Monday, January 18, 2010

Kuatkanlah Lututmu Hai manusia

Mahluk Sorgawi itu mengetuk pintu perlahan-lahan, seolah tidak ingin mengganggu pembicaraan yang sedang berlangsung dalam ruangan itu. Kemudian, Ia membuka pintunya sedikit, untuk melihat ke dalam.

Di dalam ruangan itu, nampak beberapa mahluk Sorgawi dan malaikat yang sedang mengadakan rapat. A, salah seorang malaikat, merasakan ada seorang mahluk Sorgawi yang ingin berkomunikasi denganNya. Iapun menoleh dan mendapati seorang mahkul Sorgawi di dekat pintu.

“Ada apa? Kami sedang rapat” kataNya.
“Iya Pak, tetapi ada sesuatu yang mendesak. Tentang manusia N Pak” katanya perlahan.
“Ah ya, manusia N” kata A sambil sedikit tersenyum.
“Apakah jawabannya sudah tiba?”
“Sudah Pak. Jawabannya negatif”
“Apa?! Negatif? Bagaimana bisa?!” jawab Malaikat A dengan nada tinggi. Air mukanya berubah, sayapnya bergetar kaget.
“Iya Pak. Alasannya sama: tidak ada perasaan, Pak” jawab sang Mahluk Sorgawi lagi.
Malaikat A merenung sejenak, lalu berkata singkat: “Baiklah, Saya akan pamitan dulu, sesudah itu mari kita bicarakan di ruang kerja Saya.”

Iapun berpamitan, kemudian melayang diikuti Mahluk Sorgawi yang menemuinya, menuju sebuah ruangan tempatNya bekerja. Iapun duduk, berhadapan dengan Mahluk Sorgawi yang mengikutinya.
Sambil menghela napas, Ia mulai bertanya.
“Jadi bagaimana ceritanya?”
“Ini kami peroleh dari monitor kami Pak” jawabnya pelan.
“Jawabannya negatif. Ia benar-benar tidak bisa menerima manusia N menjadi kekasihnya”
“Apa yang menjadi alasannya?”
“Ia merasa tidak ada feeling, Pak, walaupun ia tahu manusia N ini baik hati, berbakat, dan….”
“Punya masa depan cerah, ya, ya, semua tahu itu! Tapi, selalu ada tapinya!” potong Malaikat A
“Dan sebagai tanda terima kasih, manusia C memberikan hadiah pada manusia N, Pak”
“Apa hadiahnya?”
“Sebuah lilin kecil, Pak” jawab sang Mahluk Sorgawi, sambil setengah berbisik.
“Astaga – sebuah lilin kecil!” kata Malaikat A dengan suara meninggi.
“Mengapa harus lilin itu lagi?!”

Malaikat A teringat kira-kira sepuluh tahun dunia yang lalu, ketika Ia menjaga manusia N melewati masa-masa terpenting dalam hidupnya. Manusia N pada waktu itu memiliki iman yang sangat kuat, percayanya kepada Allah sangat dominan. Ia aktif di gereja, punya banyak teman, dan sangat berbakat. Namun, ketika tiba waktunya manusia N mencari pasangan, nampaknya ada sesuatu yang menghalanginya. Rupanya manusia N sangat canggung menyatakan perasaannya, sebuah kelemahan yang bisa dilihatNya dengan jelas melalui mata batinnya. Berkali-kali cintanya ditolak, sampai-sampai manusia ini nyaris putus asa.

Beberapa lama kemudian, manusia N jatuh cinta pada manusia D, seorang rekannya di gereja. Manusia N berdoa begitu kerasnya, supaya manusia D menerima cintanya. Waktu itu, Ia pun begitu yakin, bahwa manusia N bisa mencapai apa yang diinginkannya. Ia memulai maneuver untuk mengabulkan doa sang manusia: ia bertemu dengan Malaikat Penjaga manusia D, ia mengadakan pertemuan dengan AtasanNya, sampai-sampai mengorganisir sebuah pertemuan khusus untuk itu. Namun, keputusan ternyata jauh dari yang diharapkan. Manusia D menolak cinta manusia N, karena tidak ada perasaan cinta, katanya. Sebagai tanda terima kasih atas perhatian manusia N selama ini, ia memberikan sebuah lilin kecil.

Sesudah itu. manusia N begitu kecewa, hatinya begitu terluka. Ia bisa melihat bilur-bilur kekecewaannya, pertanyaannya yang menusuk, mengapa doanya tidak dikabulkan. Ia begitu marah dan sakit hati, sampai-sampai Malaikat A harus memanggil bala bantuan untuk membisikkan suara hati supaya si manusia ini terhibur. Ia ingat, betapa manusia A melemparkan lilin kecil itu keluar jendela rumahnya di lantai tiga, dan memandang pecahan lilin di lantai dengan mata nanar, seolah membayangkan pecahan kepalanya sendiri. Betapa manusia N sudah mulai memanjat jendela untuk melompat dan bunuh diri, ketika Ia mengirimkan bala bantuan dari Sorga untuk menghibur dan menguatkan si manusia kecil itu. Walaupun secara fisik ia bisa diselamatkan, namun hatinya tetap terluka. Setelah peristiwa itu, si manusia berjalan gontai kesana-kemari, tenggelam dalam dosa dan kenajisan, karena akar pahit dalam hatinya.

Sampai akhir-akhir ini, ketika si manusia ini bertemu dengan manusia E, yang dicintainya. Manusia E yang memberinya harapan, bahwa mungkin, kali ini, permohonannya akan dikabulkan. Mungkin, inilah akhir pencariannya, setelah begitu banyak rekan seusianya menemukan kekasih. Ia sudah begitu beku, sudah begitu kaku, setelah hampir sepuluh tahun didera kebuntuan cinta. Baru saja ia belajar kembali terbuka, belajar kembali jujur pada dirinya, dan berbicara apa adanya tanpa kebohongan. Ia masih ingat, kemarin waktu dunia, baru saja manusia N pulang dengan hati berbunga-bunga. Ia begitu lega, melihat senyumnya, melihat kebahagiannya – yang masih jauh dari sempurna, namun setidaknya ada secercah harapan.

Sampai kepada keputusan hari ini. Dengan hadiah lilin yang sama pula! Betapa hancur hati sang manusia, dan betapa ironis kejadiannya – dengan hadiah yang sama, di hari yang sama!

“Baiklah kalau begitu” kata Malaikat A setelah sejenak merenung.
“Saya akan memohon waktu bertemu Atasan Saya, untuk menanyakan masalah ini. Terima kasih atas informasinya, dan tolong monitor terus manusia N. Kalau ada apa-apa yang berbahaya, segera beritahu saya” katanya.
Mahluk Sorgawi di hadapannya mengangguk, lalu melayang pergi.

Iapun menutupkan sayapnya, memejamkan matanya, dan mulai berkonsentrasi. Ia memohon waktu untuk bertemu AtasanNya. Permohonannya dikabulkan, dalam waktu sepuluh menit waktu Sorgawi, Ia akan bertemu AtasanNya.

Iapun melayang, menuju tempat pertemuan itu. Koridor demi koridor dilaluiNya, sampai kepada sebuah tabir yang besar berwarna kesumba. Ia masuk, tanpa menyibakkan tabir tersebut. Beberapa Malaikat nampak berjaga-jaga di dalam Ruang Suci, dan segera mendapatkan konfirmasi melalui komunikasi Illahi, bahwa Ia sudah punya janji untuk bertemu AtasanNya. Iapun masuk ke Ruang Mahasuci, sebuah ruangan yang sederhana namun agung. Ia duduk, berkonsentrasi, memejamkan matanya, mengatupkan sayapnya, dan bersiap menghadapi kehadiran AtasanNya. Tak lama kemudian, ruangan itu dipenuhi cahaya. AtasanNya telah tiba.

“Bapa, mengapa Engkau begitu berat mencobai manusia N, anakMu ini?”
Tanyanya dengan sedih.
“Hamba tahu ia penuh dosa dan kotor sekarang, tapi bukankah ia berusaha sekuat tenaganya, ya Bapa? Bukankah dosanya selama ini didasari atas kekecewaannya? Ketidak mengetiannya akan cinta dan kasih?”
“Hamba mengerti, bahwa si manusia ini begitu lemah tenaganya, begitu sulit berjuang melawan kelemahannya. Ia begitu tidak berdaya, dan ia sendiri pun nyaris tidak bersemangat untuk bertarung. Tetapi, tidakkah ia sudah berusaha sekuat tenaganya, ya Bapa? Mengapa Engkau tidak memberikan kesempatan kepadanya? Mengapa Engkau memberi kesempatan kepada rekan-rekannya, tetapi tidak kepadanya? Mengapa ia Kaubiarkan terpuruk kembali? Mengapa ia Engkau hujamkan kembali ke tanah, bahkan dengan lilin kecil yang sama pula? Mengapa Engkau tidak mau menolongnya, memberinya mukjijat, sekali ini saja? Mengapa ia Kaubiarkan hancur kembali?”

Malaikat A berhenti berkata-kata. Ia sedih, sayapnya bergetar menahan perasaannya sendiri. Namun, cahaya lembut nampak berpendar di dekatnya. Ia merasakan senyum AtasanNya yang agung, sebelum Ia mulai berkata demikian”

‘Sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak, “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkanNya,

Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya, dan ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak.”

Jika kamu harus menanggung ganjaran, Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?

Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang

Selanjutnya dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati, kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup?

Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusanNya

Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.

Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah,

Dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh.

Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan.’

Malaikat A menghela napas, ketika AtasanNya selesai. Cahaya di ruangan itupun meredup, dan Ia mulai membuka matanya.
Ia melayang keluar, kembali ke koridor-korikor yang kini mulai kosong. Hari sebentar lagi akan berganti menjadi hari ketujuh, dimana seluruh penghuni Sorga beristirahat.
Ia melayang menuju ruang pemantau. Ia mencari salah satu dari lima milyar layar disana. Setelah beberapa saat berkonsentrasi, Ia menemukan layar manusia N. Ia mendekat ke layar itu, sendirian, sambil memandanginya dengan sedih.

Manusia N, manusia kecil dan rapuh itu, sedang tertidur kelelahan. Sebuah hari yang melelahkan, pikirNya. Hari yang penuh kegiatan, termasuk salah satunya kekecewaan sepuluh tahun lalu yang hadir kembali. Kekecewaan yag terulang kembali, yang belum sembuh, dan kini tersayat kembali.

Namun, lihatlah manusia N itu. Dulu, ia begitu hancur. Begitu putus asa, begitu tidak berdaya. Kini, ia tertidur lelap. Sebuah dus kecil berisi lilin nampak tergeletak di meja kamarnya – ia bahkan tidak sanggup membukanya. Namun, kali ini ia tidak melompat keluar untuk bunuh diri. Ia tertidur lelap, setelah menimbang-nimbang sampai larut malam. Ia terluka, ia sedih, namun ia jauh lebih kuat dari sepuluh tahun lalu. Ia masih tidak tahu kemana ia akan pergi, ia masih terpuruk dan terluka. Namun, ia tidak berantakan. Ia utuh, dan lebih kuat sekarang.

Lewat mata batinnya, Ia bisa melihat, betapa manusia itu kini berkilau, seperti pisau yang semakin tajam diasah. Seperti perkakas tembaga yang baru dibersihkan, seperti sepatu yang baru disemir. Mengkilap, walau hanya sedikit.. Mudah-mudahan, ia bisa segera menemukan pasangannya, pikirNya sedih. Mudah-mudahan, AtasanNya bermurah hati menunjukkan arah langkah selanjutnya.

Dada manusia kecil itu nampak naik turun dengan tenang.

“Kuatkanlah hatimu, Nak!” kataNya pelan.
“Kuatkanlah…..”

Amin

Apakah 2012 Akan Kiamat?

“Pada waktu itu kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan; kalau ada dua orang perempuan sedang memutar batu kilangan, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan. Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu akan datang”
Matius 24:40 – 42

Setiap kali membaca ayat ini, seringkali terdengar seperti dongeng anak-anak saja, bukan? Seolah-olah apa yang dijelaskan adalah sebuah perumpamaan saja, bukan kejadian yang sebenarnya. Mungkin, Tuhan Yesus hanya bermaksud menakut-nakuti murid-muridNya saja, supaya mereka lebih paham bahwa masalah pertobatan bukan masalah ‘nanti, masih lama’, tetapi harus dilakukan segera dan mendesak.

Namun, apa yang disabdakan Tuhan Yesus ternyata benar adanya. Bencana, seperti yang dikisahkan dalam perikop diatas, seringkali terjadi begitu cepat, begitu mendadak. Apakah Anda sudah menonton film 2012? Film yang menghebohkan ini menggambarkan tentang kira-kira apa yang terjadi jika dunia kiamat pada tahun 2012 nanti. Ide kiamat tahun 2012 didapat dari penanggalan kuno bangsa Maya. Bangsa Maya yang berasal dari Amerika Tengah ini memiliki teknologi yang sangat tinggi, mampu membangun piramid-piramid raksasa dengan ketelitian yang sangat tinggi. Tapi, bangsa ini seolah lenyap ditelan bumi, dan sisa-sisa keturunannya pun sangat sedikit. Salah satu peninggalan bangsa Maya adalah sebuah penanggalan (kalender) yang akurat. Nah, kalender ini masih bisa menunjukkan waktu bahkan ribuan tahun sesudah bangsa Maya sendiri punah. Kalender ini, berakhir pada tahun 2012!

Sebenarnya, Indonesia pernah mengalami sebuah ‘kiamat kecil’ yang menimpa propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 5 tahun yang lalu. Menyimak cerita-cerita tentang kedatangan tsunami, terdengar persis seperti apa yang diceritakan dalam Alkitab. Ada seorang bapak yang pagi-pagi naik motor untuk mencari sarapan pagi, membeli lontong sayur di daerah yang agak tinggi. Ia kaget mendengar berita gempa, dan ketika kembali ke rumahnya, semua sudah lenyap – rumahnya, desanya, bahkan 12 anggota keluarganya! Banyak sekali cerita seperti itu terdengar, persis seperti yang dikisahkan di perikop diatas. Orang bekerja, kawin dan mengawinkan, sampai ketika ‘air bah’ datang!

Saya pernah mendengar sebuah kisah yang sangat menyedihkan, dari seorang rekan asal Aceh yang membantu rekan saya di PBB yang bertugas di Aceh. Ia terlihat sebagai seorang yang biasa-biasa saja, bahasa Inggrisnya cukup bagus, dan ekonominya juga lumayan. Namun, rekan saya terkejut ketika diundang ke rumahnya untuk makan malam. Di garasinya, ada sebuah mobil kijang miliknya sendiri, dan sebuah bangkai mobil yang hanya tersisa rangkanya saja, hancur berantakan, namun dibungkus dengan sangat rapi dan dipajang seperti sebuah karya seni. Ketika rekan saya bertanya, ternyata jawabannya sangat mengharukan. Sang rekan asal Aceh ini kehilangan segala-galanya pada waktu tsunami – rumah, 3 orang kakak, 2 orang adik, serta keponakan-keponankan (2 kakaknya sudah menikah), termasuk orang tua dan kakek-neneknya, yang dulu tinggal serumah. Ketika ia pulang mendapati semuanya hilang, yang dapat ia temukan adalah bangkai mobil ini, yang merupakan bangkai mobil milik kakaknya dulu. Tidak ada foto, video, atau album yang selamat. Jadi, kini, hanya bangkai mobil itulah, yang mengingatkannya pada masa lalunya.

Jadi, memang betul apa yang dikatakan di dalam perikop ini. Bahwa ada yang diambil, ada yang tidak; ada yang selamat, ada yang tidak; dan semuanya terjadi dengan begitu cepatnya dan tidak terduga. Siapa menyangka, bakal ada gelombang besar yang menyapu sampai mampu melemparkan kapal laut puluhan kilometer ke daratan? Bahkan teknologi manusia hanya bisa bengong menyaksikannya lewat satelit, dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Memang, bencana demikian bisa dan bahkan sudah pernah terjadi. Apa yang akan terjadi tahun 2012? Mungkin tidak ada yang tahu sekarang. Namun, camkanlah, bahwa apa yang dikatakan Tuhan Yesus bukanlah dongeng belaka, bukan sebuah perumpamaan, melainkan suatu peringatan. Peringatan, agar kita segera berubah dan memperbaiki diri kita agar kita seperti Rexona – siap setiap saat!

Amin

Where and When

”Then He took the cup, and gave thanks, and gave it to them, saying, “Drink from it, all of you. For this is My Blood of the new covenant, which is shed for many for the remissions of sins.”
Matthew 26:27-28

Seorang pendeta di GKY Grenvil dalam khotbahnya memberikan sebuah ilustrasi yang menarik. Ada seorang wanita yang sedang berkonsultasi dengan pendetanya.
“Saya tidak mengalami lagi damai Kristus, Pak” katanya. “Saya tidak merasakan damai lagi, saya betul-betul kehilangan iman saya. Saya merasa tidak terpanggil untuk berdoa, apalagi pergi ke gereja!” katanya lagi dengan gelisah.
Sang pendeta hanya tersenyum dan berkata “Where and when – dimana dan kapan – Saudara mulai kehilangan iman?”
Sang wanita tadi segera menjawab dengan suara meninggi: “Ini bukan soal kapan, Pak, ini adalah masalah hati. Hati saya tidak menemukan lagi kedamaikan dalam Kristus, mungkin karena begitu banyaknya aktivis gereja yang ternyata bobrok, atau majelis gereja yang ternyata ikut korupsi. Saya betul-betul kehilangan kepercayaan pada gereja, Pak!”
Namun, dengan tenang dan tetap tersenyum, sang pendeta tetap bertanya dengan pertanyaan yang sama : ‘Where and when – kapan dan dimana – Saudara mulai kehilangan iman?”
Demikianlah pembicaraan itu berlanjut. Sang wanita tadi terus berputar-butar menghindar, namun akhirnya mengakui. Beberapa tahun lalu ia lari dari rumah untuk tinggal bersama pacarnya. Itulah saatnya – where and when – ia mulai kehilangan iman.

Ilustrasi ini menarik untuk direnungkan. Memang, setiap orang yang merasa imannya lemah, jika berani jujur, pasti punya satu titik balik – where and when – ketika iman itu mulai dilemahkan atau melemah. Seorang penyair yang akhirnya berpindah kepercayaan, Sitor Situmorang, bahkan membuat sebuah puisi tentang sebuag gereja diatas bukit yang kosong, yang menunjukkan kehampaan iman Kristennya. Jadi, sang pendeta tadi memang bijak. Langkah pertama kita, jika kita merasa iman kita melemah, adalah bertanya: where and when.

Namun, jika kita perhatikan – what, atau apa yang bisa melemahkan iman kita sebegitu hebatnya? Kalau bicara dosa, setiap hari kita berdosa – dari memaki motor yang menyerempet mobil kita sampai melirik pada seseorang bertubuh aduhai. Tapi, dosa macam apa yang begitu kuatnya, sampai bisa melemahkan iman kita? Dalam ilustrasi diatas, jelas bahwa dosa sang wanita adalah ketika ia memutuskan untuk lari dari keluarganya dan hidup bersama pacarya. Ya, memang tidak dijelaskan apa agama pacarnya itu. Tetapi, apakah hal ini relevan?

Sebenarnya tidak. Jika kita renungkan, jenis dosa yang dilakukan wanita ini adalah dosa menahun. Maksudnya, dosa yang dipendam, dosa yang dipelihara bertahun-tahun. Dan dosa yang saya maksud bukanlah dosa karena berzinah atau hidup dengan pacarnya. Tetapi, ada satu dosa yang lebih berbahaya – dosa kebohongan. Bisa Anda bayangkan, ia pasti mencintai pacarnya luar biasa. Namun, dalam hatinya pasti sedih, ketika ia lari dari rumah, dan tidak bisa bertemu dengan orang tua ataupun saudara-saudaranya lagi. Dalam hatinya pasti ada kerinduan yang luar biasa kepada keluarganya, namun ada akar pahit yang luar biasa pula, karena ia tidak mengerti mengapa keluarganya tidak setuju ia perpacaran dengan arjunanya ini.

Demikianlah akar pahit itu – rasa berdosa, rasa bersalah, rasa rindu, kecewa, sekaligus benci – tertanam dalam hatinya bertahun-tahun. Nah, kalau diibaratkan shio atau zodiac tionghoa, akar pahit menahun adalah shio macan, dan iman Kristen adalah shio kelinci – keduanya disebut ciong, atau tidak cocok, karena macan cenderung memangsa kelinci. Konon, pernikahan dari shio macan dan shio kelinci tidak baik menurut fengshui. Demikian pula iman Kristen wanita ini, dan akar pahitnya kepada keluarganya. Iman Kristen selalu menganjurkan kedamaian, kejujuran, dan ketulusan. Iman Kristen tidak mengijinkan adanya pemotongan sapi atau sebuah upacara adat tertentu untuk menghilangkan akar pahit seperti ini. Dalam iman Kristen, solusinya cuma satu: kembali ke keluarganya, mohon maaf dari mereka, dan berdamailah dengan mereka. Itu saja! Mudah, tetapi luar biasa sulit!

Jadi, bukan hidup bersamanya yang jadi masalah disini. Yang jadi masalah adalah akar pahitnya – dan setiap kali ia ke gereja, setiap kali ia berdoa, setiap kali ia membaca Alkitab, ia diingatkan untuk berdamai, dan itu justru tidak mau ia lakukan. Ia akan secara refleks menghindari doa, menghidari Alkitab, sehingga lama-lama imannya pun melemah. Mengapa ia tidak menemukan kedamaian lagi dalam iman Kristennya? Karena iman Kristennya selalu menantangnya untuk berdamai dengan masalahnya – namun, dengan cara yang tidak ia kehendaki.

Jadi, jika Anda merasa iman Anda mulai melemah, langkah pertama adalah: jangan pakai tedeng aling-aling. Tanya saja pada diri Anda sendiri: “Where and when?” Apakah dimulai sejak Anda memulai suatu proyek dimana Anda harus menyogok rekanan Anda? Apakah dimulai saat Anda mulai rajin jalan-jalan dengan sekretaris Anda? Jika Anda sudah mendapatkan where and when-nya, maka segeralah merenung dan mencarui jalan keluarnya. Ini dunia moderen, dan saya tidak menganjurkan Anda hidup di gua dan berdoa terus-menerus. Berbicaralah pada rekanan Anda – siapa tahu, Anda bisa membantu yang bersangkutan dengan cara lain sehingga tidak perlu terang-terangan ‘menyogok’ lagi. Jika Anda mulai jalan-jalan dengan sekretaris Anda, berbicaralah pada istri Anda, apa yang Anda rasakan kurang darinya, sampai-sampai mencari pelampiasan pada orang lain? Intinya, cobalah cari akar permasalahannya. Seringkali, masalahnya bukan pada perbuatannya itu sendiri, melainkan dari kepahitan, kekecewaan, dan kebohongan yang terus meneruk dipupuk, untuk menutupi perbuatan itu.

Dan jangan kuatir! Dalam Perjanjian Lama, jika kita mencari kata ‘dosa’ do www.sabda.org, tema yang paling sering dibicarakan adalah penghukuman. Tapi dalam Perjanjian Baru, justru yang paling sering adalah pengampunan! Betapa Tuhan Yesus sudah menumpahkan darah, mengorbankan diriNya untuk melawan dosa. Kita punya satu backing – satu Penolong yang kuat, yang mampu mengalahkan dosa, bahkan sekelam apapun. Jadi, jangan takut! Datanglah kepada Dia, maka Ia akan mengampuni dosa Anda. Dan, yang lebih penting lagi, Ia akan memberikan kekuatan pada kita untuk berdamai dengan masalah kita. Dengan cara yang benar, tanpa jalan pintas!

Amin.

Cikarang, 27 Desember 2009

KH Abdurrahman Wahid – Berani Tidak Keren

“Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar – tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati. Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa”
Roma 5:7-8

“Janganlah kamu mencari dan mengikuti kebenaran karena tokohnya, tetapi carilah kebenaran itu sendiri niscaya kamu akan tahu siapa tokohnya”
Ali bin Abi Tholib

Bangsa Indonesia baru saja kehilangan salah seorang putra terbaiknya. KH Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur, meninggal dunia pada tanggal 30 Desember 2009. Biasanya, Gus Dur dikenal di media dengan sebutan ‘bagus, tapi’. Bagus, tapi selalu ada ‘tapi’-nya. Misalnya, pluralis, tapi eksentrik. Jadi presiden, tapi kemudian dijatuhkan oleh MPR. Dikagumi, tapi juga banyak mengundang kritik. Bahkan dalam tulisan-tulisan obituari mengenai dirinya di surat kabar seperti Kompas sekalipun, kekaguman atas Gus Dur selalu diimbangi dengan ke-‘tapi’-an yang tak kalah dominan. Gus Dur memang orang yang dikagumi, tetapi – dengan meminjam istilah beliau yang ‘slengean’ – kurang keren.

Mengapa Gus Dur kurang terlihat keren? Bukan karena beliau posturnya tidak tinggi besar, atau senyumnya kurang menawan. Justru itulah sifat Gus Dur yang paling membuatnya menjadi manusia luar biasa: keberaniannya untuk tidak keren. Keberaniannya untuk nyeleneh, untuk menentang pendapat banyak orang, dan untuk bergerak ke kiri ketika orang sekampung lari ke kanan. Dengan bertindak aneh begitu, seseorang tersebut pasti disebut kurang keren, tidak ikut mode, mau beda sendiri. Tapi, disitulah kualitas agung seorang Gus Dur – perimbangan antara intelektualitas yang jauh melebihi kalangannya dan kekeraskepalaan dan sifat saakelijk a la Jawa Timuran yang sangat kentara.

Coba saja bayangkan: di jaman edan ini, semua orang cenderung ingin terlihat keren. Contohnya adalah pandangan mengenai agama: ngaku saja, untuk menjadi radikal itu jauh lebih keren daripada menjadi moderat, bukan? Apabila berbicara mengenai penyerangan Amerika ke Irak, bukankah lebih keren dan terlihat gagah, jika seseorang berteriak lantang soal kebencian terhadap agama Islam oleh Amerika yang dikuasai Yahudi, daripada sebuah tindakan meredam kekuatan negara berbahaya yang sudah menyerang negara Islam tetangganya secara sepihak? Kalau bicara mengenai golongan Tionghoa, bukankah jauh lebih terlihat perlente berbicara tentang betapa rakusnya orang-orang Tionghoa yang menguasai ekonomi, daripada berbicara tentang betapa orang Tionghoa memperoleh diskriminasi pada jaman Orba sekalipun sudah mengharumkan nama bangsa lewat prestasi di bulutangkis? Ya – akui saja – menjadi radikal, pasti lebih keren!

Dalam kalangan Kristen, radikalisme juga terlihat lebih keren bukan? Ketika bicara mengenai semangat iman, bukankah lebih terlihat rohani jika kita bicara mengenai penginjilan, yang berarti membawa jiwa-jiwa baru alias berusaha mengkristenkan orang yang sudah beragama? Padahal, jangankan menerima jiwa baru, di negara ini orang yang sudah Kristen saja masih banyak yang tidak terurus. Pernahkah Anda melihat kondisi gereja-gereja di Sumba atau di Papua? Kondisi gereja-gereja di pedalaman itu – bahkan nampak juga di lereng Merapi, tidak perlu jauh-jauh ke luar pulau – sangat menyedihkan, dan masyarakatnya bahkan masih kekurangan gizi. Justru merekalah jiwa-jiwa yang harus kita selamatkan – bukanlah Tuhan Yesus berkata, dimanakah kalian pada saat Aku lapar? Lalu, apakah bukan tanggung jawab orang Kristen juga, kalau Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia? Sadarkah Anda, bahwa untuk tidak korupsi saja, iman kita masih terlalu kecil?

Nah, hal-hal begini – yang tentu saja tidak terlihat keren – justru adalah hal-hal hakiki yang benar. Disinilah kekuatan iman seorang Gus Dur – beliau mampu, cukup tangguh, dan sangat berani untuk tidak keren dan tidak populer. Beliau tidak segan membela hak-hak kaum minoritas. Ketika radikalisme menjadi keren, beliau justru teguh mempertahankan pluralisme dan sikap moderat. Moderat yang bukan berarti permisif, tapi inklusif.

