Tuesday, September 07, 2010

Waktu Untuk Segala Sesuatu

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya”
“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.”

Pengkhotbah 3:1,11


Waktu adalah sebuah dilema manusia. Mula-mula manusia mengukur waktu lewat pergerakan benda-benda langit, seperti bulan, matahari, dan bintang. Kemudian, manusia mulai membuat mekanisme mesin yang berdetak untuk mengukur waktu, dengan pegas dan roda gigi, sehingga setiap orang bisa membawa pengukur waktu di kantungnya dan mendeteksi waktu dengan lebih baik. Lalu, teknologi berkembang lagi, dengan adanya jam tangan digital. Waktu ini bisa diukur dengan mudah dan murah, bisa diakses oleh semua orang. Pencapaian teknologi yang tertinggi kemudian adalah lahirnya jam atom, yang bisa mengukur waktu dengan akurasi mencapai 10-9 detik per hari.

Namun, dari sejak lahirnya kebudayaan sampai sekarang, manusia cuma bisa mengukur waktu. Waktu tidak bisa dipercepat, tidak bisa diperlambat, tidak juga bisa dilompati. Banyak literatur yang diinspirasi oleh ide ‘melompati waktu’, yang biasanya berakhir dengan kekacauan dan bukan happy ending. Mengapa? Karena waktulah yang menentukan runut hidup manusia. Kalau runutnya kacau, maka semua orang pun akan paham, betapa kemudian hidup itu sendiri – dan bahkan dunia ini – menjadi kacau juga.

Sebagai seorang manusia, saya seringkali mengalami rasa frustrasi menghadapi waktu. Saya adalah orang yang cenderung ingin buru-buru, ingin serba cepat. Untuk mengurus proyek atau sebuah proses produksi, hal ini tentu saja tidak buruk. Tetapi, dalam dunia sales, dan terutama dunia personal, pemilihan waktu (timing) yang pas adalah segalanya. Terlalu cepat bakal kacau, terlambat apalagi. Saya menjadi bingung sendiri: kalau kita tidak bisa melihat masa depan dan melakukan pembahasan (review) untuk mengambil keputusan kapan waktu yang tepat, bagaimana kita bisa menang dalam permainan ini? Seperti mendayung perahu diatas sungai yang tenang yang ujungnya adalah air terjun. Kapan saya harus melompat dan berenang? Ya mana tahu, air terjunnya kan nggak kelihatan?

Dilema ini sangat mengganggu saya karena tidak ada teknologi ataupun cara yang bisa melangkahi waktu. Dengan demikian, waktu yang tepat adalah soal ‘hoki’, soal keberuntungan. Kalau beruntung, baru bisa. Terus terang, saya tidak suka dengan kata ‘hoki’, karena hoki berarti jatuh dari langit dan kita tidak bisa mengusahakannya. Tidak adil bukan? Masak yang bekerja keras dan tidak hoki bisa gagal, sementara yang santai saja tapi hoki bisa sukses? Kalau begitu, untuk apa kita bekerja? Duduk-duduk saja dibawah pohon sambil menunggu jatuhnya buah hoki. Bukan demikian?

Namun, khotbah yang baru saya dengan dan perikop Pengkhotbah ini sangat menenangkan saya. Di kala rencana sedang berantakan, acara yang sudah diatur justru batal, dan beberapa agenda amburadul, Tuhan berbicara kepada saya dengan lantang, bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya. Bukan secara positif saja: misalnya ada waktu untuk memeluk, dan ada waktu untuk tidak memeluk. Jadi, untuk ‘tidak melakukan’ sesuatu saja ada waktunya, kalau dilakukan terus-menerus justru akan gagal. Waktu inilah yang harus ditunggu, dimana kita harus sabar. Tapi, sabar kalau hanya menunggu kegagalan, bukankah akan membuat gelisah juga?

Kalimat terakhir yang sangat indah, yang biasanya tertera di undangan pernikahan, langsung menenangkan hati saya. Bahwa Tuhan membuat segala sesuatu ‘indah pada waktunya’. Jadi, segala sesuatu itu sudah ada dari dulu sebenarnya. Tapi, ketika waktunya tiba, akan menjadi indah. Dan, hanya waktu yang membuatnya indah. Tidak perlu ada usaha tambahan, tidak perlu kita pontang-panting, tidak perlu bombardir berlebihan. Tunggu saja, karena waktu yang berjalan saja dapat membuat segala sesuatu dari biasa menjadi indah. Dan, Tuhanlah yang menciptakan waktu itu, supaya manusia sadar, bahwa usahanya hanya sampai sejauh ini. Supaya manusia kemudian percaya, bahwa semua yang diperoleh adalah karuniaNya, karena waktu itulah anugerahNya. Supaya saya sadar dan sabar, bukan sekadar menunggu hoki, tapi menanti waktu dimana segala sesuatunya menjadi indah karenaNya.


06.09.10 – Terima kasih!

No comments: