Saturday, November 21, 2009

[Resensi buku] Hening - Shusaku Endo

Grace, salah satu (satu-satunya kaleeee hehehe) pembaca blog ini, menganjurkan saya untuk membaca buku ‘Hening’ karangan Shusaku Endo, setelah membaca salah satu renungan saya tentang topik yang sama. Saya yang sudah tertarik dengan resensi buku ini di Kompas, segera membelinya, namun baru sempat menyelesaikannya beberapa hari yang lalu.

Saya pernah dengar mengenai Shusaku Endo, namun sama sekali tidak tahu bahwa beliau adalah seorang jepang beragama Katolik. Novelnya yang berjudul ‘Hening’ ditulis berdasarkan kehidupan misionaris di Jepang abad ke-17. Menurut sejarah, agama Katolik dibawa ke Jepang oleh misionaris Portugis pada abad ke-16. Mula-mula, kekristenan berkembang dengan sangat pesat di Jepang, karena menemukan lahan subur: kalangan petani miskin di pesisir Jepang yang ditindas oleh kaum samurai dan pemilik tanah. Namun, pada abad ke-16, tepatnya tahun 1587, tiba-tiba Hideyoshi, seorang kaisar, memerintahkan agar semua orang Portugis diusir dari Jepang, dan melarang agama Kristen di seluruh Jepang. Bukan hanya itu - para pemeluknya dicari, ditangkapi, dan kemudian disiksa sampai mau mengingkari iman mereka. Jepang menjadi Roma kedua, dan Iemitsu (Kaisar Tokugawa ketiga) menjadi Nero kedua.

Novel ini mengisahkan tenang Pastor Rodriguez, yang datang ke Jepang secara sembunyi-sembunyi sesudah agama Kristen dilarang di Jepang. Endo mengarang plot dengan sangat cantik, dimulai dari surat-surat Rodriguez kepada para Superior di Macao, berlanjut dengan mengisahkan Rodriguez dengan sudut pandang orang pertama, sampai di akhir cerita kembali dikisahkan dalam bentuk surat, catatan seorang penulis Belanda di Jepang. Melalui penuturan seperti ini, pembaca mendapatkan kesan betapa misteriusnya Jepang pada masa itu, seperti seolah-olah menonton sebuah film flashback.

Endo menempatkan dua tokoh dalam kisahnya dengan jalinan kisah yang ironis, sedikit menggelikan bahkan, yaitu Pastor Rodriguez dan Kichijiro. Kichijiro adalah seorang penganut Kristen yang mengantar Rodriguez ke Jepang, tapi dia pulalah yang melaporkan Rodriguez ke para pengawal sehingga ia tertangkap. Rodriguez dikisahkan mengalami nasib yang jungkir balik, dari seorang pastor yang dengan bangga melayani umatnya di gereja bawah tanah, sampai menjadi tahanan dan tertangkap, kemudian disiksa lebih lanjut di penjara dekat Nagasaki, sampai-sampai ia menginjak gambar Kristus, simbol pengingkaran yang paling hakiki. Dalam tiap fase inilah, muncul Kichijiro menghampirinya - selalu dalam bentuk yang kotor, menjijikkan, licik, lemah, pengkhianat, namun konsisten.

Melalui Kichijiro, Endo melukiskan kejatuhan - atau lebih tepat disebut transformasi - sang Pastor melalui pembandingan dengan Kichijiro yang konstan. Bahkan sampai akhir hayat sang mantan Pastor, Kichijiro dikisahkan masih ada di situ dengan segala kelemahannya. Namun, di mata Kichijiro, sang Pastor tetaplah sang Pastor, representasi Deus atau Tuhan - walaupun sudah mencukur janggutnya, menguncir rambutnya, mengenakan kimono hitam, dan berganti nama menjadi Okada San’emon. Sebuah penuturan yang indah, ironi yang menyayat hati, kepiawaian Endo dalam menguras emosi pembacanya.

Ada dua masalah yang ingin dikemukakan oleh novel ini. Pertama-tama adalah dualisme antara kekristenan dan Jepang. “Kekristenan adalah seperti wanita buruk rupa dengan cinta obsesif pada pria yang adalah Jepang” kata Inoue, dalam sebuah argumen dengan sang Pastor. Bangsa Jepang dikenal memiliki karakter budaya yang kuat, sehingga apapun pengaruh asing yang masuk, akan ‘dijepangkan’ dan diubah dari wujud aslinya. Jepang diibaratkan seperti ‘rawa-rawa’, yang menghisap segala sesuatu yang hinggap diatasnya. Sebagai seorang Katolik, tentulah Endo mengalami dilema yang sama sejak kecil - mengenai dualisme antara Jepang dan kekristenan. Dualisme - atau lebih tepat disebut paradox - inilah yang membuat Endo menjadi unik, dan mampu menghasilkan karya sastra kelas dunia seperti novel ini. Orang-orang yang lahir dengan tendensi berparadox memang punya potensi sebagai penulis hebat, seperti Elfriede Jelinek dari Austria atau Franz Kafka yang legendaris itu. Dalam novel ini, Endo menyajikan sebuah dialog antara sisi Jepang dan sisi Katoliknya, menghasilkan sebuah intrik dan plot yang begitu ironis, kejam, dan lucu sekaligus.

Yang kedua adalah masalah yang dihadapi semua orang Kristen masa kini: kebisuan Tuhan dan eksistensinya. Kita bisa mudah berargumen menentang komentar salah seorang pengawal Kristus ketika Ia disalib, “Kalau benar Engkau Anak Tuhan, selamatkanlah diriMu sendiri!”. Namun, ketika kita sendiri yang sedang disalib, atau menyaksikan orang yang kita kasihi dalam penderitaan, pertanyaan ini menjadi sulit dijawab. Kalau benar Ia Allah, mengapa Ia diam saja? Mengapa Ia membisu menyaksikan penderitaan para petani Jepang itu, yang disiksa berhari-hari? Atau menyaksikan penderitaan umat Kristen diseluruh dunia, yang sakit, yang tersiksa, yang miskin?. Inilah dilema yang diajukan oleh Endo. Kalau Ia membisu, lalu apakah Ia ada? Kalau Ia ternyata tidak ada, betapa menggelikannya seluruh perngorbanan para misionaris, betapa sia-sianya semua waktu kita di gereja, betapa nihil jadinya hidup di dunia ini! Inilah jeritan sang Pastor terus-menerus di akhir cerita, yang nampaknya merepresentasikan jeritan Endo sendiri, dan jeritan banyak orang Kristen yang mengalami penderitaan.

Lalu, apakah Endo memberikan jawaban pada akhir novelnya? Tidak. Endo tidak bisa memberikan jawaban tegas, dan sepertinya tidak seorangpun bisa. Endo bisa menjawab paradox-nya - bahwa sang Pastor yang kini secara resmi menjadi mantan pastor, hidup selama 30 tahun dalam tahanan rumah di Jepang, sebagai orang Jepang, Namun, sebenarnya sang Pastor tidak murtad, melainkan disebut ‘mencapai keimanan baru’. Sang pastor - yang tetap memberikan sakramen pengakuan dosa untuk Kichijiro bahkan sesudah mencukur janggutnya - seolah berada dalam hubungannya yang baru dengan Tuhan, yang kini ada sebagai Tuhan, tidak memiliki simbol-simbol kekristenan. Bahkan ia kemudian membantu pemerintah Jepang menumpas simbol-simbol itu, dalam paksaan tentu saja. Namun, ia tidak merasa Kristus meninggalkannya. Kristus tetap ada.

Bagaimana dengan problem kebisuan Tuhan? Nampaknya masalah ini tidak ada penyelesaiannya. Namun, jika kita renungkan akhir ceritanya, ada satu pemahaman tentang Tuhan yang tersembunyi. Yakni, bahkan antara kekristenan dan keimanan ada sebuah jarak. Kekristenan - dalam hal ini lembaga gereja - bukanlah sebuah institusi yang menentukan keimanan, melainkan keimanan lebih adalah sebuah kedekatan pribadi dengan Tuhan. Kedekatan pribadi inilah yang paling hakiki, yang murni dan tidak dicampuri oleh ambisi politik maupun organisasi. Dan kabar baik dari novel ini adalah bahwa kebisuan Tuhan inilah yang membawa sang Pastor - ironisnya, ketika ia menjadi mantan Pastor - kedalam suatu hubungan iman yang diperbaharui dengan Tuhan. Tuhan yang Esa, tidak terikat simbol-simbol agama. Tuhan yang universal, dan tidak bisa dicapai dengan akal manusia. Sang Pastor, seperti tertulis dalam 1 Korintus 13:12, telah bertemu muka dengan muka dengan Tuhan, melalui kebisuanNya.

Amin.

