Tuesday, April 26, 2005

Obituari untuk Iie Soan, Iie Cilacap, Emilia

Satu lagi icon keluarga sejak saya kecil meninggalkan dunia ini. Iie Soan, atau biasa saya panggil Iie Cilacap sesuai tempat tinggalnya, adalah orang yang hidup dengan penuh dinamika. Kesukaannya untuk berpetualang dan keberaniannya mengambil resiko pernah membawanya ke situasi yang sangat genting, gawat, bahkan seringkali antara hidup dan mati. Namun, seperti biasanya seorang Iie Cilacap, ia selalu lolos dari lubang jarum dan menceritakan semuanya dengan penuh canda. Dimanapun ia berada, selalu diiringi oleh derai tawa sekelilingnya karena mendengar petualangan atau ceritanya yang lucu. Saya sendiri merasa terlalu jarang bertemu dan berbagi cerita bersama Iie Soan.
Ketika saya melihatnya pada hari Jumat, 22 April 2005, semuanya telah berubah. Yang saya lihat hanyalah sebuah tubuh lemah yang tergolek diatas tempat tidur, dengan masker oksigen tertancap di mulut. Napas Iie pun satu-satu, seolah-olah setiap napas diawali dengan perjuangan hebat dan diakhiri dengan pertanyaan, apakah akan ada napas berikutnya. Iie mengeluarkan napas seolah berteriak ketika ia membuang napas, namun tubuhnya terlalu lemah untuk menghela napas berikutnya. Kita harusnya bersyukur, karena bisa bernapas dengan mudah. Jika untuk bernapas saja seseorang harus berjuang sekeras itu, maka cahaya di ujung lorong nampaknya sudah di pelupuk mata. Setelah berjuang dengan gagah berani selama hampir 4 hari, Iie Soan dipanggil Tuhan pada hari Sabtu, 23 April 2005, jam 17.30.
Saya teringat khotbah Pendeta Astri Sinaga di GKI Nurdin yang saya dengar pada hari Minggu sebelumnya. Ketika berkhotbah mengenai makna kebangkitan, Pendeta Astri menekankan betapa tubuh yang kita miliki sekarang ini hanyalah tubuh jasmani yang lemah dan rapuh. Suatu saat nanti, Ia akan membangkitkan kita, atau lebih tepatnya menganugerahkan tubuh rohani yang kekal untuk kita. Seperti apa bentuknya, tidak seorangpun tahu. Yang pasti, tubuh rohani nanti akan lebih mulia dari tubuh yang sekarang. Tubuh yang tidak terkungkung oleh belenggu sakit penyakit, kelumpuhan, dan kerapuhan. Saya membayangkan, kini pastilah Iie Soan sudah memulai petualangan barunya di Sorga, terlepas dari belenggu kelumpuhan yang memenjarakannya pada beberapa tahun terakhir hidupnya.
Sampai menjelang ajal pun, Iie Soan selalu mengundang tawa. Keluarga yang panik dan menangis ketika alarm berbunyi, karena mengira Iie sudah meninggal, langsung tertawa terbahak-bahak ketika mengetahui itu cuma alarm bahwa obat infus sudah habis. Iie, Iie, dalam kondisi seperti itu saja, masih bisa membuat orang tertawa! Ha ha ha ha.
Selamat jalan Iie Soan.

Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati.
Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan.
Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan.
Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan
.“
I Korintus 15:42-43

No comments: