Sunday, September 26, 2010

Manajemen Talenta – Dari Lima Jadi Sepuluh

“And he said to him, 'Out of your own mouth I will judge you, you wicked servant. You knew that I was an austere man, collecting what I did not deposit and reaping what I did not sow'”

Luke 19:22

John Forbes Nash adalah seorang matematikawan jenius dari Amerika Serikat. Kisah hidupnya yang unik difilmkan dengan judul 'A Beautiful Mind' tahun 2001. Nash adalah seorang jenius yang menemukan berbagai teori matematika. Yang paling terkenal adalah teori permainan atau 'game theory', sebuah gagasan untuk merumuskan kompetisi antara dua pihak dalam sebuah permainan menjadi sebuah aksioma matematika. Nash sendiri adalah seorang matematikawan murni, ia hanya menemukan teorinya tetapi tidak memahami penerapannya. Ternyata, teori permainan ini menjadi begitu penting jika diterapkan dalam perhitungan transaksi derivativ pasar saham, sampai Nash memenangkan Nobel Ekonomi tahun 1994 bersama Reinhard Selten dan John Charles Harsanyi.

Namun, yang menarik dalam diri Nash adalah bahwa bakatnya ternyata membawa bencana juga. Adalah kenyataan bahwa batas antara jenius dan gila hanya setipis kertas. Nash memiliki kecenderungan mental yang tidak normal. Ia suka berhalusinasi, sehingga seolah-olah bertemu dengan seseorang – yang hanya ada dalam bayangannya – dan bisa berdialog bahkan menurut ketika orang tersebut menyuruhnya melakukan sesuatu. Nash tidak bisa membedakan antara imajinasi dan kenyataan. Tadinya, ketika penyakitnya ini terdeteksi, dokter menganjurkan untuk makan berpuluh-puluh pil penenang yang malah membuat Nash tidak nyaman. Kemudian, Nash memutuskan untuk tidak meminum pil-pil itu dan menghadapi sendiri penyakitnya.

Dalam film 'A Beautiful Mind' dilukiskan bagaimana Nash kemana-mana selalu membawa permen atau kue. Kalau ada orang yang berbicara dengannya, ia akan menawarkan permen tersebut kepada orang itu. Orang sungguhan bisa makan, tapi yang imajiner tidak bisa, bukan? Kalau orang itu mengambil permen dan memakannya, barulah Nash mendengarkan. Tapi kalau tidak, maka Nash akan mengabaikannya, meskipun di kepalanya orang itu begitu nyata, duduk disitu, seolah-olah sungguhan ada. Hari demi hari Nash nampak normal, tapi perjuangannya dalam menghadapi penyakitnya luar biasa. Coba bayangkan, di kepalanya selalu ramai seperti stasiun busway, padahal sebenarnya yang sungguhan hanya 2-3 orang saja!

Orang yang memiliki talenta banyak, akan dituntut banyak juga. Nash adalah salah satu orang yang bertalenta banyak. Tidak perlu menjadi sejenius Nash untuk mengerti masalah ini. Saya sendiri merasa bahwa Tuhan menganugerahkan saya talenta yang cukup banyak. Memang ini adalah berkat, tetapi talenta memiliki konsekuensi juga. Saya misalnya, memiliki talenta karena otak saya cukup encer. Apa yang sulit dimengerti oleh teman-teman saya, bisa saya pahami dengan cepat. Harusnya saya hanya bersyukur saja, bukan? Bukankah lebih cepat, lebih baik?

Ternyata tidak begitu. Saya mengalami banyak kesulitan dalam kehidupan sosial saya justru karena talenta saya ini. Saya terbiasa melakukan sesuatu dengan cepat, cepat mengerti, sehingga kesabaran saya sangat-sangat terbatas. Ketika saya mencoba bergaul, justru sifat ini menjadi bumerang. Ingin cepat-cepat dalam berkomunikasi dan dalam bergaul membuat hubungan justru menjadi rusak, atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Saya tumbuh menjadi orang yang kurang peka, selalu menakar segala sesuatu secara logika. Ternyata, satu talenta bisa menjadi bumerang, seperti pisau bermata dua!

