Wednesday, December 28, 2005

Tuesday, December 20, 2005

Renungan Advent Ketiga 2005

Dipulihkan Untuk Menjadi Pemenang

“Ketika kuberitahukan kepada mereka, betapa murahnya tangan Allahku yang melindungi aku dan juga apa yang dikatakan raja kepadaku, berkatalah mereka: “Kami siap untuk membangun!” Dan dengan sekuat tenaga mereka mulai melakukan pekerjaan yang baik itu."
Nehemia 2:18

Jumat lalu, di penghujung Minggu Advent Ketiga, saya sempat menghadiri Perayaan Natal Persekutuan Karyawan Kristen se-Karawang (PDK3). Tema yang diambil menurut saya cukup berani, yakni “Dipulihkan Untuk Menjadi Pemenang”. Mengapa berani? Ya, karena di jaman yang serba terpuruk ini, dimana segala sesuatunya serba sulit dan suram, memang tidak mudah untuk berdiri tegak dan membulatkan tekad untuk jadi pemenang.

Apakah kalimat terakhir diatas terasa logis bagi Anda? Jika demikian, maka boleh jadi Anda sudah termakan oleh pemberitaan media massa yang serba negatif! Saudaraku, sadarkah Anda, bahwa kita harus bersyukur atas keadaan kita sekarang? Bahwa krisis moneter adalah cara Tuhan untuk menyaring perusahaan-perusahaan yang bobrok sehingga yang baik bisa berkembang? Bahwa Tuhan sudah memberikan anugerah yang luar biasa berupa kebebasan dari tirani dan kelangsungan demokrasi? Bahwa selama 6 tahun belakangan ini, bangsa Indonesia begitu diberkatinya, sehingga adalah mukjijat bahwa negara ini masih utuh sampai sekarang? Itulah karunia Tuhan yang paling besar! Dan begitu sedihnya hati saya, dan juga saya rasa hati Tuhan, melihat umatnya yang sudah diberkahiNya dengan begitu melimpah tetapi yang dirasakan dan didoakannya hanyalah terpuruk, terpuruk, dan terpuruk terus?

Nabi Nehemia boleh dibilang berada dalam kondisi serupa dengan kita. Setelah Israel hancur, beliau memiliki sebuah visi untuk membangun kembali Bait Allah dan mengembalikan kejayaan Rumah Tuhan. Bukan hal yang mudah, karena Israel sendiri sudah nyaris rata tanah. Bahkan dari bangsa Israel sendiripun, seperti tertulis dalam ayat 19, banyak orang yang mencemooh Nehemia, yang menganggap bahwa kondisi terpuruk ini sudah tidak dapat dibangkitkan lagi. Namun, Nabi Nehemia dengan gagah berani menentang mereka dan berkata seperti tertulis dalam ayat 20: “Allah semesta langit, Dialah yang membuat kami berhasil!”. Lihatlah bangsa Israel sekarang, yang masih eksis walaupun silih berganti dihancurkan selama ribuan tahun. Itulah hasil dari optimisme mereka karena kasih Allah!

Kita sebagai orang Kristen memang dituntut untuk menjadi pemenang. Karya Agung Allah yang menghadirkan AnakNya yang Tunggal menjadi pemulihan yang hakiki bagi setiap orang kristen. Oleh karena itu, kita dilarang jadi pecundang, melainkan harus jadi pemenang! Sekarang ini, orang kristen seringkali ‘terjebak’ untuk ikut menyanyikan koor ‘terpuruk’ yang kini sedang populer di kalangan bangsa Indonesia. Dimana kita merasa diri hancur, lebur, dan ya itu… terpuruk! Orang kristen harus keluar dari stigma ini dan bangkit untuk menjadi pemenang, karena Allah sudah begitu mengasihi kita. Kita harus menjadi kesaksian dengan menunjukkan sikap positif sebagai seorang pemenang, karena Allah sudah memenangkan kita. Dengan demikian, niscaya kesaksian kita akan menerangi bangsa ini bagaikan lilin di kegelapan malam!

Wednesday, December 07, 2005

Renungan Advent Kedua 2005 - Setan Yang Sulit Diusir

“Kata Yesus kepadanya :”Pergilah, anakmu hidup!” Orang itu percaya akan perkataan yang dikatakan Yesus kepadanya, lalu pergi.”
Yoh 4:50

Ada hal yang cukup ironis pada waktu saya menghadiri kebaktian di sebuah gedung di Jakarta minggu lalu. Karena cenderung beraliran Pentakosta, sang Pendeta sebelum mulai khotbah dengan gagah ‚mengusir’ semua roh-roh jahat yang akan mengganggu kebaktian. “Dalam nama Yesus!” katanya lantang, “Kepada semua roh-roh yang akan mengganggu aliran Firman Tuhan di tempat ini, saya perintahkan keluar dari sini!”. Jemaat pun menyambut dengan hentakan dan desisan suara yang tak kalah ganasnya. Saya membayangkan, roh-roh jahat itu pasti sudah lari kocar-kacir sekarang! Namun, rupanya belum semua setan terusir keluar. Bahkan setan ini, persis di ruang kebaktian, masih berani mengganggu konsentrasi khotbah dengan bunyi-bunyian yang nyaring! Herannya, bukannya diusir dengan desisan garang, tapi jemaat malah pura-pura tidak tahu. Setan apa gerangan yang begitu besar nyalinya?

Ya, setan itu bernama handphone alias ponsel alias telepon genggam! Sangat sulit dipercaya, bahwa setelah upacara pengusiran setan yang garang itu, masih begitu banyak bunyi ponsel, dari yang polifonik sampai yang WAV, yang mendadak muncul di tengah-tengah khotbah. Kadang-kadang ada bunyi dari ponsel yang sama, bunyi berkali-kali, sementara sang empunya hanya duduk diam dengan muka tak berdosa. Malah ada yang diam-diam mengangkat ponsel dan menjawabnya sambil berbisik! Menurut saya, hal ini sangatlah tidak sopan, hampir sama dengan penghujatan. Bayangkan, kalau Anda sedang berbicara dengan seorang boss besar di perusahaan Anda, pastilah ponsel Anda dimatikan atau paling tidak diatur dalam mode sunyi, untuk menghormati lawan bicara Anda. Jika Tuhan sedang berbicara pada Anda, betapa tidak sopannya apabila ponsel Anda bertulalit melulu!

Namun, sebagai manusia modern saya menyadari betapa sulitnya hidup tanpa ponsel, bahkan untuk satu jam saja sekalipun. Bagaimana jika ada teman yang sangat membutuhkan saya, bagaimana jika terjadi sesuatu yang darurat di pabrik, bagaimana dengan janji saya nanti siang, bagaimana, bagaimana, bagaimana? Sehingga, saya pun sempat ‚menurunkan’ level hormat saya kepada Tuhan dengan mengubah mode ponsel menjadi sunyi, namun tidak dimatikan. Toh, kalau ada telepon atau sms masuk, akan terekam sehingga saya bisa menelepon lagi kemudian. Hmm, betapa sulitnya yah, hidup tanpa ponsel!

Justru disinilah iman kita diuji. Di jaman modern ini, dimana kita semakin bergantung pada teknologi – atau kita dibuat menjadi semakin tergantung pada teknologi - sungguh sulit membayangkan iman seperti pegawai istana pada perikop diatas. Bahwa ketika Yesus berkata, „Anakmu sembuh!“, ia dengan yakin pulang ke rumah, dan sungguh-sungguh mendapati anaknya sembuh. Keyakinan iman seperti inilah yang perlu kita miliki untuk mematikan ponsel selama kebaktian – bahwa janji saya tidak akan berantakan, bahwa pabrik saya tidak akan kebakaran, bahwa Tuhan pasti akan menolong teman kita dengan cara yang lain. Intinya: bahwa dalam satu jam itu, kita percayakan kehidupan kita, janji-janji kita, teman-teman kita, dan semua milik kita, hanya kepada Tuhan. Tidak sulit bukan? Mari kita coba bersama!

Renungan Advent Pertama 2005 - Batu Yang Salah Tempat

“Jadi, jika rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api demikian didandani Allah, terlebih lagi kamu, hai orang yang kurang percaya!”
Lukas 12:28

Jika batu-batu bisa berbicara, tentulah mereka protes keras jika ditempatkan Tuhan di sungai atau di tepi pantai. Untuk apa batu ditempatkan disana? Bukankah bebatuan yang berada di sungai ataupun di pantai hanyalah akan habis digerus air perlahan-lahan? Seolah-olah Tuhan hanya menciptakan bebatuan itu untuk dihancurkan saja. Seolah-olah rencana Tuhan untuk bebatuan itu, hanyalah untuk kebinasaan saja!

Namun, lihatlah Pantai Tanjung Tinggi di Belitung, misalnya, atau komposisi sungai berbatu di Baturaden, Jawa Tengah! Lihatlah betapa cantiknya bentuk batu yang serba tumpul, berpadu dengan aliran air. Betapa aliran air bisa memahat batu-batu itu sedemikian rupa sehingga mencapai bentuk yang cantik, kolosal, dan terus berubah seiring waktu. Jika manusia mampu menciptakan patung yang statis, maka bebatuan di sungai dan pantai adalah dinamis, selalu berubah dan makin memukau secara alamiah. Bayangkan, berapa banyak orang yang dijernihkan pikirannya, dan berapa banyak jiwa yang terselamatkan, setelah menyaksikan betapa indahnya karya Tuhan itu! Ternyata, inilah maksud Tuhan meletakkan bebatuan di aliran air. Memang, pada suatu saat, mereka akan binasa. Tetapi, lihatlah betapa keindahannya menyelamatkan ribuan jiwa yang sesak dengan permasalahan!

Kadang-kadang rencana Tuhan akan hidup kita pun nampak seperti bebatuan di sungai atau pantai tadi. Kelihatannya semua jalan serba buntu, kelihatannya yang ada hanyalah tantangan dan masalah, dan menjadi binasa adalah suatu proses yang perlahan tapi pasti. Bahkan, hidup kita serba kacau, seolah-olah semuanya berada tempat yang salah! Namun, ingatlah akan bebatuan tadi. Tujuan Tuhan sebenarnya selalu indah, dengan cara-cara yang jauh diatas jangkauan nalar kita. Jikalau Anda memegang teguh pada kehandalan rencana Sang Perencana Agung, maka Anda kelak akan menjadi batu paling cantik yang pernah ada!