Kalau diperhatikan, bukankah itu juga yang menjadi sifat Tuhan Yesus dalam hidupNya? Iapun sangat dibenci oleh orang Farisi dan Ahli Taurat – tokoh-tokoh agama pada masaNya – karena sikapnya yang tidak keren, bahkan cenderung kurang ajar. Mengapa Ia bergaul dengan pemungut cukai? Mengapa Ia mau berbicara dengan seorang perempuan sundal? Mengapa Ia berbicara soal pengampunan dosa yang gratis, tidak melalui korban sembelihan? Mengapa pula Ia berani memetik gandum pada hari Sabat? Ya – Tuhan Yesus juga sangat berani untuk tidak tampil keren. Ia berani berkata bahwa yang miskin itu lebih berbahagia dari yang kaya, yang menyumbang dua perak lebih berarti daripada yang menyumbang emas permata. Ia berani mengobrak-abrik meja dagangan di Bait Suci dan Ia tak segan menyindir para pemimpin agama yang korup. Alhasil, Tuhan Yesus menjadi tokoh yang dibenci oleh para pemimpin agama, tetapi dicintai rakyat. Begitu pula Gus Dur, yang seringkali membuat rikuh para petinggi bangsa, namun bisa membuat seorang petani miskin merasa nyaman duduk selonjoran di halaman Istana Negara.

Jangan marah dulu, saya tidak menyamakan Gus Dur dengan Tuhan Yesus. Saya hanya mengajak Anda untuk merenung, betapa sulitnya meneladani sikap Tuhan Yesus. Dan salah satu contoh manusia yang berhasil meneladani sikap Tuhan Yesus dalam membela yang lemah, selain sederet orang seperti Ibu Teresa dan Mahatma Gandhi, adalah seorang Indonesia kelahiran Jombang, Jawa Timur, yang bernama KH Abdurrahman Wahid. Sikapnya yang berani tidak keren, tidak takut terlihat beda sendiri, dan kegigihannya membela kebenaran, patut menjadi teladan kita semua. Dalam tulisan Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, dituliskan bahwa untuk orang yang baik mungkin ada yang rela mati. Tetapi, untuk orang yang benar, sangat sedikit orang yang rela mati – apalagi untuk orang yang berdosa. Tuhan Yesus rela mati untuk kita yang berdosa. Gus Dur rela pontang-panting kesana-kemari, kadang-kadang mengabaikan kesehatannya sendiri, untuk membela yang benar, meskipun yang benar itu lemah atau tidak baik.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menganjurkan agar kita mengenang Gus Dur bukan sebagai tokoh yang ‘bagus, tapi’, melainkan sebagai tokoh yang ‘bagus, walaupun’. Ia bisa menjadi presiden, walaupun tidak punya gelar doktor. Ia tetap menjadi tokoh yang disegani, walaupun sudah tidak jadi presiden lagi. Ia bisa menjadi seorang kiai yang taat, walaupun tak segan membantu dan membela kaum minoritas. Sayangnya, ia sudah meninggalkan kita, walaupun masih banyak masalah yang menghadang bangsa ini di masa depan. Harapan kita hanya tertuju pada tokoh-tokoh muda yang kini bermunculan. Mudah-mudahan, akan ada seorang pemimpin sekaliber Gus Dur, yang akan muncul ke panggung politik bangsa ini. Mudah-mudahan, Tuhan memberikan kepada kita pengganti Gus Dur, yang sama-sama berani tidak keren. “Ya tunggu aja! Gantinya kan pasti ada!” kata Gus Dur dalam bayangan saya. “Gitu aja kok repot!”

Selamat jalan, Gus Dur!
-Harry Nazarudin-

Catatan: tulisan ini adalah pendapat pribadi yang murni tanpa muatan politik maupun agama. Jika Anda merasa keberatan, bisa menghubungi saya di harnaz@gmail.com, supaya kita bisa berdiskusi. Terima kasih!