Inilah yang dijelaskan Tuhan Yesus lewat perumpamaan diatas. Pada awalnya, Tuhan Yesus nampak sebagai orang yang kejam, bukan? Bagaimana mungkin seorang majikan yang memberikan 5 talenta mengharapkan 10 talenta kembali? Tetapi, itu memang kenyataannya. Semakin banyak talenta seseorang, maka dituntut kemampuan yang semakin tinggi untuk menanganinya. Semakin banyak talenta yang dimiliki seseorang, semakin besar pula tuntutan orang tersebut untuk bisa melakukan manajemen talentanya, supaya tidak berantakan. Jangan heran jika ada orang yang sangat berbakat, misalnya Elvis Presley, Marilyn Monroe, Kurt Cobain, dan banyak lagi, justru akhirnya bunuh diri. Karena, talenta mereka begitu besar sehingga sepertinya sudah tak terkendali lagi, dan harus segera diakhiri.

Perikop diatas dengan jelas menerangkan bahwa talenta memang membutuhkan manajemen. Seseorang yang bertalenta tidak hanya dituntut untuk 'mengembalikan' talentanya – artinya menjaganya supaya tidak hilang – tapi juga 'mengembangkan' talentanya. Seseorang yang dianugerahi talenta berkewajiban untuk menggunakan talentanya untuk kebaikan masyarakat sekitarnya. Inilah yang dimaksud dengan dari 5 jadi 10 talenta – bahwa talenta itu berkembang, menjadi kebaikan. Nash adalah salah satu contohnya, namun masih banyak lagi, seperti Albert Einstein, Mel Gibson, Shania Twain, dimana talenta mereka betul-betul digunakan untuk kemajuan ilmu pengetahuan atau musik atau dunia akting. Mereka hidup bahagia, justru bersyukur atas smeua talentanya.

Hal itu hanya bisa tercapai jika manajemen talenta dilakukan dengan baik – bagaimana menjaga hidup walaupun wajah sangat ganteng, bagaimana menjauhi narkoba walupun suara rasanya paling merdu kalau sedang mabuk, atau bagaimana mengatur otak jenius supaya memberi hasil positif dan tidak menjadi gila. Inilah manajemen talenta, yang dituntut dari semua orang yang bertalenta. Jika talenta tersebut akhirnya pulang kandang saja, tidak jadi apa-apa, maka celakalah kita! Bahkan yang modalnya hanya satu pun, dalam perikop diatas, dihukum karena keacuhannya. Untuk itu, marilah kita mulai melakukan manajemen talenta kita masing-masing, dan menerapkannya untuk kebahagiaan orang banyak. Dari lima, jadi sepuluh!

Friday, September 17, 2010

Having Trouble Sleeping?

“Yesterday is history. Tomorrow is mystery. Today is a gift. That’s why it is called, ‘present’”
A turtle in ‘Kungfu Panda’. Yes, a very smart and wise turtle.


I am not trying to be a psychologist or a psychoanalyst. I am also not a doctor, so I can’t analyze a problem relating to health by clinical studies. Neither am I a professor nor a priest, who can give new insights on problems or pull up a matching Bible verse from the back of his/her head. I even got the verses below from Twitter – I wouldn’t stand a chance if I have to look it up in the paper version of the Bible myself. To put in the Aaron Neville and Linda Ronstadt way, I don’t know much really. I can only analyze based on what I have experienced, based on what I think it is, which may be more delirious then clinical but hey... perhaps, just perhaps, one or two points hit the spot!

So, why are you having trouble sleeping lately?

One more thing: I am going to skip all scientific explanations. It is the more subtle things that I would like to share here, being anonymous and all.

I had the same problems before, I really did. And that time was the worst to have this problem because I was a business traveler who has very limited time to sleep. Efficiency is everything. If you slam yourself into a foreign bed in a foreign room in a foreign country (not with a foreign lady!), then you are expected to sleep in 10 minutes because in the next 4 hours you need to get up, get dressed, take a bath, and line up for the next flight. George Clooney’s “Up In The Air” is a perfect depiction of that. But my insomnia is actually not caused by that, it is caused by several issues altogether. Some even I didn’t know that it plays a role. But I can say I can manage it quite well know. I will share, how did I do it.

1. Do nothing!
The number one problem for active people like us in getting to sleep, is that it involves doing the only one thing that we super-people can’t do: nothing. Yes, nothing! I am a very active people. I don’t like to sit around doing nothing. In any occasion, if the is a help needed, I am the first one to get up and help – whether that means washing the dishes or carrying chairs. Especially if I am facing a problem. I will not stand, sit, and cry. I don’t even pray sometimes. I fight. I try to find a way to get around, push, or tackle the problem with my bare hands if necessary. Ironically, this attitude works well in almost all of the aspects of daily life, except if you’re trying to sleep! Look at those lazy people around you: beggars, street singers, they all sleep very well, don’t they? The key to sleep is to do nothing about it. To calm our mind and hearts and let them rest.


This is where it gets complicated. If I lay in my bed and I can’t sleep, I start various methods to force myself to sleep. I try praying, reading, watching boring TV shows, counting sheep and different kinds of animals. I don’t want to seek help from the Angel Valium (Valium is a sleeping pill), because as I chemist I know the side effects are dangerous. I also don’t want to use alcohol too much. So my alternatives are not many and not instant. Take note: not instant. That is the problem! I want it instant: take a pill, snooze. Drink this, snooze. That doesn’t work. There is no such thing as an instant sleep. You need to relax your mind and body and soul. And that takes time.

So what I did, I imagine my body is gripped tight by gigantic roots of an evil man-eating plant, just like in the movie ‘Jumanji’. Then I imagine the grip is loosened one by one. This problem, that problem, away. I stop thinking of a strategy to loosen myself from the grip, instead I imagine the grips are loosened by itself. Until I lay there, free. Then I hushed my mind: I imagine there is a big convention in my head, where many people meet to discuss problems that I have. Then I imagine myself, leading the assembly, knocking the table with a hammer as loud as possible just like in a court room, shouting “Order! Order! We are trying to sleep, so nobody says anything in the next 20 minutes!”. Hush. As soon as a person stands up and say, “What are we going to say when we meet Mr. X tomorrow?” or, “How are we going to solve this claim?”, the hammer is slammed again. “Silence!”. Before 20 minutes, if there is no effect from caffeine, the head falls to sleep.

Verse:
“I can do all things through Christ which strengtheneth me”
Philippians 4:13
Yes, because I have to imagine the roots are untangling by themselves – which means Jesus is the One who acts, not me. I don’t try to cut them off or try different knots to escape like Harry Houdini. It is Jesus Christ, His strength, which will strengthen me and let me out. I have to do... nothing!


2. Be honest to yourself. It’s OK!
The next problem when you hush your mind, when the loud-speaking members of the assembly stop shouting, is that you start hearing the subtle noise. Those people lurking in the dark corners of the assembly, whispering about your deepest problems, disappointments, pains, and other things that we normally do not hear anymore. It’s the background noise of our mind. Because the assembly is so quiet, these subtle noises start to become louder and louder. And, this will wake us up, and probably make us cry. It’s worse than the loud-speaking members, because it exposes the deep end of our mind that we normally hide or do not want to see.

What to do then? Solve everything? Check the pains and disappointments one by one? No, not tonight. You can’t – I can’t. I know these are noises that will probably linger on forever. So, what to do then? Accept it. Be honest. It’s OK. Give everything to God. Yes, the problem from the first chapter still persists: being an active person, we always HAVE TO DO SOMETHING to solve these issues. No, leave it all to Jesus. But, acknowledge it. Accept that they exist, that a human life can never be perfect, that people – even I – make mistakes.

I had an interesting discussion about this a while ago. We were discussing about being a Christian and a businessman. Well, business is business, you know. Just be honest, you can’t be a saint and a salesman at the same time. So my point of view is that God will accept that. God allows us to do all this hanky-panky so that we can pay back to the church and support religious activities. Of course God understands that I need money to survive and live, right? But my senior colleague reprimanded me. “No!” he exclaimed. He is far from sainthood, by the way. “You cannot stretch Christianity to accommodate hanky-panky !” he said. “Just admit it! Just say yes my Lord, I did wrong, and I am sorry for my sins. Just admit you’re a sinner! Jesus will forgive you. Don’t try to find justification for your sins – just admit and acknowledge it!”. I was surprised. He’s right!

Accepting is also difficult. It is not a solution. But saying to yourself that it’s OK to be wrong, it’s OK to make mistakes, it is completely fine to unintentionally hurt other people, help all the time. You have to pity yourself a bit – you have been very successful in pushing yourself up high, crank-it-up when it breaks down, cross every limit that can’t be crossed before, and managed to be a very, very successful self. But hey, you deserve some compliments. You deserve some inspiring words. Your body, your mind, who has served you very well all these years, deserves a pat in the back. Say to yourself: “Way to go, me! You did great today! Don’t worry about the problems and pains. Tomorrow we fight again, but today was a gruueeeaaat dhey!”. Your body and mind will accept it well, and, fall to slumber.