Wednesday, September 28, 2005

Beban yang Ringan

“Marilah kepadaku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”
Mat 11:28

Kadang-kadang saya sering heran jika mendengar ada orang terkenal, hebat, dan kaya, yang melakukan bunuh diri. Sebut saja Elvis Presley, Marilyn Monroe, atau Kurt Cobain, vokalis grup Nirvana. Mereka kaya raya, ganteng dan cantik. Hidupnya pun dipenuhi pesta pora dan gelimang uang, tanpa harus bekerja keras. Bayangkan, untuk satu kali show saja kelompok Nirvana bisa dibayar jutaan dollar, belum lagi hasil penjualan album, iklan, dan sebagainya. Rasanya, semua masalah yang kita punya : kenaikan harga BBM, korupsi, gaji UMR yang tak kunjung naik – belum pernah menyentuh kehidupan mereka. Toh, mereka memutuskan untuk mencabut nyawanya sendiri, yang berarti ada sesuatu yang begitu membuat stress sampai-sampai tak tertahankan lagi. Barangkali, bagi mereka makan nasi goreng Seafood pun sudah serasa nasi putih dan ikan asin saja!

Dalam perikop Matius 11:25-30, Tuhan Yesus menunjukkan keberpihakannya pada rakyat kecil, wong cilik, ya kita-kita ini. Kita memang tidak terlepas dari ‘beban’ yang sesungguhnya, seperti beban yang juga dirasakan oleh Elvis Presley dan kawan-kawannya. Kaya atau miskin, pandai atau bodoh, hidup di dunia memang selalu dibayangi beban – mungkin berbeda antara besok makan apa dan besok apa makan – tetapi tetap saja beban adalah beban! Melalui perikop ini, Tuhan Yesus menunjukkan kepeduliannya dan juga mengajukan janji yang tidak muluk, yakni ‘beban (kuk) yang enak dan ringan’, bukannya lepas sama sekali dari beban.

Yah, menjadi Kristen bukanlah berarti seluruh beban kehidupan kita akan sirna. Menjadi Kristen, berarti menyerahkan beban dan kuk duniawi kita kepadaNya, dan memakai beban dan kuk dariNya yang ringan dan enak, sehingga makan nasi dengan ikan asin pun serasa nasi goreng Seafood! Tidak percaya? Buktikan saja sendiri!

Thursday, August 25, 2005

Khotbah Paulus di Athena

Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepadamu”
KIS 17:23b

Bagi Paulus, berkhotbah di Athena bukanlah suatu hal yang mudah. Orang-orang Yunani, terutama di Athena, merupakan bangsa yang berbudaya sangat tinggi dan sangat tekun mendalami filsafat dan ilmu pengetahuan (KIS 17:21). Disinilah asal mula filsuf-filsuf terkenal yang gaungnya masih terdengar sampai sekarang, seperti Plato, Epikuros, dan Hippocrates. Jadi, untuk berkhotbah pada golongan orang-orang cerdik cendekia seperti ini, pastilah merupakan tantangan yang berat bagi Paulus.

Dalam ayat 18 disebutkan bahwa Paulus sempat bersoal jawab dengan orang-orang dari golongan Epikuros dan Stoa. Epikuros (hidup kira-kira pada 340 – 200 SM) adalah pendiri dan nama suatu aliran filsafat yang mengajarkan materialisme, paham yang mendewakan materi. Dari aliran ini lahir Demokritus, pencetus ide mengenai atom, dan kemudian banyak ilmuwan lain seperti John Dalton, Charles Darwin, dan Friedrich Nietzsche. Kesemuanya memiliki tendensi yang sama, yakni berpendapat bahwa Tuhan dan Ketuhanan hanyalah suatu konsep definisi materi yang berbeda dengan materi yang menyusun darah dan daging. Stoa, adalah golongan filsafat yang pada masa itu menjadi lawan dari golongan Epikuros, yakni paham yang mengajarkan logika, kebenaran, dan keadilan. Golongan Stoa mengajarkan saling tolong menolong sebagai kewajiban karena hal itu adalah baik dilakukan, tetapi tanpa campur tangan Tuhan. Golongan ini meskipun tidak sebesar Epikuros, tetapi sempat melahirkan nama besar seperti kaisar Roma Marcus Aurelius dan filsuf Cicero.

Salah satu aliran filsafat yang juga dominan pada masa itu adalah Plato, yang mengajarkan kesadaran akan adanya Sang Pencipta yang tercermin dalam setiap ciptaanNya di dunia ini. Meskipun beliau tidak menunjuk pada satu bentuk dewa, paham ini begitu dekat dengan kekristenan sehingga beberapa buku atheis bahkan mencap paham kekristenan yang diajarkan Paulus sebagai salah satu cabang dari filsafat Plato. Jika demikian, harus berkata apa Paulus agar kaum cerdik cendekia ini mau mendengar?

Sialnya, Paulus bukan saja harus berkhotbah bagi orang biasa, melainkan di depan sidang Areopagus (KIS 17:19). Areopagus berasal dari kata ‚Areios Pagos’ yang berarti bukit Ares. Bukit Ares merupakan tempat persidangan bagi dewan kota Athena yang pada saat itu dipilih dari orang-orang paling pandai dan terpandang di kota itu. Ares sendiri menurut legenda adalah orang yang pernah disidang oleh para dewa di bukit ini karena membunuh anak Dewa Laut Poseidon bernama Alirrothios. Dewan Areopagus kemudian dikenal sebagai pengadilan pertama di dunia yang khusus mengadili kasus-kasus pembunuhan. Di depan orang-orang terpandang yang kenyang ajaran filsafat, yang (seperti disebutkan dalam ayat 21) tidak punya pekerjaan lain selain menguji, mencecar, dan menggojlok pencetus-pencetus ajaran baru inilah, seorang Paulus yang bahkan dulunya pernah menjadi penindas ajaran Kristen harus berkhotbah. Bisakah Anda membayangkan betapa besar tantangan yang dihadapi Paulus?

Disinilah kita bisa melihatbetapa hikmat Tuhan benar-benar dicurahkan pada Paulus pada saat itu. Paulus dengan cerdik memilih konsep ‚Allah yang tidak dikenal’ (KIS 17:23) atau Agnostos Theos untuk menunjukkan kelemahan filsafat Yunani. Di tengah kebebasan berpikir dan penekanan pada logika dan filsafat, bagaimana mungkin orang Yunani masih percaya pada dewa-dewa yang ratusan jumlahnya, yang bersifat seperti manusia: bisa berbohong, berkhianat, menikah dan berzinah? Bagaimana mungkin mereka mengakui memiliki kemegahan dewa yang tak lain hanyalah buatan tangan mereka sendiri?

Sebenarnya, melalui konsep Allah yang tidak dikenal, orang Yunani sudah menyadari adanya Tuhan yang Maha Kuasa, yang tidak bisa dijangkau akal manusia, yang menciptakan alam semesta dan seisi dunia. Paulus kemudian menambahkan, bahwa Sang Kuasa ini akan menjamah ciptaanNya manusia dengan segala keterbatasannya. Keindahan alam pikiran dan buah tangan manusia hanyalah cerminan dari kasih dan kebesaran Sang Kuasa. Ia selalu rindu untuk melihat ciptaanNya mengabdi padaNya dalam hidup dan matinya. Akan tiba suatu waktu dimana Ia akan mengadili umat manusia dan supaya semua tidak musnah. Ia menganugerahkan anakNya yang Tunggal dan membangkitkan Dia dari liang kubur, supaya ada harapan bagi ciptaanNya itu selain daripada binasa. Luar biasa! Paulus telah membelokkan ajaran filsafat Yunani, menunjukkan dimana kelemahannya, dan sekaligus melengkapinya dengan warta tentang kebangkitan Tuhan Yesus. Paulus menjelaskan semuanya dengan logis. Ia bahkan begitu penuh hikmat sehingga berhasil menggunakan paham polytheisme Yunani untuk menunjukkan Tuhan yang Esa.

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa diatas ini. Yang pertama, perhatikanlah cara Paulus menginjili orang Yunani. Ia tidak melakukan penginjilan secara hantam kromo dengan argumen ‚saya benar, kamu salah’. Ia dengan cerdik memanfaatkan paham polytheisme Yunani, untuk kemudian memasukkan ide mengenai kebangkitan Tuhan Yesus dari situ. Ia berbicara dalam bahasa dewa-dewa, bahasa yang sangat dimengerti oleh orang Yunani pada waktu itu. Paulus tidak ragu untuk ‚memanfaatkan’ paham Yunani yang notabene tidak sesuai dengan ajaran Kristen, sebagai cara untuk masuk ke dalam alam budaya Yunani.

Memang, menginjili orang yang memiliki pengetahuan luas dan intelejensia tinggi tidak semudah membalik telapak tangan. Pengetahuan yang dipandang secara manusia seringkali menjadi penghalang sehingga paham iman dan pengharapan dirasa sebagai sesuatu yang tidak logis dan absurd. Saya kenal beberapa orang pandai yang atheis, yang dengan gagah bercerita bahwa mereka sudah ‚mengetahui’ inti ajaran Kristen, sudah ‚hapal’ urut-urutan sejarah Kristen dan tidak menganggap kekristenan sebagai sesuatu yang sakral dan suci. Ada pepatah Cina yang mengatakan, bahwa hanya cangkir kosong yang bisa diisi cairan baru. Paulus, telah berhasil mengosongkan cangkir pikiran orang Yunani, dan mengisinya dengan Roh Kudus.

