Wednesday, May 24, 2017

Kecaplah dan Lihatlah

“Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu!
Berbahagialah orang yang berlindung padaNya!”
Mazmur 34:8

Tema JPCC bulan Mei 2017 adalah ‘Taste and See’ atau ‘kecaplah dan lihatlah’ dari Mazmur 34:8. Jika bicara ‘kecaplah’ atau ‘cicipilah’, maka maksud pemazmur adalah bahwa kita harus mencicipi dan melihat kebaikan Tuhan. Kebaikan kok dicicipi? Mengapa kata ini yang dipilih?

Sebagai seorang foodie, saya bisa mengatakan bahwa orang kuliner adalah yang paling mengerti soal nilai (value) melalui lidahnya. Kami bisa masuk ke sebuah warung berbentuk gubuk reot di tengah hutan, tetapi ketika memcicipi sesendok saja… Wow! Terasa ada nilai yang luar biasa! Sebaliknya, kami bisa makan di restoran mewah mentereng dengan piring dan sendok serba mahal, tetapi ketika mencicipi makanannya… Hmmm. Tidak terasa ada yang istimewa.
 
Contohnya ketika saya dan teman penulis Lidia Tanod diajak Pak Bondan untuk mencicipi Sambel Welut Pak Sabar di Banguntapan, Yogyakarta. Saya dan Lidia belum pernah makan sambel welut, dan saya bukan tipe yang suka sambel. Apalagi warungnya sangat sederhana. Tetapi ketika kami mencicipi sambelnya, merasakan keseimbangan rasa antara kencur dan cabai serta kegurihan belut gorengnya, saya dan Lidia sepakat – ini luar biasa, ada nilai hebat dibalik kesederhanaannya!

Itulah sebabnya pemazmur menggunakan kata ‘kecaplah dan lihatlah’. Penglihatan bisa ditipu, tetapi dengan didampingi kecapan lidah, maka nilai sesungguhnya akan terungkap. 

Tetapi ada satu masukan menarik dari Windy, leader di DATE (persekutuan) saya. Beliau mengatakan bahwa ‘kebaikan Tuhan’ itu tidak selalu indah atau enak. Bahkan seringkali berupa bencana atau musibah, yang kemudian membawa kita ke arah yang lebih baik. Lalu jika kebaikan demikian yang kita terima, bagaimana kita dapat ‘mengecap’ dan ‘melihat’nya?

William Wongso, salah satu pakar kuliner Indonesia, pernah berkata bahwa kuliner Indonesia tidak akan maju jika orang Indonesia masih menilainya dengan ‘enak’ dan ‘tidak enak’ saja. Kita harus meningkatkan ‘kecerdasan lidah’ – istilah Pak Bondan – untuk naik tingkat ke kemampuan apresiasi citarasa yang lebih tinggi. 

Di Perancis misalnya, ada sejenis keju yang namanya ‘blue cheese’ – keju termahal dari semua jenis keju. Salah satunya adalah keju Roquefort. Keju ini dibuat dengan menyimpan keju susu kambing di gua Combalou di daerah Roquefort-sur-Soulzon – sampai busuk! Dan justru keju busuk berurat kebiruan ini menjadi salah satu komoditas termahal di dunia. Enak? Tidak! Baunya luar biasa. Tetapi, ada nilai tinggi pada rasanya – karena beda wilayah atau beda lokasi gua saja, rasa kejunya akan berbeda! 

Itulah makna ‘kecap’ yang kedua. Kadang-kadang kebaikan Tuhan hadir dalam rasa yang tidak enak. Misalnya, ada seseorang di kantor yang begitu membenci dan menfitnah Anda habis-habisan. Namun jika lidah dan mata kita peka, maka ini adalah kebaikan Tuhan yang hadir dalam rasa blue cheese (istilahnya kulinernya ‘aqcuired taste’). Di balik peristiwa itu, Tuhan sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik untuk Anda – sebuah kesempatan untuk berwiraswasta, misalnya. Memang tidak enak rasanya – tetapi jika kita bisa menghargainya, ada nilai yang sangat tinggi di dalamnya, yang lebih tinggi dari sekedar ‘enak’ saja. Kebaikan Tuhan yang sesungguhnya!

Kecaplah dan lihatlah, apa saja kebaikan Tuhan yang sudah Ia siapkan untuk Anda hari ini?

Salam,

Harnaz

Friday, March 17, 2017

Karena Iman

Efesus 2:8
Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah

Tulisan yang terinspirasi oleh COB JPCC.

Apakah iman itu? Bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat dan dasar dari sesuatu yang kita harapkan. Kedua pernyataan dari Ibrani 11:1 ini mengandung paradox luar biasa bukan? Bukti yang tidak bisa dilihat - apakah itu masuk akal? Semua sistem peradilan dunia dibuat untuk memutuskan kasus berdasarkan evaluasi bukti. Jika buktinya tidak dapat bisa dilihat, bagaimana suatu perkara bisa diputuskan? Demikian pula pernyataan 'dasar dari sesuatu yang kita harapkan'. Harapan kan belum terjadi, lalu dasarnya apa? Dasar harapan adalah jaminan yang belum jadi, bisa kemudian batal jika yang diharapkan tidak terjadi!

Tetapi, iman mengandung kekuatan besar. Tuhan Yesus dalam Matius 17:20 berkata bahwa sebiji sesawi saja bisa memindahkan gunung! Bahkan iman Petrus lebih kecil dari biji sesawi, ketika Tuhan Yesus menolongnya supaya tidak tenggelam. Banyak kisah dalam Alkitab tentang kekuatan iman, dari perwira Romawi sampai perempuan yang mengalami pendarahan. Semuanya menunjukkan dahsyatnya kekuatan iman!

Sekali lagi, bagaimana kita membayangkannya? Tidak kelihatan tetapi mengandung kekuatan luar biasa?

Sains punya jawabannya: gravitasi! Setiap orang pasti sadar akan adanya gaya gravitasi. Semua mahfum bahwa apa yang naik keatas akan jatuh jika tidak disangga, dan semakin tinggi posisinya, semakin keras jatuhnya. Manusia perlu membangun mesin berukuran raksasa untuk menerbangkan pesawat, dan 90% dari pesawat luar angkasa ketika berangkat dari bumi adalah bagian roketnya : yang fungsinya cuma untuk melawan gaya gravitasi.

Tetapi gaya gravitasi ini tidak bisa dilihat, bukan? Tidak bisa diukur, tidak bisa difoto. Satu-satunya bukti mengenai gaya gravitasi adalah terdeteksinya gelombang gravitasi bulan Februari 2016 oleh laboratorium LIGO di Amerika Serikat! Fenomena yang diramalkan Einstein tahun 1916 ini adalah hasil perjalanan panjang manusia yang berusaha mendeteksi gravitasi.

Bagaimana kekuatan gaya gravitasi, apakah seperti iman? Ya. Contoh paling mudah adalah pembangkit listrik tenaga air. Di Jatiluhur misalnya, yang terjadi sangat sederhana: melalui bendungan, dibuat perbedaan tinggi permukaan air sehingga air yang terjun dipakai untuk memutar turbin yang menghasilkan listrik. Luar biasa bukan? Cukup untuk menerangi sebuah kota!

Inilah dasar dari harapan dan bukti yang tidak terlihat. Kita tahu gravitasi itu ada, kita rasakan kekuatannya, tetapi tidak terlihat! Dan patutkah kita bimbang meletakkan harapan padanya, hanya karena ia tidak kelihatan?

Harnaz