Yahudi.

Para gembala sendiri melambangkan golongan orang yang dibela Tuhan Yesus dan paling bersimpati padaNya: orang Yahudi kasta rendah, yang miskin dan sederhana. Banyak Nabi membela raja dan tinggal di istana, namun hanya Tuhan Yesus yang begitu lantang menentang dominasi kekuasaan dan malah berpihak kepada rakyat kecil. Bahkan pemungut cukai pun digandengNya, orang yang miskin justru disebutNya sebagai berbahagia. Untuk melambangkan inilah rupanya para malaikat mengabarkan kabar baik ini kepada para gembala di padang, yang kelak menyimbolkan keberpihakanNya pada yang lemah dan miskin.

Reaksi Herodes dan pemuka agama Yahudi juga persis seperti apa yang akan terjadi kemudian. Justru orang-orang yang paling ‘melek Taurat’, yang paling hapal luar kepala mengenai nubuatan para Nabi, yang seharusnya menyambut Mesias dengan suka cita dan tangan terbuka, justru menjadi musuh paling besar bagiNya. Karena, mereka sudah tidak lagi tulus dalam melaksanakan imannya, melainkan iman sudah berubah menjadi kepentingan, baik bisnis, uang, maupun politik, sehingga sudah tidak murni lagi tujuannya. Jadilah mereka yang seharusnya menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhan, menyalahgunakan kekuasannya justru untuk memperkaya diri dan memeras yang miskin. Itulah sebabnya Tuhan Yesus dengan lantang menentang mereka, dan pertarungan dengan merekalah yang akhirnya mengantarNya sampai ke kayu salib.

Dengan mengingat kisah kelahiran Tuhan Yesus, kita mengingat kehidupanNya. Kisah kelahiran yang penuh makna, walaupun sungguh-sungguh terjadi. Pada Natal tahun ini, marilah meluangkan waktu untuk menyaksikan sandiwara kelahiran Tuhan Yesus, untuk mengingatkan kita pada kelahiran dan kehidupanNya, serta sebagai nostalgia masa lalu ketika kita masih membungkuk dalam kostum keledai, menghadap ke bayi Yesus yang nampak terbaring lelap diatas palungan.

Monday, November 22, 2010

INRI - This is the King of the Jews!

“And a superscription also was written over him in the letters of Greek, and Latin, and Hebrew, THIS IS THE KING OF THE JEWS. And one of the malefactors which were hanged railed on him, saying, If thou be Christ, save thyself and us. But the other answering rebuked him, saying, Dost not thou fear God, seeing thou art in the same condemnation?
And we indeed justly; for we receive the due reward of our deeds: but this man hath done nothing amiss.
And he said unto Jesus, Lord, remember me when thou comest into thy kingdom.
And Jesus said unto him, Verily I say unto thee, Today shalt thou be with me in paradise”
Luke 23 : 38-43


The inscription on top of Jesus’ cross has evoked many interpretations and mysteries over the years. It is said that the inscription, which is considered normal for people who were sentenced to death by crucifixion at that time, was written by Pontius Pilate. It stands for ‘Iesus Nazarenus, Rex Iudaeorum’, which means “Jesus the Nazarene, King of the Jews”. The inscription is meant to show the conviction of Jesus, the reason why he is crucified there. And the reason is clear: because He declared himself the king of the Jews.


And why is that act so wrong? After all, Jesus did meet with the real king of the Jews just hours before crucifixion – King Herod. He is in fact the real king of the Jews, isn’t he? Then why declaring himself as a King is such a sinful act that deserves crucifixion? That’s the whole point. Jesus was innocent. But in times where many innocent people are punished to death, why did this ‘felt’ so wrong for so many people? Remember, this is not the US – there is no human rights organization in Rome. These people are used to orgies, bathing themselves in blood because it is believed to make people look younger, they have slaves, whom they can slaughter or even torture without any conviction. So, another innocent person hangs on the cross – what’s the big deal?

Reading through the gospels of Matthew, Mark, Luke, and John, we have to realize that it is the teachings of Jesus that is emphasized. Very little is discussed or written about the ‘personal’ Jesus – how He lived, what He eats, what He does every day. If His travels are recorded, it is mainly because He performs a miracle or teaches there – so it is about teaching again. The debate about Jesus having a wife, a family, and even a bloodline, has gotten so intense and widespread, simply because we don’t even know if Jesus, or most of the disciples, have married or have their own families. The gospels then, are definitely not a biography. They do not describe the life of Jesus. Instead, they describe the teachings, thoughts, and groundbreaking ideas of Jesus Christ.

So when Jesus was crucified, it is not only His body which was crucified – it is more about His ideas. His ideas, that people should love God more than anything, and love each other as they love themselves. That Sabbath is made for men and not men for Sabbath. That God so loved the world, that He gives his only begotten Son to save it. The very ideas that sharply criticize and shakes the establishment at that time – the Pharisees, Jewish Religious Leaders – to the ground. Jesus always had an answer – to every testing questions, inquiries, traps, and riddles prompted by these people designed to embarrass Him. How would He respond to the ultimate trap – death by crucifixion?

This is why Jesus’ innocent death has touched many people deeply at that time. Because Jesus was always there for the people – the ordinary, weak, poor people who have been the subjects of the Jewish and Roman establishment. So when His ideas were crucified, it spells death also to the poor being happy, the weak being strong, the sinners being saved. The so-called ‘King’, is now hanging helplessly on a cross, bowing down to the power of the establishment, whereas the reluctant Roman Empire stood by and watch. The inscription, acting as a cynical referral to Jesus’ claim as a King, stood there arrogantly, even in three different languages, as if so that everyone in the whole world can read and understand what is written there. The establishment can feel secure now, their power is safe. Or is it?

The discussion between two convicts who were crucified together with Jesus reflects the minds of the ordinary people who follow Jesus. One, the skeptic, posed a bold question, asking Jesus to demonstrate His power as a real King and free Himself from the cross. The other one, the believer, understood that it was not Jesus as a person, but it is Jesus’ teachings, ideas, that matter. Therefore he said, Jesus was innocent, and yet He died for ordinary people. So he is the King! What He said is true! He understands this as he asks Jesus to remember him, when He comes to His Kingdom – which is of course, not of this world. And Jesus applauded him, saying that paradise is reserved for him: because he understood His teachings, His ideas. He understands Jesus’ visions. He understands the meaning of the cross.

Today, a cross has a very different meaning. A cross has been taken as a symbol of Christianity, now the world’s largest religion by number. Instead of symbolizing violent death and shame for evildoers, a cross has received a transformation, acting now as a symbol of peace and salvation. A red cross has even become an international symbol for act of mercy, which even in the most violent wars, an attack towards people bearing this mark will receive international condemnation. If Caiaphas and the establishment at that time are still alive today, they would be furious and ashamed of themselves. Their orchestrated mockery of the ‘King of Jews’, in a form of crucifixion, which is supposed to kill Jesus and his ideas once and for all, has turned against them. Jesus’ teachings did not died off like many others. It flourished, creating a new establishment, a world of much better human rights standards. A new religion, which is based on His very ideas: that the poor is helped, the weak is nurtured, and the sinners are forgiven. It has become, in the end, Jesus’ triumphant reply to their final and ultimate trap.

Kedoya, 22.11.2010

Wednesday, November 10, 2010

Percaya: Antara 'Trust' dan 'Belief'

“Apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu”
Markus 11:24

Percaya adalah kata sifat. Kepercayaan adalah kata benda. Percaya dalam bahasa Indonesia bisa memiliki dua padanan kata dalam bahasa Inggris, yakni ‘belief’ dan ‘trust’. Kedua kata ini hampir serupa, tetapi memiliki konotasi yang sedikit berbeda. Kata ‘trust’ lebih banyak memiliki konotasi teknis, ‘Trust’ misalnya adalah kata yang berarti sebuah bank atau korporasi. Dalam bisnis, kata ‘trust’ lebih banyak digunakan untuk menjelaskan kepercayaan yang timbul dalam sebuah relasi bisnis. Misalnya, ‘Earning the customer’s trust’, yang artinya mencapai atau mendapatkan kepercayaan pelanggan, atau ‘A name to be trusted’, yang artinya nama (produk) yang bisa dipercaya.

Kata ‘trust’ atau ‘vertrauen’ dalam bahasa Jerman, melukiskan suatu sifat percaya, tetapi yang bersifat imbal-balik. Kepercayaan pelanggan, misalnya, dapat diperoleh jika produsen tidak mengecewakan pelanggan, bukan? Begitu pula hubungan saling percaya antar relasi bisnis, yang bisa diperoleh dengan imbal balik. Kalau yang satu menipu atau tidak jujur, tidak akan terjadi ‘trust’ antara keduanya. Jadi, ‘trust’ hanya bisa diperoleh melalui hubungan imbal balik.

Kata ‘belief’, memiliki konotasi yang berbeda. Kata ini lebih sering digunakan untuk melukiskan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Kata ini, ‘glaube’ dalam bahasa Jerman, memiliki konotasi yang lebih pribadi, lebih personal. Agama dalam bahasa Jerman disebut ‘Glaube’ saja, sementara dalam bahasa Inggris percaya Tuhan lebih sering disebut sebagai ‘belief in God’. Dalam hubungan antar manusia, kata ini juga bersifat lebih personal. Misalnya, beda antara ‘I believe you’ dan ‘I trust you’ memiliki konotasi yang amat berbeda. ‘I belief you’ artinya saya percaya apa yang kamu katakana atau lakukan. Sementara ‘I trust you’ memiliki imbal balik: bahwa saya percaya kamu akan melakukan sesuatu. ‘Trust’ bisa hilang jika yang bersangkutan tidak melakukan yang dijanjikan, sementara ‘belief’ lebih kepada percaya bahwa yang dikatakan atau dilakukan adalah benar.

Dalam bahasa Indonesia, karena hanya ada satu kata ‘percaya’, orang seringkali tidak bisa membedakan antara ‘belief’ dengan ‘trust’. Apalagi kalau menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, maka kita sering mencampur-adukkan bahwa selain kita percaya, kita juga ‘menuntut’ Tuhan melakukan sesuatu.. Seolah-olah Tuhan adalah partner bisnis kita, yang bisa kita percayai jika apa yang kita minta benar-benar terjadi. Padahal, Tuhan sudah mengirimkan AnakNya yang tunggal untuk menyelamatkan kita. RencanaNya lebih besar dari rencana kita. Apakah kita masih perlu bukti?

Lalu bagaimana dengan ayat yang menantang ini? Apa saja yang kita minta dan doakan, katanya, akan diberikan kepada kita, kalau kita percaya. Padahal, apakah ini mungkin? Mungkinkah kita berdoa pada Tuhan, meminta mobil BMW atau Mercedes, memohon supaya kita bisa menikah dengan Happy Salma, apakah itu akan terjadi? Tentu tidak – kecuali Anda adalah putra Raja Ubud, maka paling tidak yang terakhir bisa tercapai. Lalu apa maksudnya ayat ini, mengapa Tuhan Yesus begitu lantang mengucapkannya?

Percaya disini buat ‘trust’, tetapi lebih pada ‘belief’, seperti pada terjemahan bahasa Inggrisnya. Artinya, percaya yang berkonotasi lebih kepada percaya tanpa mengharapkan imbal balik. Percaya tanpa mengetahui, apakah pihak yang lainnya akan membalas. Percaya tanpa surat kontrak (‘trust’ dalam bisnis seringkali dikawal oleh selembar surat kontrak). Percaya, seperti kita percaya bahwa curhat sahabat kita adalah benar dan tidak bohong. Percaya, seperti kita percaya air mata ibu kita, atau air mata istri kita, adalah sungguhan dan bukan bohong. Inilah sikap yang menyertai sebagian besar mukjijat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus: baik tentara romawi yang anaknya kemudian hidup kembali, atau wanita yang mengalami pendarahan. Percaya padahal belum kenal Tuhan Yesus, apalagi memegang surah kontrak. Percaya, padahal nampaknya sudah tidak ada harapan. Percaya, yang tidak hanya dalam pikiran, juga melainkan dalam sebuah sikap penyerahan diri. Bahwa partner kita, tidak akan mengecewakan kita. Bahwa Ia, setia!

Amin.

Thursday, October 21, 2010

Pencobaan di Padang Gurun – Uji Ketuhanan Seorang Manusia

“Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja”
It is written, that man shall not live by bread alone, but by every word of God
“Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”
Get thee behind me, Satan, for it is written, Thou shalt worship the Lord thy God, and him only shalt thou serve
“Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu!”
It is said, Thou shalt not tempt the Lord thy God

Lukas 4:4,8,12

Kisah pencobaan di padang gurun (Lukas 4:1-13) adalah sebuah kisah yang misterius. Dalam perikop ini dikisahkan bagaiman Tuhan Yesus, sebelum berkelana dan mewartakan Kabar Baik bagi dunia, terlebih dahulu melalui sebuah ujian. Yang menguji adalah Iblis sendiri. Di dalam perikop inilah terjadi sebuah dialog yang mistis antara Tuhan Yesus dengan Iblis, yang tidak pernah terjadi lagi dalam Alkitab. Namun, membahas peristiwa ini menjadi sangat penting, karena justru dalam ujian ini, tidak satupun mukjijat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Ketika Tuhan Yesus berhadapan dengan Iblis, bukannya sebuah peperangan yang dahsyat, atau pertarungan a la Darth Vader dan Luke Skywalker dalam Star Wars yang terjadi. Yang terjadi malah adalah sebuah dialog yang nampaknya sederhana.

Untuk merenungkan perikop ini, saya mulai dengan satu pertanyaan: apa sebenarnya yang diuji dari Tuhan Yesus dalam hal ini? Tentu saja ini bukan adu kekuatan atau adu ilmu, seperti yang diperlihatkan ketika Tuhan Yesus mengusir setan Legion dari orang yang kerasukan, misalnya. Yang terjadi disini, justru kebalikannya: Iblis menguji Tuhan Yesus sebagai manusia. Iblis ingin memastikan, lewat ujian ini, apakah Tuhan Yesus benar-benar Anak Allah? Apakah Tuhan Yesus betul-betul memiliki kualitas Illahi?

Mari kita mulai dengan pencobaan pertama. Pencobaan ini adalah hal dasar yang sering dialami oleh manusia: lapar. Dikisahkan bahwa setelah berpuasa selama 40 hari, Tuhan Yesus merasa lapar. Kemudian, Iblis menawarkan: bagaimana jika batu ini diubah saja menjadi roti? Tentu saja Tuhan Yesus bisa: bukankah sebelumnya Ia pernah mengubah air menjadi anggur? Lalu apa susahnya mengubah batu menjadi roti? Namun, jawaban Tuhan Yesus sangat mengherankan. “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi juga dari Firman Tuhan” kataNya.

Jawaban ini menunjukkan kualitas Illahi Tuhan Yesus sebagai manusia. Sebagai manusia, karena Ia tidak melakukan mukjijat apa-apa. Namun, kualitas Illahi-nya nampak dari jawabanNya. Ia mengerti, setiap manusia memiliki kebutuhan pokok. Ia juga merasakan betapa perihnya perut, ketika 40 hari tidak diisi makan. Sama seperti semua manusia, ketika lapar, maka apa saja akan dilakukan untuk memuaskan rasa lapar tersebut. Hal ini juga berlaku untuk segala nafsu manusia: apakah itu kebutuhan akan pakaian, minuman, makanan, atau yang lainnya. Ketika hal-hal dasar ini tidak terpenuhi, maka manusia cenderung membabi buta, menghalalkan segala cara, dan menfokuskan seluruh daya upaya dan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan ini.

Namun, Tuhan Yesus berpandangan lain. Ia tetap pada focus utamanya: bahwa kepada FirmanTuhan-lah Ia berpegang. Coba katakan kepada seorang miskin yang sudah 3 hari tidak makan: Apakah Anda percaya Tuhan? Apakah Anda berpegang teguh padaNya? Setiap orang yang kelaparan pasti akan bimbang. Perihnya perut akan menimbulkan pertanyaan: kalau Tuhan ada, kalau Allah melihat dari atas, mengapa perutnya seperih ini? Mengapa Ia membiarkan aku lapar? Tuhan akan nampak jauh di awang-awang, sementara perihnya perut terasa begitu jelas mengiris-iris. Manusia biasa akan berpikir: sudahlah, lupakan saja Tuhan dahulu. Aku perlu roti!

Disinilah Tuhan Yesus menunjukkan kualitas ke-Illahi-annya. Ia menunjukkan betapa ia berpegang teguh pada imanNya, dan tidak meragukan sedikitpun kuasa Allah BapaNya. Ia berkata dengan tegas, bahwa manusia bukan hidup dari roti saja. Dalam keadaan perut perih melilit pun, Ia tahu prioritasNya. Ketika kebutuhan manusia paling dasarnya – makanan – terancam, Ia tetap berpegang teguh pada FirmanNya – sebuah Firman yang secara fisik kosong. Tuhan Yesus tidak terpengaruh oleh kebutuhan dasarNya sebagai manusia, karena Ia adalah Tuhan. Dengan ini, Tuhan Yesus menunjukkan kualitas ke-Illahi-annya.

Ketika kebutuhan dasar manusia sudah tercukupi, apakah masalah berakhir sampai disitu? Tidak. Hampir semua orang di dunia ini selalu merasa tidak pernah cukup, bukan? Dulu, makan sehari sekali. Kemudian, tiga kali sehari. Kini, bisa makan 10 kali sehari, dengan harga yang mahal pula. Manusia selalu ingin lebih dan lebih lagi, kalau bisa sampai 7 turunan. Bahkan banyak orang yang pernah miskin, dan berhasil mengalahkan dirinya pada waktu miskin, justru gagal berantakan ketika menjadi kaya. Justru ketika dia berkecukupan, ambisi dan nafsu seralah mengambil alih, dan membuatnya menjadi lebih rusak dari sebelumnya.

Tetapi tidak demikian halnya dengan Tuhan Yesus. Ketika Iblis mengetahui, bahwa Ia tidak tergoyahkan ketika kebutuhan dasarNya terancam, ia meningkatkan ujian ke taraf berikutnya: apakah Tuhan Yesus merasa cukup? Ia menunjukkan semua kerajaan di dunia, lalu Ia menantang Tuhan Yesus untuk menyembah Iblis sebagai ganti semua kerajaan ini. Betapa indahnya kerajaan dunia ini, bukan? Tuhan Yesus adalah Raja. Ia adalah Putra sang Pemilik Kebun yang sedang diutus untuk mengumpulkan tuaian dari tanahNya. Bukankah Ia berhak menerima mahkota emas, bukan duri? Bukankah indah jika Ia bisa duduk di tahta emas? Iblis memberikan tantangan kedua. Setelah cukup, apakah Tuhan Yesus ingin lebih?

Sekali lagi, Tuhan Yesus menunjukkan kuasa Illahi-Nya. Ia berkata, bahwa hanya Tuhan-lah yang layak disembah. Walaupun disuguhi segala kenikmatan dunia, walaupun disuguhi jabatan dan kemewahan seorang raja, Ia tetap tidak bergeming. Ia teguh berpegang pada FirmanNya, dan menolak ajakan Iblis tersebut. Ia menolak tantangan Iblis karena Ia tahu berkata cukup. Ia tidak ingin lebih, namun Ia berpegang teguh pada misinya. Ujian kedua, Tuhan Yesus sekali lagi lolos dengan gemilang.

Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, kekayaan duniawi bisa ditolak, lalu apa lagi?Saudaraku, kemewahan bukan hanya lewat cara duniawi – tetapi juga ada kemewahan rohani. Kehormatan seorang pemuka agama, yang walaupun tidak kaya, tetapi selalu dipuja-puji oleh penganutnya. Keagungan seorang pekerja rohani, yang memang tidak memiliki banyak harta benda, tapi mendapat penghormatan luar biasa dari pengikutnya. Inilah candu yang paling berbahaya: tidak sedikit seorang rohaniawan tangguh yang terjerumus karena godaan ini. Iblis tahu: inilah taraf berikutnya, jika Tuhan Yesus sudah lulus melewati tahap kebutuhan dasar dan tahap kemewahan. Itulah sebabnya Iblis membawa Tuhan Yesus ‘ke atas bubungan Bait Allah’. Kalau ujiannya hanya seperti bungee jumping, mengapa tidak di bukit saja? Justru Iblis repot-repot membawa Tuhan Yesus ke Bait Allah, karena ini adalah masalah integritas rohani. Jika Tuhan Yesus mendadak muncul di Bait Allah, terjun, lalu sepasukan malaikat menyelamatkanNya di depan para pengunjung Bait Allah, Ia langsung akan diagungkan, bukan?

Tuhan Yesus kemudian kembali menunjukkan kualitas Illahi-Nya kepada Iblis. Ia berkata dengan tajam, jangan pernah mencobai Tuhan Allahmu. Inilah yang sering dilakukan manusia: jika iman sudah ada, maka kita sering ‘mencobai’ Tuhan. Memaksa Tuhan melakukan kehendakku, yang aku mau, karena aku sudah berbakti, aku sudah ke gereja. Berbuat hal yang aneh-aneh, dengan pikiran, toh Tuhan akan membantu aku? Aku kan pemuka agama? Inilah yang namanya mencobai Tuhan.

Tuhan Yesus dengan tegas menyatakan, bahwa Tuhan Allah tidak suka dan tidak perlu dicobai. Integritasnya tidak tergoyahkan, bahwa Tuhan Allah ada dan mengasihi manusia. Ia tahu apa yang terbaik, rencanaNya diatas rencana manusia. Jadi, tidak perlu mencobai Tuhan, meskipun secara jangka pendek hasilnya akan wah dan serba heboh. Toh, kemewahan itu semu, karena ada bukan karena iman dari hati melainkan karena mukjijat sesaat.

Tuhan Yesus disini mengalami sebuah ujian yang unik: ujian bahwa Ia memiliki kualitas Illahi, sekalipun Ia adalah manusia biasa. Kalau Tuhan Yesus menggunakan kekuatanNya, Ia akan kalah, karena misiNya tidak akan bisa tercapai. Kalau Ia manusia biasa, yang dikalahkan oleh nafsu, kemewahan, dan kesombongan rohani, Ia juga akan kalah. Namun, karena Tuhan Yesus adalah 100% manusia, dan juga 100% Tuhan, maka Iapun bisa lolos dari ujian ini. Yakinlah kita akan kualitasNya, yang sudah melalui pengujian ini.

Minggu, 17 Oktober 2010

Sunday, September 26, 2010

Manajemen Talenta – Dari Lima Jadi Sepuluh

“And he said to him, 'Out of your own mouth I will judge you, you wicked servant. You knew that I was an austere man, collecting what I did not deposit and reaping what I did not sow'”

Luke 19:22

John Forbes Nash adalah seorang matematikawan jenius dari Amerika Serikat. Kisah hidupnya yang unik difilmkan dengan judul 'A Beautiful Mind' tahun 2001. Nash adalah seorang jenius yang menemukan berbagai teori matematika. Yang paling terkenal adalah teori permainan atau 'game theory', sebuah gagasan untuk merumuskan kompetisi antara dua pihak dalam sebuah permainan menjadi sebuah aksioma matematika. Nash sendiri adalah seorang matematikawan murni, ia hanya menemukan teorinya tetapi tidak memahami penerapannya. Ternyata, teori permainan ini menjadi begitu penting jika diterapkan dalam perhitungan transaksi derivativ pasar saham, sampai Nash memenangkan Nobel Ekonomi tahun 1994 bersama Reinhard Selten dan John Charles Harsanyi.

Namun, yang menarik dalam diri Nash adalah bahwa bakatnya ternyata membawa bencana juga. Adalah kenyataan bahwa batas antara jenius dan gila hanya setipis kertas. Nash memiliki kecenderungan mental yang tidak normal. Ia suka berhalusinasi, sehingga seolah-olah bertemu dengan seseorang – yang hanya ada dalam bayangannya – dan bisa berdialog bahkan menurut ketika orang tersebut menyuruhnya melakukan sesuatu. Nash tidak bisa membedakan antara imajinasi dan kenyataan. Tadinya, ketika penyakitnya ini terdeteksi, dokter menganjurkan untuk makan berpuluh-puluh pil penenang yang malah membuat Nash tidak nyaman. Kemudian, Nash memutuskan untuk tidak meminum pil-pil itu dan menghadapi sendiri penyakitnya.

Dalam film 'A Beautiful Mind' dilukiskan bagaimana Nash kemana-mana selalu membawa permen atau kue. Kalau ada orang yang berbicara dengannya, ia akan menawarkan permen tersebut kepada orang itu. Orang sungguhan bisa makan, tapi yang imajiner tidak bisa, bukan? Kalau orang itu mengambil permen dan memakannya, barulah Nash mendengarkan. Tapi kalau tidak, maka Nash akan mengabaikannya, meskipun di kepalanya orang itu begitu nyata, duduk disitu, seolah-olah sungguhan ada. Hari demi hari Nash nampak normal, tapi perjuangannya dalam menghadapi penyakitnya luar biasa. Coba bayangkan, di kepalanya selalu ramai seperti stasiun busway, padahal sebenarnya yang sungguhan hanya 2-3 orang saja!