Lalu apa hasil dari semua ini? Memang, Alkitab mencatat bahwa banyak orang kemudian mencemooh dan melecehkan Paulus. Tetapi, toh ada beberapa orang yang disebutkan dalam perikop ini yang akhirnya bertobat, seperti Demetrius, yang adalah salah seorang anggota Dewan Areopagus. Buah penginjilan Paulus juga terlihat sampai hari ini, dimana dari semua daerah yang disinggahi Paulus, hanya Yunanilah yang sampai sekarang masih didominasi oleh masyarakat Kristen. Wilayah lainnya, seperti Siprus, Turki (Asia Kecil), Mesir, Lybia, satu-persatu jatuh dan tidak lagi didominasi oleh orang-orang Kristen. Menginjili orang pandai memang sulit. Tetapi, sekali dia berhasil diyakinkan, dia juga akan lebih teguh memegang imannya, tidak modah dibelokkan oleh paham-paham lain. Siapkah Anda meneladani Paulus?

Tuesday, April 26, 2005

Obituari untuk Iie Soan, Iie Cilacap, Emilia

Satu lagi icon keluarga sejak saya kecil meninggalkan dunia ini. Iie Soan, atau biasa saya panggil Iie Cilacap sesuai tempat tinggalnya, adalah orang yang hidup dengan penuh dinamika. Kesukaannya untuk berpetualang dan keberaniannya mengambil resiko pernah membawanya ke situasi yang sangat genting, gawat, bahkan seringkali antara hidup dan mati. Namun, seperti biasanya seorang Iie Cilacap, ia selalu lolos dari lubang jarum dan menceritakan semuanya dengan penuh canda. Dimanapun ia berada, selalu diiringi oleh derai tawa sekelilingnya karena mendengar petualangan atau ceritanya yang lucu. Saya sendiri merasa terlalu jarang bertemu dan berbagi cerita bersama Iie Soan.
Ketika saya melihatnya pada hari Jumat, 22 April 2005, semuanya telah berubah. Yang saya lihat hanyalah sebuah tubuh lemah yang tergolek diatas tempat tidur, dengan masker oksigen tertancap di mulut. Napas Iie pun satu-satu, seolah-olah setiap napas diawali dengan perjuangan hebat dan diakhiri dengan pertanyaan, apakah akan ada napas berikutnya. Iie mengeluarkan napas seolah berteriak ketika ia membuang napas, namun tubuhnya terlalu lemah untuk menghela napas berikutnya. Kita harusnya bersyukur, karena bisa bernapas dengan mudah. Jika untuk bernapas saja seseorang harus berjuang sekeras itu, maka cahaya di ujung lorong nampaknya sudah di pelupuk mata. Setelah berjuang dengan gagah berani selama hampir 4 hari, Iie Soan dipanggil Tuhan pada hari Sabtu, 23 April 2005, jam 17.30.
Saya teringat khotbah Pendeta Astri Sinaga di GKI Nurdin yang saya dengar pada hari Minggu sebelumnya. Ketika berkhotbah mengenai makna kebangkitan, Pendeta Astri menekankan betapa tubuh yang kita miliki sekarang ini hanyalah tubuh jasmani yang lemah dan rapuh. Suatu saat nanti, Ia akan membangkitkan kita, atau lebih tepatnya menganugerahkan tubuh rohani yang kekal untuk kita. Seperti apa bentuknya, tidak seorangpun tahu. Yang pasti, tubuh rohani nanti akan lebih mulia dari tubuh yang sekarang. Tubuh yang tidak terkungkung oleh belenggu sakit penyakit, kelumpuhan, dan kerapuhan. Saya membayangkan, kini pastilah Iie Soan sudah memulai petualangan barunya di Sorga, terlepas dari belenggu kelumpuhan yang memenjarakannya pada beberapa tahun terakhir hidupnya.
Sampai menjelang ajal pun, Iie Soan selalu mengundang tawa. Keluarga yang panik dan menangis ketika alarm berbunyi, karena mengira Iie sudah meninggal, langsung tertawa terbahak-bahak ketika mengetahui itu cuma alarm bahwa obat infus sudah habis. Iie, Iie, dalam kondisi seperti itu saja, masih bisa membuat orang tertawa! Ha ha ha ha.
Selamat jalan Iie Soan.

Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati.
Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan.
Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan.
Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan
.“
I Korintus 15:42-43

Friday, April 15, 2005

Senjata Makan Tuan

“Lalu Yesus berkata kepada mereka :’Aku bertanya kepada kamu: Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan naywa orang atau membinasakannya?’“
Lukas 6:9

Di daerah sekitar Biak, Papua, terdapat sebuah kepulauan kecil bernama Padaido. Kepulauan ini terdiri dari puluhan pulau-pulau kecil dengan lokasi yang sangat strategis secara militer, sehingga digunakan sebagai pangkalan militer Sekutu pada Perang Dunia II. Sampai sekarang pulau-pulau Padaido masih memiliki reruntuhan sisa Perang Dunia II baik di daerah pantai maupun di dasar lautnya.
Alkisah, pernah di salah satu pulau yang bernama Pulau Meosmanggwandi, sebuah pesawat terpaksa mendarat darurat setelah sayapnya terkena tembakan tentara Jepang. Suaranya yang keras mengagetkan penduduk asli pulau itu yang segera menghampiri ke lokasi jatuhnya pesawat. Sang pilot yang luka parah kemudian menembakkan sisa pelurunya ke langit, supaya tidak dapat dipergunakan musuh, lalu dengan radionya memanggil bantuan ke pangkalan. Beberapa lama kemudian datanglah sebuah motorboat menjemput sang pilot, meninggalkan seluruh bangkai pesawat di dekat pantai. Penduduk yang keheranan menyaksikan burung besi itu kemudian mulai memreteli bagian-bagian dari pesawat. Mula-mula plat besinya dijadikan panci dan wajan, kemudian laras senjatanya digunakan sebagai jangkar untuk kapal-kapal mereka. Begitu seterusnya, sampai yang tersisa hingga sekarang adalah blok mesin delapan silinder yang terlalu berat untuk diangkat, teronggok begitu saja di tempat semula. Sangat indah untuk menyadari bahwa pesawat tempur, mesin yang diciptakan untuk menghancurkan dan membunuh, bisa berubah fungsi dan digunakan sebagai panci, wajan, jangkar, dan barang-barang lain untuk tujuan damai, oleh orang-orang yang hatinya bersih dan tidak memiliki niat untuk berperang.
Dalam perikop diatas diceritakan mengenai komentar Tuhan Yesus mengenai hari Sabat. Sabat, seperti tertulis dalam Imamat 16:31, adalah kesempatan yang diberikan Allah untuk „merendahkan diri dan berpuasa“. Sabat adalah waktu untuk introspeksi, kontemplasi, berdiam diri dan mengkoreksi diri di hadapan Allah. Namun, dengan perkembangan waktu, para Ahli Taurat mengubah Sabat menjadi keharusan yang menyeramkan. Sabat bukan lagi tanda damai, melainkan dijadikan alasan untuk mencelakakan, bahkan membunuh orang. Dalam perikop diatas, terlihat jelas sikap munafik Ahli Taurat dan orang Farisi: bukannya membantu orang cacat, melainkan mau menggunakan aturan Sabat untuk menjebak Tuhan Yesus! Sabat seperti logam, yang diciptakan Allah untuk kebaikan, namun diubah oleh tangan manusia jahat menjadi mesin pembunuh yang kejam.
Namun Tuhan Yesus dengan kemurnian hatiNya mampu mengubah senjata Sabat menjadi tangan Allah untuk menolong orang. Dengan tegas Ia menyatakan kembali maksud Sabat, dengan menantang maksud aturan ‘boleh’ dan ‘tidak boleh’. Ia meluruskan kembali Sabat ke makna aslinya, yakni sebagai waktu istirahat, bukan waktu dimana seseorang dikekang dari kebebasannya. Ia mengetahui maksud jahat orang Farisi dan ahli Taurat untuk menggunakan Sabat sebagai alat untuk membinasakan orang! Dengan tegas, Ia kemudian menyembuhkan si sakit, dan mencengangkan semua pengunjung yang ada di Bait Allah saat itu. Dengan ketulusan hatiNya, Ia telah mengubah senjata menjadi alat yang berguna bagi kehidupan!

Friday, April 08, 2005

Quo Vadis

Turut berduka cita atas meninggalnya Paus Yohanes Paulus II.

Konon, ketika Petrus hendak meninggalkan Roma karena melarikan diri dari kejaran Kaisar Nero, ia mendapatkan penglihatan. Waktu itu ia melihat Tuhan Yesus yang sedang berjalan berlawanan arah, ke arah Roma. Petrus pun lalu bertanya :”Quo Vadis, Domine?” – mau kemana Tuhan? Tuhan Yesus menjawab, “Aku mau disalibkan kembali, karena engkau meninggalkan Aku”
Petrus pun menyadari kesalahannya, lalu berbalik ke arah Roma. Di kota itulah Petrus, sebagai Paus yang pertama, kemudian mati sebagai martir, disalib terbalik di tempat yang sekarang menjadi kota Vatikan, pusat Gereja Katolik seluruh dunia.
Selamat jalan, Bapa Paus. Terima kasih atas keputusan untuk kembali ke Roma.

Lima Tema Utama Minggu Pra-Paskah Gereja Kristen Indonesia – Sebuah Pandangan Lain

Lima tema berikut merupakan tema utama Minggu Pra-paskah yang diedarkan melalui Lembar Pembinaan GKI ”Suluh” no. 06/2005. Saya mula-mula tertarik dengan pemakaian kata latin, tetapi kemudian juga menyadari bahwa ada benang merah antara kelima langkah tersebut.

Invocabit (Berseru)
“Bila ia berseru kepadaKu, Aku akan menjawab, Aku akan menyertai dia dalam kesesakan, Aku akan meluputkannya dan memuliakannya”
Mazmur 91:15
Panggilan Tuhan untuk keluar dari kehidupan keduniawian kita biasanya diawali dengan seruan. Ego kita yang selama ini dominan dan terus berjuang menyelesaikan masalah dan problema yang datang bertubi-tubi, pada saatnya akan menyadari bahwa berjuang sendiri tidak akan membawa hasil. Sang ego kemudian dipaksa mengakui, baik sengaja maupun tidak, akan adanya kekuatan diluarnya yang Maha Kuat, Maha Kuasa. Sang ego menyadari bahwa tanpa menggapai suatu kekuatan Mutlak, ia akan mengalami fase self-destruct dan hancur perlahan-lahan. Sang ego pun lalu berseru – sebagai tanda takluk. Seruan ini tidak perlu dihiasi bunga kata-kata dan puitis puja-puji seperti layaknya doa orang Farisi. Cukup satu kata: tolong! Dan sang ego pun takluk

Reminiscere (Mengingat)
“Ingatlah segala rahmatMu dan kasih setiaMu, ya Tuhan, sebab semuanya itu sudah ada sejak purbakala”
Mazmur 25:6
Setelah seruan terucap, sang ego akan terduduk lunglai dan terpaksa merenung. Ketika asanya sudah habis, yang dapat dilakukannya hanyalah menggeletak dan mencari kekuatan Yang Maha Kuasa itu. Dimanakah Ia? Secara logis sang egopun lalu mulai menelisik masa lalunya sendiri. Ditelitinya setiap jejak langkah dalam bentuk fragmen-fragmen memori dalam otak, dianalisanya setiap peristiwa yang dialaminya. Sang ego kemudian menyadari bahwa Sang Kuasa sudah meninggalkan sidik jariNya nyaris di semua tempat. Waktu kecil, Ia ada. Waktu susah, Ia tersenyum. Waktu tak kuat berjalan, Ia menggendong. Bahkan jauh sebelum sang ego berkembang seperti bentuknya sekarang. tanganNya sudah merengkuh dan menimang. Sang ego pun menyadari, betapa Sang Kuasa sudah ada sejak awal, sudah berperan aktif sejak awal, namun dengan senyum sabar dan bijak mengamati sang ego yang kemudian merajalela menyangkalNya. Air mata mulai menitik, karena sang ego yang membelalak ini, ternyata buta!

Oculi (Melihat)
“Mataku tetap terarah kepada Tuhan, sebab Ia mengeluarkan kakiku dari jaring”
Mazmur 25:15
Dengan seruan dan ingatan akan Sang Kuasa, kini sang ego mulai bisa bangkit. Dengan kesadaran dan ketaklukan, yaitu iman, kepadaNya, kini sang ego tidak lagi menempati seluruh hati, melainkan memberikan tempat bagiNya untuk bertahta dan berperan aktif. Ia mulai bergerak, Ia membenahi, Ia memberikan energi baru bagi sang ego yang sudah lunglai sehingga bergairah lembali. Sang egopun kini tidak buta lagi – ia bisa melihat! Jalan begitu lurus dan jelas, indah tak terperi. Semuanya hanya dengan satu langkah mudah: iman dan percaya! Takluk akan kuasaNya.

Laetare (Bersuka cita)
“Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya! Bergiranglah bersama-sama dia segirang-girangnya, hai semua orang yang berkabung karenanya!”
Yesaya 66:10
Sang ego pun bersuka cita. Kali ini bukan suka cita karena uang yang mengalir lebih deras. Bukan suka cita karena kemenangan atas suatu pertarungan. Bukan suka cita melihat sang musuh kalah bertekuk lutut. Bukan pula sika cita karena kenikmatan badani. Suka cita ini lain – tak masuk hitungan materi, apalagi seksual, tetapi terasa sangat menentramkan. Terasa sangat sempurna, sehingga suka cita tidak berasal dan asa yang tercapai melainkan suka cita yang bersuka cita atas apa adanya. Suka cita yang bukan berasal dari dunia, suka cita yang diwariskan oleh senyumNya yang sabar dan penuh kasih. Suka cita yang tidak terlihat sebagai suka cita, tetapi terasa sebagai suka cita. Suka cita pada hakekat sesungguhnya, yang terbebas dari ikatan materi, badani, dan duniawi.

Judica (Keadilan)
“Berilah keadilan kepadaku, ya Allah, dan perjuangkanlah perkaraku terhadap kaum yang tidak saleh! Luputkanlah aku dari orang penipu dan orang curang!”
Mazmur 43:1
Maka, keadilan Allah pun nampak! Tidak ada lagi kecurangan dan penipuan. Ia yang memegang kendali, Sang Hakim Agung yang menghakimi. Manusia tidak perlu takut lagi haknya dilanggar. Manusia tak perlu memutar otak membela nasibnya. Tidak ada pengacacara, tidak ada hukum. Yang ada hanya keadilan hakiki daripadaNya, yang tidak memerlukan kodifikasi undang-undang maupun penurutan peraturan. Keadilan hakiki, dimana yang punya banyak tidak berlebih dan yang punya sedikit tidak kekurangan. Keadilan tanpa kerling iri hati, keadilan tanpa dendam kesumat. Keadilan, yang hanya bisa terjadi di Surga, dimana hukum termodinamika tidak berlaku lagi.

Amin! Selamat Paskah.

Thursday, March 24, 2005

Mohon Dukungan Doa

Pembaca yang budiman,

Mohon dukungan doa untuk penulis yang sedang mengalami masalah besar.
Memang karunia Tuhan datang dengan bentuk yang tak terduga, kadang-kadang diliputi kekecewaan dan kebimbangan. Namun tolong doakan agar saya mampu berjalan bersamaNya, agar Ia tidak meninggalkan saya.

Terima kasih dalam Kristus,

-HarryHN-

Tuesday, March 22, 2005

Renungan Paskah 2005 (1) - Vonis Mati

“Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”
Yesaya 53:4-5

Hari ini koran-koran di Jakarta memberitakan mengenai eksekusi mati yang dialami Ny Astrini (50). Ny. Astrini adalah pelaku pembunuhan dengan mutilasi atas tiga orang, semuanya ibu rumah tangga yang memiliki keluarga. Masalahnya sepele, hanya masalah hutang. Salah satu korbannya bahkan hanya meminjamkan Rp 20.000,-, tetapi kemudian ketika menagih ia dibunuh dan dimutilasi sehingga sampai kini tidak ditemukan jenazahnya. Hari ini, Ny. Astrini dihukum mati di depan regu tembak Brimob Polda Jatim dengan enam peluru bersarang di jantungnya.
Kengerian mengenai hukuman mati seringkali diangkat menjadi film, diantaranya adalah The Green Mile. Dalam film itu diceritakan seorang lelaki berkulit hitam yang difitnah sehingga terancam dihukum mati. Uniknya, ia memiliki kekuatan untuk ’menyerap’ penyakit seseorang, lalu ’menghembuskannya’ keluar tubuhnya sehingga penyakitnya sembuh. Penjaga penjara yang diperankan oleh Tom Hanks sempat merasakan kesembuhan ini, sehingga ia bersimpati kepada napi ini. Buat saya, suatu keadaan dimana seseorang yang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan penyakit tetapi berada dalam daftar hukuman mati, merupakan perumpamaan yang modern tentang Tuhan Yesus.
Tuhan Yesus juga sama, Ia yang berkuasa menyembuhkan penyakit, bahkan membangkitkan orang mati, tetapi harus masuk daftar hukuman mati di kayu salib. Dan, seperti digambarkan juga dalam film The Green Mile, dimana akhirnya sang napi itu mati karena dosa orang lain, Yesus juga telah mati karena dosa-dosa kita. Kengerian hukuman mati, seperti yang dialami oleh Ny. Astrini, mungkin dirasa wajar untuk mengganjar kekejaman yang telah dilakukannya. Tetapi jika kita bayangkan, bahwa ada orang yang mau menggantikan Ny. Astrini untuk dihukum mati, maka lebih luar biasanya kengerian yang dihadapi orang itu, karena sebenarnya ia tidak bersalah. Itulah Tuhan Yesus Kristus, Sang Penyelamat yang sudah rela mati di kayu salib demi menyembuhkan bilur-bilur kita.

Repotnya membasuh noda

Marilah, baiklah kita berperkara! – firman Tuhan – Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba”
Yesaya 1:18

Pengalaman memiliki binatu atau laundry kecil-kecilan membuat saya paham betapa sulitnya membersihkan noda. Rupanya ada berbagai macam teknik khusus untuk membersihkan noda. Noda tinta, bisa dihilangkan dengan aseton, sementara noda minyak dengan pelarut organik nonpolar seperti toluen. Noda darah, bisa dihilangkan dengan 3-5% Hidrogen Peroksida (H­2O2), suatu oksidator yang sangat kuat. Setiap noda harus dihilangkan dengan cara yang spesifik, misalnya noda minyak, seberapapun kecil, tidak akan hilang dengan peroksida. Alih-alih bersih, warna asli pakaian bisa rusak karena efek peroksida!
Adanya noda sendiri merupakan ketidaksempurnaan yang sulit dihilangkan. Sekali warna baju rusak karena pemutih, misalnya, tidak akan mungkin kembali ke asalnya. Jika baju menjadi luntur, atau cat mobil tergores, maka cacat itu akan dibawa selamanya oleh benda itu. Seringkali nasib si baju luntur akan berakhir di lemari, seberapapun mahal dan indahnya baju itu sebelum luntur. There’s no turning back!
Hidup kita juga sebenarnya demikian. Jika diibaratkan kain, maka noda dosa kita sudah sebegitu banyaknya sehingga hidup kita seperti kain gombal – kain lap yang jorok dan penuh noda. Keagungan dan keindahan kain kehidupan kita, sudah sangat tertutupi oleh bebagai macam noda sehingga tidak terlihat lagi!
Untung kita punya Allah yang Maha Pemurah. Dalam Yesaya 1:18, Ia mengatakan bahwa selama kita patuh dan taat, noda dosa kita akan dihilangkannya. Ia tahu bahwa kain kehidupan kita yang putih sudah merah, bersimbah darah dan noda. Tidak ada peroksida yang cukup kuat membersihkannya, kecuali peroksida 100% yang akan menghancurkan kainnya sekalian. Tapi Ia yang Maha Pemurah masih memberikan kesempatan bagi kita sehingga noda itu dihapuskannya. Sekarang, kain kita telah bersih – mari kita jaga agar jangan ternoda lagi!

