Sunday, May 17, 2015

Mintalah! Carilah! Ketuklah!

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. 
Matius 7:7

Saya baru punya sebuah pengalaman kecil. Suatu hari ketika saya ingin memberikan KTP, saya merogoh dompet dan…. KTP saya tidak ada disana! Duh, saya paling kesal kalau masalah seperti ini muncul. Otak saya didesain untuk mengingat hal penting dunia, seperti kapan Tembok Berlin runtuh dan kapan harga minyak dunia tiba-tiba jatuh. Tapi, kapan saya terakhir kali keluarin KTP dan ditaruh dimana? Ampun!

Sudah kebayang, harus ke kantor polisi. Harus ke kantor RT. “Bu RT pergi Pak, gak tau kapan pulangnya. Tunggu aja sampai Maranatha!” Kata pembantu Bu RT. “Hmmm, untuk surat kehilangan, Bapak harus ke Komdak dulu, terus ke Polda, terus ke New York, balik ke Istanbul, baru bisa ke Mojokerto dan urus surat kehilangan…” Terbayang suara bariton seorang petugas pamong rakyat. Repot! Dimana saya taruh KTP itu? Tempat fitness? Pabrik Indofood? Petugas fitness yang saya telepon sempat saya damprat. Tapi, kondisinya tetap sama. KTPnya tidak ketemu, bahkan setelah mobil dan semua tas dibongkar.

Dalam keadaan tak berdaya, sebelum menyerahkan diri pada Bu RT dan jawatan kepolisian, saya ingat Tuhan. Maka, di suatu malam, saya selipkan satu kalimat permohonan setelah doa bersama istri selesai. “Tuhan, tolonglah supaya KTP saya ditemukan ya….” Bisik saya. Eh, istri saya langsung nyolot. “Kamu ngomong apa tadi? Doa apa?” Ehm, saya cuma batuk dan pura-pura tidur. Istri saya masih belum menyerah. “Apa tadi? Kamu ngomongin aku ya? Doa apa tadi? Apa?” Hmmm, malu juga! Masak urusan KTP saja kok melibatkan Tuhan? Bukankah itu ngerepotin Tuhan namanya?

Ah, enggak juga. Kan Dia bilang, “Mintalah, maka akan diberi.” Boleh dong minta tolong? Bahkan cuma KTP sekalipun! Istri saya pun tersenyum geli ketika saya mengaku.

Beberapa hari kemudian, di hari terakhir pembayaran cicilan rumah, ATM saya macet karena kadaluwarsa. Bank apaan sih, kok kartu ATM bisa mendadak kadaluwarsa! Pas long weekend lagi. Terpaksa ATM istri saya jadi jaminan dulu. Di satu-satunya hari kerja, saya yang sedang mengantar tamu, terpaksa harus ke bank gara-gara urusan ATM. Kesialan apa lagi ini? Pikir saya. 

Ketika saya sampai di bank, dan meminta tamu saya menunggu di mobil, saya membuka laci mobil untuk mengambil buku bank. PLUK! KTP saya, terjatuh dari dalam buku! Rupanya, saya pakai KTP itu terakhir kali ketika minta laporan bank. Dan sebagai seorang pemalas, saya tidak mengembalikannya ke dompet tapi tetep nyelip di buku bank, sampai saya terpaksa membuka buku bank lantaran ATM saya kedaluwarsa! Puji Tuhan Haleluya!

Saya jadi merenung. Mengapa Firman Tuhan dalam Matius 7:7 ini begitu bodoh kedengarannya? Mintalah, maka akan diberi. Carilah, maka akan didapat. Ketuklah, maka pintu akan dibuka! Gitu aja masak nggak ngerti?

Sadarkah kita, di era teknologi maju dan ekonomi canggih seperti sekarang ini, bahwa kita sering butuh, tapi tidak minta; ingin menemukan, tapi tidak mau mencari; dan ingin membuka pintu, tapi tidak mau mengetuk.

Iya kan? Saya aja, malu mau ngobrol sama Tuhan soal KTP saya. Doa kita isi dengan yang baik-baik saja. Bagaimana dengan masalah di kantor, posisi yang semakin terdesak, project yang di ujung tanduk? Apakah kita mau membuka semuanya pada Tuhan?

Saya jadi ingat komentar teman saya. “Lu jangan ngerepotin Tuhan dong! Masak gitu aja didoain. Tuhan kan Maha Tahu, dia sudah tahu apa yang kita butuhkan sebelum kita doakan. Jadi lu gak ngomong juga sudah tahu! Ngapain ngomong lagi!” Begitu kira-kira. Apakah benar begitu?

Menurut saya, ada tiga manfaat ‘meminta’. Yang pertama tentu saja yang meminta akan diberi. Kedua, memformulasikan keinginan kita pada Tuhan bermanfaat untuk kita sendiri. Dengan menyebutnya dalam doa, kita jadi lebih tajam dalam mengajukan permohonan. Apa sih sebenarnya yang kita perlukan? Menang tender? Atau dapat komisi? Atau dapat penghasilan lebih? Yang mana intinya? Makin jelas kita memformulasikannya, makin jelas pula fokus kita dalam mendapatkannya. Jadi, memformulasikan permohonan pada Tuhan akan membuat kita lebih fokus. 

Yang ketiga, tentu saja, adalah mengeluarkannya dari dalam hati. Sebuah desakan yang mengganjal bisa mengubah perilaku kita – bahkan urusan KTP bisa membuat saya bersitegang dengan resepsionis tempat fitness, karena saya menduga disitu KTP saya terakhir dikeluarkan! Dengan mengungkapkannya dalam kata-kata, beban itu bisa sedikit lepas, plus kita semakin fokus dalam mengejarnya.

Di tengah jaman korupsi sekarang ini, banyak orang yang kejeblos karena mereka ingin mendapat tanpa meminta, menemukan tanpa mencari, dan dibukakan pintu tanpa mengetuk. Padahal, melalui langkah sederhana – meminta, mencari, mengetuk – Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk mengalahkan ego kita sendiri. Menelan kesombongan dengan merelakan solusi datang dari luar – dengan meminta, mencari, dan mengetuk. Tidak, Tuhan tidak repot kok. Ya, Tuhan memang tahu apa yang kita butuhkan tanpa kita menyebutkannya. Tapi Tuhan Yesus ingin kita meminta, mencari, dan mengetuk bukan untuk Dia – tapi untuk kita sendiri. Agar kita lebih fokus, lebih rendah hati, dan siap menerima apa yang kita minta!

Tulisan ini saya persembahkan untuk Pdt Benget dan Pdt Keyse dari GKI Ampera. Mohon maaf saya tidak sempat menghadiri kebaktiannya. Tapi saya doakan dan saya minta pada Tuhan Yesus, untuk operasi yang lancar, kesehatan yang baik, dan kesembuhan bagi Pak Benget dan Bu Keyse!

Salam, 

Harnaz


Sunday, February 22, 2015

Perempuan Siro-fenisia: Anjing dan Inlander Dilarang Masuk!

Photo from noe847.blogspot.com


"Lalu Yesus berkata kepadanya: ‘Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.’ Tetapi perempuan itu menjawab: ‘Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.’”

Markus 7:27-28

Diinspirasi dari khotbah Romo Ferdinand di Petrotec Air Power, 13 Februari 2015

Romo Fey memang selalu membawa pemahaman baru ketika memberikan khotbah. Walaupun gayanya nyeleneh, tapi perenungannya mendalam dan bisa memberikan pemahaman baru mengenai suatu topik. Kali ini – entah disengaja atau kebetulan – yang menjadi topik salah satunya adalah perempuan Siro-fenisia.

Kisah mengenai perempuan Siro-fenisia ini memang buat saya sudah lama menjadi suatu misteri. Kisah ini ditulis dalam dua Injil, Markus 7:24-30 dan Matius 15:21-28, walaupun Matius menyebut ‘Kanaan’ sementara Markus lebih detail, menyebut ‘Siro-fenisia’.

Fenisia atau bahasa Inggrisnya Phoenicia adalah bangsa yang maju pada jaman Tuhan Yesus. Mereka terkenal karena ekpor pewarna kerang Murex, yang berwarna ungu, dan digunakan untuk memberi warna jubah para bangsawan (Mat 27:28). Mereka dekat dengan Yunani, berbahasa Yunani, dan sistem politiknya pun mirip dengan Yunani, pemerintahan kota seperti Sparta dan Athena. Kota Tirus, yang disinggahi Tuhan Yesus, adalah batas Selatan wilayah Fenisia. Kata ‘Siro-‘ mengacu pada orang Fenisia yang berasal dari propinsi romawi Siria.