Orang yang memiliki talenta banyak, akan dituntut banyak juga. Nash adalah salah satu orang yang bertalenta banyak. Tidak perlu menjadi sejenius Nash untuk mengerti masalah ini. Saya sendiri merasa bahwa Tuhan menganugerahkan saya talenta yang cukup banyak. Memang ini adalah berkat, tetapi talenta memiliki konsekuensi juga. Saya misalnya, memiliki talenta karena otak saya cukup encer. Apa yang sulit dimengerti oleh teman-teman saya, bisa saya pahami dengan cepat. Harusnya saya hanya bersyukur saja, bukan? Bukankah lebih cepat, lebih baik?

Ternyata tidak begitu. Saya mengalami banyak kesulitan dalam kehidupan sosial saya justru karena talenta saya ini. Saya terbiasa melakukan sesuatu dengan cepat, cepat mengerti, sehingga kesabaran saya sangat-sangat terbatas. Ketika saya mencoba bergaul, justru sifat ini menjadi bumerang. Ingin cepat-cepat dalam berkomunikasi dan dalam bergaul membuat hubungan justru menjadi rusak, atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Saya tumbuh menjadi orang yang kurang peka, selalu menakar segala sesuatu secara logika. Ternyata, satu talenta bisa menjadi bumerang, seperti pisau bermata dua!

Inilah yang dijelaskan Tuhan Yesus lewat perumpamaan diatas. Pada awalnya, Tuhan Yesus nampak sebagai orang yang kejam, bukan? Bagaimana mungkin seorang majikan yang memberikan 5 talenta mengharapkan 10 talenta kembali? Tetapi, itu memang kenyataannya. Semakin banyak talenta seseorang, maka dituntut kemampuan yang semakin tinggi untuk menanganinya. Semakin banyak talenta yang dimiliki seseorang, semakin besar pula tuntutan orang tersebut untuk bisa melakukan manajemen talentanya, supaya tidak berantakan. Jangan heran jika ada orang yang sangat berbakat, misalnya Elvis Presley, Marilyn Monroe, Kurt Cobain, dan banyak lagi, justru akhirnya bunuh diri. Karena, talenta mereka begitu besar sehingga sepertinya sudah tak terkendali lagi, dan harus segera diakhiri.

Perikop diatas dengan jelas menerangkan bahwa talenta memang membutuhkan manajemen. Seseorang yang bertalenta tidak hanya dituntut untuk 'mengembalikan' talentanya – artinya menjaganya supaya tidak hilang – tapi juga 'mengembangkan' talentanya. Seseorang yang dianugerahi talenta berkewajiban untuk menggunakan talentanya untuk kebaikan masyarakat sekitarnya. Inilah yang dimaksud dengan dari 5 jadi 10 talenta – bahwa talenta itu berkembang, menjadi kebaikan. Nash adalah salah satu contohnya, namun masih banyak lagi, seperti Albert Einstein, Mel Gibson, Shania Twain, dimana talenta mereka betul-betul digunakan untuk kemajuan ilmu pengetahuan atau musik atau dunia akting. Mereka hidup bahagia, justru bersyukur atas smeua talentanya.

Hal itu hanya bisa tercapai jika manajemen talenta dilakukan dengan baik – bagaimana menjaga hidup walaupun wajah sangat ganteng, bagaimana menjauhi narkoba walupun suara rasanya paling merdu kalau sedang mabuk, atau bagaimana mengatur otak jenius supaya memberi hasil positif dan tidak menjadi gila. Inilah manajemen talenta, yang dituntut dari semua orang yang bertalenta. Jika talenta tersebut akhirnya pulang kandang saja, tidak jadi apa-apa, maka celakalah kita! Bahkan yang modalnya hanya satu pun, dalam perikop diatas, dihukum karena keacuhannya. Untuk itu, marilah kita mulai melakukan manajemen talenta kita masing-masing, dan menerapkannya untuk kebahagiaan orang banyak. Dari lima, jadi sepuluh!

Friday, September 17, 2010

Having Trouble Sleeping?

“Yesterday is history. Tomorrow is mystery. Today is a gift. That’s why it is called, ‘present’”
A turtle in ‘Kungfu Panda’. Yes, a very smart and wise turtle.


I am not trying to be a psychologist or a psychoanalyst. I am also not a doctor, so I can’t analyze a problem relating to health by clinical studies. Neither am I a professor nor a priest, who can give new insights on problems or pull up a matching Bible verse from the back of his/her head. I even got the verses below from Twitter – I wouldn’t stand a chance if I have to look it up in the paper version of the Bible myself. To put in the Aaron Neville and Linda Ronstadt way, I don’t know much really. I can only analyze based on what I have experienced, based on what I think it is, which may be more delirious then clinical but hey... perhaps, just perhaps, one or two points hit the spot!

So, why are you having trouble sleeping lately?

One more thing: I am going to skip all scientific explanations. It is the more subtle things that I would like to share here, being anonymous and all.

I had the same problems before, I really did. And that time was the worst to have this problem because I was a business traveler who has very limited time to sleep. Efficiency is everything. If you slam yourself into a foreign bed in a foreign room in a foreign country (not with a foreign lady!), then you are expected to sleep in 10 minutes because in the next 4 hours you need to get up, get dressed, take a bath, and line up for the next flight. George Clooney’s “Up In The Air” is a perfect depiction of that. But my insomnia is actually not caused by that, it is caused by several issues altogether. Some even I didn’t know that it plays a role. But I can say I can manage it quite well know. I will share, how did I do it.

1. Do nothing!
The number one problem for active people like us in getting to sleep, is that it involves doing the only one thing that we super-people can’t do: nothing. Yes, nothing! I am a very active people. I don’t like to sit around doing nothing. In any occasion, if the is a help needed, I am the first one to get up and help – whether that means washing the dishes or carrying chairs. Especially if I am facing a problem. I will not stand, sit, and cry. I don’t even pray sometimes. I fight. I try to find a way to get around, push, or tackle the problem with my bare hands if necessary. Ironically, this attitude works well in almost all of the aspects of daily life, except if you’re trying to sleep! Look at those lazy people around you: beggars, street singers, they all sleep very well, don’t they? The key to sleep is to do nothing about it. To calm our mind and hearts and let them rest.


This is where it gets complicated. If I lay in my bed and I can’t sleep, I start various methods to force myself to sleep. I try praying, reading, watching boring TV shows, counting sheep and different kinds of animals. I don’t want to seek help from the Angel Valium (Valium is a sleeping pill), because as I chemist I know the side effects are dangerous. I also don’t want to use alcohol too much. So my alternatives are not many and not instant. Take note: not instant. That is the problem! I want it instant: take a pill, snooze. Drink this, snooze. That doesn’t work. There is no such thing as an instant sleep. You need to relax your mind and body and soul. And that takes time.

So what I did, I imagine my body is gripped tight by gigantic roots of an evil man-eating plant, just like in the movie ‘Jumanji’. Then I imagine the grip is loosened one by one. This problem, that problem, away. I stop thinking of a strategy to loosen myself from the grip, instead I imagine the grips are loosened by itself. Until I lay there, free. Then I hushed my mind: I imagine there is a big convention in my head, where many people meet to discuss problems that I have. Then I imagine myself, leading the assembly, knocking the table with a hammer as loud as possible just like in a court room, shouting “Order! Order! We are trying to sleep, so nobody says anything in the next 20 minutes!”. Hush. As soon as a person stands up and say, “What are we going to say when we meet Mr. X tomorrow?” or, “How are we going to solve this claim?”, the hammer is slammed again. “Silence!”. Before 20 minutes, if there is no effect from caffeine, the head falls to sleep.

Verse:
“I can do all things through Christ which strengtheneth me”
Philippians 4:13
Yes, because I have to imagine the roots are untangling by themselves – which means Jesus is the One who acts, not me. I don’t try to cut them off or try different knots to escape like Harry Houdini. It is Jesus Christ, His strength, which will strengthen me and let me out. I have to do... nothing!


2. Be honest to yourself. It’s OK!
The next problem when you hush your mind, when the loud-speaking members of the assembly stop shouting, is that you start hearing the subtle noise. Those people lurking in the dark corners of the assembly, whispering about your deepest problems, disappointments, pains, and other things that we normally do not hear anymore. It’s the background noise of our mind. Because the assembly is so quiet, these subtle noises start to become louder and louder. And, this will wake us up, and probably make us cry. It’s worse than the loud-speaking members, because it exposes the deep end of our mind that we normally hide or do not want to see.

What to do then? Solve everything? Check the pains and disappointments one by one? No, not tonight. You can’t – I can’t. I know these are noises that will probably linger on forever. So, what to do then? Accept it. Be honest. It’s OK. Give everything to God. Yes, the problem from the first chapter still persists: being an active person, we always HAVE TO DO SOMETHING to solve these issues. No, leave it all to Jesus. But, acknowledge it. Accept that they exist, that a human life can never be perfect, that people – even I – make mistakes.

I had an interesting discussion about this a while ago. We were discussing about being a Christian and a businessman. Well, business is business, you know. Just be honest, you can’t be a saint and a salesman at the same time. So my point of view is that God will accept that. God allows us to do all this hanky-panky so that we can pay back to the church and support religious activities. Of course God understands that I need money to survive and live, right? But my senior colleague reprimanded me. “No!” he exclaimed. He is far from sainthood, by the way. “You cannot stretch Christianity to accommodate hanky-panky !” he said. “Just admit it! Just say yes my Lord, I did wrong, and I am sorry for my sins. Just admit you’re a sinner! Jesus will forgive you. Don’t try to find justification for your sins – just admit and acknowledge it!”. I was surprised. He’s right!

Accepting is also difficult. It is not a solution. But saying to yourself that it’s OK to be wrong, it’s OK to make mistakes, it is completely fine to unintentionally hurt other people, help all the time. You have to pity yourself a bit – you have been very successful in pushing yourself up high, crank-it-up when it breaks down, cross every limit that can’t be crossed before, and managed to be a very, very successful self. But hey, you deserve some compliments. You deserve some inspiring words. Your body, your mind, who has served you very well all these years, deserves a pat in the back. Say to yourself: “Way to go, me! You did great today! Don’t worry about the problems and pains. Tomorrow we fight again, but today was a gruueeeaaat dhey!”. Your body and mind will accept it well, and, fall to slumber.

Verse:
“Come unto me, all ye that labour and are heavy laden, and I will give you rest”
Matthew 11:28
See? Jesus knows exactly what our problems are. He didn’t say go to hell all you sinners. He didn’t say you have done wrong, you mongrels. He said, come unto me! I know you labor hard and heavily laden. Come unto me, and I give you rest! Rest, not punishment, judgment, or trial. Rest! Just what you need.


3. Dun worry, be happy, for today
I worry a lot. It is amazing to notice that people who have more, worries more. Be that talents, money, possessions, those who have more always worry more. I am blessed with a lot of talents, I have quite a lot of things. So I worry a lot. What if I fail? What if this doesn’t work? What if this or that turns into that and that?

Worrying is my worst habit. Ironic, but true. When I took an examination at school, although I got constantly A’s and B’s before, I was the one who was worried the most in comparison with the C’s and D’s club. The same at work: when my boss called me to give me a promotion, I thought he was firing me! This is a weakness in me that I have to fight every now and again. Although, when you think of it, it is such an unthankful act that I even worry about myself. God has blessed me with so much, yet I am still worried about everything. Meat is meat, as somewhere written in the Bible. And I am meat, so I have to accept that I need to fight again and again not to worry.

But the point here is not only about worrying. It’s about the dosage. Jesus understands that human beings are always worried. But it is also important how MUCH you are actually worried. I once heard a great interview with Bob Sadino, a person who used to be very poor, but now is one of the richest man in Indonesia. When he was asked, what was his greatest success? He replied, “When I was working as a coolie in a building project. My greatest success was when at that time I collected enough money buy a plate of rice to share for me and my wife. That was my greatest success“ he said firmly. See? Working as a coolie, he had a daily income. So he worries only about one day. The next is a different matter – and so he sleeps well.

We, on the other hand, have monthly, bi-monthly, and yearly income. We even have annuities or interest for multiple years. So we worry about everything multiplied by the time: monthly, yearly, decades. We have lost the ability to think day-by-day. If all the worries are piled up to one single day, it will be a burden too heavy to bear for our mind. So, I couldn’t sleep, thinking about the minuscule percentage of my annuity. This we have to avoid by having a healthy dose of worry: once per day. Do not worry further than what has happened today. Keep tomorrow at bay, because tomorrow is tomorrow’s pill. Have you done all you can today? Yes. Then, be cool! What will be, will be!

“Take therefore no thought for the morrow: for the morrow shall take thought for the things of itself. Sufficient unto the day is the evil thereof”
Matthew 6:31
See? It is not about whether you worry or not, it is how MUCH you worry. Jesus does not demand us to meditate for 40 days sitting in a bed of nails to flush all those worries – that wouldn’t be practical and would be quite painful. He just wants us to worry enough – with the right dose.


That’s it for now... hope it helps, for readers who have this problem... GBU all!

Wednesday, September 15, 2010

Carilah Dahulu Kerajaan Allah!

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”
Matius 6:33


Dulu, waktu saya masih kuliah, ayat ini adalah ayat yang paling mudah dimengerti. Paling mudah dilakukan pula. Bagaimana tidak: urusan saya sehari-hari adalah kuliah, atau sekolah. Saya tinggal belajar, dalam sebuah sistem yang namanya pendidikan. Saya tinggal duduk saja di kelas, menyerap semua ilmu yang diberikan oleh guru. Lalu, ada waktu-waktu dimana dilaksanakan ujian, dimana semua murid atau mahasiswa mengerjakan soal-soal dan mengukur kemampuan dirinya sendiri. Lalu, muncullah pengumuman, dimana akan jelas posisi saya dibanding teman-teman saya. Hidup seolah sangat sederhana: siapa yang rajin belajar, pasti lulus. Siapa yang rajin buat PR, pasti bisa. Siapa yang jarang bolos, pasti menyerap ilmu paling banyak. Ketika ujian, sesudah belajar, bikin PR, dan tidak membolos, saya berdoa, dan kemudian hasil ujiannya ya tidak jelek. Begitu seterusnya, ujian demi ujian saya lewati, seperti seorang pelari gawang.


Tapi, ketika lulus dan memasuki dunia kerja, segalanya berubah. Apakah kita bisa bilang sekarang, siapa yang berusaha paling rajin akan jadi kaya? Apakah yang jujur dan adil akan selalu sukses? Tidak. Kesuksesan ditentukan oleh usaha kita sendiri. Kita harus mempromosikan diri sendiri, bertarung melawan rekan maupun musuh. Beradu strategi, menyiasati sistem, dan adu pintar dalam liku-liku bisnis. Hati kita pun menjadi keras, harus mempertahankan wajah tegar ketika dalam tekanan, harus melawan ketika ditekan, atau justru menahan diri. Siapa yang paling licin, paling konsisten, dan paling pintar memanfaatkan sistem, menjadi sukses. Dalam hal ini, kemampuan diri sendirilah yang utama. Sukses bukan karena berkat lagi: karena saya. Karena saya membuat keputusan tepat di waktu yang tepat pada orang yang tepat. Saya, saya, dan saya... Faktor Tuhan, suka atau tidak suka, menjadi nomor dua. Kita berdoa – ya, kita berdoa – tapi, apakah kita berani mempertaruhkan sebuah Purchase Order hanya beralaskan doa? Tentu tidak. Saya, saya, dan saya!


Namun, saya sendiri adalah pribadi yang terbatas. Tuhan punya cara, Ia tahu membimbing anakNya dengan cara yang paling tepat. Saya boleh berusaha, saya boleh lari kiri-kanan, tapi tetap saja akhirnya mentok di sebuah tembok. Akhirnya tidak ada lagi yang bisa dilakukan, setelah semua strategi keluar, setelah semua trik dilakukan, selain menunggu. Menunggu keputusan, menunggu PO, atau menunggu tender. Dalam proses menunggu inilah – saat semua daya upaya sudah dilakukan – saya kembali teringat Tuhan. Toh, akhirnya, keputusan di tangan Tuhan juga. Toh, akhirnya, Tuhan jugalah yang menjadi hakim untuk menguraikan segala jalan, upaya, dan rute, menjadi sebuah kesimpulan. Lalu, saya harus berdoa. Waduh, ini sulit. Masak hanya berdoa saja, PO bisa didapat? Tender bisa menang? Kalau begitu, mengapa begitu bersusah payah sebelumnya?


Perikop diatas adalah sebuah kalimat yang sangat menyejukkan hati. Kalimat yang membuat saya tertegun ketika saya merasa semua peluru sudah habis ditembakkan, ketika yang saya pegang hanya sebuah pistol berasap tanpa peluru. Ketika saya belum tahu, apalah semua peluru tadi tepat sasaran, apakah semua yang saya lakukan ada maknanya. Ketika hasil dari kerja keras saya bergantung pada sebuah keputusan yang ada di tanganNya. Harusnya saya berdoa? Haruskah saya berpuasa? Apakah iman saya cukup? Rasanya tidak. Kalau tidak, lalu...


Kalimat diatas menegaskan satu hal: bahwa seorang pribadi adalah terbatas. Lalu bagaimana, apakah doa saja cukup? Apakah puasa cukup? Tidak: yang harus dilakukan adalah bekerja. Perikop diatas menegaskan, bahwa Kerajaan Allah yang harus terlebih dulu dicari. Kerajaan Allah yang harus menjadi prioritas. Dan – inilah yang indah – semuanya akan ‘ditambahkan kepadamu’. Artinya, tambahan itu bonus saja, selama Kerajaan Allah yang menjadi prioritas. Inilah yang akhirnya menyadarkan saya: mengapa saya begitu merasa tak berdaya? Karena yang saya cari bukanlah Kerajaan Allah, tapi Kerajaan Dunia. Jadi, saya terjebak dalam lekuk liku duniawi.


Tapi, ketika Kerajaan Allah masuk kembali menjadi prioritas saya, hati saya menjadi tenang. Hari-hari berubah dari penantian yang mendebarkan menjadi masa-masa yang indah. Mengapa saya harus kuatirkan sasaran saya, PO saya, atau tujuan saya? Toh, semuanya itu akan ditambahan kepada saya. Justru, dengan memindahkan fokus ke arahNya, saya bisa mengorganisasi langkah menuju sasaran duniawi dengan pikiran yang lebih jernih, lebih tenang. Lebih bersifat nothing to lose, toh, Kerajaan Allah yang saya cari. Terima kasih Tuhan, atas pencerahan ini. Semoga saya cukup konsisten untuk menjalankannya!

Kedoya, 15 September 2010

Tuesday, September 07, 2010

Waktu Untuk Segala Sesuatu

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya”
“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.”

Pengkhotbah 3:1,11


Waktu adalah sebuah dilema manusia. Mula-mula manusia mengukur waktu lewat pergerakan benda-benda langit, seperti bulan, matahari, dan bintang. Kemudian, manusia mulai membuat mekanisme mesin yang berdetak untuk mengukur waktu, dengan pegas dan roda gigi, sehingga setiap orang bisa membawa pengukur waktu di kantungnya dan mendeteksi waktu dengan lebih baik. Lalu, teknologi berkembang lagi, dengan adanya jam tangan digital. Waktu ini bisa diukur dengan mudah dan murah, bisa diakses oleh semua orang. Pencapaian teknologi yang tertinggi kemudian adalah lahirnya jam atom, yang bisa mengukur waktu dengan akurasi mencapai 10-9 detik per hari.

Namun, dari sejak lahirnya kebudayaan sampai sekarang, manusia cuma bisa mengukur waktu. Waktu tidak bisa dipercepat, tidak bisa diperlambat, tidak juga bisa dilompati. Banyak literatur yang diinspirasi oleh ide ‘melompati waktu’, yang biasanya berakhir dengan kekacauan dan bukan happy ending. Mengapa? Karena waktulah yang menentukan runut hidup manusia. Kalau runutnya kacau, maka semua orang pun akan paham, betapa kemudian hidup itu sendiri – dan bahkan dunia ini – menjadi kacau juga.

Sebagai seorang manusia, saya seringkali mengalami rasa frustrasi menghadapi waktu. Saya adalah orang yang cenderung ingin buru-buru, ingin serba cepat. Untuk mengurus proyek atau sebuah proses produksi, hal ini tentu saja tidak buruk. Tetapi, dalam dunia sales, dan terutama dunia personal, pemilihan waktu (timing) yang pas adalah segalanya. Terlalu cepat bakal kacau, terlambat apalagi. Saya menjadi bingung sendiri: kalau kita tidak bisa melihat masa depan dan melakukan pembahasan (review) untuk mengambil keputusan kapan waktu yang tepat, bagaimana kita bisa menang dalam permainan ini? Seperti mendayung perahu diatas sungai yang tenang yang ujungnya adalah air terjun. Kapan saya harus melompat dan berenang? Ya mana tahu, air terjunnya kan nggak kelihatan?

Dilema ini sangat mengganggu saya karena tidak ada teknologi ataupun cara yang bisa melangkahi waktu. Dengan demikian, waktu yang tepat adalah soal ‘hoki’, soal keberuntungan. Kalau beruntung, baru bisa. Terus terang, saya tidak suka dengan kata ‘hoki’, karena hoki berarti jatuh dari langit dan kita tidak bisa mengusahakannya. Tidak adil bukan? Masak yang bekerja keras dan tidak hoki bisa gagal, sementara yang santai saja tapi hoki bisa sukses? Kalau begitu, untuk apa kita bekerja? Duduk-duduk saja dibawah pohon sambil menunggu jatuhnya buah hoki. Bukan demikian?

Namun, khotbah yang baru saya dengan dan perikop Pengkhotbah ini sangat menenangkan saya. Di kala rencana sedang berantakan, acara yang sudah diatur justru batal, dan beberapa agenda amburadul, Tuhan berbicara kepada saya dengan lantang, bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya. Bukan secara positif saja: misalnya ada waktu untuk memeluk, dan ada waktu untuk tidak memeluk. Jadi, untuk ‘tidak melakukan’ sesuatu saja ada waktunya, kalau dilakukan terus-menerus justru akan gagal. Waktu inilah yang harus ditunggu, dimana kita harus sabar. Tapi, sabar kalau hanya menunggu kegagalan, bukankah akan membuat gelisah juga?

Kalimat terakhir yang sangat indah, yang biasanya tertera di undangan pernikahan, langsung menenangkan hati saya. Bahwa Tuhan membuat segala sesuatu ‘indah pada waktunya’. Jadi, segala sesuatu itu sudah ada dari dulu sebenarnya. Tapi, ketika waktunya tiba, akan menjadi indah. Dan, hanya waktu yang membuatnya indah. Tidak perlu ada usaha tambahan, tidak perlu kita pontang-panting, tidak perlu bombardir berlebihan. Tunggu saja, karena waktu yang berjalan saja dapat membuat segala sesuatu dari biasa menjadi indah. Dan, Tuhanlah yang menciptakan waktu itu, supaya manusia sadar, bahwa usahanya hanya sampai sejauh ini. Supaya manusia kemudian percaya, bahwa semua yang diperoleh adalah karuniaNya, karena waktu itulah anugerahNya. Supaya saya sadar dan sabar, bukan sekadar menunggu hoki, tapi menanti waktu dimana segala sesuatunya menjadi indah karenaNya.


06.09.10 – Terima kasih!

Thursday, July 29, 2010

Gusti Ora Sare

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah”
Roma 8:28


Seorang pebisnis global pernah menulis sebuah artikel yang menarik di majalah CNN Travel. Di dalam artikel tersebut dia menceritakan tentang perjalanan bagasi dalam perjalanan udara, jadi apa yang terjadi pada koper dan tas kita setelah di-check-in-kan di counter check-in maskapai penerbangan. Koper-koper itu diberi tanda atau tag, yang kemudian di-scan dengan sensor infra merah pada setiap pintu. Lalu, tergantung airportnya, mulailah perjalanan unik sang bagasi yang tidak kalah padat dengan pemiliknya.


Koper-koper ini akan berjalan melalui sistem konveyor yang rumit, bergerak dari satu terminal ke terminal lain menuju gate penerbangannya. Kemudian, dari sana bagasi akan masuk ke kompartemen bagasi dari alumunium berbentuk kotak. Dari situ akan ditarik oleh sebuah mobil untuk dimasukkan ke dalam bagasi pesawat. Bagasi pesawat tidak memiliki pelindung suhu seperti dalam kabin penumpang, sehingga suhu bisa jatuh sampai 5oC. Ketika transit, prosesnya lebih rumit lagi, karena bagasi-bagasi ini bergerak secara otomatir dari satu terminal ke terminal lain, mengikuti penumpangnya – yang mungkin sedang ngopi di salah satu kafe bandara – untuk ke pesawat yang dituju. Sampai sana, bagasi masuk kotak aluminium lagi, dan begitu sampai di tujuan, barulah ia bertemu kembali dengan pemiliknya.