Sunday, March 20, 2005

Bagian 5 – Kesimpulan : Allah, Sang Manager yang Agung

Perikop Yohanes 9 merupakan suatu cerita yang mengagumkan. Bukan karena mukjijatnya, melainkan karena lengkapnya catatan mengenai sebab, akibat, dan dampak dari mukjijat yang dilakukanNya. Perikop ini, yang mungkin kejadian aslinya berlangsung dalam waktu beberapa jam, merefleksikan kepiawaian Allah dalam membuat skenario untuk hidup seseorang.
Bayangkan seorang yang dilahirkan buta, tanpa pendidikan sama sekali, tidak mungkin bisa baca tulis. Bertahun-tahun orang ini hidup terlunta-lunta, merasa dirinya dibebani dosa dan berada diluar kasih Allah. Tiba-tiba, sebagai ’Siloam’, Tuhan Yesus datang kepadanya dan menyembuhkan matanya dengan cara yang ajaib. Bertahun-tahun sesorang yang didera kebutaan ini sudah ditempa begitu hebatnya, sehingga kesembuhannya menjadi titik balik yang tidak pernah dibayangkannya sebelumnya!
Tetapi, cerita tidak berakhir disini, happy ending belum tiba. Sang pengemis yang sembuh ini, ternyata kemudian juga teguh mempertahankan imannya. Ia berani menantang Ahli Taurat dan kaum Farisi, walaupun penampilannya masih sebagai pengemis miskin. Entah darimana kata-kata yang keluar dari mulutnya, tetapi kita bisa melihat bahwa Tuhan tidak salah pilih: orang ini benar-benar memiliki keteguhan hati sekuat baja. Bahkan orang tuanya pun ragu-ragu, tetapi sang pengemis ini terus tanpa bisa dihentikan, melaju dengan berita tentang Firman Tuhan. Kualitas ini tidak dimiliki oleh semua orang, bahkan oleh Petrus sekalipun – Tuhan sudah memilih orang yang tepat!
Kemudian, orang ini lalu berkesempatan kembali bertemu Tuhan Yesus. Sekali lagi, Tuhan Yesus menguji imannya dan mendapatkan orang ini masih setia. Tentu saja happy ending belum tercapai, karena Ahli Taurat dan Kaum Farisi masih berdiri disana dengan kepala tegak dan sombong. Kemudian dengan perkataan terakhirnya, Tuhan Yesus menyindir dengan begitu elegannya dengan berkata: ”Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu.”. Inilah happy ending yang ditunggu-tunggu! Ahli Taurat dan kaum Farisi hanya bisa bungkam seribu basa, sementara pengemis yang terbebas menjadi pengikut Yesus yang setia, dan Tuhan Yesus melangkah pergi tanpa bisa diganggu. And they lived happily ever after!
Cerita memang mudah saja dibuat, perumpamaan pun sangat gampang dituturkan. Tetapi, peristiwa yang terjadi dalam Yohanes 9 adalah peristiwa nyata, sebuah fragmen kehidupan dari seseorang yang benar-benar ada. Sang pengemis bukan rekaan, melainkan sungguhan, dan cerita inipun bukan perumpamaan. Disini kita melihat, bahwa meskipun sang pengemis sejak lahir mengalami penderitaan hebat, tetapi Tuhan sudah punya rencana sejak dia dilahirkan dengan kebutaannya. Semuanya, bahkan fakta bahwa ia mengemis di tempat dimana Tuhan Yesus lewat, sudah direncanakan dengan begitu detailnya. Inilah sebabnya mengapa Tuhan Yesus menggunakan kata ’Siloam – yang diutus’, karena sejak lahir, dengan segala kekurangannya, Allah sudah mempersiapkan orang ini untuk menjadi utusan Allah. Mungkin semuanya ini tak terbayangkan oleh sang pengemis, tetapi – begitulah indahnya rencana Allah – semuanya terjadi, indah pada waktunya!
Dengan perikop ini, kita dibuat untuk kembali memahami fakta bahwa Allah sudah menyiapkan suatu rencana bagi kita, semenjak kita lahir. Ini bukan berarti kita bisa bertindak pasif, karena menurut perkataan Tuhan Yesus pada Yoh 9:4 – ’kita’-lah – Tuhan dan saya – yang harus mengerjakan pekerjaan Tuhan. Kalau sang pengemis menyerah dan bunuh diri, atau sesudah melek lalu kabur seperti banyak penerima mukjijat lainnya, pastilah rencana besar ini tidak akan terwujud. Tetapi, Allah Yang Mahatahu tentu saja tidak sembarangan memilih orang!
Jadi, sebagai orang pilihan Tuhan, kita harus percaya bahwa sesuatu yang indah sedang direncakanNya untuk kita. Apapun masalah yang Anda hadapi – keuangan, karir, jodoh, keluarga, ekonomi, atau lainnya – hanyalah caraNya untuk menyiapkan kita, seperti kebutaan yang mendera sang pengemis sejak lahir. Tetaplah teguh, berjalanlah dalam iman! Pada saatnya nanti, akan tiba giliran Anda untuk membasuh diri Anda dalam kolam Siloam. Dan ingat – teguhlah pada saat ujian itu datang! Karena pada akhirnya nanti Tuhan Yesus akan menepuk punggung kita dengan bangga sambil berkata: ”Engkau bukan saja melihat Dia; tetapi Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!” (Yoh 9:37)
Amin.

Bagian 4 – Yang Buta Melihat, Yang Melek Tidak Melihat

Dalam bagian sebelumnya kita sudah menyaksikan bagaimana sang pengemis kumal yang menerima kesembuhan dari Tuhan Yesus itu menantang para Farisi dan Ahli Taurat. Kemudian diusirlah sang pengemis ini keluar ruangan. Disana, Tuhan Yesus sudah menunggu, dan rupanya meyaksikan proses ’pengadilan’ yang terjadi di dalam ruangan sejak tadi. Seperti seorang profesor yang mengamati mahasiswanya berdebat, Ia pun sekali lagi bertanya tentang iman sang pengemis tadi. Dalam ayat 35 sampai 38, sang pengemis kembali menegaskan imannya, dengan resiko dibunuh karena sudah diusir. Saya membayangkan, Tuhan Yesus pun tersenyum sambil manggut-manggut, dengan ekspresi wajah seperti Einstein ketika ia melihat orang lain mulai memahami teori yang sudah dipecahkannya bertahun-tahun yang lalu. Lalu, Tuhan Yesus kembali menyinggung masalah kebutaan. Dalam ayat 39 Ia menyatakan diriNya sebagai hakim, agar ’yang tidak bisa melihat menjadi bisa melihat, dan yang bisa melihat menjadi buta’.
Orang Farisi yang tidak sadar akan kebutaannya, dan dengan keras kepala memegang prinsip dosa sebagai sebab dari kebutaan, kembali meninggikan dagunya sambil menyangkal (ayat 40). Seorang Farisi, turun-temurun taat pada Hukum Taurat, bagaimana bisa punya dosa, sehingga dijatuhi hukuman dan menjadi ’buta’? Jawaban Tuhan Yesus kemudian begitu tegas, lugas, dan tuntas: ’Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu.’
Peringatan Tuhan Yesus ini ditujukan kepada kita semua yang mengaku ’melek’ rohani, ’melek’ Alkitab, dan ’melek’ Firman Tuhan. Kita tahu sendiri betapa seorang Farisi adalah ahli dalam masalah peraturan agama, tetapi begitu terpakunya pada aturan itu, sehingga mengabaikan cinta kasih dan kerendahan hati, yang justru menjadi dasar peraturan agama. Seringkali kita yang sudah beragama, justru kurang beriman. Kita begitu teguh berpegang pada aturan keagamaan kita sehingga lupa akan esensi dari peraturan tersebut. Banyak gereja yang melakukan hal ini, dengan memperkaya diri dan berlomba-lomba membangun gereja yang megah diantara pemukiman kumuh. Bukan berarti gereja harus selalu jelek, tetapi tidak bisakah gereja dibuat selaras dengan lingkungannya, dan tidak menjadi menara gading yang mengundang kebencian dan iri hati?
Kita yang sudah ’melek’ rohani justru memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Jika seseorang ’buta’ rohani, maka bukan salahnya jikalau kelakuannya pun tidak baik. Tetapi dosa kita akan tetap, seperti yang Tuhan Yesus katakan, jika sudah ’melek’ rohani tapi justru tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Panca indera yang dianugerahkanNya kepada kita juga mengandung tanggung jawab, yaitu penggunaannya harus sesuai dengan kehendakNya. Demikian pula iman dan pengetahuan rohani kita, justru harusnya membuat kita lebih sadar akan kelemahan kita dan mencoba menyelaraskan diri denganNya. Saya teringat kepada Romo YB Mangunwijaya almarhum, yang meskipun dengan label Katolik berhasil masuk ke kehidupan rakyat kecil, karena kesahajaannya dan kedekatannya dengan mereka. Toh, disini aturan agama menjadi tidak penting, karena Kasih Allah terwujud nyata dalam setiap lekukan asri pemukiman Kali Condet yang memenangkan penghargaan Aga Khan Award, suatu penghargaan arsitektur bagi dunia Islam. Indah bukan? Romo Mangun adalah seorang yang ’melek’ rohani dan ’melek’ kasih. Apakah Anda sudah ’melek’ rohani? Jika sudah, maka sekarang saatnya Anda mengingat akan kewajiban yang melekat padanya.

