Wednesday, February 23, 2022

Ambisi Yang Mulia

“Supaya kami tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia”

FIlipi 2:15

“Ada yang mau jadi ketua disini?”

Senyap.

Sebuah pemandangan yang sudah biasa bukan? Gabungan antara ajaran Kristen yang dipahami salah kaprah, dengan budaya Timur yang dulu bikin kita terjajah. “Masak di gereja mau berambisi?” begitu kata beberapa orang. “Jangan saya, saya belum siap, masih berlumuran dosa…” kata yang lain. Padahal, nggak ada yang bilang bahwa untuk melayani di gereja harus suci dulu bukan? Tapi, itulah kenyataan yang ada, yang mengakibatkan terjadinya “brain drain” hebat di gereja. Bagaimana seseorang yang sigap bersemangat di tempat kerja, berubah jadi pasif melongo di gereja, dengan dalih diatas tadi. Lalu, harus bagaimana?

Saya pernah punya pengalaman yang tak terlupakan. Ketika dalam sebuah persekutuan kecil yang tidak penting, nggak ada juga nggak apa-apa, terjadi dialog seperti diatas. Kalau tidak ada yang mau, ya bubar jalan. Nggak apa-apa kok, kan masih banyak persekutuan lain! Semua menjembrengkan alasan dirinya tidak bisa menjadi pemimpin, atau lebih tepatnya pelayan, dalam kegiatan ini.

Saya ada disitu, dan saya terpikir oleh sesuatu. Saya seolah melihat Tuhan Yesus, duduk di sudut ruangan, mengamati kami. Dan saya membayangkan, bagaimana perasaan saya, jika saya menjadi Dia? “Baru kemarin, Aku menolong si Joko yang duduk disitu, supaya tidak jatuh ketika motornya oleng” kataNya. “Si Polan, yang di sebelah Joko, sudah bertahun-tahun Aku selamatkan dari resiko bangkrut” sambungNya lagi. “Ratna? Baru saja bulan lalu Aku beri mukjijat supaya dia punya cukup uang untuk memperpanjang kontrak rumahnya” kataNya lagi. Dan ketika ditanya: siapa yang mau maju melayani Aku disini? Semuanya membisu… Joko, Polan, Ratna, semuanya merasa sibuk…

Untung, saya bukan Tuhan Yesus. Kalau iya, maka langsung ada petir menyambar dan menghanguskan semua orang di ruangan itu! Kenyatannya, Tuhan Yesus begitu mengasihi kita, sehingga Ia tidak marah. Dan tentu saja Ia tidak membalas, meskipun Ia berhak. Tapi saya yakin, jika ada satu orang yang angkat tangan: “Ya, saya mau!” – maka Tuhan Yesus pasti senang. Ia pasti bangga, akhirnya ada juga yang mau membela! Memang, Ia tidak perlu dibela. Tapi kalau ada yang belain, ya boleh toh tersenyum sejenak?

Pada dasarkan, punya ambisi yang mulia dalam pelayanan adalah sederhana: mau membuat Tuhan Yesus tersenyum. Sama seperti senyum kita ketika anak kita yang baru saja memecahkan gelas mahal, tiba-tiba menyodorkan kertas bergambar buruk bertuliskan “I am sorry Daddy”. Bukankah sang daddy kemudian akan memeluk anaknya, dan membelikan apa yang membuatnya bahagia – meskipun besoknya giliran piring yang ia pecahkan? Yuk, kita bikin senang hati Tuhan!

Serpong, 23 Februari 2022

Tuesday, February 22, 2022

Kasih Yang Bekerja

 “Inilah perintahKu kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain”

Yohanes 15:17

 

Membaca perintah ini, apa yang kamu bayangkan? Suasana yang santai bukan? “Kasihilah seorang akan yang lain, peace bro!” kira-kira begitu. Bayangkan interior sebuah coffee shop kekinian, lokasinya di Uluwatu Bali, berinterior bambu, music instrumental, tentu saja pemandangan ke arah laut dengan ombak berdebur. Lalu, kita tinggal leyeh-leyeh di bangku-bangku, sambil sayang-sayangan. Itulah “kesan” utama dunia mengenai kekristenan: kasih, sayang, cinta, santai!

Tapi, sebenarnya ini sangat jauh dari pesan sesungguhnya yang Tuhan Yesus mau kita lakukan. Pastor Kenny Goh dalam khutbah di JPCC bulan Februari tahun 2022, menyatakan bahwa kasih itu bukan perasaan, melainkan perbuatan. Kok perbuatan? Bukan cuma sekadar perbuatan pulak! Coba lihat Yohanes 15:13, perikop yang sama: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya unuk sahabat-sahabatnya”. Jiah, “kasih” bisa sampai berkorban nyawa?

Di ayat 15, Tuhan Yesus menjelaskan lagi, bahwa yang disebut “mengasihi” adalah BERBUAT apa yang Ia perintahkan pada kita. Kasih juga mengandung perintah, dalam ayat 16: “Supaya kamu pergi dan menghasilkan buah”… lalu “Supaya apa yang kamu minta kepada Bapa diberikanNya kepadamu”. Rupanya, “kasih” bukan leyeh-leyeh saling membelai! Kasih adalah perbuatan, menghasilkan buah. Kasih adalah action, sampai berkorban nyawa! Dan reward dari kerja kasih ini nyata: bahwa permohonan kita akan dikabulkan.

Jadi, bayangan kita mengenai “kasihilah satu sama lain” harus berubah: bukan cafĂ© tempat leyeh-leyeh, tapi melihat suatu proyek bangunan. Dimana sekelompok orang bekerja, membawa bata, membuat tembok, memasang kayu, mengecat, sementara di sekelilingnya mungkin terlihat berantakan, tapi pelan-pelan muncul sebuah bangunan yang indah. Ya – mereka kotor, belepotan semen dan debu. Tapi, itulah gambaran “kerja kasih” yang sesungguhnya, yang Tuhan Yesus ingin kita sebagai pengikutNya, turut melakukan. Dan di ayat 9, Ia memberikan satu alasan, mengapa kita harus rela bekerja seperti kuli bangunan dalam kasih: “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikian juga Aku telah mengasihi kamu!” katanya. Ya, Bapa sudah lebih dulu bekerja melalui Tuhan Yesus, dan Tuhan Yesus sudah lebih dulu mengorbankan nyawaNya bagi kita para sahabatnya!

Serpong, 22 Februari 2022

Monday, January 04, 2021

Terima Kasih JPCC!



Angus Deaton, pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 2015, punya sebuah cerita yang mengejutkan. Dalam Podcast "Nobel Prize Conversations", beliau mengisahkan bagaimana terjadi degradasi terhadap standar hidup warga negara Amerika Serikat berkulit putih yang berpendidikan dibawah S1 (non-college educated). Fenomena "death of despair" atau kematian akibat penderitaan terus meningkat angkanya di kelompok masyarakat ini. Padahal, mereka tidak " terlihat miskin": kalau kita lihat di TV atau di Amerika, mereka justru kebanyakan overweight, berbaju kaus Champion atau Nike, dan punya mobil walaupun butut. Namun, problemnya bukan disitu: kebahagiaan hidup mereka merosot jauh. 

Angka perceraian tinggi, banyak anak-anak terlantar dan tidak punya orang tua lengkap. Kematian bayi meningkat, gizi anak menurun. Padahal, bukankah Amerika Serikat adalah negara terkaya di dunia? Mengapa bisa seperti ini? "Salah satunya adalah karena gereja" kata Angus. "Berkurangnya peranan gereja menjadi penyebab utama fenomena ini!" sambung Angus. Biasa, si pewawancara langsung nyinyir: kok gereja? Apa hubungannya? Namun jawaban Angus tegas.

Negara bisa menjamin upah minimum, tetapi tidak bisa menjamin rasa cukup. Perusahaan/pekerjaan bisa menjamin pemasukan (gaji), tetapi tidak bisa menjamin kebahagiaan. Lalu, siapakah yang bertanggung jawab untuk kebahagiaan warga negara? Disinilah peran organisasi sosial dan keagamaan seperti gereja. Hanya organisasi sosial/keagamaan yang bisa membina kebahagiaan, rasa cukup, dan rasa sejahtera dari warganya. Itulah, fungsi agama yang sesungguhnya!