Pastor Fey mengingatkan kita, betapa orang Siro-fenisia itu lebih ‘keren’ dari orang Yahudi. Abjad fenisia adalah dasar semua abjad di dunia, mereka sangat dekat dengan mitologi dan filosofi Yunani, budaya mereka tinggi, bahkan penampilan mereka keren bak pahatan dewa-dewi di kuil Olympus. Sementara waktu itu, bangsa Yahudi hanyalah bangsa mantan budak Mesir yang baru digilas penjajahan Romawi. Bait Allah-nya yang megah kini tinggal reruntuhan saja, kekayaannya dirampok berkali-kali. Boro-boro filsafat, untuk hidup saja susah!

Bayangkan, kata Pastor Fey, kalau ada orang bule yang duduk semeja dengan kita. Wuih, keren bukan? Kita akan menghormati dia lebih daripada Pastor Fey sendiri bukan? Persis! Saya baru saja dapat pengalaman yang mirip. Tiga minggu lalu, saya mengunjungi pelanggan untuk menjelaskan sesuatu. Sepatah kata pun mereka tidak percaya! Nyaris saya dilempar keluar dan semua laporan saya diragukan. Kemudian, beberapa hari lalu saya membawa principal, seorang asal Barat, bertemu pelanggan yang sama, yang menjelaskan hal yang persis sama. Apa yang terjadi? Sang pelanggan manggut-manggut, seluruh timnya mantuk-mantuk bak perkutut terpekur, semua setuju sepakat sependapat. Hayyah! Begitulah memang budaya kita. 

Lalu, apabila tiba-tiba ada seorang Indonesia yang berkata pada seorang bule: “Maaf mister, roti untuk anak-anak dulu ya, tidak layak kalau saya berikan pada anjing”. Hmmm. Orang bule – penjajah kita dulu – pernah sih berslogan ‘anjing dan inlander dilarang masuk’. Kalau dia yang jadi anjing, apa pernah? Rasanya tidak pernah.

Lalu, kenapa pula Tuhan Yesus mendadak rasis?

Rupanya, Tuhan Yesus tidak rasis. Toh, akhirnya Ia menngusir setan yang mengganggu anak perempuan itu. Tapi, ada pelajaran penting yang Ia berikan pada hari itu.

Pertama, Ia sedang menguji iman wanita ini, sama seperti ia menguji iman orang yang memohon sesuatu padaNya (prajurit Romawi, orang yang buta sejak lahir, dan lain-lain). Seorang wanita, beragama Kanaan, bukan Yahudi. Dari bangsa yang lebih makmur, gaya yang lebih keren, dan mendadak memohon pertolongan pada Tuhan Yesus dan rombongannya yang kumal tapi sombong. Justru bukan Tuhan Yesus, tapi para murid-Nyalah yang rasis! Nyaris mereka mengusir perempuan ini, karena menganggap ini toh orang asing.

Kemudian, dengan perkataan roti tadi, Tuhan Yesus menguji ego wanita ini. Apakah ia akan berteriak balik: “Heh, dasar Yahudi, miskin aja sombong!”… Atau dia akan bilang: “Cih, perfeilen jij, kok rasis bilang2 anjing segala!”. Tidak! Bahkan ia merendahkan diri lagi dan ia sendiri yang menyamakan dirinya sendiri seperti anjing yang menanti remah. Bahkan untuk remah pun ia rela! Dan bukan Tuhan Yesus yang menyebut dia anjing, dia sendiri yang rela disamakan dengan anjing. Ini bukti totalitasnya dalam sebuah permohonan, bukti kesungguhannya meminta pertolongan. Ketika lulus ujian, maka Tuhan Yesus pun mengabulkan permohonannya. 

Pesan kedua adalah: bahwa berkat Tuhan adalah untuk semua bangsa yang percaya. Istilah roti dan remah roti hanyalah untuk menguji iman perempuan ini. Justru jika Anda orang asing, bukan Yahudi, jangan takut! Bukankah interaksi Tuhan Yesus dengan orang asing justru sering membuat Ia kagum atas iman mereka? Dari perempuan ini sampai prajurit Romawi, selalu dipuji Tuhan Yesus karena iman yang lebih tulus dari bangsa Yahudi sendiri. Sampai Tuhan Yesus mengeluh dalam Matius 23:37, betapa Ia rindu bangsa Israel punya iman seperti kita!

