Thursday, March 24, 2005

Mohon Dukungan Doa

Pembaca yang budiman,

Mohon dukungan doa untuk penulis yang sedang mengalami masalah besar.
Memang karunia Tuhan datang dengan bentuk yang tak terduga, kadang-kadang diliputi kekecewaan dan kebimbangan. Namun tolong doakan agar saya mampu berjalan bersamaNya, agar Ia tidak meninggalkan saya.

Terima kasih dalam Kristus,

-HarryHN-

Tuesday, March 22, 2005

Renungan Paskah 2005 (1) - Vonis Mati

“Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”
Yesaya 53:4-5

Hari ini koran-koran di Jakarta memberitakan mengenai eksekusi mati yang dialami Ny Astrini (50). Ny. Astrini adalah pelaku pembunuhan dengan mutilasi atas tiga orang, semuanya ibu rumah tangga yang memiliki keluarga. Masalahnya sepele, hanya masalah hutang. Salah satu korbannya bahkan hanya meminjamkan Rp 20.000,-, tetapi kemudian ketika menagih ia dibunuh dan dimutilasi sehingga sampai kini tidak ditemukan jenazahnya. Hari ini, Ny. Astrini dihukum mati di depan regu tembak Brimob Polda Jatim dengan enam peluru bersarang di jantungnya.
Kengerian mengenai hukuman mati seringkali diangkat menjadi film, diantaranya adalah The Green Mile. Dalam film itu diceritakan seorang lelaki berkulit hitam yang difitnah sehingga terancam dihukum mati. Uniknya, ia memiliki kekuatan untuk ’menyerap’ penyakit seseorang, lalu ’menghembuskannya’ keluar tubuhnya sehingga penyakitnya sembuh. Penjaga penjara yang diperankan oleh Tom Hanks sempat merasakan kesembuhan ini, sehingga ia bersimpati kepada napi ini. Buat saya, suatu keadaan dimana seseorang yang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan penyakit tetapi berada dalam daftar hukuman mati, merupakan perumpamaan yang modern tentang Tuhan Yesus.
Tuhan Yesus juga sama, Ia yang berkuasa menyembuhkan penyakit, bahkan membangkitkan orang mati, tetapi harus masuk daftar hukuman mati di kayu salib. Dan, seperti digambarkan juga dalam film The Green Mile, dimana akhirnya sang napi itu mati karena dosa orang lain, Yesus juga telah mati karena dosa-dosa kita. Kengerian hukuman mati, seperti yang dialami oleh Ny. Astrini, mungkin dirasa wajar untuk mengganjar kekejaman yang telah dilakukannya. Tetapi jika kita bayangkan, bahwa ada orang yang mau menggantikan Ny. Astrini untuk dihukum mati, maka lebih luar biasanya kengerian yang dihadapi orang itu, karena sebenarnya ia tidak bersalah. Itulah Tuhan Yesus Kristus, Sang Penyelamat yang sudah rela mati di kayu salib demi menyembuhkan bilur-bilur kita.

Repotnya membasuh noda

Marilah, baiklah kita berperkara! – firman Tuhan – Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba”
Yesaya 1:18

Pengalaman memiliki binatu atau laundry kecil-kecilan membuat saya paham betapa sulitnya membersihkan noda. Rupanya ada berbagai macam teknik khusus untuk membersihkan noda. Noda tinta, bisa dihilangkan dengan aseton, sementara noda minyak dengan pelarut organik nonpolar seperti toluen. Noda darah, bisa dihilangkan dengan 3-5% Hidrogen Peroksida (H­2O2), suatu oksidator yang sangat kuat. Setiap noda harus dihilangkan dengan cara yang spesifik, misalnya noda minyak, seberapapun kecil, tidak akan hilang dengan peroksida. Alih-alih bersih, warna asli pakaian bisa rusak karena efek peroksida!
Adanya noda sendiri merupakan ketidaksempurnaan yang sulit dihilangkan. Sekali warna baju rusak karena pemutih, misalnya, tidak akan mungkin kembali ke asalnya. Jika baju menjadi luntur, atau cat mobil tergores, maka cacat itu akan dibawa selamanya oleh benda itu. Seringkali nasib si baju luntur akan berakhir di lemari, seberapapun mahal dan indahnya baju itu sebelum luntur. There’s no turning back!
Hidup kita juga sebenarnya demikian. Jika diibaratkan kain, maka noda dosa kita sudah sebegitu banyaknya sehingga hidup kita seperti kain gombal – kain lap yang jorok dan penuh noda. Keagungan dan keindahan kain kehidupan kita, sudah sangat tertutupi oleh bebagai macam noda sehingga tidak terlihat lagi!
Untung kita punya Allah yang Maha Pemurah. Dalam Yesaya 1:18, Ia mengatakan bahwa selama kita patuh dan taat, noda dosa kita akan dihilangkannya. Ia tahu bahwa kain kehidupan kita yang putih sudah merah, bersimbah darah dan noda. Tidak ada peroksida yang cukup kuat membersihkannya, kecuali peroksida 100% yang akan menghancurkan kainnya sekalian. Tapi Ia yang Maha Pemurah masih memberikan kesempatan bagi kita sehingga noda itu dihapuskannya. Sekarang, kain kita telah bersih – mari kita jaga agar jangan ternoda lagi!

Sunday, March 20, 2005

Bagian 5 – Kesimpulan : Allah, Sang Manager yang Agung

Perikop Yohanes 9 merupakan suatu cerita yang mengagumkan. Bukan karena mukjijatnya, melainkan karena lengkapnya catatan mengenai sebab, akibat, dan dampak dari mukjijat yang dilakukanNya. Perikop ini, yang mungkin kejadian aslinya berlangsung dalam waktu beberapa jam, merefleksikan kepiawaian Allah dalam membuat skenario untuk hidup seseorang.
Bayangkan seorang yang dilahirkan buta, tanpa pendidikan sama sekali, tidak mungkin bisa baca tulis. Bertahun-tahun orang ini hidup terlunta-lunta, merasa dirinya dibebani dosa dan berada diluar kasih Allah. Tiba-tiba, sebagai ’Siloam’, Tuhan Yesus datang kepadanya dan menyembuhkan matanya dengan cara yang ajaib. Bertahun-tahun sesorang yang didera kebutaan ini sudah ditempa begitu hebatnya, sehingga kesembuhannya menjadi titik balik yang tidak pernah dibayangkannya sebelumnya!
Tetapi, cerita tidak berakhir disini, happy ending belum tiba. Sang pengemis yang sembuh ini, ternyata kemudian juga teguh mempertahankan imannya. Ia berani menantang Ahli Taurat dan kaum Farisi, walaupun penampilannya masih sebagai pengemis miskin. Entah darimana kata-kata yang keluar dari mulutnya, tetapi kita bisa melihat bahwa Tuhan tidak salah pilih: orang ini benar-benar memiliki keteguhan hati sekuat baja. Bahkan orang tuanya pun ragu-ragu, tetapi sang pengemis ini terus tanpa bisa dihentikan, melaju dengan berita tentang Firman Tuhan. Kualitas ini tidak dimiliki oleh semua orang, bahkan oleh Petrus sekalipun – Tuhan sudah memilih orang yang tepat!
Kemudian, orang ini lalu berkesempatan kembali bertemu Tuhan Yesus. Sekali lagi, Tuhan Yesus menguji imannya dan mendapatkan orang ini masih setia. Tentu saja happy ending belum tercapai, karena Ahli Taurat dan Kaum Farisi masih berdiri disana dengan kepala tegak dan sombong. Kemudian dengan perkataan terakhirnya, Tuhan Yesus menyindir dengan begitu elegannya dengan berkata: ”Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu.”. Inilah happy ending yang ditunggu-tunggu! Ahli Taurat dan kaum Farisi hanya bisa bungkam seribu basa, sementara pengemis yang terbebas menjadi pengikut Yesus yang setia, dan Tuhan Yesus melangkah pergi tanpa bisa diganggu. And they lived happily ever after!
Cerita memang mudah saja dibuat, perumpamaan pun sangat gampang dituturkan. Tetapi, peristiwa yang terjadi dalam Yohanes 9 adalah peristiwa nyata, sebuah fragmen kehidupan dari seseorang yang benar-benar ada. Sang pengemis bukan rekaan, melainkan sungguhan, dan cerita inipun bukan perumpamaan. Disini kita melihat, bahwa meskipun sang pengemis sejak lahir mengalami penderitaan hebat, tetapi Tuhan sudah punya rencana sejak dia dilahirkan dengan kebutaannya. Semuanya, bahkan fakta bahwa ia mengemis di tempat dimana Tuhan Yesus lewat, sudah direncanakan dengan begitu detailnya. Inilah sebabnya mengapa Tuhan Yesus menggunakan kata ’Siloam – yang diutus’, karena sejak lahir, dengan segala kekurangannya, Allah sudah mempersiapkan orang ini untuk menjadi utusan Allah. Mungkin semuanya ini tak terbayangkan oleh sang pengemis, tetapi – begitulah indahnya rencana Allah – semuanya terjadi, indah pada waktunya!
Dengan perikop ini, kita dibuat untuk kembali memahami fakta bahwa Allah sudah menyiapkan suatu rencana bagi kita, semenjak kita lahir. Ini bukan berarti kita bisa bertindak pasif, karena menurut perkataan Tuhan Yesus pada Yoh 9:4 – ’kita’-lah – Tuhan dan saya – yang harus mengerjakan pekerjaan Tuhan. Kalau sang pengemis menyerah dan bunuh diri, atau sesudah melek lalu kabur seperti banyak penerima mukjijat lainnya, pastilah rencana besar ini tidak akan terwujud. Tetapi, Allah Yang Mahatahu tentu saja tidak sembarangan memilih orang!
Jadi, sebagai orang pilihan Tuhan, kita harus percaya bahwa sesuatu yang indah sedang direncakanNya untuk kita. Apapun masalah yang Anda hadapi – keuangan, karir, jodoh, keluarga, ekonomi, atau lainnya – hanyalah caraNya untuk menyiapkan kita, seperti kebutaan yang mendera sang pengemis sejak lahir. Tetaplah teguh, berjalanlah dalam iman! Pada saatnya nanti, akan tiba giliran Anda untuk membasuh diri Anda dalam kolam Siloam. Dan ingat – teguhlah pada saat ujian itu datang! Karena pada akhirnya nanti Tuhan Yesus akan menepuk punggung kita dengan bangga sambil berkata: ”Engkau bukan saja melihat Dia; tetapi Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!” (Yoh 9:37)
Amin.