Verse:
“Come unto me, all ye that labour and are heavy laden, and I will give you rest”
Matthew 11:28
See? Jesus knows exactly what our problems are. He didn’t say go to hell all you sinners. He didn’t say you have done wrong, you mongrels. He said, come unto me! I know you labor hard and heavily laden. Come unto me, and I give you rest! Rest, not punishment, judgment, or trial. Rest! Just what you need.


3. Dun worry, be happy, for today
I worry a lot. It is amazing to notice that people who have more, worries more. Be that talents, money, possessions, those who have more always worry more. I am blessed with a lot of talents, I have quite a lot of things. So I worry a lot. What if I fail? What if this doesn’t work? What if this or that turns into that and that?

Worrying is my worst habit. Ironic, but true. When I took an examination at school, although I got constantly A’s and B’s before, I was the one who was worried the most in comparison with the C’s and D’s club. The same at work: when my boss called me to give me a promotion, I thought he was firing me! This is a weakness in me that I have to fight every now and again. Although, when you think of it, it is such an unthankful act that I even worry about myself. God has blessed me with so much, yet I am still worried about everything. Meat is meat, as somewhere written in the Bible. And I am meat, so I have to accept that I need to fight again and again not to worry.

But the point here is not only about worrying. It’s about the dosage. Jesus understands that human beings are always worried. But it is also important how MUCH you are actually worried. I once heard a great interview with Bob Sadino, a person who used to be very poor, but now is one of the richest man in Indonesia. When he was asked, what was his greatest success? He replied, “When I was working as a coolie in a building project. My greatest success was when at that time I collected enough money buy a plate of rice to share for me and my wife. That was my greatest success“ he said firmly. See? Working as a coolie, he had a daily income. So he worries only about one day. The next is a different matter – and so he sleeps well.

We, on the other hand, have monthly, bi-monthly, and yearly income. We even have annuities or interest for multiple years. So we worry about everything multiplied by the time: monthly, yearly, decades. We have lost the ability to think day-by-day. If all the worries are piled up to one single day, it will be a burden too heavy to bear for our mind. So, I couldn’t sleep, thinking about the minuscule percentage of my annuity. This we have to avoid by having a healthy dose of worry: once per day. Do not worry further than what has happened today. Keep tomorrow at bay, because tomorrow is tomorrow’s pill. Have you done all you can today? Yes. Then, be cool! What will be, will be!

“Take therefore no thought for the morrow: for the morrow shall take thought for the things of itself. Sufficient unto the day is the evil thereof”
Matthew 6:31
See? It is not about whether you worry or not, it is how MUCH you worry. Jesus does not demand us to meditate for 40 days sitting in a bed of nails to flush all those worries – that wouldn’t be practical and would be quite painful. He just wants us to worry enough – with the right dose.


That’s it for now... hope it helps, for readers who have this problem... GBU all!

Wednesday, September 15, 2010

Carilah Dahulu Kerajaan Allah!

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”
Matius 6:33


Dulu, waktu saya masih kuliah, ayat ini adalah ayat yang paling mudah dimengerti. Paling mudah dilakukan pula. Bagaimana tidak: urusan saya sehari-hari adalah kuliah, atau sekolah. Saya tinggal belajar, dalam sebuah sistem yang namanya pendidikan. Saya tinggal duduk saja di kelas, menyerap semua ilmu yang diberikan oleh guru. Lalu, ada waktu-waktu dimana dilaksanakan ujian, dimana semua murid atau mahasiswa mengerjakan soal-soal dan mengukur kemampuan dirinya sendiri. Lalu, muncullah pengumuman, dimana akan jelas posisi saya dibanding teman-teman saya. Hidup seolah sangat sederhana: siapa yang rajin belajar, pasti lulus. Siapa yang rajin buat PR, pasti bisa. Siapa yang jarang bolos, pasti menyerap ilmu paling banyak. Ketika ujian, sesudah belajar, bikin PR, dan tidak membolos, saya berdoa, dan kemudian hasil ujiannya ya tidak jelek. Begitu seterusnya, ujian demi ujian saya lewati, seperti seorang pelari gawang.