Kami bergereja di Jakarta Praise Community Church atau JPCC. Sejak awal pandemi, ketika berpindah ke moda daring, JPCC sudah giat mengirimkan survey untuk mengetahui kondisi jemaatnya. Dan sebagai respons, banyak seminar-seminar daring kemudian diadakan dengan tema "Bagaimana Menghadapi Stress". Bahkan salah satu sesinya sangat menginspirasi kami: bagaimana dalam masa pandemi, level stress bisa saja sama dengan non-pandemi, tetapi kemampuan kita untuk menahannya menurun karena tidak bisa jalan-jalan dan melakukan aktivitas menyenangkan. Menarik!

Dan gongnya adalah ketika kami memenangkan voucher untuk menginap di sebuah hotel di Jakarta, dalam acara Vision Day awal tahun 2020. Voucher hampir expire, ketika pandemi belum juga reda. Akhirnya kami memutuskan memakai vouchernya di bulan November 2020, dan untuk pertama kali sejak pandemi mulai, kami sekeluarga menginap di hotel diluar rumah. Wow, sebuah pencerahan yang luar biasa! Ternyata, kami stress, sangat stress, ketika terjebak di rumah dan tidak bisa melakukan hobby traveling. Sejak saat itu, kami kemudian mempelajari cara traveling yang aman, sehingga kemudian memberanikan diri melakukan perjalanan darat ke Bali. 

Puji Tuhan, semuanya berjalan baik, sehingga kami bisa menutup tahun 2020 dengan senyum simpul sekeluarga, semuanya sehat, hati senang baru kembali dari Bali. Namun semuanya itu tidak akan terjadi tanpa voucher tersebut - yang datang dari Tuhan melalui JPCC - serta kelas-kelas lain yang kami ikuti. Tanpa semua itu, kami mungkin masih terjebak dalam pusaran stress yang gelap dan suram! 

Apakah jaman sekarang masih berguna punya agama? Yuval Noah Harari dalam bukunya "Sapiens" sudah menjelaskan dengan gamblang, apa sebenarnya fungsi agama. Sains bisa memberikan jawaban atas permasalahan teknis, namun agamalah yang perlu menjawab masalah etis. Sains bisa menjawab "bisa dan tidak", tetapi agama menjawab "boleh dan tidak". Jika berada dalam ranah-nya masing-masing, maka agama dan sains akan membawa suatu bangsa ke puncak peradabannya: misalnya jaman Ottoman Turki atau jaman Pencerahan di Eropa. Tetapi jika fungsi mereka dicampuradukkan, yang terjadi adalah fanatisme, perang, dan kehancuran. Pilih yang mana?

Terima kasih JPCC, dan mari arahkan agama dan sains ke jalur yang benar!

Salam, 

Harnaz

4 Januari 2021

Monday, November 09, 2020

Zombie

 "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semua itu"

Filipi 4:8

"In your head, in your head

Zombie, zombie, zombie-ie-ie"

Zombie, the Cranberries


Salah satu khotbah yang paling saya ingat seumur hidup adalah khotbah Pendeta Yusak Susabda di gereja masa kecil saya, GKI Taman Cibunut Bandung. Mungkin karena sosok Pendeta Yusak yang sangat dikagumi oleh orang tua saya, kata-katanya yang menggelegar di relung ruang kebaktian GKI Taman Cibunut masih menggema sampai sekarang. "The mind is a battlefield!" katanya tegas, sambil menunjuk ke dahinya. Betul Pak Pendeta, pikiran adalah medan peperangan!