Bagian 4 – Yang Buta Melihat, Yang Melek Tidak Melihat

Dalam bagian sebelumnya kita sudah menyaksikan bagaimana sang pengemis kumal yang menerima kesembuhan dari Tuhan Yesus itu menantang para Farisi dan Ahli Taurat. Kemudian diusirlah sang pengemis ini keluar ruangan. Disana, Tuhan Yesus sudah menunggu, dan rupanya meyaksikan proses ’pengadilan’ yang terjadi di dalam ruangan sejak tadi. Seperti seorang profesor yang mengamati mahasiswanya berdebat, Ia pun sekali lagi bertanya tentang iman sang pengemis tadi. Dalam ayat 35 sampai 38, sang pengemis kembali menegaskan imannya, dengan resiko dibunuh karena sudah diusir. Saya membayangkan, Tuhan Yesus pun tersenyum sambil manggut-manggut, dengan ekspresi wajah seperti Einstein ketika ia melihat orang lain mulai memahami teori yang sudah dipecahkannya bertahun-tahun yang lalu. Lalu, Tuhan Yesus kembali menyinggung masalah kebutaan. Dalam ayat 39 Ia menyatakan diriNya sebagai hakim, agar ’yang tidak bisa melihat menjadi bisa melihat, dan yang bisa melihat menjadi buta’.
Orang Farisi yang tidak sadar akan kebutaannya, dan dengan keras kepala memegang prinsip dosa sebagai sebab dari kebutaan, kembali meninggikan dagunya sambil menyangkal (ayat 40). Seorang Farisi, turun-temurun taat pada Hukum Taurat, bagaimana bisa punya dosa, sehingga dijatuhi hukuman dan menjadi ’buta’? Jawaban Tuhan Yesus kemudian begitu tegas, lugas, dan tuntas: ’Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu.’
Peringatan Tuhan Yesus ini ditujukan kepada kita semua yang mengaku ’melek’ rohani, ’melek’ Alkitab, dan ’melek’ Firman Tuhan. Kita tahu sendiri betapa seorang Farisi adalah ahli dalam masalah peraturan agama, tetapi begitu terpakunya pada aturan itu, sehingga mengabaikan cinta kasih dan kerendahan hati, yang justru menjadi dasar peraturan agama. Seringkali kita yang sudah beragama, justru kurang beriman. Kita begitu teguh berpegang pada aturan keagamaan kita sehingga lupa akan esensi dari peraturan tersebut. Banyak gereja yang melakukan hal ini, dengan memperkaya diri dan berlomba-lomba membangun gereja yang megah diantara pemukiman kumuh. Bukan berarti gereja harus selalu jelek, tetapi tidak bisakah gereja dibuat selaras dengan lingkungannya, dan tidak menjadi menara gading yang mengundang kebencian dan iri hati?
Kita yang sudah ’melek’ rohani justru memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Jika seseorang ’buta’ rohani, maka bukan salahnya jikalau kelakuannya pun tidak baik. Tetapi dosa kita akan tetap, seperti yang Tuhan Yesus katakan, jika sudah ’melek’ rohani tapi justru tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Panca indera yang dianugerahkanNya kepada kita juga mengandung tanggung jawab, yaitu penggunaannya harus sesuai dengan kehendakNya. Demikian pula iman dan pengetahuan rohani kita, justru harusnya membuat kita lebih sadar akan kelemahan kita dan mencoba menyelaraskan diri denganNya. Saya teringat kepada Romo YB Mangunwijaya almarhum, yang meskipun dengan label Katolik berhasil masuk ke kehidupan rakyat kecil, karena kesahajaannya dan kedekatannya dengan mereka. Toh, disini aturan agama menjadi tidak penting, karena Kasih Allah terwujud nyata dalam setiap lekukan asri pemukiman Kali Condet yang memenangkan penghargaan Aga Khan Award, suatu penghargaan arsitektur bagi dunia Islam. Indah bukan? Romo Mangun adalah seorang yang ’melek’ rohani dan ’melek’ kasih. Apakah Anda sudah ’melek’ rohani? Jika sudah, maka sekarang saatnya Anda mengingat akan kewajiban yang melekat padanya.