Proses ini begitu tersembunyi, begitu otomatis, sehingga kita tidak pernah memperhatikannya. Yang kita ingat hanyalah pada saat bagasi kita hilang – lalu dengan lantang kita mengajukan keluhan pada sistem bagasi yang ngawur atau teknologi yang kurang canggih. Padahal, bayangkan: sekitar 1 dari 100.000 bagasi mengalami masalah dalam perjalanan – sisanya semuanya lancar! Kita sendiri, mungkin mengalami 1 – 2 kali kehilangan atau kerusakan bagasi, tetapi berapa kali kita mengalami pengantaran bagasi yang lancar, mulus, tiba dengan selamat?
Saya rasa, begitulah juga Allah turut bekerja dalam kehidupan kita. Allah Maha Kuasa, Ia mengetahui dan mengatur semua aspek kehidupan kita. Ia tahu kapan waktu yang tepat, Ia tahu kapan kita menangis, tertawa, atau kesakitan. Ia bekerja, dalam segala sesuatu, seperti yang ada dalam perikop diatas. Tapi, apakah kita pernah bersyukur? Yang kita ingat hanyalah masa-masa sial, dimana kita mengalami musibah atau bencana. Namun, jutaan kali matahari terbit dan terbenam tepat waktu, ribuan kali musim berganti sesuai jadwal, dan kerja Allah lain dari besar sampai kecil, kadang kurang kita perhatikan. Marilah bersyukur atas hal-hal kecil – karena Allah tidak tidur, Gusti ora sare!

Thursday, July 15, 2010

Berdamai Dengan Kematian

Menghadapi kematian memang gampang-gampang susah. Gampang, karena mengucapkan kata 'mati' itu lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata "Mampus lu!" atau "Mati dah gua..." sering sekali kita ucapkan, baik sengaja maupun tidak, hehe. Bahkan mati seolah-olah menjadi pilihan dalam hidup, seolah-olah sebagai emergency button yang kadang-kadang dengan warnanya yang merah dan bentuknya yang menonjol dengan sexy-nya, menggoda kita untuk menekannya. Padahal, kematian yang sesungguhnya, apalagi yang tidak diduga-duga, sangat lain bentuknya dengan 'mampus' yang kita lafalkan. Kematian yang sesungguhnya sangat berat, karena merupakan sebuah kondisi yang konstan, padahal hidup ini tidak ada yang konstan. Makan, lapar lagi. Kaya, bisa miskin. Mati adalah konstan, sehingga kadang-kadang pikiran kita seolah-olah ditampar berkali-kali setiap kali dia mengecek kenyataan dan mendapatkan bahwa yang mati tetaplah mati dan belum berubah.

Tahap pertama dalam menghadapi kematian pasti adalah menerima kematian itu. Sebenarnya penerimaan ini bukan pilihan - mau tidak mau ya harus diterima. Hanya, memang pikiran dan jiwa manusia butuh waktu untuk me-register dalam prosesornya bahwa yang bersangkutan sudah tidak ada. Pikiran kita berkali-kali mengecek kenyataan, bahkan rasanya tidak akan kaget bila yang sudah meninggalkan kita itu masih mengirim sms atau pesan facebook. Ini adalah sebuah proses yang sangat-sangat melelahkan, karena berkali-kali proses pengecekan dilakukan, berkali-kali pula kita disadarkan akan kepahitan dan kehilangan yang terjadi. Lalu muncul pertanyaan yang paling jahat: mengapa? Dan demikian seterusnya.

Tetapi, Tuhan memang Maha Adil. Beliau sudah menyiapkan suatu sistem dalam jiwa kita yang membuat proses ini tidak berlangsung selamanya. Otak dan hati kemudian akan mulai belajar menerima kenyataan kehilangan tersebut. Hati dan pikiran mulai sedikit rileks, tidak lagi melakukan mengecekan berulang-ulang. Ini berarti kehilangan yang bersangkutan sudah diregister dalam alam bawah sadar kita. Hidup mulai kembali normal, biasanya dalam jangka waktu setahun setelah kehilangan. Saya sendiri merasa heran, betapa besar perbedaan antara setahun sebelum dan sesudah kehilangan. Tuhan memang Maha Adil.

Sesudah bisa menerima, tahap berikutnya adalah hidup dengan kematian. Ini artinya, antara hidup dan kematian berjalan berdampingan. Hati dan otak sudah meregister bahwa yang bersangkutan sudah tidak ada. Hidup berjalan kembali. Matahari terbit dan tenggelam, anak-anak lulus dan pindah sekolah. Tapi, yang bersangkutan tetap tidak ada. Otak sudah tidak teriak lagi, tetapi masih diam. Tidak berceloteh. Hidup diusahakan berjalan tanpa yang bersangkutan. Kalau bisa jangan diingat, kalau bisa ditiadakan. Kalau bisa jangan dibicarakan, supaya hidup tidak terganggu. Tapi, masalahnya, kematian adalah konstan. Mau dicuekin pun, kematian tetap ada di pojok. Menyeringai dengan jahatnya. Begitu kita sedih, begitu otak lelah dan lengah, kematian menelusup masuk. Mengungkit kenangan dan argumen lama. Keluarlah kalimat pengandaian yang paling jahat: seandainya... kalau waktu itu...

Inilah yang disebut hidup dengan kematian. Hidup berjalan, kematian juga berjalan. Berdampingan, sikut-sikutan. Masing-masing berebut perhatian otak dan hati kita. Masing-masing berusaha menarik perhatian nurani dan jiwa kita. Masing-masing teguh berada di tempatnya, membuat kita seolah tercabik di tengah-tengah. Hidup menjadi kosong, karena kita berada diantara hidup dan kematian. Ke kiri tidak, ke kanan tidak. Lama-lama, tenaga akan habis, dan kepahitan akan menaklukkan optimisme kita. Itu kalau kita tenggelam dalam tahap ini, dan tidak berbuat sesuatu untuk maju ke tahap berikutnya!

Apakah tahap berikutnya? Berdamai dengan kematian. Sebuah kata-kata indah yang saya dapatkan dari sebuaj episode Kick Andy di MetroTV. Episode yang mengisahkan keluarga yang ditinggalkan sanaknya ketika menjadi korban jatuhnya pesawat Adam Air beberapa tahun lalu. Trenyuh melihat mereka di TV. Saya baru kehilangan seorang adik saja sudah begini, apalagi ini, satu keluarga seketurunan hilang semua dalam waktu singkat. Namun, judul episode ini membuat saya tersentuh, karena inilah tahap berikutnya. Kita harus berdamai dengan kematian.

Maksudnya berdamai adalah, kenyataan kehilangan bukan lagi dianggap sebuah tabu. Orang yang kita cintai tidak lagi kita simpan dalam-dalam dalam kotak hati yang tertutup rapat, kalau bisa jangan diperlihatkan siapa-siapa. Kenangan-kenangan yang ada kita buang, kita letakkan nun jauh disana, kalau bisa jangan teringat lagi. Ini bukan damai namanya, ini berarti musuhan dengan kematian. Kematian kita anggap musuh, kita jauhkan, kita lupakan. Namun, sudah menjadi sifat kematian yang sangat konsisten. Seringainya tetap tersungging di pojok saja, dan ia akan kembali sejauh apapun kita berusaha menghindar. Ingat, kita selalu berubah, sementara kematian konstan. Ia persisten. Ia tetap disana, sementara kita bolak-balik. Dalam proses bolak-balik ini, pasti satu atau dua kali kita bersenggolan dengan kenangan kematian, dan seringainya sekali lagi melemahkan kita.

Berdamai berarti berjalan berdampingan dengan kematian. Berdamai berarti mengenang orang terkasih sebagaimana adanya. Berdamai berarti tidak menghindar dari kenangan kematian, tetapi bergandengan tangan dan melangkah bersama mengarungi kehidupan. Mengganggap kematian sebagai sebuah kenyataan pahit yang akan membawa berkah, yang sudah terencana. Menerima, bahwa rencanaNya diatas rencana kita. Mengakui, bahwa toh kita semua akan berakhir sama - kita hanya berbeda waktu. Jadi, untuk apa ditangisi? Untuk apa dihindari? Waktu toh sama konsistennya dengan kematian. Waktu toh tidak bisa kita rem atau kita percepat. Waktu kita sendiri, tidak bisa sedetikpun kita percepat atau perlambat. Jadi, nikmati saja! Waktunya akan tiba bahwa kita berkumpul kembali. Kenanglah waktu-waktu yang lalu, bersiaplah menuju waktu yang akan datang, tiba waktunya.

Tuhan memang Maha Adil. Ketika Ia menciptakan kematian yang konstan, ia juga menciptakan waktu yang sama konstannya. Waktu pada akhirnya akan menang, sampai Ia datang untuk kedua kalinya. Untuk apa kita kuatir?

Berdamai dengan kematian berarti menghargai kematian dan kehidupan apa adanya. Berdamai dengan kematian berarti mengenang yang tercinta dengan terbuka, tidak menyimpannya dalam hati. Berdamai dengan kematian adalah langkah terakhir, yang tidak jatuh dari langit, tetapi sesuatu yang harus kita usahakan. Harus kita perjuangkan, dan menjadi pembelajaran besar buat hati kita. Itulah sebabnya banyak sekali jiwa-jiwa besar hidup di tahun 1960-an. Karena, begitu banyak orang pada waktu itu didera kehilangan hebat akibat Perang Dunia II. Lihat apa akibatnya! Mereka keluar sebagai pemenang, jiwa mereka kuat, hatinya teguh, jauh jika dibandingkan dengan generasi sekarang. Itulah manfaat dan kekuatan yang diperoleh dari perdamaian dengan kematian.

Jadi, berdamailah dengan kematian. Jangan musuhi dia, jangan hindari dia. Hadapi dia - jabatlah tangannya. Nicaya seringai sinis itu akan menjadi senyum manis, dan kenangan yang dulu indah, akan menjadi indah kembali.

Toh.... kita cuma berbeda waktu!

3 Tahun Meninggalnya dr. Erina Natania Nazarudin
Kedoya, 15 Juli 2010

Sunday, July 11, 2010

Mengapa Orang Gerasa Takut Kepada Yesus?

'Dan Yesus bertanya kepadanya: “Siapakah namanu?” Jawabnya: “Legion,” karena ia kerasukan banyak setan.'

Lukas 8:30

'Orang-orang yng telah melihat sendiri hal itu memberutahukan kepada merek, bagaimana orang yang dirasuk setan itu telah diselamatkan. Lalu seluruh penduduk daerah Gerasa meminta kepada Yesus, supaya Ia meninggalkan mereka, sebab mereka sangat ketakukan. Maka naiklah Ia ke dalam perahu, lalu berlayar kembali'

Lukas 8:36-37

'Dan orang yang telah ditinggalkan setan-setan itu meminta supaya ia diperkenankan menyertai-Nya. Tetapi Yesus menyuruh dia pergi, kataNya: “Pulanglah ke rumahmu dan ceriterakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu.” Orang itupun pergi mengelilingi seluruh kota dan memberitahukan segala apa yang telah diperbuat Yesus atas dirinya'

Lukas 8:38-39

Kisah misterius ini membuat kita sulit percaya bahwa kejadian ini benar-benar terjadi. Kita berpikir, mungkin ini adalah suatu kiasan, atau Tuhan Yesus sedang membuat perumpamaan mengenai sesuatu. Jika tidak, bagaimana sesuatu yang dramatis seperti ini bisa terjadi? Bahwa satu orang bisa dirasuki bukan satu, tapi 2000 setan? Bahwa kemudiannya setan tersebut tidak diusir tetapi masuk ke dalam babi? Babinya kemudian terjun ke dalam laut? Dan, yang paling aneh lagi, bukannya berterima kasih, mengapa penduduk setempat malah meminta Tuhan Yesus pergi? Dan, orang yang disembuhkan justru tidak boleh mengikut Yesus?

Secara jurnalistik, kalau kisah ini adanya hanya di salah satu kitab, kebenarannya bolehlah diperdebatkan. Tetapi, kisah pengusiran setan orang Gerasa ini dikisahkan bukan hanya dalam satu, tetapi tiga Injil sekaligus: dalam Matius 8:28—34, Markus 5:1-20, dan Lukas 8:30-39. Semuanya mengisahkan ceritra yang mirip. Mengenai makna pengusiran setannya sendiri, sudah banyak dibahas di berbagai tulisan dan khotbah. Namun, ketika saya mendengar khotbah ini di GKI Cikarang, yang mengganggu benak saya adalah: mengapa masyarakat sekitar bukannya menerima Tuhan Yesus, tetapi malah takut dan meminta Tuhan Yesus pergi?

Bayangkan jika hal ini terjadi di kampung Anda: ada orang yang sudaj lama gila, tinggalnya di kuburan. Orang ini tidak berpakaian, sering kerasukan dan mengguling-guling sambil berteriak-teriak. Pernah dicoba dipasung, tapi orang ini saking kuatnya, pasungannya sampai bisa dipatahkan. Akhirnya dia berjalan-jalan saja di kuburan, seperti orang liar, mengganggu dan mengancam keamanan setempat. Apa yang Anda lakukan? Ya – memanggil dukun atau pendeta atau pastor, bukan? Lalu, kalau setannya berhasil keluar, Anda pasti berterima kasih pada orang yang mengusirnya. Nah, lalu bagaimana orang Gerasa ini? Mengapa mereka justru disebutkan 'takut' dan meminta Tuhan Yesus pergi?

Alasan umum yang sering dikutip adalah bahwa orang Gerasa kehilangan peliharaannya yang berharga, yaitu babi. Dalam Alkitab tidak disebutkan jumlahnya, tetapi satuan legion dalam militer Romawi berarti 2000 pasukan, sehingga kira-kira ada 2000 ekor babi yang mati. Namun, kalau memang orang Gerasa kesal atau marah, mengapa disebut takut? Kata 'takut' dalam Alkitab sering juga berarti kagum, seperti ketika Tuhan Yesus menyembuhkan orang lumpuh dalam Matius 9:8. Namun, sesudah itu dalam Matius 9 dikisahkan orang-orang yang takut kemudian memuji danmemuliakan Allah, yang ini kok malah meminta Tuhan Yesus pergi? Rasanya, kalau alasannya kehilangan uang, mereka pasti punya reaksi yang berbeda. Atau, Alkitab pasti menuliskan reaksi mereka sebagai marah, kesal, atau terganggu. Tapi, tidak ketakukan, bukan?

Untuk memahami hal ini, kita perlu memahami latar belakang orang Gerasa. Gerasa adalah salah satu bagian dari Dekapolis yang terletak di sebrang Danau Galilea kalau dilihat dari arah Nazareth. Gerasa, sama seperti Kaesarea Filipi, adalah wilayah diluar daerah inti Israel. Artinya, di daerah ini pengaruh Yahudi tidak lagi kuat, bahkan bahasa yang digunakan sudah bukan lagi bahasa Yahudi tetapi bahasa Romawi dan Yunani. Disebutkan bahwa di wilayah Gerasa ini, pengaruh Yunani sangat kuat.

Yunani memiliki sejarah yang unik, mirip dengan peradaban Eropa masa kini. Yunani memulai peradaban mereka dengan mistisisme yang kuat, seperti konsultasi dengan 'dukun' bernama 'Orakel' di kuil Pantheon, yang konon bisa menatap masa depan. Tapi, perkembangan sastra dan intelektualitas membuat orang Yunani menjadi sangat pragmatis. Muncul universitas-universitas, serta filsuf-filsuf handal seperti Plato dan Aristoteles, yang membawa semangat mirip jaman pencerahan di Eropa. Budaya Yunani terkenal menjadi sangat pragmatis, materialis, dan mengandalkan otak dan kekuatan manusia. Buat mereka, dunia orang Yahudi yang penuh dengan ritual, mukjijat, dan aturan agama, pastilah terlihat sangat 'kuno', aneh, dan – menakutkan.

Menurut saya, inilah alasan mengapa orang Gerasa takut. Namun, dalam perikop ini terbukti bahwa yang pragmatis belum tentu suci. Dalam sejarah Alkitab, tidak pernah Tuhan Yesus mengusir begitu banyak setan dari satu orang, dari satu tempat. Bisa terbayang, betapa besar kekuatan setan pada waktu itu: menyebrang Danau Galilea saja, belum sampai menyebrang lautan – sekali ketemu orang, setannya ada 2000! Sepertinya, kehadiran setan ini justru diakibatkan oleh masyarakat Gerasa yang cuek tentang hal-hal rohaniah, soal moral dan agama. Ini mirip dengan dunia kita saat ini, dimana teknologi dan ilmu pengetahuan mengambil alih ritual dan agama. Hati-hati! Jangan-jangan ada ribuan setan yang mengintai kita!

CS Lewis, seorang penulis Kristen dari Amerika, memiliki pendapat yang sangat cocok mengenai perikop ini. Menurut beliau, ada dua sikap yang sama-sama salah dalam menghadapi dunia rohaniah atau dunia gaib, di luar jangkauan ilmu pengetahuan. Di satu pihak, terlalu percaya sehingga menjadi pemuja setan, penyuka jimat dan hal-hal klenik, adalah salah. Di lain pihak, terlalu cuek, sehingga tidak menghiraukan hal-hal yang tidak duniawi, juga adalah dosa. Manusia perlu menggunakan kerohaniannya seperti menggunakan akal budinya, dengan takaran tertentu agar seimbang. Seperti Albert Einstein, yang walaupun demikian kuat nalarnya, masih menyisakan ruang untuk Tuhan dalam alam pikirannya. “God does not play dice” katanya. Tuhan tidak seperti bermain dadu ketika menciptakan dunia.

Amin.

Cikarang, 11 Juli 2010

Monday, May 10, 2010

Janji Allah dan Janji Sales

“Aku bersumpah demi diriKu sendiri demikianlah Firman Tuhan: Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakMu yang tunggal kepadaKu, maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firmanKu”
Kejadian 22:16 – 18


Di jaman modern seperti sekarang ini, nilai kata ‘janji’ mengalami penurunan drastis. Ini tak lain adalah akibat dari kemajuan teknologi informasi, dimana setiap saat kita bisa mengontak rekan dan saudara di tempat lain, propinsi lain, bahkan benua lain, dengan cepat dan murah pula. Saya jadi ingat komentar supir kami di Bandung yang dulunya bekerja sebagai supir angkot lalu bangkrut. Kenapa angkotnya bisa bangkrut? Jawabannya adalah karena dua hal: motor dan HP. Motor, karena dengan banyaknya kredit motor, pelanggan lebih suka naik motor daripada naik angkot (ya jelas lah!). Lalu HP, apa hubungannya? “Dulu, orang sering pergi ke pinggiran kota mengunjungi keluarga yang ada disana” katanya. “Sesudah ada HP, sms aja, atau telepon, paling 250 perak! Jadi, ya nggak perlu lagi repot naik angkot untuk ngunjungin keluarganya” katanya. Hmmm, benar juga ya!

Saya tadinya mau melakukan argumen balik dengan teori marketing bahwa kebangkrutan angkotnya bukan karena itu saja, tetapi karena tidak ada perbaikan pelayan dari pihak penyelenggara angkot sendiri. Tapi, sudahlah! Wong sudah bangkrut kok, nasihatnya terlambat. Apa hubungannya angkot dengan janji? Terbayang kan, bahwa dulu, kalau seorang anak berkata pada ibunya, “Bu, selama saya kerja di kota, setiap Jumat saya akan kontak Ibu, ya!”. Yang disebut ‘kontak’ itu dulu melibatkan kerja keras, naik angkot, ganti tiga kali, jalan dua jam, jalanan buruk, banjir dan hujan, untuk diwujudkan. Sekarang? Seratus perak, atau bahkan gratis kalau ada promo, dengan modal HP dan sedikit pulsa.

Alhasil, yang namanya ‘janji’sering menjadi tinggal janji, karena semakin mudah mewujudkannya. Ketemuan dengan teman pun, kini tidak pernah menyebutkan tempat spesifik dan waktunya. “Nanti ya, begitu saya sampai, saya telepon atau sms, baru kita janjian ketemu dimana!”. Wajar bukan? Kita bahkan tidak berani memberikan janji ketemu di Lantai 3 Kios A14 jam 14.00, seperti waktu dulu saya masih SD, jaman HP belum umum. Makin rendah kualitas janjinya, kalau ngaret pun tidak apa-apa! Bayangkan kontrasnya nilai ‘janji’ ini dengan nilai ‘janji’ yang kita lihat di film-film silat Hongkong. Ketika mau pergi naik kuda, sang pendekar memberikan sembah, sambil berkata “Kakak kedua, saya janji, di tempat ini, kita akan bertemu tiga bulan lagi!”. Tiga bulan juga, tanpa sepotongpun alternatif untuk mencari berita sebelumnya kecuali lewat merpati pos, sang kakak kedua menunggu. Dan, adiknya datang beneran! Begitu juga kehidupan para pelaut, yang berbulan-bulan di lautan, atau tentara di medan perang jaman dahulu.

Dengan demikian, kadang-kadang kita memandang janji dengan nilai yang terlalu rendah. Janji menjadi seperti karet, bisa mulur atau mengkerut. Muncullah istilah baru: janji sales! Janji seorang sales, yang bisa diatur sesuai keadaan. Pemahaman ini juga melanda ranah rohani, ketika kita mendengar ‘janji Tuhan’. Apakah janji Tuhan sama seperti janji Sales? Kan repot kalau kita sudah berbuat baik seumur hidup, menjadi anak Tuhan yang baik, dan ketika sampai di pintu Surga, yang menjaga pintu menyodorkan sebuah kontrak “Lho, Bapak mengira akan masuk Surga ya? Pak, seharusnya Bapak membaca dulu Syarat dan Ketentuannya dengan teliti yang dicetak dibawah dengan huruf kecil....”. Apa tidak cilaka empat belas kuadrat kalau hal seperti itu?

Kalau Doen Moen lewat lagunya ‘Shout to the Lord’ bisa berani lantang berkata, nothing compares to the promise I have in You (tidak ada yang sebanding dengan janjiMu), sebenarnya, janji apa sih yang dimaksud? Mari kita cek buku ‘Syarat dan Ketentuan’ kita dalam huruf kecil – yaitu Alkitab. Jangan-jangan, yang disebut janji-janji itu malah tidak pernah tertulis?
Kata ‘promise’ dalam Alkitab versi New English Translation disebut sebanyak 121 kali. Kalau kita runut, janji Allah kepada manusia yang pertama adalah Kejadian 17, yang menjelaskan mengenai perjanjian antara Allah dengan Abraham. Dari pihak Allah, Ia berjanji akan membuat Abraham berketurunan banyak dan Ia akan menjadi Allah bagi bangsa keturunan Abraham ini. Sementara dari pihak Abraham, harus membalas dengan berjanji melakukan sunat, yaitu membuang kulit khatan di alat kelamin pria, sebagai tanda perjanjian. Ini adalah perjanjian yang pertama, kemudian Allah juga berjanji memberikan putra bagi Abraham melalui Sarah, istri pertamanya. Janji ini disambut dengan tawa oleh Abraham, bahkan tercatat dalam Alkitab. Abraham berpikir, ini pasti janji sales: mana mungkin setua Sarah bisa melahirkan anak? Tapi ya sudah, Abraham hanya menjalankan saja.

Tapi, kemudian janji Tuhan ternyata bukan janji sales. Sarah benar-benar mengandung dan melahirkan seorang putra! Abraham langsung senang sekali. Ia bahagia, bahwa Allahnya adalah Allah yang baik, yang memenuhi janjiNya. Ia adalah Allah yang penuh kasih, yang akan memberkati Ia dan keturunanNya. Namun, tiba-tiba sesuatu terjadi. Malaikat Allah kemudian memerintahkan Abraham untuk membunuh anaknya sendiri sebagai korban bagi Allah! Abraham sangat gentar. Padahal, Allah berjanji memberinya banyak keturunan, yang bukan dari Hagar. Lalu, kalau sekarang Allah minta Abraham membunuh Ishak, bukankah itu namanya janji sales juga? Janji yang tidak ditepati? Apakah Abraham bisa memegang janji Allahnya?

Inilah nilai janji yang sesungguhnya. Disinilah iman Abraham betul-betul diuji. Kalau Abraham benar-benar percaya akan janji Allah, berarti ia harus mengikuti perintahnya dan mengorbankan Ishak. Dengan hati hancur, ia menyiapkan segala sesuatunya: kayu untuk bakaran, pisau, lalu....

Kita semua tahu, peristiwa dramatis apa yang akan terjadi. Malaikat Allah datang dan menampik pisau yang akan membunuh Ishak. Lalu, disinilah janji Allah itu diperbaharui. Karena, Abraham sudah melalui ujian yang begitu besar, ujian yang menggojlok kualitas kepercayaan Abraham terhadap sebuah janji Allah. Tidak ada handphone, tidak bisa kirim sms pada Allah dan bertanya: “Pagi Ya Allah, ini maksudnya bagaimana? balas”, bahkan tidak bisa post di facebook untuk minta penjelasan. Yang bisa dilakukan hanya satu: percaya akan janji Allah, yang kemudian dilakukan Abraham dengan sepenuh hati, sehingga malaikat Allah membaharui janjinya seperti perikop diatas. Begitu terkesannya Allah dengan iman Abraham yang mengorbankan anak tunggalnya, sampai Iapun akhirnya mengorbankan Anak TunggalNya untuk keselamatan manusia. Jelaslah, janji Allah bukan janji sales – Ia akan menepatinya!

Kedoya, 10 Mei 2010

'Passive Income' Dalam Alkitab

‘Lalu FirmanNya kepada manusia itu: “Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu”’
Kejadian 3: 17 – 19

Robert Kiyosaki, seorang motivator ulung dunia, pernah terkenal dengan teori kuadran-nya. Dia menyebutkan bahwa manusia yang bekerja bisa dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran pertama adalah E atau employee, pegawai yang bekerja pada sebuah perusahaan, yang bergantung pada gaji bulanan untuk hidup sehari-hari. Kuadran kedua adalah S atau self-employed, seorang pekerja lepas, yang dibayar karena kemampuannya tetapi tidak bekerja pada perusahaan tertentu. Kuadran ketiga adalah B atau business owner, pemilik bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan dari bisnisnya. Kuadran keempat adalah I atau investor yang mendapatkan keuntungan dari uang yang diinvestasikan.