Sejak kecil, saya memiliki kecenderungan memiliki kekhawatiran. Padahal, secara fisik saya baik-baik saja, bahkan secara intelektual saya memiliki bakat yang cukup baik. Namun, setiap kali mau ujian, saya bukannya melenggang dengan gagah, tetapi justru meringkuk di sudut kamar karena ketakutan. Bagaimana jika saya tidak lulus? Bagaimana jika saya gagal? Buat teman-teman yang mengenal saya, pasti kaget ketika saya bercerita seperti ini, karena saya selalu juara kelas dan bahkan lulus kuliah dengan predikat Cum Laude. Tetapi, kenyataannya begitu! Bahkan ketika curhat ke beberapa teman dekat, mereka heran. "Saya saja yakin kamu pasti berhasil, kok kamu sendiri ragu?" begitu jawaban seorang teman. 

The mind, is a battlefield. Karena apa yang ada di pikiran kita tidaklah selalu mencerminkan kenyataan yang ada. Dan di jaman sosial media, ketika pikiran kita dibentuk bukan oleh hal nyata, melainkan oleh citra-citra yang kita serap dari sosial media, pernyataan ini menjadi semakin akurat. Kok bisa kawan saya liburan ke Bali di hotel berbintang lima lalu posting di Instagram? Bukankah dia dulu begitu jauh dibawah saya? Dan seterusnya...

Perbedaan ini semakin jelas ketika kita menyaksikan dua orang yang berselisih paham. Betapapun cerita awalnya terdengar "Si A yang salah, B yang benar!", ketika kita mendengarkan A dan B menceritakan kejadiannya melalui persepsi masing-masing, terlihat bahwa medan peperangan ada di pikiran masing-masing. Si A berpikir bahwa si B telah menghina luar biasa ketika dia menyebut nama ibunya, si B tidak tahu bahwa si A anak yatim dan dibesarkan hanya oleh ibunya. Sementara si B karena anak bungsu, biasa akrab dengan ibunya yang dianggapnya teman biasa! Saya berpikir, betapa sulitnya pekerjaan seorang hakim, karena tiap orang punya cerita! Masing-masing bertarung dengan pikirannya...

Dan jika pikiran tidak dikendalikan, maka yang terjadi adalah zombie - seperti yang dinyanyikan oleh the Cranberries. Zombie yang ada di kepala kita, berjalan tanpa tujuan, tanpa mengerti mengapa hal ini dilakukan, tanpa mencari apakah ada jalan terbaik. Zombie yang hanya mengejar ego, memajukan agenda diri sendiri. Tak tertutup kemungkinan, zombie inilah yang mendorong orang untuk saling berkelahi, membunuh, berperang. Zombie yang memakan korban jiwa, merusak keluarga, menghancurkan iman. 

Filipi 4:8 juga dikutip oleh Pendeta Yusak Susabda sebagai solusi untuk maju perang dalam pikiran kita. Sederhana, namun manjur: isilah pikiran kita dengan hal-hal yang baik! Sama seperti makan, sangat mudah untuk makan mie instan siang malam, tetapi kita tahu bahwa sayuran itu baik untuk kesehatan. Brokoli memang kurang menarik, tapi penting untuk tubuh kita! Dan jika kita terbiasa makan brokoli, maka ketika badan mulai terasa kurang enak, otak memberi sinyal untuk makan brokoli. Ya, jika kita terbiasa mengisi pikiran dengan hal-hal baik, maka kita semakin peka. Jika perlu, istirahatlah sejenak, buat gencatan senjata, dan isilah amunisi kabar baik dalam pikiran Anda. Niscaya Anda terhindar dari memelihara zombie dalam pikiran, yang bisa membawa Anda ke tempat yang tidak Anda kehendaki. 

Salam,


Harnaz

Tuesday, October 27, 2020

Ask How God, Not Why God

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”

‭‭Filipi‬ ‭4:8‬ ‭TB‬‬


https://www.bible.com/bible/306/php.4.8.tb


Dalam sebuah khotbah di JPCC, pendeta menganjurkan kita untuk tidak “melihat Tuhan melalui masalah kita”, melainkan “melihat masalah kita melalui Tuhan”. Artinya, kebaikan Tuhan selalu menjadi kacamata, filter, yang merevisi pandangan kita sehingga masalah yang ada di depan kita menjadi kecil. Sementara sebaliknya, melihat Tuhan melalui filter “masalah”, membuat kita cenderung menyalahkan Tuhan.

