Dalam bagian sebelumnya kita sudah menyaksikan bagaimana sang pengemis kumal yang menerima kesembuhan dari Tuhan Yesus itu menantang para Farisi dan Ahli Taurat. Kemudian diusirlah sang pengemis ini keluar ruangan. Disana, Tuhan Yesus sudah menunggu, dan rupanya meyaksikan proses ’pengadilan’ yang terjadi di dalam ruangan sejak tadi. Seperti seorang profesor yang mengamati mahasiswanya berdebat, Ia pun sekali lagi bertanya tentang iman sang pengemis tadi. Dalam ayat 35 sampai 38, sang pengemis kembali menegaskan imannya, dengan resiko dibunuh karena sudah diusir. Saya membayangkan, Tuhan Yesus pun tersenyum sambil manggut-manggut, dengan ekspresi wajah seperti Einstein ketika ia melihat orang lain mulai memahami teori yang sudah dipecahkannya bertahun-tahun yang lalu. Lalu, Tuhan Yesus kembali menyinggung masalah kebutaan. Dalam ayat 39 Ia menyatakan diriNya sebagai hakim, agar ’yang tidak bisa melihat menjadi bisa melihat, dan yang bisa melihat menjadi buta’.
Orang Farisi yang tidak sadar akan kebutaannya, dan dengan keras kepala memegang prinsip dosa sebagai sebab dari kebutaan, kembali meninggikan dagunya sambil menyangkal (ayat 40). Seorang Farisi, turun-temurun taat pada Hukum Taurat, bagaimana bisa punya dosa, sehingga dijatuhi hukuman dan menjadi ’buta’? Jawaban Tuhan Yesus kemudian begitu tegas, lugas, dan tuntas: ’Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu.’
Peringatan Tuhan Yesus ini ditujukan kepada kita semua yang mengaku ’melek’ rohani, ’melek’ Alkitab, dan ’melek’ Firman Tuhan. Kita tahu sendiri betapa seorang Farisi adalah ahli dalam masalah peraturan agama, tetapi begitu terpakunya pada aturan itu, sehingga mengabaikan cinta kasih dan kerendahan hati, yang justru menjadi dasar peraturan agama. Seringkali kita yang sudah beragama, justru kurang beriman. Kita begitu teguh berpegang pada aturan keagamaan kita sehingga lupa akan esensi dari peraturan tersebut. Banyak gereja yang melakukan hal ini, dengan memperkaya diri dan berlomba-lomba membangun gereja yang megah diantara pemukiman kumuh. Bukan berarti gereja harus selalu jelek, tetapi tidak bisakah gereja dibuat selaras dengan lingkungannya, dan tidak menjadi menara gading yang mengundang kebencian dan iri hati?
Kita yang sudah ’melek’ rohani justru memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Jika seseorang ’buta’ rohani, maka bukan salahnya jikalau kelakuannya pun tidak baik. Tetapi dosa kita akan tetap, seperti yang Tuhan Yesus katakan, jika sudah ’melek’ rohani tapi justru tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Panca indera yang dianugerahkanNya kepada kita juga mengandung tanggung jawab, yaitu penggunaannya harus sesuai dengan kehendakNya. Demikian pula iman dan pengetahuan rohani kita, justru harusnya membuat kita lebih sadar akan kelemahan kita dan mencoba menyelaraskan diri denganNya. Saya teringat kepada Romo YB Mangunwijaya almarhum, yang meskipun dengan label Katolik berhasil masuk ke kehidupan rakyat kecil, karena kesahajaannya dan kedekatannya dengan mereka. Toh, disini aturan agama menjadi tidak penting, karena Kasih Allah terwujud nyata dalam setiap lekukan asri pemukiman Kali Condet yang memenangkan penghargaan Aga Khan Award, suatu penghargaan arsitektur bagi dunia Islam. Indah bukan? Romo Mangun adalah seorang yang ’melek’ rohani dan ’melek’ kasih. Apakah Anda sudah ’melek’ rohani? Jika sudah, maka sekarang saatnya Anda mengingat akan kewajiban yang melekat padanya.
No comments:
Post a Comment