Dari teori ini, banyak orang memiliki pemahaman yang sebenarnya kurang tepat, yakni dimana seseorang dipacu untuk berada pada kuadran I atau B. Dalam kuadran ini, disebutkan seolah-olah bahwa ‘uang akan datang sendiri’, dimana Anda tinggal ongkang-ongkang kaki bersantai ria di rumah, dan ‘uang yang akan bekerja untuk Anda’. Uang akan menghasilkan uang secara otomatis dimana Anda tinggal menikmati hidup saja, tidak perlu kerja. Apakah benar demikian?
Saya sendiri adalah seorang pemilik bisnis walaupun kecil-kecilan. Saya sudah berusaha agar bisnis saya menjadi mandiri, dengan memberikan kepercayaan kepada pegawai. Saya berusaha untuk mengecilkan peran saya, memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya kepada pegawai. Tujuannya, saya ingin mencoba teori ini. Walaupun hasilnya tidak besar, bukankah menyenangkan jika bisa menghasilkan uang secara otomatis begini? Dimana uang akan datang sendiri tanpa tangan kita yang ikut bekerja?

Ternyata, kenyataan tidak seindah deskripsi awalnya. Memang, saya bisa mendapatkan keuntungan yang lumayan dari bisnis ini. Dan memang juga, bahwa saya sendiri tidak harus ikut bekerja, nongkrong dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore di kantornya. Tapi, bukan berarti saya ongkang-ongkang kaki saja. Ketika ada kerusakan barang milik orang lain sampai yang bersangkutan ingin menuntut kami ke pengadilan, sayalah yang ditelepon. Ketika neraca negatif sampai rugi cukup besar, sayalah yang menanggungnya. Ketika mesin rusak dan para pegawai harus begadang semalam suntuk untuk menyelesaikan order, saya memang tidak ikut bekerja, tapi saya ikut tidak bisa tidur! Karena saya tahu, kalau pelanggan kami besok kecewa karena kami tidak bisa menyelesaikan order, sayalah yang akan kena damprat di telepon!

Jadi, there is no such thing as a free lunch, kata orang Amerika. Demikian pula dalam hal pendapatan. Tidak mungkin uang datang sendiri tanpa kerja: pasti ada usaha yang harus kita lakukan untuk memperoleh hasil. Dan usaha secara fisika didefinisikan sebagai gaya dikalikan waktu, sehingga selalu dibutuhkan tenaga dan waktu untuk menghasilkan sesuatu. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam perikop Kejadian, ketika manusia dibuang ke bumi. Ini adalah salah satu kutukan dasar bagi manusia: tanah, yang di Surga menghasilkan segala sesuatu dengan sendirinya, di bumi harus ‘diusahakan’ agar bisa menghasilkan hasil. Jika tidak, maka hasilnya hanya semak duri dan rumput duri! Jadi, bahkan Alkitab pun setuju dengan fisika dan termodinamika: bahwa tidak mungkin ada hasil tanpa usaha!

Ada sebuah ilustrasi yang buat saya lebih cocok. Konon seorang ibu yang bijak pada suatu hari didatangi oleh seorang pengemis yang tangannya cacat. Pengemis ini berkata bahwa ia tidak bisa bekerja, dan memohon agar sang ibu mengasihani dia dan memberinya uang. Namun, sang ibu bilang, bahwa ia tidak punya uang, tapi punya makanan. Sang pengemis boleh makan, syaratnya adalah ia harus memindahkan setumpuk batu bata dari halaman depan rumah sang ibu ke halaman belakang. Sang pengemis pun, dengan satu tangan, susah payah memindahkan semua bata itu, sampai akhirnya ia bisa makan. Kemudian, hari keduanya, ia datang lagi, kali ini sang ibu meminta supaya bata yang ada di pekarangan belakang dipindahkan lagi ke depan, baru bisa makan. Begitu seterusnya, sampai suatu saat sang pengemis berhenti datang ke rumah sang ibu.
Bertahun-tahun kemudian datang sebuah kendaraan sedan mewah yang parkir di rumah sang ibu, yang tetap sederhana seperti dulu. Dari dalam mobil turun seorang yang nampak perlente, dengan jas dan jasi. Kacamata emasnya mengkilap berkilauan, jam swiss-nya yang berharga ratusan juta rupiah nampak terlingkar cantik di pergelangan tangan kirinya. Tangan kanannya tidak terlihat, rupanya beliau tangannya cacat. Ia lalu mengetuk pintu dan ketika sang ibu membuka pintu, sang ibu nyaris tidak mengenalinya lagi.

“Ibu, saya dulu adalah pengemis cacat yang pernah ikut makan di rumah ibu. Mula-mula saya tidak mengerti, mengapa Ibu meminta saya memindahkan bata bolak-balik dari depan ke belakang. Saya pikir Ibu kejam pada saya. Namun kemudian saya sadar, bahwa Ibu mencoba mengajarkan satu pelajaran penting: bahwa tidak ada makan yang gratis, semua datang dari keringat dan kerja keras. Setelah saya sadar, saya kemudian mencari kerja, dan menjadi sukses seperti sekarang. Saya datang kembali Ibu, untuk berterima kasih atas pelajaran hidup yang Ibu berikan...”

Cikarang, 2 Mei 2010

Monday, April 26, 2010

Dan Pastor Pun Membasuh Kaki Umatnya

“Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu, sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu”
Yohanes 13:14 - 15

Bagi umat Katolik, pada Misa Kamis Putih sebelum Paskah, Pastor biasanya melakukan ritual membasuh kaki jemaatnya. Hal ini dilakukan untuk memperingati tindakan Tuhan Yesus saat sebelum mengadakan perjamuan terakhir, dimana tertulis dalam Yohanes 13, bahwa Ia membasuh kaki para muridNya. Biasanya, dua atau tiga orang dipilih dari jemaat, untuk kemudian disiapkan duduk di tengah koridor. Lalu, sebelum pembagian Komuni, sang Pastor akan melepaskan jubah kepastorannya, mengenakan kain putih, lalu membasuh kaki jemaat yang dipilih tersebut.

Namun, pada suatu hari, ada seorang Pastor yang merasa gundah dengan ritual tersebut. Ia merasa, bahwa tatacara pelaksanaan ritual tersebut sudah tidak sesuai dengan makna dari pembasuhan kaki itu sendiri. Oleh karena itu, sebelum Misa Kamis Putih, ia berkata pada para sukarelawan gereja yang biasanya mengatur jemaat mana yang akan dibasuh kakinya, untuk tidak memilih siapapun tahun itu, bahkan tidak perlu menyiapkan baki dan kain. “Lalu bagaimana Pastor, apakah Pastor akan memilih seseorang langsung dari mimbar? Nanti terlihat tidak rapi lho Pastor, apalagi kalau baki dan lapnya tidak siap. Jangan-jangan umat akan merasa persiapan kita kurang matang…” kata Ibu Agnes yang menjadi sukarelawan dengan kuatir. Sang Pastor hanya menjawab dengan tersenyum.

Kemudian, Liturgi Misa pun berjalan seperti biasa. Namun, tidak ada kursi khusus di tengah koridor, tidak ada baki dan kain, walaupun ritual pencucian kaki jemaat masih ada di liturgi. Ibu Agnes, dan beberapa sukarelawan lain, nampak makin gelisah ketika liturgi makin mendekat ke upacara pembasuhan kaki. Bagaimana ini? Sama sekali tidak ada persiapan, pikir mereka. Namun, suara sang Pastor yang tetap tegas dan tenang, menunjukkan bahwa ia sudah punya rencana. Apakah Pastor akan meniadakan ritual ini? Apakah ia merasa ritual ini sudah tidak cocok dengan kehidupan jaman sekarang? Atau, jangan-jangan Sang Pastor merasa terlalu merendahkan diri, jika ia membasuh kaki jemaatnya? Mungkin Pastor merasa, tidak semestinya seorang Pastor yang adalah gembala jemaat, justru membungkuk-bungkuk berlutut di bawah kaki jemaatnya?

Kemudian, tibalah saat ritual pembasuhan kaki jemaat. Ibu Agnes makin panik, sudah mau pingsan rasanya. Suasana sunyi senyap, musik pun berhenti, menunggu apa yang akan dilakukan oleh Pastor. Namun, Sang Pastor tetap tenang. Ia menanggalkan jubah luarnya, lalu ia melepaskan jubah putihnya, sehingga Sang Pastor hanya berkemeja biasa. Ia lalu mengambil nampan perak yang ada di Altar, yang biasanya digunakan untuk meletakkan kain hosti. Sang Pastor berkata dengan tenang “Para jemaat, mohon menunggu sebentar ya”. Iapun turun dari mimbar, dan melenggang keluar melalui pintu gereja, dengan membawa nampan perak di tangan kiri dan jubah putihnya di tangan kanan. Para jemaat mulai gelisah, Bu Agnes merasakan napasnya semakin sesak. Ruang gereja dipenuhi bisik-bisik yang menimbulkan bunyi seperti menggumam, menggema di relung-relung atap gereja yang tinggi dan megah itu.

Tak lama kemudian, Sang Pastor kembali masuk. Ia tidak sendiri. Ia menggandeng tangan seseorang yang nampak akrab di mata semua jemaat. Siapa dia? Ya, dia adalah Pak Saleh, pengemis yang setiap minggu mangkal di pagar gereja. Ia sudah tua renta, mungkin 70-an tahun umurnya, konon sudah tidak punya keluarga dan tidak punya rumah lagi. Pakaiannya kumal, badannya hitam legam karena tidak pernah mandi. Rambutnya yang putih dibiarkan acak-acakan, kulitnya wajahnya yang keriput nampak membuat penampilannya semakin menyedihkan. Ada apa gerangan, mengapa Pak Saleh kok dibawa masuk gereja?

“Ayo, duduk Pak. Duduk, nggak apa-apa” kata Sang Pastor sambil tersenyum. Pak Saleh nampak grogi, tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba bisa masuk ke gereja yang megah ini. Apalagi, dipersilakan duduk oleh Pastor yang menyediakan sebuah kursis persis di depan Altar, di depan bapak-bapak dan ibu-ibu yang ganteng, cantik, dan wangi. Pak Saleh merasa rikuh, merasa ia begitu kotor, begitu hina, sebenarnya tidak layak untuk masuk apalagi duduk di depan seperti ini. “Anu, Pastor, saya….” kata Pak Saleh, namun senyum Sang Pastor, yang nampak ramah dengan kemeja coklatnya, meluluhkan hatinya. Iapun duduk.

Sang Pastor meminta seorang diaken untuk mengisi baki perak tersebut dengan air. Ia meletakkannya di samping kaki Pak Saleh. Pak Saleh menggunakan sebuah sepatu kulit tua yang sudah kumal, bolong di sana-sini, dan sudah terbuka sol bagian depannya. Tanpa kaus kaki, karena ia sudah tidak mampu membelinya. “Mohon ijin ya Pak Saleh…” kata Pastor lembut, diikuti oleh anggukan Pak Saleh. Pastor lalu membuka sepatu Pak Saleh, menampilkan telapak kakinya yang kotor, kapalan, bahkan ada luka borok di tumitnya. Langsung tercium bau busuk, sampai-sampai beberapa jemaat yang duduk di depan mulai menutup hidung. “Waduh, Pak Saleh jarang mandi ya Pak…” kata Pastor, disambut senyum Pak Saleh dan tawa jemaat, seolah-olah mencairkan suasana yang sedari tadi sunyi senyap.

Dengan telaten, Pastor mulai menggunakan nampak perak sebagai tempat air, menggunakan jubah putihnya sebagai kain, dan membasuh kaki Pak Saleh. Dicelupkannya kaki yang borokan itu ke dalam nampak perak tersebut, lalu disekanya pelan-pelan dengan kain jubahnya. Sela-sela jari kaki yang berdaki membuat kain yang tadinya putih langsung ternoda hitam. Lalu, diaken sudah menyiapkan sabun Lux, yang digunakan Pastor untuk menyabuni kaki Pak Saleh. Ujung-ujung kukunya, yang menebarkan bau busuk yang amat sangat, dibersihkannya satu-persatu dengan ujung kain jubahnya, sampai bersih. Dengan sabun, ia membersihkan telapak kaki serta tumit yang berborok itu. Digosoknya kaki Pak Saleh perlahan-lahan, sampai kulitnya menjadi bersih. Sampai terlihat bedanya antara telapak kaki dengan betisnya, yang masih hitam legam.