Sunday, November 08, 2009

Kehampaan Yang Mengisi Kehampaan

“Sebab di mana ada dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah -tengah mereka”
Matius 18:20

Karen Armtrong adalah seorang penulis asal Inggris yang mengkhususkan diri di bidang komparasi agama. Salah satu karyanya adalah buku “A History of God”, yang mengisahkan sejarah pergumulan antara tiga agama samawi: Kristen, Islam, dan Yahudi. Karen, seorang mantan biarawati Katolik, dalam buku ini menulis dengan sudut pandang orang ketiga dan sangat piawai dalam menempatkan tiga agama tersebut secara adil. Namun, ada satu kesimpulan yang ia tarik, yang menarik untuk dibahas hari ini.

Setelah mendalami sejarah perjalanan agama Kristen dari kebangkitan Tuhan Yesus sampai lahirnya gerakan kharismatik, perjalanan agama Yahudi dari jaman Nabi Musa sampai aliran Kaballah, dan perjalanan agama Islam dari Nabi Muhammad SAW sampai gerakan Wahabi, beliau menarik sebuah kesimpulan. Bahwa, agama adalah sesuatu yang dinamis, karena manusia sendiri juga sangat dinamis. Manusia – seberapapun maju teknologinya atau tinggi ilmu filsafatnya, akan merasakan sebuah kehampaan (void) dalam dirinya. Kehampaan inilah yang membuat manusia gelisah, berusaha mengisinya dengan kegiatan rohani, bahkan berani memulai suatu revolusi rohani, karena ia merasa kebutuhan yang amat sangat untuk mengatasi kehampaan dalam dirinya.

Salah satu contoh kehampaan ini juga bisa kita lihat dalam buku “Eat, Pray, Love” oleh Elizabeth Gilbert. Dalam buku ini, Elizabeth mengisahkan perjalanan hidup seseorang yang merasa hampa dalam hidupnya. Tokoh dalam buku tersebut adalah seorang yang kaya dan tinggal di daerah mewah di New York, Amerika Serikat. Tapi kemudian ia menjual semua miliknya dan berkelana ke Italia, dimana ia berusaha mengisi kehampaan itu dengan makanan yang enak-enak dan pemandangan yang cantik. Kemudian, ketika kehampaan itu ternyata masih bercokol, ia terbang ke India, dan berguru di sebuah biara yoga disana. Di dalam biara ini, ia belajar bermeditasi, terus-menerus, sampai ia merasakan sebuah ‘kekuatan spiritual’ yang ada dalam dirinya. Namun, kehampaan itu masih ada! Akhirnya, Elizabeth pergi ke Pulau Bali, dimana ia bisa belajar tentang hidup yang saling membantu, saling mengasihi – Love. Rupanya, Elizabeth mengisi kehampaannya dengan kekuatan dirinya sendiri di Italia dan India, tetapi di Bali-lah ia menemukan keseimbangan. Justru interaksi dengan orang lain, menjadi anggota sebuah keluarga – itulah yang pada akhirnya berhasil mengisi kehampaan dalam dirinya.

Saya saat ini sedang berada di Republik Rakyat Cina (RRC). Negara yang kini sedang maju sangat pesat ini, memang sangat mengandalkan kekuatan diri sendiri. Rekan-rekan saya disini, terutama yang seumur dengan saya, selalu heran ketika saya menundukkan kepala untuk berdoa. “Mengapa harus berdoa? Bukankah kita mengandalkan kekuatan sendiri?” katanya – bukan dalam nada menginterogasi atau mengecilkan agama, tetapi karena betul-betul tidak mengerti mengapa orang berdoa. Ia betul-betul tidak paham, apa gunanya memejamkan mata dan berbisik dalam hati – seolah-olah ada yang mendengar diatas sana. Sesudah itu saya selalu bercanda kalau kita sedang mengerjakan sesuatu yang resikonya besar: “I hope to God, and you hope to yourself, that the machine will work!”

Minggu lalu, saya sedang mengurus Surat Ijin Mengemudi di pinggiran kota tempat saya tinggal, ditemani seorang rekan dari kantor. Seperti biasa, lokasi Kantor Polisi berada di sebuah jalan yang hiruk-pikuk, dengan perumahan padat dan jejeran pabrik-pabrik tidak jauh dari situ. Ternyata saya harus mengambil pas foto, sehingga kami menyeberang menuju tempat pengambilan fotonya. Betapa terkejutnya saya, bahwa di tengah-tengah kepadatan pinggiran kota ini, ada sebuah gereja, persis di depan tempat foto! Sebuah gereja katolik yang sangat sederhana, tanpa ukiran apapun. Dindingnya bersih, nampaknya baru dicat. Ketika masuk, hanya ada sebuah meja altar sederhana, dengan hiasan bunga plastik dan guntingan kertas warna. Diatas tabernakel, ada patung Tuhan Yesus besar – tidak dalam posisi disalib, tetapi berjubah dan sedang mengangkat tangan. Saya menduga, patung itu sebenarnya patung Yusuf – karena biasa dalam gereja Katolik ada patung Maria di sebelah kiri dan Yusuf di sebelah kanan, tapi kali ini hanya ada patung Maria saja. Di dalam gereja, ada kursi-kursi yang sudah reot, dengan bantal-bantal jerami sebagai alas untuk berlutut. Benar-benar mengingatkan saya pada gereja-gereja sederhana di pedalaman Flores. Sebuah ruang gereja yang kosong, dengan langit-langit tinggi, yang memberikan rasa teduh dalam hati, terpisah dari hingar-bingar di luar sana.

Saya kemudian masuk ke dalam gereja itu, dan duduk sejenak untuk berdoa. Sejak pindah ke Cina, saya larut dalam keseharian masyarakat disana. Hiruk-pikuk pekerjaan, setiap hari berjuang mendapatkan pesanan, menyelesaikan masalah, untuk mendapatkan uang. Uangnya untuk apa? Untuk belanja, membeli barang mewah. Bahkan, banyak orang menggunakannya untuk kesenangan pribadi – wanita dan minuman keras, sampai-sampai ritual ‘mabuk’ menjadi ritual yang umum dalam dunia bisnis di Cina. Dimana-mana ada kebebasan duniawi – mau apa saja boleh, asal ada uang. Tetapi, apakah semua kesenangan duniawi ini membawa kebahagiaan? Tidak. Tingkat stress makin tinggi, bahkan tidak sedikit orang bunuh diri atau membunuh orang lain karena mengendarai mobil sambil mabuk. Kehampaan itu – walaupun dalam kondisi ekonomi yang begitu baik – mulai muncul dan dirasakan oleh setiap orang. Lalu, apa yang bisa mengisi kehampaan ini? Apa yang bisa mengisi kekosongan ini?

Jawabannya ada pada gereja kecil ini – sebuah kekosongan, kehampaan! Lalu, bagaimana kehampaan bisa mengisi kehampaan? Ya – karena dalam kehampaan di gereja ini, ada Tuhan! Ketika rekan saya yang berasal dari Cina datang menjemput saya, ia ikut masuk ke dalam gereja. Karena kami masih harus menunggu, ia pun duduk di dekat saya, sambil ikut menundukkan kepala. Ia bahkan berbicara sambil berbisik dan mematikan suara ponselnya. Di Cina, hal ini sangat tidak lazim. Budaya Cina memang terbiasa dengan bicara dengan suara keras dan ponsel yang berbunyi – dan diangkat – setiap saat. Hal ini juga terjadi ketika pimpinan kami dari Eropa datang – sehingga kami sering harus menjelaskan supaya sang tamu tidak tersinggung, karena beginilah budaya di Cina. Lalu, mengapa di ruang kosong ini – di tengah kehampaan ini, rekan saya mendadak berbisik dan mematikan suara ponselnya? Padahal ia tidak mengerti apa itu agama, apalagi mengenal Tuhan Yesus?

Berarti, bahkan seseorang yang sangat pragmatis seperti rekan saya, bisa merasakan kehadiran Tuhan di gereja kecil itu. Benarlah apa yang Ia katakan dalam Matius 18:20, “Dimana dua-tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, Aku ada disana!”. Tuhan memang sungguh-sungguh ada dan hadir di dalam kekosongan ruang gereja itu. Dan, justru kekosongan inilah yang dibutuhkan oleh manusia! Kekosongan yang berarti jeda, istirahat, terpisah dari hingar-bingar dunia luar. Terputus dari kekuatan uang, kekuasaan, dan alkohol, tercerabut dari nafsu-nafsu duniawi. Sebuah ruang kosong, ruang hampa, dimana yang ada hanya kita – manusia, dan kehadiran Tuhan, Allah kita. Sebuah kekosongan yang bisa mengisi kekosongan dalam diri kita. Sebuah ruang hampa, yang disediakan Tuhan, supaya kita bisa duduk tenang, bersandar padaNya, berserah kepada rencanaNya.

Amin.

Prinsip Matius

“Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.”
Matius 25:29

Penjelasan Tuhan Yesus mengenai talenta ini sudah sering dibahas di berbagai khotbah. Tapi, kalau diperhatikan, bukankah perikop diatas ini kelihatannya bertentangan dengan prinsip yang biasanya diajarkan oleh Tuhan Yesus? Biasanya Tuhan Yesus selalu membela yang pihak yang lemah. Ia selalu berada di pihak yang miskin, sakit, atau tidak berdaya, bahkan Ia pernah berkata: “Kemarilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat” (Mat 11:28). Tapi di perikop ini tidak demikian. Ia justru seolah-olah bertindak dengan kejam!

Bayangkan: karena mau keluar negri, si Boss menitipkan uangnya pada tiga pegawainya: satu orang mendapat Rp 50 juta, orang kedua Rp 20 juta, dan orang ketiga Rp 10 juta. Pegawainya ini bukan manajer, bukan pula direktur. Si Boss juga tidak memberikan instruksi apa-apa, tahu-tahu dia pergi saja. Nah, para pegawainya pun kebingungan, dan bertindak sendiri-sendiri. Yang dapat Rp 50 juta, pontang-panting buka toko, memberi kredit, dan akhirnya mendapat untung Rp 50 juta lagi. Total Rp 100 juta! Yang kedua sama: dengan Rp 20 juta, ia membuka usaha MLM dan mendapat untung 20 juta. Yang mendapat modal paling kecil, cuma Rp 10 juta, tentu saja bingung menjalankan uangnya. Modal Rp 10 juta, mau buat apa? Akhirnya, ia simpan saja sampai si Boss pulang. Wajar bukan? Masih untung tidak ia bawa kabur atau dikorupsi. Toh si Boss tidak memberikan instruksi apa-apa, apalagi mengajarinya menjalankan uang. Namanya juga nitip, kembali modal wajar dong?

Biasanya, kisah ini akan berakhir happy ending a la Alkitab: yang dapat untung besar akan dapat pujian dari si Boss, sementara sang pegawai malang yang dapat modal paling kecil, juga akan dihargai oleh si Boss, karena minimal ia tidak mencuri atau mengkorupsi. Yang lemah harus dibela bukan? Tapi, apa yang terjadi disini? Si Boss bukannya berbaik hati! Lihat saja komentarnya: “Kalau begitu, uang Rp 10 juta itu kamu transfer ke Joni yang dapat Rp 100 juta, biar bonus dia bertambah Rp 10 juta!” (ref. Mat. 25:28). Waduh, kejam sekali! Masak sudah miskin, diambil pula uangnya, diberikan pada yang paling kaya lagi! Bukan cuma itu: “Untuk kamu, saya akan PHK sekarang juga, supaya masuk ke kegelapan paling gelap!” (ref. Mat. 24:30). Nah. Bukan cuma diambil uangnya, sang pegawai yang malang ini malah di-PHK pula. Padahal, ia tidak bersalah bukan? Si Boss kan tidak memberi target, berapa yang harus ia capai? Si Boss juga tidak memberi training, bagaimana caranya menjalankan uang. Lalu, mengapa si Boss begitu kejam?

Malcolm Gladwell, seorang penulis asal New York dalam bukunya “Outliers”, mengajukan sebuah teori menarik mengenai kesuksesan. “Outliers” berarti seseorang yang luar biasa, atau berhasil mencapai sesuatu diluar kebiasaan umum. Dalam buku ini, ia menganalisa kesuksesan orang-orang terkenal, baik atlit, konglomerat, maupun politikus. Ia menyinggung tentang ‘prinsip Matius’ dalam bab kedua: bahwa mereka yang mempunyai akan diberi, dan yang kekurangan akan dikurangi.

Contohnya sederhana: ia menganalisa daftar tanggal lahir dari tim hoki nasional Kanada dan tim nasional sepak bola Ceko (Anda bisa mencoba pada tim Persib atau Persija!). Ia mendapatkan bahwa hampir semua pemain lahir pada bulan Januari sampai Maret! Mengapa demikian? Ini disebabkan oleh proses penentuan pemain berbakat yang diambil dari tim sekolah. Sekolah di Kanada dan Ceko memiliki cut-off date atau tanggal batas kelas pada 1 Januari. Jadi, anak yang lahir 2 Januari akan sekelas dengan anak yang lahir 31 Desember pada tahun yang sama. Apa akibatnya? Tentu saja Anton yang lahir 2 Januari badannya lebih besar, larinya lebih cepat, dan perkembangannya lebih maju, dibanding Toni yang lahir 31 Desember!

