Monday, January 04, 2021

Terima Kasih JPCC!



Angus Deaton, pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 2015, punya sebuah cerita yang mengejutkan. Dalam Podcast "Nobel Prize Conversations", beliau mengisahkan bagaimana terjadi degradasi terhadap standar hidup warga negara Amerika Serikat berkulit putih yang berpendidikan dibawah S1 (non-college educated). Fenomena "death of despair" atau kematian akibat penderitaan terus meningkat angkanya di kelompok masyarakat ini. Padahal, mereka tidak " terlihat miskin": kalau kita lihat di TV atau di Amerika, mereka justru kebanyakan overweight, berbaju kaus Champion atau Nike, dan punya mobil walaupun butut. Namun, problemnya bukan disitu: kebahagiaan hidup mereka merosot jauh. 

Angka perceraian tinggi, banyak anak-anak terlantar dan tidak punya orang tua lengkap. Kematian bayi meningkat, gizi anak menurun. Padahal, bukankah Amerika Serikat adalah negara terkaya di dunia? Mengapa bisa seperti ini? "Salah satunya adalah karena gereja" kata Angus. "Berkurangnya peranan gereja menjadi penyebab utama fenomena ini!" sambung Angus. Biasa, si pewawancara langsung nyinyir: kok gereja? Apa hubungannya? Namun jawaban Angus tegas.

Negara bisa menjamin upah minimum, tetapi tidak bisa menjamin rasa cukup. Perusahaan/pekerjaan bisa menjamin pemasukan (gaji), tetapi tidak bisa menjamin kebahagiaan. Lalu, siapakah yang bertanggung jawab untuk kebahagiaan warga negara? Disinilah peran organisasi sosial dan keagamaan seperti gereja. Hanya organisasi sosial/keagamaan yang bisa membina kebahagiaan, rasa cukup, dan rasa sejahtera dari warganya. Itulah, fungsi agama yang sesungguhnya!

Kami bergereja di Jakarta Praise Community Church atau JPCC. Sejak awal pandemi, ketika berpindah ke moda daring, JPCC sudah giat mengirimkan survey untuk mengetahui kondisi jemaatnya. Dan sebagai respons, banyak seminar-seminar daring kemudian diadakan dengan tema "Bagaimana Menghadapi Stress". Bahkan salah satu sesinya sangat menginspirasi kami: bagaimana dalam masa pandemi, level stress bisa saja sama dengan non-pandemi, tetapi kemampuan kita untuk menahannya menurun karena tidak bisa jalan-jalan dan melakukan aktivitas menyenangkan. Menarik!

Dan gongnya adalah ketika kami memenangkan voucher untuk menginap di sebuah hotel di Jakarta, dalam acara Vision Day awal tahun 2020. Voucher hampir expire, ketika pandemi belum juga reda. Akhirnya kami memutuskan memakai vouchernya di bulan November 2020, dan untuk pertama kali sejak pandemi mulai, kami sekeluarga menginap di hotel diluar rumah. Wow, sebuah pencerahan yang luar biasa! Ternyata, kami stress, sangat stress, ketika terjebak di rumah dan tidak bisa melakukan hobby traveling. Sejak saat itu, kami kemudian mempelajari cara traveling yang aman, sehingga kemudian memberanikan diri melakukan perjalanan darat ke Bali. 

Puji Tuhan, semuanya berjalan baik, sehingga kami bisa menutup tahun 2020 dengan senyum simpul sekeluarga, semuanya sehat, hati senang baru kembali dari Bali. Namun semuanya itu tidak akan terjadi tanpa voucher tersebut - yang datang dari Tuhan melalui JPCC - serta kelas-kelas lain yang kami ikuti. Tanpa semua itu, kami mungkin masih terjebak dalam pusaran stress yang gelap dan suram! 

Apakah jaman sekarang masih berguna punya agama? Yuval Noah Harari dalam bukunya "Sapiens" sudah menjelaskan dengan gamblang, apa sebenarnya fungsi agama. Sains bisa memberikan jawaban atas permasalahan teknis, namun agamalah yang perlu menjawab masalah etis. Sains bisa menjawab "bisa dan tidak", tetapi agama menjawab "boleh dan tidak". Jika berada dalam ranah-nya masing-masing, maka agama dan sains akan membawa suatu bangsa ke puncak peradabannya: misalnya jaman Ottoman Turki atau jaman Pencerahan di Eropa. Tetapi jika fungsi mereka dicampuradukkan, yang terjadi adalah fanatisme, perang, dan kehancuran. Pilih yang mana?

Terima kasih JPCC, dan mari arahkan agama dan sains ke jalur yang benar!

Salam, 

Harnaz

4 Januari 2021