Setelah selesai, diaken membantu Pastor mengambil jubah dan nampan tadi, sekaligus mengambilkan sepasang sendal jepit untuk Pak Saleh. “Pak Saleh, sudah makan belum?” kata Pastor. “Belum Pastor, nggak ada uang…” jawabnya lirih. “Pak Koster baru saja masak sayur asem dan tempe goreng di pastoran. Pak Saleh mandi saja di pastoran, lalu makan dulu ya? Ditemani sama Pak Koster. Hari ini kan bukan hari Minggu, anggap saja Pak Saleh cuti dulu sehari…” kata Pastor setengah becanda, disambut lagi oleh tawa riuh para jemaat. Lalu, Pastor berjalan lagi keluar gereja melalui pintu samping, mengantar Pak Saleh menemui Koster. Kemudian, dengan tenang, seolah-olah tidak terjadi sesuatu yang aneh, Sang Pastor mencuci tangannya, kembali lagi ke Altar, mengenakan jubah putih yang baru, lalu mengenakan jubah ungunya kembali. Ketika Pastor sedang mengenakan jubah, seorang jemaat mulai bertepuk tangan, yang kemudian disambut dengan jemaat lainnya, dan terus-menerus sampai seluruh ruang gereja riuh rendah. Beberapa jemaat dengan spontan berdiri, seperti memberikan standing ovation untuk sebuah pertunjukan opera kelas dunia.

“Bapak Ibu sekalian” kata Pastor, sambil mengangkat tangan untuk meredakan tepukan tangan para jemaat.
“Mengapa saya melalukan hal ini hari ini? Saya merasa, bahwa ritual pembasuhan kaki yang biasa kita lakukan sudah keluar dari makna aslinya. Ritual pembasukan kaki kita begitu bersih, begitu agung, begitu rapi direncanakan, sampai-sampai para jemaat sudah siap-siap dari rumah pakai kaus kaki paling bagus, kalau perlu kakinya disemprot minyak wangi, siapa tahu dipilih oleh Ibu Agnes!” katanya, disambut tawa jemaat.

“Tapi, pada waktu Tuhan Yesus membasuh kaki para muridNya, suasananya sama sekali bukan seperti itu. Baru beberapa minggu sebelumnya, berturut-turut terjadi peristiwa yang menyenangkan hati para pengikut Yesus. Ia diurapi di Betania. Kemudian, Lazarus dibangkitkan oleh Tuhan Yesus, menandakan kuasaNya yang luar biasa. Lalu, Tuhan Yesus disambut bak seorang Raja ketika Ia masuk ke Yerusalem. Semua pengikut Tuhan Yesus merasa bahwa mereka diatas angin, inilah saatnya Tuhan Yesus akan menang, dan semua musuhnya akan dibinasakanNya”

“Jadi, ketika Tuhan Yesus ingin membasuh kaki para muridNya, tidak seorangpun mengerti maksudnya. Ada yang bilang, ‘Jangan sekali-kali Tuhan membasuh kakiku!’, ada juga yang bilang ‘Jangan kakiku saja Tuhan, sekalian wajah dan badanku!’. Padahal, dengan tindakanNya ini, Ia ingin memberikan sebuah teladan, sebuah revolusi dalam dunia rohani manusia. Ia menyatakan dengan lantang, bahwa seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya, dan setiap orang Kristen dituntut untuk melayani sesamanya. Mulai sekarang, Tuhan bukanlah Dewa yang haus darah, atau Dewi yang menuntut disembah, tetapi Tuhan adalah Kasih yang melayani, yang menuntut umatNya untuk melayaniNya dengan melayani sesamanya. Ubi caritas, et amor, Deus ibi est! There is charity, selfless love, God is truly there! Jadi, wujud Tuhan adalah kasih, yang menjadi kesaksian bagi orang lain.”

“Sejak itulah lahir kekristenan yang melayani. Dari sanalah hadir jutaan jiwa manusia yang diselamatkan karena sekolah-sekolah Katolik, hati-hati yang tersentuh oleh kesembuhan dari rumah sakit-rumah sakit Katolik, tubuh-tubuh yang disegarkan oleh bantuan bencana dari yayasan sosial Katolik. Dari sanalah lahir Ibu Theresa, Romo Mangunwijaya, Paus Yohanes Paulus II, dan masih banyak lagi orang suci lainnya, yang menjadi teladan melalui kasih mereka terhadap sesama sebagai pelayan, bukan sebagai jenderal perang yang menghabisi musuh. Itulah esensi dari peristiwa pembasuhan kaki ini. Amin, dan selamat Paskah!”

Hangzhou, 03.04.2010

Monday, February 15, 2010

On Being 33

“I’m 33 at the moment,

I’m still a man, but you see I’m a they

Kid on the way, babe, a family on my mind…”

‘100 years’ by Five for Fighting

Well, yes, fellas, I officially turn 33 today.

If I think about it, 33 ain’t so bad. And for me becoming 33, it ain’t so bad either. I think I have achieved, thanks to the blessings of the the Lord, more things than most 33-year-olds can achieve.

This year, for example, I have made a step in my career to move into a new position abroad. This brings me out from good old Indonesia, at least officially, to the ever-progressing China. I moved from the sleepy Jakarta suburb by the name of LIPPO Cikarang to a busy suburb of Shanghai, a city called Kunshan. I have established my position in the organization, fought through a painful merger process, and finally decided to start a brand new department, dealing with tissue. From my humble beginnings in oversized working clothes blotted with oil stains and polyurethane splashes in the sleepy town of Karawang, I have turned into an indonesian expatriate (not many of us around) showing up everyday with a suit and a tie in a high-tech office near Shanghai. I talk, discuss, and debate with much older foreigners from a much more advanced countries, in 2 different languages. Sometimes I show myself as a selfish kid who wants to change the world, with baldening hair and a double chin. Short, talks too much, with a loud voice, always seems angry and intimidating when I state my opinion, although really, I am not. That’s just the way it is, if I feel the fire about something. Not bad, for a 33 year old.

From the traveling world, I still kept my promise to visit 2 new islands or provinces every year in Indonesia. This year has brought me to see the city of Balikpapan and Tenggarong in Borneo, my first venture to this island (second, if you count my transit from Manado to Jakarta 2 years ago). I saw Balikpapan’s beautiful moon bear reserve and strange ‘orange durian’ fruit. The second opportunity was Lampung, with a wonderful jungle adventure trip in Way Kambas. I traveled to Japan, the wonderful city of Matsuyama, dipped my bare body in the oldest hot bath in the country. I traveled to South Korea, visiting the serene temple of Daeheung-sa. The crown jewel was of course a visit to the Taj Mahal in Agra, India, which changed my whole perspective on love. New year’s eve was in Singapore, watching the beautiful firecracker show in the Esplanade. Not bad, for the 33rd year of one’s life.

In the hobby world, some achievements have also been made. I wrote several articles to the Jakarta Post after seeing many interesting concerts. One of them was a performance by the Nusantara Symphony Orchestra in Balai Sarbini, Jakarta. One article was also published about my journey through the jungle in Lampung. I continuously write for Jalansutra mailing list, travel reviews of India and Japan, which both receive very warm respond from the forum. After moving to China, I write quite a lot of christian articles, each one replaces every missed visit to the church (either if I am in China or if I wake up too late in Jakarta). All in all, quite well, for a 33 year old while busy traveling the world and working abroad.

From the financial side, it has also been not so bad, although there are still challenges for the future. My house is completely paid for this year, which I learned about after the bank rejected my installment for the mortgage (What was the problem? Why was the transfer rejected? Hello? Oh, all paid for? No more mortgage payment? I tell ya, it takes some getting use to not paying anything after all these years of mortgage installments). Then I applied for a business mortgage, renew the machines of my laundry, refurbished the whole house/laundry, making part of my dream ‘to live in a house that looks and feels just like a room at the JW Marriott Hotel Surabaya’ partly come true (32 inch flat TV, yes, air conditioning, yes, carpet and sofa, naaaah). The laundry is now gearing up to pay the mortgage, still struggling with manpower and low orders. We’ll manage. Not bad, for a 33 year old businessman wannabe.

But still, I am not happy. I know God has blessed me with all these, and I am sure he is smiling now at me, looking down on me, sitting in my room in Tomang, writing on my laptop. Do you want to know, what I think he’s saying? “OK now boy, watcha gonna do?”. That’s that.

Yes, when you’re young, and by ‘young’ I can still gladly say, in the 20-s, the world belongs to you. You have nothing, zero, and can only progress to positive, even with the slightest progress. So, you have nothing to loose! You think you can do something, and you do it. And for someone like me, I think I can do everything. I dare to try, that’s my philosophy. Managing position? Why not! Washing other people’s underwear to earn money? Hell, I can do that! Writing as a part-time journalist? Oh yeah, bring it on. Writing a travel journal? That’s a piece of cake! Have your own business? Come to papa!

So here I am, a most-of-the-time expatriate manager, part-time laundry owner, part-time journalist, part-time travel writer, part-time business owner. All in parts, nothing in wholes!

And when I get to know that Pramoedya Ananta Toer dedicated all of his life to writing, even without pen and paper; that Warren Buffet dedicated his life to investing, even without an inheritance; that Bill Gates dedicated his life to software, even without a degree in computing; I blushed. Here I am, a 33 year old, achieving partly of everything and being really good at nothing. Not good, not good at all.

I remembered in my high school days, when I was in the same situation. I tried to play organ, learn karate, study, and became active in student’s organizations, until I get sick of all of them. Then, I met a bunch of friends who were doing nothing but playing all day, from house to house, from one video game to another. Then I told my mom and dad, that I want to stop trying so hard. I want to relax now, afterall, highschool years come only once in life. I just want to enjoy life, hang with my friends, have fun. I warned them that my performance at school was probably going to slightly slip from the usual no. 8th or 9th. They said, yes, by all means, do it. And I did it. And you know what? My performance was not worse, it was better! My rank was lifted up to 3rd, 2nd, even 1st at times. I excelled far better then I was before, until I was eligible for the best Technical Institute in the country (that was when all the fun stop, though). Anyway, I felt ‘the call of nature’ back then to relax, and just do what I enjoy the most, forget trying to be best at everything, just be excellent at one thing. And I did. And I was.

Now, I am feeling this ‘call of nature’ again. I think, I have to do something. I have to forget trying to be best at everything, and seek out within myself, what I want to do the most. Is it becoming a professional manager with suits and ties? Or an enterpreneur with laundry uniform? Or a writer and a journalist? I believe I have the talents from God to do these things. That’s why, even with so little time invested, I still get good responses. But without focus, it’s nothing. It’s just occasional blogs, without a book, occasional articles, without front-page, occasional manager, without the board. So I have to be serious now, because like high school times, 30-s also only happens once in life. Once I screw up here, I’d be too old for everything, too late for anything, and it’ll be too long to achieve something. I have to stop, tell myself to relax, and do the things I like to do the most, and focus on it. Then, I’d become someone.

What do I want to achieve anyway? An interesting comment came from one of my closest friends. When I told her about my achievements in business life, with salaries, status, and management levels, she smiled. “That’s not what you’re looking for, isn’t it? You are aiming for something else, aren’t you?”. Yes. She is right. I don’t think I want to be remembered as a manager who successfully manage a division until retirement. I don’t think I want to be remembered as a businessman who marvels in cheating banks into giving credits that made me a millionaire. Perhaps, I don’t even want to be a millionaire. What do I want to be then?

I remember back in my university, I was queuing for a payphone in the library (yes, if you turn 33 years old today, you’d remember the day). There was a much older person queuing in front of me, with a simple coat and an old, ugly leather bag. I thought he looked like a postman. But when he picked up the phone and started to talk, I was surprised. He spoke with a very fluent american english, starting with, “Hello, this is Professor Joko. May I speak to…”. My God. When I told this story to my dad, he wisely said, “Son, that man needs no Rolex watch or Louis Vuitton bag to make other people respect him. People respect him for what he is”. Wow. Cool. That, I want to be.

So I guess I’d have to tell my parents, that I am not going to be a millionaire. Maybe not even a rich director of a company. Or at least, I am not going to invest so much time, effort, energy, thoughts, talents, brainpower, attitude, earnest work, willpower, and prayers, to become one. But I will invest all of those to become noble. To be the first indonesian to win a noble prize, either peace or literature (hell, maybe chemistry!). To be remembered as a person, blessed with talents, having a one-track-mind to achieve a single goal, using all of his effort, to be… well… remembered. To leave a mark for the society. To stand for Indonesia. If I’d end up as a millionaire, that’s fine of course. But I won’t spend so much time for money. I want to spend more time for a cause.

That’s that. Happy 33th birthday, Harry Hardianto Nazarudin. May your dreams, come true.

And, yes. Getting married. I know. It’s already late. You’re starting to sound like my parents…..

Tomang, February 12, 2010