Jadi, ternyata, anak yang masuk seleksi tim terbaik bukanlah yang paling berbakat, tapi yang lahir duluan. Dengan lahir duluan, sang anak tumbuh lebih dulu, masuk tim nasional, lebih banyak dapat waktu latihan, lebih banyak dapat teman latih setanding, dan seterusnya, sampai sang anak bisa jadi atlit terkenal - hanya gara-gara ia lahir lebih dulu - bukan karena ia berbakat. Inilah yang disebut prinsip Matius: sudah untung karena lahir lebih dulu, makin untung karena dapat berbagai kemudahan! Bagaimana dengan yang lahir belakangan? Tidak hanya dalam olah raga, dalam pelajaran pun sering tertinggal, akhirnya dicap sebagai anak ’bodoh’, sampai-sampai tumbuh menjadi orang yang tidak percaya diri. Nah - yang lahir belakangan - sudah kurang, makin dikurangi pula!

Berarti, Tuhan Yesus memang jenius. Selama ini kita mengira bahwa kesuksesan adalah murni dari bakat sendiri, hasil usaha sendiri, buah kerja keras dan kesungguhan hati. Ternyata tidak! Ada orang yang memang dilahirkan untuk sukses - karena punya fasilitas, keluarga, bahkan tanggal lahir - yang cocok. Sementara ada orang yang kurang beruntung, dilahirkan pada waktu yang salah, dari keluarga broken home pula. Menyedihkan memang, tapi, sejarah membuktikan, begitulah adanya! Dan hal ini sudah dikemukakan oleh Tuhan Yesus, dua ribu tahun yang lalu. Bahwa ada orang yang memang punya 5 talenta - artinya punya banyak kesempatan untuk sukses, dan ada yang punya 1 talenta - punya lebih sedikit kemungkinan untuk sukses.

Lalu, apa pelajaran yang bisa ditarik dari perikop Matius ini? Perhatikan bahwa Tuhan Yesus justru mengecam orang yang memiliki 1 talenta. Mengapa? Karena sikapnya! Yang 5 talenta dapat 5 talenta, yang 2 talenta dapat 2 talenta. Pastilah si Boss juga akan senang, kalau saja yang 1 talenta itu bertambah 1 saja, jadi 2 talenta. Cukup! Talenta yang sedikit bukan alasan untuk tidak berusaha, tidak bekerja keras. Talenta adalah tanggung jawab - dan berapapun jumlahnya, harus diusahakan. Sang pegawai yang malang ini dihukum bukan karena ia modalnya sedikit, tapi karena ia tidak berusaha sama sekali untuk mengembangkan modalnya. Padahal, dengan keterbatasannya, justru ia harus berusaha lebih keras untuk berhasil.

Banyak diantara kita yang bersikap seperti si pegawai bertalenta satu ini. Merasa lahir dari kondisi yang kurang beruntung, dan tambah tidak beruntung karena sikap kita yang pasif. ”Memang nasib sudah begini...” kata yang satu. ”Mungkin ini kehendak Tuhan...” kata yang lain. Padahal, omong kosong! Apakah Tuhan menghendaki kita pasrah? Apakah Tuhan menghendaki kita mengubur talenta kita dalam tanah dan meratapinya? Tidak! Tuhan ingin kita berusaha. Tuhan ingin kita bekerja, mengubah nasib, dan menjadi sukses - darimanapun kita berasal. Ia bukan Tuhan yang kejam - buktinya, Ia cukup puas mendapat 5 talenta dari modal 5, dan 2 talenta dari modal 2. Ia tidak mengharapkan 100 talenta dari modal 5 talenta. Tapi, inilah intinya - talenta itu harus berkembang, tidak boleh dikubur dalam tanah dan ditangisi seumur hidup. Jadi, mulailah berusaha. Jangan menyalahkan Tuhan atau nasib, karena ini dan itu. Bahwa beberapa orang lebih beruntung dari kita, itu sudah wajar di dunia ini. Tapi bukan berarti kita tidak bisa sukses. Bangun dan kejarlah talenta itu, supaya kita tidak dihukum oleh Boss kita!

Kunshan, 25 Oktober 2009.