Saya kemudian berpikir, bagaimana caranya “melihat masalah melalui Tuhan”? Bagaimana saya bisa melakukan hal ini - menempatkan Tuhan antara kita dan masalah kita, bukannya menempatkan masalah diantara kita dan Tuhan?

Saya teringat tahun 2007, ketika saya kehilangan adik bungsu saya. Di blog ini, saya menulis “Don’t Ask Why” - yang intinya jangan bertanya “Mengapa” kepada Tuhan. Waktu itu, saya hanya berpikir, sebabnya adalah karena tidak bakal ada jawabannya sampai kita bertemu Tuhan sendiri. Namun, ternyata ada pemahaman lain di baliknya.

Pertanyaan mengapa - WHY - berbahaya karena selalu didahului oleh premis “jika” atau IF. IF God is good, IF God is kind to me, IF God wants me to have a good life........ then WHY? Jadi pertanyaan “Mengapa” alias WHY, menyangsikan kebaikan Tuhan. Dan jika pertanyaan itu tidak terjawab, maka IF menjadi NO. God is NOT good, God is NOT kind... Berbahaya bukan? Ini yang namanya menempatkan masalah antara kita dan Tuhan - Tuhan semakin jauh karena masalah kita!

Lalu, bagaimana kita harus merespon jika kita mengalami masalah? Jangan bertanya WHY, tetapi bertanyalah HOW atau “Bagaimana”. How am I going to survive this... atau bahkan, How are You going to help me, Lord Jesus? Pertanyaan ini mengandung iman, mengandung keyakinan bahwa Tuhan itu baik. Dan voila.... dengan waktu, kita akan melihat jawabanNya! Dengan bertanya, “Bagaimana, Tuhan?” - kita menempatkan Tuhan diantara kita dan masalah kita. Haleluya, amin!

Jadi, don’t ask “Why, God?” - ask, “How, God?” - dan Dia akan menjawab!

Salam

Harnaz

Monday, October 05, 2020

The Manna Times

 

“Orang Israel makan manna empat puluh tahun lamanya, sampai mereka tiba di tanah yang didiami orang; mereka makan manna sampai tiba di perbatasan tanah Kanaan”

Keluaran 16:35

 

Jika kita mendengar kisah mengenai manna, maka yang ada di kepala kita adalah: wow betapa enaknya bangsa Israel! Tidak perlu bekerja, tidak perlu berusaha, tinggal tidur saja dan Tuhan memberikan manna di depan pintu mereka! Namun, ada sebuah pemahaman lain yang menarik mengenai manna ini.

Artikel ini ditulis di tahun 2020, dimana pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia. Dalam masa ini, banyak bisnis dan usaha mengalami kesulitan, karena tidak boleh buka atau mengalami goncangan pasar. Apalagi usaha saya sendiri, yang baru berusia 3 tahun. Untuk usaha baru, yang berusaha bangkit dari kelesuan ekonomi akibat Pemilu tahun 2019, pukulan ini terasa sangat sulit.

Sebenarnya kami cukup beruntung, karena bisnis kami ada dua: merawat mesin yang sudah terjual, dan menjual mesin untuk proyek baru. Bisnis perawatan mesin kami melonjak naik, dan setiap bulan rata-rata lebih tinggi daripada tahun 2019. Namun, di bulan Oktober 2020, kekuatiran baru mulai muncul: belum ada satupun mesin baru yang terjual. Dalam bisnis ini, jika tidak ada mesin baru yang terjual, maka resikonya ada dua: pertama, bisnis perawatan kami stagnan karena tahun depan tidak ada mesin baru yang bisa dirawat. Kedua, principal atau produsen mesin di Eropa, akan memberi nilai rapor merah dan bisa mencari agen baru, yang akan mematikan bisnis kami secara keseluruhan.

Sementara itu, banyak kisah sukses yang kami dengar dari kawan-kawan. “Saya sedang tidur, tiba-tiba ditelepon dan dapat order mesin baru!”… “Wah, sedang mujur nih, kok pelanggan lama tiba-tiba menelepon dan memberik order mesin baru!”. Sementara dalam pembukuan kami: nol besar. Proyek yang diperjuangkan tidak kunjung berhasil, bahkan mulai batal. Sementara “telepon mujur” itu juga tak kunjung berdering.

Setelah mengalami “kekeringan” selama tahun 2019 dan sampai Oktober 2020, saya mulai bimbang. Haruskah saya tutup usaha ini? Karena bukankah Tuhan menjanjikan kelimpahan, dan bukan cuma kecukupan? Selama tahun ini, Tuhan beberapa kali “menyelamatkan” kami, namun hanya untuk menjadi cukup saja. Tidak lebih. Padahal kami sangat hemat, namun tetap saja “kelimpahan” itu nampak seperti fatamorgana. Logika pun bermain: kalau Tuhan tidak memberikan kelimpahan, apakah berarti Tuhan tidak menghendaki saya membuka usaha ini? Apakah Ia sedang berkata, “Tinggalkanlah semua itu dan pergilah ke tempat lain!”. Bukankah seharusnya usaha saya juga berkelimpahan seperti bangsa Israel yang berpesta manna selama 40 tahun?

Kalau Anda sedang punya pikiran yang sama, nanti dulu. Mazmur 1:2 mengarahkan kita untuk membaca Taurat agar lebih peka dengan apa yang Tuhan kehendaki. Benarkah waktu tahun-tahun manna itu bangsa Israel “berpesta”?

Keluaran 16 menjelaskan detailnya. Meskipun disediakan setiap hari, manna itu cukup, tidak lebih. Bahkan tidak boleh lebih! Dalam ayat 4-5 Tuhan menjelaskan bahwa manna hanya keluar cukup saja untuk tiap orang. Tidak lebih sepotongpun. Kalau coba2 disimpan, akan busuk berulat (ayat 20)! Saking “pelit”-nya Tuhan, waktu libur hari ketujuh pun, manna hari keenam akan keluar dua kali lebih banyak. Itu saja, tidak bisa disimpan lebih dari itu!

Kalau kita berpikir bangsa Israel “kurang ajar” dengan berusaha menyimpan manna atau ingin kembali ke Mesir, coba kita pikirkan lagi. Bagaimana rasanya dapat jatah tiap hari cukup untuk satu orang saja selama 40 tahun? Tidak ada yang beli dan jual, tidak ada bunga. Seperti paham komunis, atau bahkan seperti jatah makan penjara bukan? Tidak ada orang kaya, tidak ada miskin, semua sama. Tidak ada harapan menjadi maju, berkelimpahan, makmur. Zero growth! Tetapi, maksud Tuhan jelas: untuk “menguji apakah bangsa Israel menaati hukum Tuhan atau tidak” (ayat 4).

Kalau bisnis Anda berkecukupan, tetapi belum berkelimpahan, jangan menyerah dulu. Barangkali masa ini adalah “the manna times”, dimana Tuhan sedang mengajari kita caranya berkecukupan. Masa-masa ini selalu ada dalam kisah-kisah Alkitab: ketika Yusuf dipenjara, ketika Ayub jatuh miskin, ketika Yunus hidup di dalam perut ikan. Masa tunggu dimana Tuhan menjaga hidup berkecukupan, tetapi tidak lebih. Dan ketika kita bimbang, ingatkah akan kisah-kisah tersebut, jangan menyerah! Karena ada waktunya berkelimpahan, yaitu nanti ketika tanah Kanaan tercapai, ketika kekayaan Ayub kembali berlipat ganda, ketika Niniwe diselamatkan. Tapi sekarang, Tuhan ingin mengajarkan kita melalui rejekiNya: cukupkanlah dirimu, supaya Tuhan tahu bahwa engkau selalu menaati peraturanNya.

Rejeki yang cukup saja, sudah merupakan tanda Tuhan masih menyertai Anda dan bisnis Anda. Ayo terus berjalan, sampai masa kelimpahan itu tiba!

Salam,

Harnaz

Tuesday, November 05, 2019

Serial YMJ (1): Penciptaan dan Teori Evolusi

Serial YMJ (Yesus Memang Jenius) adalah seri tulisan mengenai sains dalam Alkitab. 


"Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka."
"Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam."
Kejadian 1:27, 31

Bentrokan antara teori evolusi dan kisah penciptaan dalam Kitab Suci selalu menjadi kontroversi yang paling mak nyus dibawa oleh kaum yang ingin menyerang ide Ketuhanan. "Mana mungkin.... " kata ahli biologi dan ahli etis. Bahkan ada serial TV-nya sendiri, betapa bego dan salahnya orang yang percaya bahwa segala sesuatu itu diciptakan apa adanya, dan bukan merupakan hasil adaptasi yang menghasilkan evolusi.  Saya menyukai film dokumenter, tetapi jika film dokumenter tersebut terlalu cenderung ke satu sisi (baik sisi Ketuhanan maupun sisi satunya lagi), saya kok jadi kurang nyaman menontonnya.

Kenyataannya, Charles Darwin sendiri (dari Wikipedia) menyatakan bahwa dirinya adalah 'agnostik' walaupun pernah mengenyam pendidikan Anglikan. Kemudian.... wes lah, nggak penting ya membahas Darwinnya, wkwk.

Di Amerika Serikat, ada bentrokan antara pihak yang ingin mengajarkan "teori evolusi" di sekolah dan yang keukeuh mempertahankan "kisah penciptaan". Akibatnya, para murid di Amerika Serikat diketawain dunia karena begitu besar proporsi yang tidak percaya pada teori evolusi, meskipun Amerika Serikat adalah negara dengan sistem pendidikan yang sangat baik. Weleh, kok begini?

Kita harus ingat bahwa ada perbedaan besar antara paper Charles Darwin yang berjudul "The Origin of Species" dengan buku cerita yang judul babnya adalah "Kejadian". Yang satu adalah paper ilmiah, yang dibuat berdasarkan pengamatan, dan diperuntukkan sebagai referensi, sementara yang lain adalah cerita - sama seperti dongeng Rapunzel, misalnya. Idih, kok Alkitab disebut dongeng? Jangan marah dulu bro. Alkitab adalah hasil dari cerita turun-temurun yang tentu saja tidak bisa diartikan secara harafiah. Kalau kita bisa bilang bahwa kisah "belalang yang malas dan semut yang rajin" benar2 terjadi, tentunya kita yang bego. Tapi, kita bisa mengerti, bahwa secara selintas, semut dan belalang punya tabiat yang berbeda, yang menjadi inspirasi cerita. Itu saja!

Demikian juga kisah penciptaan. Kisah ini hanya menjelaskan dengan perumpamaan, bagaimana segala sesuatu terjadi. Dari Tuhan yang Maha Pintar, menjelaskan pada entah siapa yang memegang pena dan menulis. Mana bisa Tuhan menjelaskan proses sebenarnya? Pastilah digunakan perumpamaan. Nah, menurut saya, Alkitab perlu dilihat sebagai perumpamaan.

Tapi, coba kita perhatikan waktunya. Menurut Alkitab, manusia diciptakan pada hari ke ENAM. "Mana mungkin cuma enam hari?" kata sang skeptis. Tapi, tunggu dulu.

Dunia paleoantologi mengenal skala yang namanya 'geologic time scale'. Ini adalah penanda waktu berdasarkan perubahan geologis yang terjadi di bumi. Ordenya jutaan tahun. Dan tanpa terinspirasi oleh Alkitab, dengan metode penelitian yang jauh berbeda, para ahli sepakat bahwa....

... Manusia pertama di dunia hadir pada jaman ke ENAM, yang bernama Cenozoic. Kok sama? Sama-sama enam. Dan katanya, satu harinya Tuhan tidak sama dengan satu harinya manusia bukan?

Menurut saya jaman ke enam dan hari ke enam ini adalah salah satu cara kita memandang Alkitab dan teori evolusi. Seperti kata Darwin, dua hal ini tidak bertentangan, melainkan mengisahkan kejadian yang sama. Hanya yang satu dalam bentuk dongeng, yang lain dalam bentuk sains!

Masak sih? Apa ada lagi yang lain? Banyak.... yuk simak tulisan selanjutnya!

Salam,

Harnaz