Monday, March 07, 2005

Yohanes 9 Bagian 3 - Bersaksi dengan Perbuatan

Alkisah, pada jaman maraknya pengaruh Partai Komunis Indonesia atau PKI tahun 1960-an, seorang Jenderal Angkatan Darat yang dikenal anti-PKI terkejut ketika mendengar ayahnya di pedalaman Solo masuk PKI. Ia pun langsung pulang ke kampungnya dan bertemu sang ayah, untuk menanyakan mengapa sang ayah masuk PKI. Sang ayah kemudian memberikan jawaban yang sangat sederhana. Seumur hidup, katanya, ia selalu berhutang karena jeratan tukang ijon dan rentenir. Ia selalu terpaksa menjual padinya dengan harga sangat murah kepada tukang ijon, dan berhutang kepada rentenir untuk membeli bibit. Tetapi, suatu hari, seseorang yang mengaku dari PKI datang, memberikan kredit tanpa bunga, plus mau membeli benih masak dan tidak diijon.
“Pak, tetapi PKI kan komunis? Kita kan beragama, mengapa Bapak mau ikut mereka?” tanya sang Jenderal yang masih keheranan.
”Nak, saya tidak peduli apa PKI itu komunis apa bukan. Yang jelas seumur hidup saya berhutang, lalu ketika PKI datang saya terbebas. Apapun juga yang dikatakan PKI, saya akan ikut!”
Ilusrtrasi diatas menggambarkan taktik PKI dalam melakukan penyebaran ideologinya, yang sebenarnya sangat bagus. Sadar bahwa ideologinya sulit diterima mentah-mentah, PKI menggunakan cara yang jitu – membuat targetnya merasakan langsung kehadiran PKI. Tanpa banyak pidato, tanpa banyak propaganda, cukup dengan niat tulus melunasi hutang, membelikan rumah, atau membayar uang sekolah, sudah cukup untuk membuat orang menerima PKI begitu saja. Karena jelas: manfaatnya sudah terasa!
Dalam perikop Yohanes 9, kita dapat mengamati hal yang sama pada sang pengemis yang buta. Karena kebutaannya, tentu saja orang ini juga tidak berpendidikan. Seorang pengemis lagi: pasti kumal dan miskin. Namun, sesudah sembuh, orang ini berkali-kali dengan tegas, bahkan lebih tegas daripada Petrus, mengakui kuasa Yesus yang menyembuhkannya (Yoh 9:13-34). Bahkan, di ayat 34, orang ini mampu memberikan jawaban yang membuat muka para Farisi yang terpelajar itu memerah, sampai ia diusir keluar. Bahkan orang tuanya sekalipun takut pada orang Yahudi – tetapi dia dengan gagah berani membela kesembuhannya di depan orang Farisi. Mengapa si pengemis buta bisa begitu teguhnya? Mengapa si kumal miskin ini begitu penuh hikmat berbicara di depan orang Farisi? Jelas – karena ia sembuh! Ia sudah merasakan manfaat dari kasih Kristus. Walaupun tanpa pengetahuan agama, tanpa latar belakang Taurat, ia dengan gamblang mengakui (Yoh 9:25), bahwa baginya semua itu tidak penting. Yang paling penting hanya satu: ia sembuh!
Banyak gereja yang melupakan prinsip ini ketika melakukan penginjilan atau menyebarkan Firman Tuhan. Yang dilakukan adalah dengan menegur orang dalam bis, di pasar, atau di mal. Disangkanya ketika mengatakan Firman Tuhan maka ada cahaya dari langit yang akan mempertobatkan orang yang tak dikenal. Kemungkinan itu memang ada, tetapi sangat kecil. Kemungkinan besar orang itu akan tersinggung dan malah antipati terhadap iman kita. Lalu caranya bagaimana? Sama seperti dalam perikop ini – buatlah orang itu merasakan manfaatnya! Berikanlah sesuatu – pakaian bagi yang telanjang, makanan bagi yang lapar, rumah bagi yang terlantar. Pastikan dahulu bahwa sebanyak mungkin orang merasakan manfaat langsung dari kekristenan! Baru kita bicara Firman Tuhan lebih dalam. Contohnya misalnya Ibu Theresa, yang bersedia berkorban demi melayani kaum miskin di Calcutta, India. Walaupun agama mayoritas di India adalah Hindu, tetapi Ibu Theresa dihormati oleh semua kalangan. Mengapa? Karena ia tidak berfokus pada penginjilan secara harafiah, melainkan memberikan kesempatan bagi masyarakat umum untuk merasakan kasih Allah yang dirasakannya, dan juga yang kita rasakan setiap hari, supaya masyarakat bisa merasakan sendiri manfaat dari kasih itu. Jika Sang Kasih itu sudah mengalir – siapa yang dapat menghentikanNya?

Yohanes 9 Bagian 2 : Siloam, "Yang Diutus"

Saya pernah memiliki pengalaman yang luar biasa mengenai hal ini. Nenek saya, Mak Oey Sioe Kim, adalah seorang penganut Kristen yang sangat taat sejak mudanya. Beliau yang akrab dipanggil ’Simak’, selalu membawa Alkitab dan menempelkan gambar-gambar Tuhan Yesus di kamarnya. Di tahun 2000, Simak yang sudah berumur 80 tahun mengalami sakit yang sangat parah. Ia sudah tidak dapat berkomunikasi, tidur terus, badannya pun sangat kurus dan lemah. Keluarga terdekat pun sudah siap ’merelakan’ Simak, karena trenyuh melihat kondisinya yang sangat lemah. Di saat itulah banyak terjadi ’spekulasi’ mengenai Simak. Ada seorang paranormal yang mengatakan bahwa roh Simak sudah pergi, tapi tersangkut di pohon sehingga Simak tidak bisa meninggal. Ada lagi yang menganjurkan memotong ayam cemani dan memberikan sesajen khusus agar Simak bisa ’pergi’. Kami menyadari bahwa semua saran itu lahir dari rasa kasih kepada Simak dan sebenarnya hati kami pun sedih melihat Simak sakit. Namun, untuk mengikuti saran itu, berarti melanggar Firman Tuhan, yang sangat kuat dipegang Simak sebagai pedoman hidup.
Akhirnya, dengan mantap, kami memutuskan untuk tidak melakukan sesajen apapun selain mengundang pendeta dan mengadakan kebaktian di rumah. Kami pun juga berdoa setiap malam agar Simak sembuh. Beberapa keluarga sempat mencibir dan memvonis bahwa Simak pasti akan meninggal dalam hitungan hari atau minggu saja. Bahkan ada paranormal yang berani meramalkan tanggal Simak akan meninggal! Terus terang, melihat kondisi Simak yang sangat lemah, semua ramalam itu masuk akal.
Namun, dalam kelemahan itu, Tuhan menunjukkan kuasaNya. Percaya atau tidak, kondisi Simak kemudian membaik, dan beliau bertahan hidup setahun lagi, sebelum akhirnya meninggal dengan tenang dalam tidurnya, tanpa sakit penyakit. Satu persatu ramalan ’tanggal kematian’ Simak tidak terbukti, sampai perlahan-lahan kondisi Simak pulih kembali. Semua ritual, sesajen, ayam cemani, atau ramalan tanggal dari sang dukun sakti sekalipun, bungkam seribu basa di hadapan Allah: jika Ia belum memutuskan waktunya, waktu itu tak akan datang. Kami sendiri sulit percaya bahwa Simak bisa bertahan setahun sesudah sakitnya itu! Dengan kelemahan Simak, Tuhan sudah menunjukkan kuasaNya!
Begitulah seringkali Tuhan bekerja, yakni lewat orang-orang yang dianggap lemah dan tak berdaya. Dalam perikop Yohanes 9 ini, orang yang buta sejak lahir, seorang pengemis pula, digunakan Tuhan untuk menunjukkan kuasanya. Tetapi ada satu syaratnya: kuasa Tuhan baru bisa nampak jika dilakukan bersama, yakni Tuhan dengan kita sendiri. Dalam Yoh 9:4 Tuhan Yesus mengatakan bahwa ’kita’ harus bekerja, bukan hanya ’Dia’. Berarti, peranan sang manusia lemah juga penting dalam hal ini. Sang pengemis misalnya, memiliki iman yang teguh. Tidak seperti kebanyakan orang, ia dengan tegas mengakui kesembuhannya berasal dari Yesus (Yoh 9:9). Simak juga sama, beliau semasa hidupnya memiliki iman yang kuat, Alkitab selalu tidak pernah dilepas dari tangannya.
Tuhan sudah menyiapkan kita untuk rencanaNya. Adalah persoalan waktu saja, sampai tiba saatnya dimana Tuhan Yesus akan nemcampur ludahNya dengan tanah, mengoleskannya pada mata kita, dan menyuruh kita membersihkan diri di kolam Siloam (Yang diutus, Yoh 9:7). Mata kita pun akan dicelikkan – dan rencana AgungNya diwujudkan! Siapkah Anda?

Yohanes 9 Bagian 1 : Dosa siapa? Salah siapa?

Kisah ini dimulai ketika Tuhan Yesus berjalan melewati seorang yang buta sejak lahir. Sudah merupakan pendapat umum bagi orang Yahudi di masa itu, bahwa jika seseorang lahir dengan cacat atau tertimpa musibah dalam hidupnya, musibah itu adalah ‘kutuk’ atau hukuman dari Tuhan karena kesalahan nenek moyangnya (seperti terdapat dalam Mazmur…). Maka, wajar saja, ketika rombongan berjalan melalui seseorang yang buta sejak lahir, seorang muridNya bertanya kepada Yesus: “Rabi, siapakah yang berdosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yoh 9:2). Tuhan Yesus kemudian menjelaskan dengan penuh hikmat dalam Yoh 9:3-5. Ia menjawab bahwa kebutaan atau ketidaksempurnaan orang itu bukanlah akibat dari dosanya maupun dosa nenek moyangnya, melainkan karena Allah memiliki rencana yang harus digenapi (Yoh 9:3). Kemudian, dengan cara yang tidak biasa, Ia menyembuhkan orang buta itu, dengan terlebih dahulu menyuruhnya untuk membersihkan diri di kolam Siloam, yang berarti ‘yang diutus’ (Yoh 9:6-7).
Reaksi para murid untuk mencari siapa yang bertanggung jawab atas kebutaan si pengemis itu merupakan ‘penyakit’ yang sering juga menjangkiti kita. Jika terjadi musibah atau penderitaan, maka yang dicari adalah ‘salah siapa’, atau ‘siapa yang bertanggung jawab’. Dalam banyak kasus, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan di tempat kerja, banyak sekali waktu, uang, dan tenaga disia-siakan utnuk sekadar mencari siapa yang bersalah. Si kambing hitam itu dicari dengan sepenuh tenaga, bahkan kalau perlu berbohong, sehingga dengan bangga kita bisa menunjuk mukanya dan berkata “Bukan saya Pak, itu salah dia”. Apakah dengan demikian masalahnya selesai? Problemnya terpecahkan? Tidak. Siapapun yang berdosa, si pengemis tetaplah buta. Siapapun yang bersalah, mesin produksi tetap saja rusak. Jadi, apalah gunanya mencari siapa yang salah? Lebih baik energi itu digunakan untuk mencari solusi, menemukan penyelesaikan untuk masalah yang terjadi.
Tuhan Yesus melakukan ini, yakni dengan tanpa tedeng aling-aling, tanpa menghakimi sang pengemis maupun nenek moyangnya, menyembuhkan mata sang pengemis itu. Ia memberikan solusi, Ia tidak membuang waktu untuk mencari siapa yang salah. Ia bahkan berkata, bahwa kebutaan sang pengemis diakibatkan oleh karena pekerjaan Allah yang harus dinyatakan dalam dia (Yoh 9:3).
Sampai sekarang, kita sering berpikiran sama dengan para murid Yesus. Ketika melihat seseorang yang terkena musibah, atau memiliki cacat sejak lahir, kita cenderung ’menghakimi’ orang tersebut dengan anggapan bahwa itu adalah ’karma’ akibat perbuatan seseorang. Inilah yang membuat sang penderita semakin sedih, karena tidak tahu apa yang dilakukannya sehingga ia menerima ’hukuman’ semacam ini! Tuhan Yesus dalam perikop ini menjelaskan dengan gamblang, bahwa tidak semua musibah yang menimpa seseorang diakibatkan oleh kutuk. Ada juga orang, seperti sang pengemis ini, yang memang memiliki cacat dengan tujuan supaya rencana Allah digenapi. Jadi, kebutaannya merupakan anugerah, bagian daripada rencana Allah untuk menyatakan kuasaNya. Kita sering mendengar tentang kisah Hellen Keller atau Fanny Crosby yang tuna netra, tetapi dalam kekurangannya kemudian menjadi kesaksian yang luar biasa bagi namaNya. Jika Tuhan punya rencana begitu indah untuk mereka, apalagi bagi kita, yang dianugerahi kelengkapan jasmani dan rohani. Pasti kita juga memiliki tempat dalam rencanaNya, memiliki andil dalam skenarioNya. Jadi, jangan rendah diri dengan kekurangan apapun yang kita miliki. Karena, seperti dibuktikan dalam perikop ini, Tuhan mampu mengubah kelemahan yang paling lemah sekalipun untuk menunjukkan kuasaNya!

Yohanes 9 - Perikop yang Unik dan Penuh Hikmat

Pendeta Jeffrey Rachmat dari JPCC menggunakan sebagian dari perikop ini dalam khotbahnya. Ketika saya baca lagi seluruh perikop ini di rumah, saya baru menyadari, bahwa cerita yang terdapat dalam Yohanes 9 ini sangat spesial. Berkali-kali membaca kitab Yohanes, baru setelah mendengar khotbah Pendeta Jeffrey mata saya terbuka, dan tiba-tiba aliran pemahaman dan pencerahan muncul dengan derasnya.

Perikop ini akan saya bagi menjadi beberapa bagian dan dibahas menurut tema tertentu. Selamat menikmati dan Tuhan memberkati!

-HarryHN-

Tuesday, February 22, 2005

Ustadz di Kampung Maling?

Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini"
Yohanes 8:7

Inilah drama paling mutakhir dari Sinetron Penegakan Hukum di Indonesia! Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh bertengkar dengan Komisi III DPR. Sesudah sidang di-skors, suasana tetap panas. Anggota Komisi III mengutip undang-undang yang memberikan imunitas terhadap anggota DPR yang menyatakan pendapatnya, sementara Jaksa Agung mengutip undang-undang yang menyatakan bahwa anggota DPR wajib menjunjung tinggi etika dalam menyatakan pendapatnya. Sayang, kedua pihak langsung mengutip Kitab Undang-Undang dan bukan Alkitab. Seandainya mereka mengutip Alkitab, maka dalam perikop ini Tuhan Yesus jelas-jelas menyatakan hikmatNya yang luar biasa!
Dalam kasus ini, seorang pezinah dan gerombolan Farisi, tentu saja tidak ada satu pihakpun yang benar. Masing-masing memiliki kekurangan, dan seharusnya kekurangan ini disadari untuk kemudian diperbaiki. Demikian juga Jaksa Agung dan gerombolan anggota DPR, yang kita tahu juga bukan orang suci. Kritik dan diskusi yang terjadi seharusnya cenderung ke arah positif, menuju perbaikan kinerja dan introspeksi diri. Tapi jika yang dicari-cari adalah kesalahan dan kambing hitam, maka sulit untuk menemukan jalan keluar!
Memang dalam suasana emosi hal ini sangat sulit dilakukan. Tetapi, hanya dengan hikmatNyalah kita bisa punya kemampuan untuk mengalahkan diri sendiri seperti Tuhan Yesus - mengalahkan ego, superioritas, dan kesombongan diri untuk menerima kekurangan orang lain dan berjanji menjadi lebih baik. Hal ini ditunjukkan Tuhan Yesus di akhir perikop ini, dimana Ia berkata pada pezinah itu, bahwa Ia juga tidak menghukumnya, tetapi sang pezinah tidak boleh ebrbuat dosa lagi. Nyatanya cara ini lebih efisien dan kita melihat perubahan dalam diri sang wanita pezinah yang kemudian ebrtobat dengan tulus, tanpa harus kehilangan nyawanya!

Friday, February 11, 2005

An Obituary for Ko Wietje

2 And his disciples asked him, saying, Master, who did sin, this man, or his parents, that he was born blind?
3 Jesus answered, Neither hath this man sinned, nor his parents: but that the works of God should be made manifest in him.
John 9:2-3, KJV

Ko Wietje, as I knew him, was also known as Gatot Soendjojo or by his childhood name, Dite. He was a man full of life. He was born in the small city of Purwokerto, but he raised beyond his boundary and, as some may say, conquered the world.

I have to admit that he is one of my idols among our relatives. He is a successful businessman, blessed with a beautiful wife and 3 children. But, what most people admire from him is his free spirit. His hobby is motocross and off road trekking. He likes to venture deep into thick jungles and distant valleys, ready to conquer them with his ATV or motorcross. Although he is accustomed to a comfortable and luxurious life in Jakarta, he was never afraid to let it all go when he starts his adventure into the wilderness. Taking a decent bath in the river or warding-off moquitos while sleeping could not restrain him from his free spirit. Once he told he that at one time, he and his friends have got a sudden craving for tempe mendoan from his hometown in Purwokerto. They then decided to to go Purwokerto, at 02:00 am, riding their Harley Davidsons, just in time to have tempe mendoan breakfast in Purwokerto. What a spirit! Even the pastor, while delivering an obituary during the last Mass, admitted that he felt like a ‘real man’ when he was with Ko Wietje.

It was a great pity that this exuberant person was faced with the bitter reality of liver cancer in August last year. Then, in a mere 6 months, the cancer attack was so hard that he could barely keep a straight face. My last encounter with him in a relatively good condition was in December, when our family attended Soendjojo family’s Christmas celebration in Bandung. Then, finally, after months of agony and pain due to the overwhelming cancer, Ko Wietje died at the age of 50 in February 10th, 2004.

His death has put me into a sudden still. I don’t like to boast, but I share a bit of his free spirit. Against all odds, I also like to venture into the wilderness, trekking in a foreign island, discovering beautiful beaches along the coasts of Indonesia. I too, will not hesitate to leave all the comfort of living in a big city for a mere chance to have a glympse of the vast savannah in Sumba. To me, and I guess also to Ko Wietje, all of these seem to be a small price to pay compared to the freedom that we felt. Well, witnessing the tragic death of Ko Wietje made me wonder – will I also end my adventures in the world as he did?

Then something stroke me. I don’t know how I will die. I also don’t want to know. I am sure that Lord has planned something beautiful for my life, no matter how it will end. But one thing is for sure – I sure am going to live like him!

Farewell, Ko Wietje. May the good Lord bless the grieving family and loveones who were left in this world. May they, I, and everyone else, carry around you free spirit in our lifes!

Wednesday, January 26, 2005

Cemburu Tanda Cinta

Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku“
Kel 20:5

Cemburu. Kata ini rasanya merupakan kata kedua terpopuler sesudah ‚sayang’ dalam setiap kisah asmara. Kata cemburu bisa ditemukan dalam berbagai lagu cinta, dari mulai Gombloh sampai Kris Dayanti. Cemburu diartikan sebagai sifat tidak suka atau curiga kepada pasangan kita karena pasangan itu mencintai atau melirik orang lain. Seburuk apapun efeknya, memang benar yang dikatakan bahwa cemburu adalah tanda cinta. Jika Anda masih cemburu pada pasangan Anda, maka cinta kasih Anda masih kuat. Tapi jika Anda sudah tidak perduli pasangan Anda berjalan dengan siapa, bisa diartikan pula bahwa cinta Anda padanya sudah redup.
Allah, yang mengasihi kita, tentu saja punya rasa cemburu juga sebagai tanda kasih. Seorang pendeta pernah memberikan sebuah ilustrasi yang bagus. Suatu hari, seorang istri menemukan sang suami menyimpan foto wanita lain di dompetnya. Sang istri pun lalu terbakar api cemburu, lalu menyemprot sang suami. Sang suami itu kemudian dengan enteng menjawab ,“Saya cuma menyimpan foto ini untuk iseng saja kok, tidak ada hubungan apa-apa.“ Nah para istri dan suami, atau yang masih pacaran sekalipun: bagaimana pendapat Anda mengenai jawaban itu?
Seringkali kita melakukan hal yang sama dengan iman kita. Hari Minggu ke gereja, tetapi hari Rabu menemui ’orang pintar’ untuk mencari petuah agar bisnis bisa lancar. Rumah yang sering digunakan untuk persekutuan, memiliki kertas hio atau kaca pada palang pintunya. Ketika ditanya, jawabnya enteng saja: saya kristen kok, semua itu kan hanya selingan saja, tidak menjadi dasar hidup saya. Lalu bagaimana? Betapa sulit untuk mempercayai bahwa seseorang bisa sukses karena rajin ke gereja, tetapi betapa mudah percaya bahwa kesuksesan itu datang dari semadi setiap Kamis dan mempersembahkan ayam cemani. Ingat! Apa yang kita sembah selain Dia, apa yang kita percayai selain Dia, akan membuatNya cemburu. Bukan karena benci, tapi karena kasihNya kepada kita!

