Wednesday, February 16, 2011

Memahami Pikiran Tuhan

1 Then Job replied to the LORD:
2 “I know that you can do all things; no purpose of yours can be thwarted.

3 You asked, ‘Who is this that obscures my plans without knowledge?’

Surely I spoke of things I did not understand, things too wonderful for me to know.
4 “You said, ‘Listen now, and I will speak; I will question you, and you shall answer me.’

5 My ears had heard of you but now my eyes have seen you.

6 Therefore I despise myself and repent in dust and ashes.”

Job 42:1-6


Stephen Hawking adalah seorang fisikawan jenius dan terkemuka di dunia. Beliau memegang posisi Lucasian Professor of Mathematics di Universitas Cambridge selama 30 tahun, memegang posisi akademis penting di beberapa negara, dan merupakan penulis buku-buku bestseller mengenai alam semesta seperti ‘A Brief History of Time’ dan ‘On The Shoulder of Giants’. Walaupun didera penyakit syaraf yang menyebabkan beliau harus duduk terikat di kursi roda, Hawking memiliki otak cemerlang yang mampu menjelajahi alam semesta, bahkan melampaui batasan waktu, melacak titik kelahiran galaksi-galaksi dan bahkan meramalkan kematian bintang-bintang. Dalam penjelajahannya inilah, banyak orang bertanya, apakah Hawking bertemu Tuhan? Apakah Hawking adalah seorang yang ‘beriman’? Dalam buku ‘A Brief History of Time’, Hawking menyatakan pendapatnya. Pemahaman atas teori penciptaan alam semesta, katanya, bila bisa dilakukan secara utuh oleh manusia, adalah pencapaian dari kehebatan akal manusia. “Karena kita akan bisa memahami pikiran Tuhan” katanya, yang menggema dalam ruang kelas yang sunyi senyap di Cambridge.

Para ahli fisika memang belum bersepakat mengenai teori pembentukan alam semesta dan hukum yang mendasari segala kejadian di alam ini. Ada dua faham besar dalam ilmu fisika yang kini menopang pemahaman manusia akan dunia ini, yakni teori gravitasi dari Newton dan teori elektromagnetik Maxwell. Teori yang pertama adalah teori kuno sejak Isaac Newton duduk di bawah pohon apel dan terkesima melihat sebuah apel yang jatuh, yang membuatnya bertanya “Mengapa apel jatuh ke tanah, dan bukan ke langit?”. Dari titik itu, lewat bukunya ‘Principia’, Newton kemudian mengemukakan dasar pergerakan benda-benda, dari apel sampai planet-planet dalam tata surya, dengan menggunakan prinsip-prinsip matematika.

Bagian kedua memiliki jalan yang lebih panjang, yang dipelopori oleh Maxwell ketika beliau menemukan prinsip elektromagnetik – bahwa, setiap medan magnet akan menghasilkan medan listrik, dan sebaliknya. Dunia ini adalah dunia renik, tanpa apel apalagi planet-planet, dan efeknya adalah seperti sulap. Mengapa sinar X-Ray yang tidak terlihat bisa menembus daging dan menampakkan tulang? Bagaimana lampu bisa menyala segera setelah saklar ditekan, padahal jaraknya ratusan meter dari saklar? Inilah dunia kuantum, dunia elektron, dunia partikel kecil yang tidak terlihat namun sangat berperanan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Memang, manusia telah banyak memahami gravitasi sejak Newton dan juga sudah mumpuni teori elektromagnetik dipimpin oleh Albert Einstein. Tetapi, mengapa ada dua teori: yang mengatur dunia raksasa (gravitasi) dan yang mengatur dunia renik (elektromagnetik)? Keduanya saling bersebrangan, teoremanya berbalikan, yang logis untuk satu, tidak logis untuk yang lain. Ini tidaklah masuk akal, bukan?

Harusnya ada sebuah teori dasar, yang disebut ‘Teori Segalanya’ (Theory of Everything), yang mendasari semua peristiwa di alam semesta dari planet sampai elektron. Harusnya teori gravitasi dan teori elektromagnetik digabungkan dengan sebuah teori umum, sebuah rumus matematika sederhana. Sehingga, dengan rumus ini, kita bisa meramalkan apa yang akan terjadi, membuat ekstrapolasi tepat mengenai kelahiran alam semesta, dan menarik garis lurus ke arah tamatnya galaksi-galaksi. Barulah, manusia bisa penuh menguasai alam semesta. Barulah, seperti kata Hawking, kita bisa ‘memahami pikiran Tuhan’.

Dimanakah kita saat ini? Tidak ada satupun yang kini bisa memecahkan, bahkan mendekati untuk menemukan Teori Segalanya. Albert Einstein meninggal dunia dalam obsesi ini, Stephen Hawking sampai kini masih tidak bisa memecahkannya, bahkan salah satu matematikawan terkemuka Indonesia, Dr. Pantur Silaban, yang terhitung cucu murid Einstein, pernah merasakan betapa pahit getirnya perjuangan mencari rumus maha tahu ini. Namun, sampai sekarang tidak ada yang bisa menemukannya, apalagi memahaminya. Mohon maaf, kita masih jauh dari ‘memahami pikiran Tuhan’!