Monday, March 07, 2005

Yohanes 9 Bagian 3 - Bersaksi dengan Perbuatan

Alkisah, pada jaman maraknya pengaruh Partai Komunis Indonesia atau PKI tahun 1960-an, seorang Jenderal Angkatan Darat yang dikenal anti-PKI terkejut ketika mendengar ayahnya di pedalaman Solo masuk PKI. Ia pun langsung pulang ke kampungnya dan bertemu sang ayah, untuk menanyakan mengapa sang ayah masuk PKI. Sang ayah kemudian memberikan jawaban yang sangat sederhana. Seumur hidup, katanya, ia selalu berhutang karena jeratan tukang ijon dan rentenir. Ia selalu terpaksa menjual padinya dengan harga sangat murah kepada tukang ijon, dan berhutang kepada rentenir untuk membeli bibit. Tetapi, suatu hari, seseorang yang mengaku dari PKI datang, memberikan kredit tanpa bunga, plus mau membeli benih masak dan tidak diijon.
“Pak, tetapi PKI kan komunis? Kita kan beragama, mengapa Bapak mau ikut mereka?” tanya sang Jenderal yang masih keheranan.
”Nak, saya tidak peduli apa PKI itu komunis apa bukan. Yang jelas seumur hidup saya berhutang, lalu ketika PKI datang saya terbebas. Apapun juga yang dikatakan PKI, saya akan ikut!”
Ilusrtrasi diatas menggambarkan taktik PKI dalam melakukan penyebaran ideologinya, yang sebenarnya sangat bagus. Sadar bahwa ideologinya sulit diterima mentah-mentah, PKI menggunakan cara yang jitu – membuat targetnya merasakan langsung kehadiran PKI. Tanpa banyak pidato, tanpa banyak propaganda, cukup dengan niat tulus melunasi hutang, membelikan rumah, atau membayar uang sekolah, sudah cukup untuk membuat orang menerima PKI begitu saja. Karena jelas: manfaatnya sudah terasa!
Dalam perikop Yohanes 9, kita dapat mengamati hal yang sama pada sang pengemis yang buta. Karena kebutaannya, tentu saja orang ini juga tidak berpendidikan. Seorang pengemis lagi: pasti kumal dan miskin. Namun, sesudah sembuh, orang ini berkali-kali dengan tegas, bahkan lebih tegas daripada Petrus, mengakui kuasa Yesus yang menyembuhkannya (Yoh 9:13-34). Bahkan, di ayat 34, orang ini mampu memberikan jawaban yang membuat muka para Farisi yang terpelajar itu memerah, sampai ia diusir keluar. Bahkan orang tuanya sekalipun takut pada orang Yahudi – tetapi dia dengan gagah berani membela kesembuhannya di depan orang Farisi. Mengapa si pengemis buta bisa begitu teguhnya? Mengapa si kumal miskin ini begitu penuh hikmat berbicara di depan orang Farisi? Jelas – karena ia sembuh! Ia sudah merasakan manfaat dari kasih Kristus. Walaupun tanpa pengetahuan agama, tanpa latar belakang Taurat, ia dengan gamblang mengakui (Yoh 9:25), bahwa baginya semua itu tidak penting. Yang paling penting hanya satu: ia sembuh!
Banyak gereja yang melupakan prinsip ini ketika melakukan penginjilan atau menyebarkan Firman Tuhan. Yang dilakukan adalah dengan menegur orang dalam bis, di pasar, atau di mal. Disangkanya ketika mengatakan Firman Tuhan maka ada cahaya dari langit yang akan mempertobatkan orang yang tak dikenal. Kemungkinan itu memang ada, tetapi sangat kecil. Kemungkinan besar orang itu akan tersinggung dan malah antipati terhadap iman kita. Lalu caranya bagaimana? Sama seperti dalam perikop ini – buatlah orang itu merasakan manfaatnya! Berikanlah sesuatu – pakaian bagi yang telanjang, makanan bagi yang lapar, rumah bagi yang terlantar. Pastikan dahulu bahwa sebanyak mungkin orang merasakan manfaat langsung dari kekristenan! Baru kita bicara Firman Tuhan lebih dalam. Contohnya misalnya Ibu Theresa, yang bersedia berkorban demi melayani kaum miskin di Calcutta, India. Walaupun agama mayoritas di India adalah Hindu, tetapi Ibu Theresa dihormati oleh semua kalangan. Mengapa? Karena ia tidak berfokus pada penginjilan secara harafiah, melainkan memberikan kesempatan bagi masyarakat umum untuk merasakan kasih Allah yang dirasakannya, dan juga yang kita rasakan setiap hari, supaya masyarakat bisa merasakan sendiri manfaat dari kasih itu. Jika Sang Kasih itu sudah mengalir – siapa yang dapat menghentikanNya?

Yohanes 9 Bagian 2 : Siloam, "Yang Diutus"