Tapi, ketika lulus dan memasuki dunia kerja, segalanya berubah. Apakah kita bisa bilang sekarang, siapa yang berusaha paling rajin akan jadi kaya? Apakah yang jujur dan adil akan selalu sukses? Tidak. Kesuksesan ditentukan oleh usaha kita sendiri. Kita harus mempromosikan diri sendiri, bertarung melawan rekan maupun musuh. Beradu strategi, menyiasati sistem, dan adu pintar dalam liku-liku bisnis. Hati kita pun menjadi keras, harus mempertahankan wajah tegar ketika dalam tekanan, harus melawan ketika ditekan, atau justru menahan diri. Siapa yang paling licin, paling konsisten, dan paling pintar memanfaatkan sistem, menjadi sukses. Dalam hal ini, kemampuan diri sendirilah yang utama. Sukses bukan karena berkat lagi: karena saya. Karena saya membuat keputusan tepat di waktu yang tepat pada orang yang tepat. Saya, saya, dan saya... Faktor Tuhan, suka atau tidak suka, menjadi nomor dua. Kita berdoa – ya, kita berdoa – tapi, apakah kita berani mempertaruhkan sebuah Purchase Order hanya beralaskan doa? Tentu tidak. Saya, saya, dan saya!


Namun, saya sendiri adalah pribadi yang terbatas. Tuhan punya cara, Ia tahu membimbing anakNya dengan cara yang paling tepat. Saya boleh berusaha, saya boleh lari kiri-kanan, tapi tetap saja akhirnya mentok di sebuah tembok. Akhirnya tidak ada lagi yang bisa dilakukan, setelah semua strategi keluar, setelah semua trik dilakukan, selain menunggu. Menunggu keputusan, menunggu PO, atau menunggu tender. Dalam proses menunggu inilah – saat semua daya upaya sudah dilakukan – saya kembali teringat Tuhan. Toh, akhirnya, keputusan di tangan Tuhan juga. Toh, akhirnya, Tuhan jugalah yang menjadi hakim untuk menguraikan segala jalan, upaya, dan rute, menjadi sebuah kesimpulan. Lalu, saya harus berdoa. Waduh, ini sulit. Masak hanya berdoa saja, PO bisa didapat? Tender bisa menang? Kalau begitu, mengapa begitu bersusah payah sebelumnya?


Perikop diatas adalah sebuah kalimat yang sangat menyejukkan hati. Kalimat yang membuat saya tertegun ketika saya merasa semua peluru sudah habis ditembakkan, ketika yang saya pegang hanya sebuah pistol berasap tanpa peluru. Ketika saya belum tahu, apalah semua peluru tadi tepat sasaran, apakah semua yang saya lakukan ada maknanya. Ketika hasil dari kerja keras saya bergantung pada sebuah keputusan yang ada di tanganNya. Harusnya saya berdoa? Haruskah saya berpuasa? Apakah iman saya cukup? Rasanya tidak. Kalau tidak, lalu...


Kalimat diatas menegaskan satu hal: bahwa seorang pribadi adalah terbatas. Lalu bagaimana, apakah doa saja cukup? Apakah puasa cukup? Tidak: yang harus dilakukan adalah bekerja. Perikop diatas menegaskan, bahwa Kerajaan Allah yang harus terlebih dulu dicari. Kerajaan Allah yang harus menjadi prioritas. Dan – inilah yang indah – semuanya akan ‘ditambahkan kepadamu’. Artinya, tambahan itu bonus saja, selama Kerajaan Allah yang menjadi prioritas. Inilah yang akhirnya menyadarkan saya: mengapa saya begitu merasa tak berdaya? Karena yang saya cari bukanlah Kerajaan Allah, tapi Kerajaan Dunia. Jadi, saya terjebak dalam lekuk liku duniawi.


Tapi, ketika Kerajaan Allah masuk kembali menjadi prioritas saya, hati saya menjadi tenang. Hari-hari berubah dari penantian yang mendebarkan menjadi masa-masa yang indah. Mengapa saya harus kuatirkan sasaran saya, PO saya, atau tujuan saya? Toh, semuanya itu akan ditambahan kepada saya. Justru, dengan memindahkan fokus ke arahNya, saya bisa mengorganisasi langkah menuju sasaran duniawi dengan pikiran yang lebih jernih, lebih tenang. Lebih bersifat nothing to lose, toh, Kerajaan Allah yang saya cari. Terima kasih Tuhan, atas pencerahan ini. Semoga saya cukup konsisten untuk menjalankannya!

Kedoya, 15 September 2010

Tuesday, September 07, 2010

Waktu Untuk Segala Sesuatu

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya”
“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.”