Kalau ilustrasi saya diatas terasa terlalu rumit, kita ambil saja contoh yang lebih sederhana: cuaca. Secara teori, manusia sudah bisa 100% memahami semua faktor dan rumus fisika yang mendasari terjadinya fenomena cuaca: hujan, panas, angin, topan, salju. Manusia dengan teknologi tinggi, pengamatan satelit, perhitungan matematis, dan superkomputer kelas dunia, sudah mampu membuat simulasi cuaca: apa yang akan terjadi jika suhu meningkat atau kelembaban menurun. Tetapi, dapatkah manusia meramalkan cuaca secara 100% benar? Adakah yang mampu bertaruh dengan saya, bahwa 20 menit dari sekarang pasti akan turun hujan? Atau, tanggal 4 April 2011 adalah mulainya musim semi? Adakah perhitungan superkomputer yang bisa menebak, tanggal 5 Desember 2011 akan memiliki suhu berapa pada jam 6 pagi tepat di New York, Amerika Serikat? Tidak ada satupun. Ramalan cuaca tetap saja ramalan, kadang-kadang katanya hujan ternyata panas, katanya salju ternyata banjir. Jadi, apakah kita mau memahami pikiran Tuhan? Meramal cuaca pun kita belum becus!

Adalah sangat cantik bahwa kitab Ayub ditutup dengan sebuah pernyataan yang elegan: “Surely I spoke of things I do not understand, things too wonderful for me to know”. Ayub adalah satu contoh telak manusia yang mencoba memahami pikiran Tuhan. Yang bertanya kepada Tuhan: mengapa semua ini terjadi pada saya. Yang bahkan menggugat Tuhan, apakah Ia adil? Apakah Ia benar? Apakah Ia tahu apa yang Ia lakukan, ketika Ia mengatur hidup kita? Ketika Ia menyusun langkah demi langkah peristiwa yang kita alami? Apakah Ia benar-benar piawai menyusun skenario, ataukah Ia hanyalah Allah yang iseng, Tuhan yang kurang kerjaan, mengobrak-abrik hidup seorang manusia lemah yang tidak berdaya? Dalam perbincangan dan pergumulan Ayub yang panjang, barulah ia mengerti hakikat ‘Pikiran Tuhan’. Ia tunduk, dengan berkata: “You (God) asked: Who is this that obscures my plans without knowledge?’” Manusia mana yang berani mengusulkan skenario buatannya sendiri? Yang mampu memahami interaksi rumit kehidupan yang berujung pada suatu keadaan? Yang tahu, mana yang terbaik untuk kita? Ya: jika kita mencoba melakukannya, maka kita hanya merusak rencanaNya yang sudah agung itu!


Lalu, mengapa semuanya nampak suram saat ini? Mengapa Anda bangun pagi dengan hati pilu, menanti kekasih yang tak kunjung tiba, peruntungan yang tidak juga membaik, kerabat yang tidak juga sembuh, atau petaka yang belum juga ada akhirnya? Mengapa semuanya nampak kusut, nampak tidak berujung, dan membuat kita rasanya ingin menyerah saja? Dimanakah Sang Perencana, apakah Ia mendengarkan kita, ataukah Ia sedang tertawa diatas sana?

Tidak: Ia Maha Ada. Allah tidak tidur, kata pepatah Jawa. Ia sibuk mengurusi kita, menggunakan kekuatan Illahinya untuk mengatur langkah-langkah kita melewati ranjau-ranjau kehidupan. Ia menangis saat kita menangis, Ia juga pilu melihat kita pilu. Namun Ia sabar mengasihi kita. Ia sabar meniti kita dari satu batu ke batu lainnya, karena Ia punya rencana jelas, apa yang akan terjadi kalau kita sudah sampai di tepian sana. Kalau semuanya sudah berlalu. Kalau kita bisa melampaui satu rintangan yang terakhir ini. Bagai kutu di leher jerapah, rasanya seperti mengalami petaka abadi, namun semua leher hewan mamalia – dari manusia sampai jerapah – toh hanya terdiri dari 12 ruas tulang, tidak lebih dan tidak kurang!

Maka, janganlah ragu akan kepiawaianNya dalam merancang hidup kita. Berserahlah padaNya, jangan bandel, jangan mengomel. Jika lelah ototmu dan kaku tulangmu, berdoalah, bergembiralah sejenak bersama teman-teman yang Tuhan karuniakan kepadamu. Namun, tetaplah teguh. Kalau Ia mampu merancang Teori Segalanya yang menghubungkan hukum gravitasi dengan teori elektromagnetik, kalau Ia mampu menciptakan hujan karena doa dahaga seorang anak pada saat komputer meramalkan cuaca akan panas, maka Ia lebih dari mampu untuk menyediakan yang terbaik bagi kita. Kita cuma perlu percaya, dan menunggu mukjijatNya!

Kedoya, 16 Februari 2011