Saya pernah memiliki pengalaman yang luar biasa mengenai hal ini. Nenek saya, Mak Oey Sioe Kim, adalah seorang penganut Kristen yang sangat taat sejak mudanya. Beliau yang akrab dipanggil ’Simak’, selalu membawa Alkitab dan menempelkan gambar-gambar Tuhan Yesus di kamarnya. Di tahun 2000, Simak yang sudah berumur 80 tahun mengalami sakit yang sangat parah. Ia sudah tidak dapat berkomunikasi, tidur terus, badannya pun sangat kurus dan lemah. Keluarga terdekat pun sudah siap ’merelakan’ Simak, karena trenyuh melihat kondisinya yang sangat lemah. Di saat itulah banyak terjadi ’spekulasi’ mengenai Simak. Ada seorang paranormal yang mengatakan bahwa roh Simak sudah pergi, tapi tersangkut di pohon sehingga Simak tidak bisa meninggal. Ada lagi yang menganjurkan memotong ayam cemani dan memberikan sesajen khusus agar Simak bisa ’pergi’. Kami menyadari bahwa semua saran itu lahir dari rasa kasih kepada Simak dan sebenarnya hati kami pun sedih melihat Simak sakit. Namun, untuk mengikuti saran itu, berarti melanggar Firman Tuhan, yang sangat kuat dipegang Simak sebagai pedoman hidup.
Akhirnya, dengan mantap, kami memutuskan untuk tidak melakukan sesajen apapun selain mengundang pendeta dan mengadakan kebaktian di rumah. Kami pun juga berdoa setiap malam agar Simak sembuh. Beberapa keluarga sempat mencibir dan memvonis bahwa Simak pasti akan meninggal dalam hitungan hari atau minggu saja. Bahkan ada paranormal yang berani meramalkan tanggal Simak akan meninggal! Terus terang, melihat kondisi Simak yang sangat lemah, semua ramalam itu masuk akal.
Namun, dalam kelemahan itu, Tuhan menunjukkan kuasaNya. Percaya atau tidak, kondisi Simak kemudian membaik, dan beliau bertahan hidup setahun lagi, sebelum akhirnya meninggal dengan tenang dalam tidurnya, tanpa sakit penyakit. Satu persatu ramalan ’tanggal kematian’ Simak tidak terbukti, sampai perlahan-lahan kondisi Simak pulih kembali. Semua ritual, sesajen, ayam cemani, atau ramalan tanggal dari sang dukun sakti sekalipun, bungkam seribu basa di hadapan Allah: jika Ia belum memutuskan waktunya, waktu itu tak akan datang. Kami sendiri sulit percaya bahwa Simak bisa bertahan setahun sesudah sakitnya itu! Dengan kelemahan Simak, Tuhan sudah menunjukkan kuasaNya!
Begitulah seringkali Tuhan bekerja, yakni lewat orang-orang yang dianggap lemah dan tak berdaya. Dalam perikop Yohanes 9 ini, orang yang buta sejak lahir, seorang pengemis pula, digunakan Tuhan untuk menunjukkan kuasanya. Tetapi ada satu syaratnya: kuasa Tuhan baru bisa nampak jika dilakukan bersama, yakni Tuhan dengan kita sendiri. Dalam Yoh 9:4 Tuhan Yesus mengatakan bahwa ’kita’ harus bekerja, bukan hanya ’Dia’. Berarti, peranan sang manusia lemah juga penting dalam hal ini. Sang pengemis misalnya, memiliki iman yang teguh. Tidak seperti kebanyakan orang, ia dengan tegas mengakui kesembuhannya berasal dari Yesus (Yoh 9:9). Simak juga sama, beliau semasa hidupnya memiliki iman yang kuat, Alkitab selalu tidak pernah dilepas dari tangannya.
Tuhan sudah menyiapkan kita untuk rencanaNya. Adalah persoalan waktu saja, sampai tiba saatnya dimana Tuhan Yesus akan nemcampur ludahNya dengan tanah, mengoleskannya pada mata kita, dan menyuruh kita membersihkan diri di kolam Siloam (Yang diutus, Yoh 9:7). Mata kita pun akan dicelikkan – dan rencana AgungNya diwujudkan! Siapkah Anda?

Yohanes 9 Bagian 1 : Dosa siapa? Salah siapa?

