Wednesday, September 15, 2010

Carilah Dahulu Kerajaan Allah!

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”
Matius 6:33


Dulu, waktu saya masih kuliah, ayat ini adalah ayat yang paling mudah dimengerti. Paling mudah dilakukan pula. Bagaimana tidak: urusan saya sehari-hari adalah kuliah, atau sekolah. Saya tinggal belajar, dalam sebuah sistem yang namanya pendidikan. Saya tinggal duduk saja di kelas, menyerap semua ilmu yang diberikan oleh guru. Lalu, ada waktu-waktu dimana dilaksanakan ujian, dimana semua murid atau mahasiswa mengerjakan soal-soal dan mengukur kemampuan dirinya sendiri. Lalu, muncullah pengumuman, dimana akan jelas posisi saya dibanding teman-teman saya. Hidup seolah sangat sederhana: siapa yang rajin belajar, pasti lulus. Siapa yang rajin buat PR, pasti bisa. Siapa yang jarang bolos, pasti menyerap ilmu paling banyak. Ketika ujian, sesudah belajar, bikin PR, dan tidak membolos, saya berdoa, dan kemudian hasil ujiannya ya tidak jelek. Begitu seterusnya, ujian demi ujian saya lewati, seperti seorang pelari gawang.


Tapi, ketika lulus dan memasuki dunia kerja, segalanya berubah. Apakah kita bisa bilang sekarang, siapa yang berusaha paling rajin akan jadi kaya? Apakah yang jujur dan adil akan selalu sukses? Tidak. Kesuksesan ditentukan oleh usaha kita sendiri. Kita harus mempromosikan diri sendiri, bertarung melawan rekan maupun musuh. Beradu strategi, menyiasati sistem, dan adu pintar dalam liku-liku bisnis. Hati kita pun menjadi keras, harus mempertahankan wajah tegar ketika dalam tekanan, harus melawan ketika ditekan, atau justru menahan diri. Siapa yang paling licin, paling konsisten, dan paling pintar memanfaatkan sistem, menjadi sukses. Dalam hal ini, kemampuan diri sendirilah yang utama. Sukses bukan karena berkat lagi: karena saya. Karena saya membuat keputusan tepat di waktu yang tepat pada orang yang tepat. Saya, saya, dan saya... Faktor Tuhan, suka atau tidak suka, menjadi nomor dua. Kita berdoa – ya, kita berdoa – tapi, apakah kita berani mempertaruhkan sebuah Purchase Order hanya beralaskan doa? Tentu tidak. Saya, saya, dan saya!


Namun, saya sendiri adalah pribadi yang terbatas. Tuhan punya cara, Ia tahu membimbing anakNya dengan cara yang paling tepat. Saya boleh berusaha, saya boleh lari kiri-kanan, tapi tetap saja akhirnya mentok di sebuah tembok. Akhirnya tidak ada lagi yang bisa dilakukan, setelah semua strategi keluar, setelah semua trik dilakukan, selain menunggu. Menunggu keputusan, menunggu PO, atau menunggu tender. Dalam proses menunggu inilah – saat semua daya upaya sudah dilakukan – saya kembali teringat Tuhan. Toh, akhirnya, keputusan di tangan Tuhan juga. Toh, akhirnya, Tuhan jugalah yang menjadi hakim untuk menguraikan segala jalan, upaya, dan rute, menjadi sebuah kesimpulan. Lalu, saya harus berdoa. Waduh, ini sulit. Masak hanya berdoa saja, PO bisa didapat? Tender bisa menang? Kalau begitu, mengapa begitu bersusah payah sebelumnya?


Perikop diatas adalah sebuah kalimat yang sangat menyejukkan hati. Kalimat yang membuat saya tertegun ketika saya merasa semua peluru sudah habis ditembakkan, ketika yang saya pegang hanya sebuah pistol berasap tanpa peluru. Ketika saya belum tahu, apalah semua peluru tadi tepat sasaran, apakah semua yang saya lakukan ada maknanya. Ketika hasil dari kerja keras saya bergantung pada sebuah keputusan yang ada di tanganNya. Harusnya saya berdoa? Haruskah saya berpuasa? Apakah iman saya cukup? Rasanya tidak. Kalau tidak, lalu...


Kalimat diatas menegaskan satu hal: bahwa seorang pribadi adalah terbatas. Lalu bagaimana, apakah doa saja cukup? Apakah puasa cukup? Tidak: yang harus dilakukan adalah bekerja. Perikop diatas menegaskan, bahwa Kerajaan Allah yang harus terlebih dulu dicari. Kerajaan Allah yang harus menjadi prioritas. Dan – inilah yang indah – semuanya akan ‘ditambahkan kepadamu’. Artinya, tambahan itu bonus saja, selama Kerajaan Allah yang menjadi prioritas. Inilah yang akhirnya menyadarkan saya: mengapa saya begitu merasa tak berdaya? Karena yang saya cari bukanlah Kerajaan Allah, tapi Kerajaan Dunia. Jadi, saya terjebak dalam lekuk liku duniawi.


Tapi, ketika Kerajaan Allah masuk kembali menjadi prioritas saya, hati saya menjadi tenang. Hari-hari berubah dari penantian yang mendebarkan menjadi masa-masa yang indah. Mengapa saya harus kuatirkan sasaran saya, PO saya, atau tujuan saya? Toh, semuanya itu akan ditambahan kepada saya. Justru, dengan memindahkan fokus ke arahNya, saya bisa mengorganisasi langkah menuju sasaran duniawi dengan pikiran yang lebih jernih, lebih tenang. Lebih bersifat nothing to lose, toh, Kerajaan Allah yang saya cari. Terima kasih Tuhan, atas pencerahan ini. Semoga saya cukup konsisten untuk menjalankannya!

Kedoya, 15 September 2010

No comments: