Wednesday, December 15, 2010

Cahaya Kelahiran Yesus - Renungan Advent Ketiga

“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.”
“Datanglah seorang yang diutus Allah, namanya Yohanes; ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya”
Yohanes 1:1,6-7


Injil Yohanes, berbeda dengan Injil Matius dan Lukas, tidak menceritakan tentang kelahiran Yesus. Tetapi, Yohanes memulai kisahnya dengan sebuah perumpamaan, sebuah alegori yang mengacu kepada konsep kelahiran Tuhan Yesus itu sendiri.

Ia menyebutkan bahwa pada mulanya adalah Firman. Memang, sampai Tuhan Yesus lahir, manusia hanya bisa berpegang kepada Firman. Firman ini digaungkan berkali-kali dalam Perjanjian Lama, melalui berbagai macam nubuatan para nabi. Bahwa akan datang seorang Mesias yang akan menyelamatkan manusia, yang oleh bilur-bilurNya kita menjadi sembuh. Bahwa akan datang seorang Raja, yang akan memerintah kerajaan yang tidak akan berakhir sampai selamanya. Selama beratus-ratus tahun, di tengah praktek budaya manusia yang najis saat itu – perbudakan, nabi-nabi palsu, penyembahan dewa-dewa – bangsa Israel bertahan dengan Firman itu, bertahan dengan janji itu, walaupun jatuh bangun diterpa perkembangan jaman.

Kemudian, Yohanes secara menarik melukiskan bahwa Firman itu kemudian menjadi terang. Firman adalah janji, yang walaupun semanis madu, tetap saja sebuah janji, tanpa wujud yang sesungguhnya. Tanpa jaminan, tanpa hakikat. Tetapi, ketika Firman itu berubah menjadi terang, maka Firman itu mulai terlihat. Firman itu tidak lagi berupa rangkaian kata yang tertulis di dalam sebuah kitab, melainkan bisa dilihat, bisa dirasakan hangatnya, bisa dilihat warnanya.

Firman itu mulai terwujud sebagai sebuah terang, cahaya yang menerangi dunia yang kelam.
Kelahiran Tuhan Yesus dilukiskan penuh dengan cahaya. Bintang terang di langit, sebagai pertanda kelahiranNya, tentu saja merupakan petunjuk yang penting. Bayi Yesus pun dilukiskan bercahaya, terbaring diatas palungan. Uniknya, Ialah satu-satunya cahaya di tempat kelahiranNya. Ia tidak lahir di Istana, yang terang benderang dan berlampu banyak, Ia juga tidak lahir di rumah bersalin yang memiliki penerangan cukup. Ia lahir di kandang, yang memang gelap gulita. Dalam keadaan gelap, secercah cahaya pun akan terasa terang. Itulah kelahiranNya, yang berpendar di tengah kegelapan malam, dibawah naungan bintang terang, siap menerangi ruang-ruang gelap dalam hati manusia.

Saya ingat pengalaman saya ketika naik ke Penanjakan untuk melihat matahari terbit di Gunung Bromo. Kami naik ke puncak Bromo kira-kira pukul empat pagi. Hawa udara dingin menggigit, sepertinya jaket tebal saya tidak cukup untuk membendung hantaman angin ini. Titik-titik cahaya seperti pasir nampak terhampar di kaki gunung, menambah dingin suasana. Tubuh saya mulai merasakan akibatnya: leher mulai sakit, kepala mulai pusing, badan mulai masuk angin, ketika saya bersiap memandang ke arah Bromo untuk menunggu mentari. Tiba-tiba, ketika sinar mentari mulai terbit, dan wilayah sekitar mulai terang, bukan saya mata yang bisa melihat jelas. Tubuh pun tiba-tiba terasa hangat, leher mendadak membaik, padahal suhu sekitar belum naik banyak. Kehangatan mentari tidak hanya terasa di tubuh secara fisik, namun juga di hati, sehingga pelan-pelan tubuh kembali pulih.

Seperti itulah terang yang dilukiskan oleh Yohanes: terang yang jatuh ke bumi yang gelap dan dingin. Terang yang hangat, dirasakan oleh semua orang, terlihat dan teraba dengan jelas efeknya. Dan Terang ini akan terus menjadi kesaksian, sampai semua orang menjadi percaya.

Amin.

Gembala dan Raja

“Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi.”
Matius 2:18

Kisah kelahiran Yesus Kristus menjadi pusat perhatian setiap kali hari Natal tiba. Sejak kita kecil, kisah kelahiran Kristus selalu menarik karena dibuat sandiwara setiap tahunnya, dan setiap kita akan dapat bagian: apakah diberi kumis dengan pensil alis dan menjadi Yusuf, atau untuk anak perempuan, jika cukup beruntung, bisa memerankan Maria sebagai aktris utama, lengkap dengan tudung kepala dan jubah panjang pastinya. Saya sendiri paling mentok hanya sebagai gembala, yang dicoreng mukanya juga karena konon gembala pada saat itu bercambang dan berjanggut. Saya malah pernah menjadi keledainya, pengalaman yang cukup menyenangkan karena saya ingat kostumnya yang lucu.

Kebanyakan kita sudah hapal ceritanya: sebuah bintang di langit, lalu ada kandang yang sederhana. Maria dan Yusuf duduk disana, dengan bayi Yesus di atas palungan. Ada keledai dan domba, kemudian tiga raja dari Timur (yang ini paling bagus kostumnya, selalu mengenakan mahkota dari kertas emas atau perak), gembala dengan tongkap yang panjang, nampak duduk di sisi menyaksikan Keluarga Kudus. Dekorasi kandang biasanya dari kayu, atau Styrofoam yang dicat coklat dengan Pilox, beserta rumput-rumput untuk menambah suasana kandang.

Sebenarnya, sangat ironis bukan? Sang Mesias, Sang Raja, justru hadir dengan begitu sederhana. Hanya ada tiga unsur yang menyambutNya: Tiga Raja dari Timur yang notabene bukan orang Israel sehingga terhitung kafir, gembala yang merupakan kasta terendah dari masyarakat Yahudi, serta hewan-hewan di kandang yang menyaksikan semuanya dengan seksama. Sementara, di Yerusalem, Raja Herodes, yang seharusnya bersuka cita menyambut Mesias, malah murka dan membunuh semua anak berumur dibawah 2 tahun di Bethlehem.

Walaupun kisah ini diyakini betul-betul terjadi, namun makna filosofisnya sangat luar biasa. Injil Matius dengan runut dan rinci menjelaskan begitu banyak nubuatan yang dipenuhi dengan kelahiran Tuhan Yesus yang sederhana, dari mulai lokasi kelahiran di Bethlehem sampai peristiwa pembunuhan anak-anak oleh Herodes. Adanya bintang Timur yang ditulis dalam Alkitab bisa dirunut waktunya secara astronomis. Bahkan catatan Lukas bahwa kelahiran Tuhan Yesus adalah bersamaan dengan diumumkannya sensus oleh Kaisar Agustus dari Roma, menempatkan kelahiran Tuhan Yesus pada sebuah titik dalam sejarah, bukan hanya sebuah legenda.

Jika direnungkan, kisah kelahiranNya ini secara tersirat juga melukiskan apa yang akan terjadi pada kehidupan Tuhan Yesus nantinya. Justru raja yang menyembahNya adalah raja dari Timur, yang merupakan orang asing, tidak tahu-menahu mengenai Hukum Taurat apalagi nubuatan para Nabi. Mereka hanya datang dengan iman, berdasarkan bintang yang mereka lihat di langit, namun begitu kuatnya iman ini sampai-sampai mereka rela berjalan ribuan kilometer mencari Sang Raja yang akan datang itu. Kenyataan ini seolah-olah sebuah kiasan mengenai fakta bahwa sekarang ini sebagian besat umat Kristen bukan berasal dari orang Yahudi.

Para gembala sendiri melambangkan golongan orang yang dibela Tuhan Yesus dan paling bersimpati padaNya: orang Yahudi kasta rendah, yang miskin dan sederhana. Banyak Nabi membela raja dan tinggal di istana, namun hanya Tuhan Yesus yang begitu lantang menentang dominasi kekuasaan dan malah berpihak kepada rakyat kecil. Bahkan pemungut cukai pun digandengNya, orang yang miskin justru disebutNya sebagai berbahagia. Untuk melambangkan inilah rupanya para malaikat mengabarkan kabar baik ini kepada para gembala di padang, yang kelak menyimbolkan keberpihakanNya pada yang lemah dan miskin.

Reaksi Herodes dan pemuka agama Yahudi juga persis seperti apa yang akan terjadi kemudian. Justru orang-orang yang paling ‘melek Taurat’, yang paling hapal luar kepala mengenai nubuatan para Nabi, yang seharusnya menyambut Mesias dengan suka cita dan tangan terbuka, justru menjadi musuh paling besar bagiNya. Karena, mereka sudah tidak lagi tulus dalam melaksanakan imannya, melainkan iman sudah berubah menjadi kepentingan, baik bisnis, uang, maupun politik, sehingga sudah tidak murni lagi tujuannya. Jadilah mereka yang seharusnya menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhan, menyalahgunakan kekuasannya justru untuk memperkaya diri dan memeras yang miskin. Itulah sebabnya Tuhan Yesus dengan lantang menentang mereka, dan pertarungan dengan merekalah yang akhirnya mengantarNya sampai ke kayu salib.

Dengan mengingat kisah kelahiran Tuhan Yesus, kita mengingat kehidupanNya. Kisah kelahiran yang penuh makna, walaupun sungguh-sungguh terjadi. Pada Natal tahun ini, marilah meluangkan waktu untuk menyaksikan sandiwara kelahiran Tuhan Yesus, untuk mengingatkan kita pada kelahiran dan kehidupanNya, serta sebagai nostalgia masa lalu ketika kita masih membungkuk dalam kostum keledai, menghadap ke bayi Yesus yang nampak terbaring lelap diatas palungan.