Kisah ini dimulai ketika Tuhan Yesus berjalan melewati seorang yang buta sejak lahir. Sudah merupakan pendapat umum bagi orang Yahudi di masa itu, bahwa jika seseorang lahir dengan cacat atau tertimpa musibah dalam hidupnya, musibah itu adalah ‘kutuk’ atau hukuman dari Tuhan karena kesalahan nenek moyangnya (seperti terdapat dalam Mazmur…). Maka, wajar saja, ketika rombongan berjalan melalui seseorang yang buta sejak lahir, seorang muridNya bertanya kepada Yesus: “Rabi, siapakah yang berdosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yoh 9:2). Tuhan Yesus kemudian menjelaskan dengan penuh hikmat dalam Yoh 9:3-5. Ia menjawab bahwa kebutaan atau ketidaksempurnaan orang itu bukanlah akibat dari dosanya maupun dosa nenek moyangnya, melainkan karena Allah memiliki rencana yang harus digenapi (Yoh 9:3). Kemudian, dengan cara yang tidak biasa, Ia menyembuhkan orang buta itu, dengan terlebih dahulu menyuruhnya untuk membersihkan diri di kolam Siloam, yang berarti ‘yang diutus’ (Yoh 9:6-7).
Reaksi para murid untuk mencari siapa yang bertanggung jawab atas kebutaan si pengemis itu merupakan ‘penyakit’ yang sering juga menjangkiti kita. Jika terjadi musibah atau penderitaan, maka yang dicari adalah ‘salah siapa’, atau ‘siapa yang bertanggung jawab’. Dalam banyak kasus, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan di tempat kerja, banyak sekali waktu, uang, dan tenaga disia-siakan utnuk sekadar mencari siapa yang bersalah. Si kambing hitam itu dicari dengan sepenuh tenaga, bahkan kalau perlu berbohong, sehingga dengan bangga kita bisa menunjuk mukanya dan berkata “Bukan saya Pak, itu salah dia”. Apakah dengan demikian masalahnya selesai? Problemnya terpecahkan? Tidak. Siapapun yang berdosa, si pengemis tetaplah buta. Siapapun yang bersalah, mesin produksi tetap saja rusak. Jadi, apalah gunanya mencari siapa yang salah? Lebih baik energi itu digunakan untuk mencari solusi, menemukan penyelesaikan untuk masalah yang terjadi.
Tuhan Yesus melakukan ini, yakni dengan tanpa tedeng aling-aling, tanpa menghakimi sang pengemis maupun nenek moyangnya, menyembuhkan mata sang pengemis itu. Ia memberikan solusi, Ia tidak membuang waktu untuk mencari siapa yang salah. Ia bahkan berkata, bahwa kebutaan sang pengemis diakibatkan oleh karena pekerjaan Allah yang harus dinyatakan dalam dia (Yoh 9:3).
Sampai sekarang, kita sering berpikiran sama dengan para murid Yesus. Ketika melihat seseorang yang terkena musibah, atau memiliki cacat sejak lahir, kita cenderung ’menghakimi’ orang tersebut dengan anggapan bahwa itu adalah ’karma’ akibat perbuatan seseorang. Inilah yang membuat sang penderita semakin sedih, karena tidak tahu apa yang dilakukannya sehingga ia menerima ’hukuman’ semacam ini! Tuhan Yesus dalam perikop ini menjelaskan dengan gamblang, bahwa tidak semua musibah yang menimpa seseorang diakibatkan oleh kutuk. Ada juga orang, seperti sang pengemis ini, yang memang memiliki cacat dengan tujuan supaya rencana Allah digenapi. Jadi, kebutaannya merupakan anugerah, bagian daripada rencana Allah untuk menyatakan kuasaNya. Kita sering mendengar tentang kisah Hellen Keller atau Fanny Crosby yang tuna netra, tetapi dalam kekurangannya kemudian menjadi kesaksian yang luar biasa bagi namaNya. Jika Tuhan punya rencana begitu indah untuk mereka, apalagi bagi kita, yang dianugerahi kelengkapan jasmani dan rohani. Pasti kita juga memiliki tempat dalam rencanaNya, memiliki andil dalam skenarioNya. Jadi, jangan rendah diri dengan kekurangan apapun yang kita miliki. Karena, seperti dibuktikan dalam perikop ini, Tuhan mampu mengubah kelemahan yang paling lemah sekalipun untuk menunjukkan kuasaNya!

Yohanes 9 - Perikop yang Unik dan Penuh Hikmat

Pendeta Jeffrey Rachmat dari JPCC menggunakan sebagian dari perikop ini dalam khotbahnya. Ketika saya baca lagi seluruh perikop ini di rumah, saya baru menyadari, bahwa cerita yang terdapat dalam Yohanes 9 ini sangat spesial. Berkali-kali membaca kitab Yohanes, baru setelah mendengar khotbah Pendeta Jeffrey mata saya terbuka, dan tiba-tiba aliran pemahaman dan pencerahan muncul dengan derasnya.

Perikop ini akan saya bagi menjadi beberapa bagian dan dibahas menurut tema tertentu. Selamat menikmati dan Tuhan memberkati!

-HarryHN-