Belajarlah dari perempuan Siro-fenisia. Totalitas dalam permohonan, dan jangan rendah diri karena kita bukan orang Yahudi. Karena berkat itu adalah untuk semua bangsa!

Salam,

Harnaz


Saturday, January 03, 2015

Indahnya Yang Tak Pasti



“Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu”
Markus 11:24

Pernahkah Anda cek in di bandara tanpa tiket alias go show? Sambil santai, Anda menatap pramugari yang ketak ketik di komputer dan mencari apakah masih ada seat untuk Anda. Jawabannya, ada! Murah lagi harganya. Bagaimana perasaan Anda? 

Saking gembiranya, pengalaman ini akan Anda ingat terus bukan? Selalu diceritakan kembali sebagai ‘hari keberuntungan’ Anda. Bahkan ratusan kali Anda naik pesawat, booking dulu, dan kembali dengan selamat, tanpa masalah, bisa terlupakan oleh satu insiden keberuntungan, dimana Anda tidak bersiap, tidak memiliki kepastian, tetapi memperoleh keberuntungan. Anda akan ingat yang satu itu, dan lupa akan ratusan yang lainnya. 

Dunia modern – apalagi untuk saya yang sangat rasional – tidak suka akan ketidakpastian. Kita malas untuk masuk ke restoran yang terlihat penuh tanpa reservasi dahulu. Kita ogah mengantri tiket film di bioskop yang antriannya mengular, takut tidak kebagian. Jika ingin bertemu dengan seseorang, kita pastikan dulu rute lokasinya dengan GPS, WA orangnya untuk memberikan lokasi persisnya, dan foto selfie ketika sudah ketemu sebagai bukti. Semuanya serba pasti!

Semakin maju suatu negara, semakin tinggi kepastian dalam hidup warganya. Sayangnya, kepastian ini justru berbanding lurus dengan egoisme. Semakin canggih teknologi, semakin malas pengguna teknologinya. Nggak mau susah, yang penting pasti dan mudah walaupun harus bayar mahal sedikit. 

Celakanya, ada fenomena yang mengkhawatirkan di kalangan generasi teknologi semacam ini. Jumlah pernikahan menurun. Buat apa menikah, repot kan mengurus ke kantor KUA? Tinggal bareng saja sudah cukup. Punya anak? Haduh, repot! Mengurusi pipis dan eek-nya, tidak bisa tidur nyenyak, apalagi dugem seragem. Mari kita jadi muda selamanya, tetap cantik dan ganteng sampai tua!

Padahal, dalam paragraf pertama diatas, secara intuitif kita memahami mengapa ketidakpastian itu penting. Mengapa secara kultural, masyarakat maritim kebih religius dari masyarakat agraris? Karena dunia maritim – menjadi nelayan – penuh ketidakpastian, badai, resiko tenggelam, hilang di laut, dan sebagainya. Bahkan Bob Sadino, seorang mantan kuli bangunan yang jadi pengusaha sukses, ketika ditanya kapan beliau merasa paling sukses, jawabannya mencengangkan: bahwa sukses itu adalah ketika masih jadi kuli bangunan dan bisa makan warteg sampai kenyang. Sisanya hanya biasa saja, katanya!

Jika Anda seperti saya – maunya yang pasti-pasti saja – maka Anda perlu sedikit bermain dengan ketidakpastian. Mengapa? Karena disitulah Tuhan bekerja! Jika kita mematenkan hidup kita dalam genggaman sendiri, maka tangan Tuhan tidak akan kentara. Tetapi ketika ketidakpastian ada di depan kita : sebuah pernikahan yang belum pasti mulus, sebuah bisnis baru yang belum tentu berhasil, seorang anak yang belum tentu sukses – maka kehadiran Tuhan akan semakin kita rasakan. Apalagi ketika pertolonganNya yang indah kita alami sendiri : jika satu tempat parkir kosong di sebuah mall di Sabtu sore saja bisa Ia jadikan, apalagi pernikahan, anak, bisnis, dan yang lainnya?

Percayalah, maka hal itu akan diberikan kepadamu. Berilah kesempatan pada dirimu untuk percaya!

Jakarta – Jambi, 30 Desember 2014