Tsunami!

Pada waktu itu kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan; kalau ada dua orang perempuan sedang memutar batu kilangan, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan. Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.“
Mat 24:40

Bencana tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara merupakan pukulan yang sangat mengerikan. Dengan mata kepala sendiri, seperti mimpi kita melihat bahwa hanya dalam waktu 2 jam, 105.000 jiwa melayang. Gelombang tsunami bergerak dengan kecepatan lebih dari 500 km/jam dan mencapai tinggi 10 m ketika mencapai bibir pantai. Air kemudian menyapu seluruh bangunan yang dilewatinya, menghanyutkan mobil, rumah, bahkan kapal tunda dan kapal nelayan yang memiliki berat ratusan ton. Hancur, lenyap, berantakan hanya dalam waktu sangat singkat. Hal ini terjadi tanpa bom nuklir, tanpa reaksi fusi, atau bom hidrogen. Hanya dengan air saja!
Bencana yang terjadi dengan sangat tiba-tiba juga sangat mengejutkan. Banyak cerita mengenai ibu yang terpisah dari anaknya, istri terpisah dari suaminya, kakak terpisah dari adiknya. Persis seperti tertulis dalam perikop diatas – dua anak yang sedang bermain, yang satu selamat yang lain hanyut dibawa ombak. Sang ayah yang baru turun dari mobil untuk masuk ke rumah tiba-tiba tersapu air dan hilang bersama puluhan balok kayu dan bangkai mobil. Dalam sekejap, keluarga yang tadinya begitu dekat dan dicintai, tercerai-berai diterjang ombak. Mengerikan!
Begitulah kira-kira nubuatan tentang akhir jaman. Kita berpikir bahwa dalam dunia yang modern ini, dengan teknologi yang sudah canggih, Allah tidak lagi begitu mudah menenggelamkan dunia seperti pada jaman Nuh. Ternyata kita salah! Semua teknologi, satelit, dan komputer, hanya bisa termenung melihat gelombang tsunami yang mencapai Sri Lanka dalam waktu 3 jam. Pesawat tercepat pun baru bisa mencapai Sri Lank dalam waktu 4 jam. Wahai manusia, jangan sombong dengan pencapaian teknologimu! Hanya dengan air saja, engkau sudah tergelepar tak berdaya...

Mari Bangkit!

„Berkatalah aku kepada mereka: „Kamu lihat kemalangan yang kita alami, yakni Yerusalem telah menjadi reruntuhan dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar. Mari, kita bangun kembali tembok Yerusalem, supaya kita tidak lagi dicela“
Neh 2:17

Mengalirnya bantuan untuk korban bencana di Aceh merupakan peristiwa yang mengharukan. Padahal, Aceh adalah suatu daerah yang sebelumnya tidak aman karena dihantui oleh GAM, serta terkenal sebagai propinsi yang sangat kuat memegang agama Islam. Tetapi ketika bencana terjadi, seluruh dunia, termasuk Amerika, Jerman, Inggris, Arab Saudi, Jepang, dan Cina, bahu-membahu mengirimkan tentara dan bantuan untuk korban bencana di Aceh. Bendera setengah tiang berkibar di Amerika, serta seluruh warga Eropa meluangkan waktu 3 menit untuk mengheningkan cipta bagi korban tsunami, termasuk kanselir Jerman Gerhard Schroeder dan perdana menteri Perancis Jacques Chirac. Presiden George W Bush bahkan meluangkan waktu mengunjungi kedutaan Indonesia di Washington! Tidak ada lagi perang terhadap terorisme, tidak ada lagi perbedaan agama dan ras. Yang ada hanya satu: bahu-membahu membangun kembali Aceh!
Memang, ada orang-orang kerdil yang memanfaatkan situasi ini dengan meniupkan isu sentimen agama. Tetapi saya yakin bahwa bukanlah sifat bangsa ini untuk membeda-bedakan suku, agama, dan ras. Apalagi di saat musibah seperti ini, marilah sejenak melupakan saya dan aku, dan mementingkan kami dan kita. Lupakanlah identitas diri dan fanatisme picik! Seperti diikrarkan oleh Nehemia dalam perikop diatas, marilah kita bahu-membahu membangun kembali negri ini!

Bijaksana Dalam Kebaikan dan Bersih Dari Kejahatan

“Kabar tentang ketaatanmu telah terdengar oleh semua orang. Sebab itu aku bersukacita tentang kamu. Tetapi aku ingin supaya kamu bijaksana terhadap apa yang baik, dan bersih terhadap apa yang jahat.“
I Korintus 1:19

Apakah Anda seorang kristen? Apakah Anda rajin ke gereja? Apakah Anda rajin berdoa? Jika demikian, maka Anda bisa masuk dalam kategori ‚taat’. Tetapi, jangan sekali-kali berpikir bahwa ketaatan Anda adalah sebuah comfort zone dimana Anda bisa berpangku tangan!
Paulus dalam perikop diatas memperingatkan rekan-rekan pelayanannya di Roma mengenai bahaya yang terkandung dalam ketaatan. Yang pertama dikatakan bahwa kita harus bijaksana terhadap yang baik. Memang, tidak semua yang nampaknya baik itu sungguh-sungguh baik adanya. Saya pernah mendengar kisah tentang seorang kristen yang begitu menggebu-gebu imannya, sampai-sampai ia menjual bisnis dan semua miliknya untuk diberikan kepada orang miskin. Baik? Nanti dulu. Ketika melakukan itu, ia sekaligus memutuskan hubungan dengan istri dan anaknya karena ingin full time untuk pelayanan. Sang istri dan anak menjadi terlantar, bahkan sampai lama mereka harus berhutang kanan kiri untuk mencukupi hidup. Alih-alih menjadi saksi bagi Tuhan, orang tersebut pun menjadi bahan gunjingan di lingkungannya. Apakah ini yang diinginkan Tuhan? Tentu saja tidak. Apa yang baik memang harus dipilah lagi dengan bijak, apakah sesuai dengan kondisi lingkungan kita. Jangan tertipu dengan rupa yang baik!
Yang kedua adalah bersih dari yang jahat. Inipun sulit karena taat dan jahat tidak selalu berlawanan. Orang bisa saja taat tetapi jahat. Di Indonesia, hal ini sering terjadi. Koruptor-koruptor besar, justru seringkali merupakan pemuka masyarakat yang dikenal taat beragama, rajin bersedekah, walaupun hartanya diperoleh secara tidak halal. Teman saya kelahiran Jerman pernah menyatakan keheranannya pada orang Indonesia yang sering memiliki ‚dua kehidupan’ – kehidupan rohani dan kehidupan duniawi yang seperti bumi dan langit. Ia kemudian mengambil contoh rekan istrinya yang sangat aktif dalam kegiatan gereja, tetapi memiliki beberapa karaoke ‚remang-remang’ di pinggiran Jakarta yang menyediakan wanita panggilan. Terlalu banyak contoh orang yang taat ke gereja, taat berdoa, bahkan taat bersedekah, tetapi toh tidak bersih dari kejahatan!
Jadi, inilah pesan Paulus untuk orang taat. Bijaksana dalam kebaikan, dan bersih dari kejahatan!

Monday, January 03, 2005

Renungan Tahun Baru 2005

“Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah meninggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya”
Kolose 3:9-10

Saya selalu membayangkan penampilan fisik saya sebagai agak gemuk dengan rambut yang menipis. Sejak tahun 2000 sampai sekarang, image saya mengenai diri saya selalu sama: agak gemuk dan rambut menipis. Tetapi, ketika saya melihat foto-foto lama, dari tahun 2000 sampai 2004, saya kaget sendiri. Awal tahun 2000, ketika saya masih di Eropa, ternyata saya sangat-sangat kurus dan berkulit agak hitam. Rambut saya pun masih lumayan tebal. Lalu ketika pulang ke Indonesia tahun 2001, badan saya mulai agak gemuk, dan sekarang mencapai taraf yang mengkhawatirkan walaupun belum overweight. Rambut juga sama, semakin tipis dan mudah-mudahan tidak menipis lagi!
Kadang-kadang kita tidak menyadari perubahan yang terjadi pada diri kita. Kita berpikir bahwa dari dulu sampai sekarang kita selalu sama, padahal kondisi lingkungan yang berbeda membuat kita berubah. Ini baru hal fisik, belum lagi sifat dan kelakuan kita. Saya juga sadar, bahwa sifat saya menjadi cenderung emosional dan bossy, sesuai dengan pekerjaan saya sekarang. Padahal waktu mahasiswa, saya tidak begitu.
Memang, ada kalanya kita harus berhenti dan melihat foto masa lalu, untuk menyadari betapa kita berubah dan ke arah mana kita berubah. Kita juga perlu melihat ’mental picture’, berbicara kepada teman-teman di masa lalu, yang bisa menilai ke arah mana kelakuan dan sikap kita berubah. Secara fisik semua jelas: saya harus mengurangi berat badan dan menyelamatkan rambut saya dari kepunahan! Bagaimana sifat dan kelakuan saya? Yang ini jauh lebih sulit. Tetapi, dengan bimbinganNya saya yakin, asalkan kita mau menyadari posisi kita dan tahu ke arah mana kita berjalan, kita akan menjadi ’manusia baru’ yang lebih baik! Selamat tahun baru 2005, Tuhan memberkati!

Sepenggal Puisi dari Timor

”dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.”
Lukas 1:7

Sepenggal Puisi dari Timor1)

Bethlehem hanya merupakan tempat persinggahan Kristus
Kandang dan kain lampin menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan penyakit manusia tertua dan mendunia
Dengan petunjuk bintang berekor 3 orang Majus tiba di kandang Bethlehem
3 Orang Majus dari Banam, Onam dan Oenam2) kembali membawa berita gembira bahwa kemiskinan tidak untuk diseminarkan lagi di hotel berbintang
Kini kandang bukan sekedar lambang, kandang menjadi sumber harapan yang
menjanjikan

1) Puisi ini ditemukan oleh Erika di sebuah desa di Soe, Timor, NTT.
2) Banam, Onam, dan Oenam adalah tiga kerajaan adat di Timor

Selamat Natal 2004, Tuhan memberkati!