Pengkhotbah 3:1,11


Waktu adalah sebuah dilema manusia. Mula-mula manusia mengukur waktu lewat pergerakan benda-benda langit, seperti bulan, matahari, dan bintang. Kemudian, manusia mulai membuat mekanisme mesin yang berdetak untuk mengukur waktu, dengan pegas dan roda gigi, sehingga setiap orang bisa membawa pengukur waktu di kantungnya dan mendeteksi waktu dengan lebih baik. Lalu, teknologi berkembang lagi, dengan adanya jam tangan digital. Waktu ini bisa diukur dengan mudah dan murah, bisa diakses oleh semua orang. Pencapaian teknologi yang tertinggi kemudian adalah lahirnya jam atom, yang bisa mengukur waktu dengan akurasi mencapai 10-9 detik per hari.

Namun, dari sejak lahirnya kebudayaan sampai sekarang, manusia cuma bisa mengukur waktu. Waktu tidak bisa dipercepat, tidak bisa diperlambat, tidak juga bisa dilompati. Banyak literatur yang diinspirasi oleh ide ‘melompati waktu’, yang biasanya berakhir dengan kekacauan dan bukan happy ending. Mengapa? Karena waktulah yang menentukan runut hidup manusia. Kalau runutnya kacau, maka semua orang pun akan paham, betapa kemudian hidup itu sendiri – dan bahkan dunia ini – menjadi kacau juga.

Sebagai seorang manusia, saya seringkali mengalami rasa frustrasi menghadapi waktu. Saya adalah orang yang cenderung ingin buru-buru, ingin serba cepat. Untuk mengurus proyek atau sebuah proses produksi, hal ini tentu saja tidak buruk. Tetapi, dalam dunia sales, dan terutama dunia personal, pemilihan waktu (timing) yang pas adalah segalanya. Terlalu cepat bakal kacau, terlambat apalagi. Saya menjadi bingung sendiri: kalau kita tidak bisa melihat masa depan dan melakukan pembahasan (review) untuk mengambil keputusan kapan waktu yang tepat, bagaimana kita bisa menang dalam permainan ini? Seperti mendayung perahu diatas sungai yang tenang yang ujungnya adalah air terjun. Kapan saya harus melompat dan berenang? Ya mana tahu, air terjunnya kan nggak kelihatan?

Dilema ini sangat mengganggu saya karena tidak ada teknologi ataupun cara yang bisa melangkahi waktu. Dengan demikian, waktu yang tepat adalah soal ‘hoki’, soal keberuntungan. Kalau beruntung, baru bisa. Terus terang, saya tidak suka dengan kata ‘hoki’, karena hoki berarti jatuh dari langit dan kita tidak bisa mengusahakannya. Tidak adil bukan? Masak yang bekerja keras dan tidak hoki bisa gagal, sementara yang santai saja tapi hoki bisa sukses? Kalau begitu, untuk apa kita bekerja? Duduk-duduk saja dibawah pohon sambil menunggu jatuhnya buah hoki. Bukan demikian?

Namun, khotbah yang baru saya dengan dan perikop Pengkhotbah ini sangat menenangkan saya. Di kala rencana sedang berantakan, acara yang sudah diatur justru batal, dan beberapa agenda amburadul, Tuhan berbicara kepada saya dengan lantang, bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya. Bukan secara positif saja: misalnya ada waktu untuk memeluk, dan ada waktu untuk tidak memeluk. Jadi, untuk ‘tidak melakukan’ sesuatu saja ada waktunya, kalau dilakukan terus-menerus justru akan gagal. Waktu inilah yang harus ditunggu, dimana kita harus sabar. Tapi, sabar kalau hanya menunggu kegagalan, bukankah akan membuat gelisah juga?

Kalimat terakhir yang sangat indah, yang biasanya tertera di undangan pernikahan, langsung menenangkan hati saya. Bahwa Tuhan membuat segala sesuatu ‘indah pada waktunya’. Jadi, segala sesuatu itu sudah ada dari dulu sebenarnya. Tapi, ketika waktunya tiba, akan menjadi indah. Dan, hanya waktu yang membuatnya indah. Tidak perlu ada usaha tambahan, tidak perlu kita pontang-panting, tidak perlu bombardir berlebihan. Tunggu saja, karena waktu yang berjalan saja dapat membuat segala sesuatu dari biasa menjadi indah. Dan, Tuhanlah yang menciptakan waktu itu, supaya manusia sadar, bahwa usahanya hanya sampai sejauh ini. Supaya manusia kemudian percaya, bahwa semua yang diperoleh adalah karuniaNya, karena waktu itulah anugerahNya. Supaya saya sadar dan sabar, bukan sekadar menunggu hoki, tapi menanti waktu dimana segala sesuatunya menjadi indah karenaNya.


06.09.10 – Terima kasih!