Tuesday, December 16, 2008

[Cerita Advent 2] Natalan di Flores

Sore menjelang malam, tanggal 24 Desember. Ketika itu saya berada di Ruteng, Flores, bersama keluarga Djanggur tempat saya menginap. Waktu itu saya belum punya kamera, belum punya pengalaman jalan-jalan, apalagi menuliskannya. Flores merupakan tujuan wisata ransel saya yang pertama, dan salah satu yang paling nekad, yang membuat saya langsung jatuh cinta pada petualangan.

Ruteng waktu itu masih ibukota kabupaten Manggarai, yang berbatasan langsung dengan Pulau Komodo. Kota ini merupakan kota kecil dan sejuk yang terletak diatas gunung. Suasana Ruteng menjadi khas karena hanya kota Ruteng dan Bajawa di Pulau Flores yang terletak di gunung, sementara yang lainnya di laut. Alih-alih suasana pantai, di Ruteng kita mendapatkan pemandangan gunung gemunung yang mengelilingi kota, awan mendung yang menggantung di sore hari, serta hawa dingin yang menyergap di malam hari.

Bagaimana warga Ruteng merayakan Natal? Unik, tidak terbayangkan oleh kita. Mayoritas penduduk di Ruteng memeluk agama Katolik, sehingga suasana Natal di Ruteng nampak semarak, namun dengan ciri khas tersendiri. Tidak ada orang yang memasang lampu kelap-kelip di depan rumah, atau bahkan terlihat memasang pohon natal di halaman. Yang banyak terlihat adalah lampion! Lampion sederhana yang dibuat dari rangka bambu, dengan plastik atau kertas minyak transparan yang warna-warni. Setiap rumah memasang lampion ini di berandanya, dan pemerintah kota Ruteng sendiri memasang lampion-lampion di tiang-tiang listrik kota. Kira-kira pukul lima sore, saya berjalan kaki di sekitar rumah, di Jl. El Tari, sekedar untuk menikmati suasana.

Ketika hari menjelang sore, lampion pun dinyalakan. Lampion di rumah-rumah bukan diterangi oleh listrik, tetapi oleh lilin! Tak lama kemudian saya tahu sebabnya kenapa. Rupanya, Ruteng waktu itu sedang dilanda krisis listrik, sehingga diadakan pemadaman bergilir. Dan, ketika sore semakin gelap, bagian kota tempat saya tinggal kebetulan sedang dilanda mati listrik. Hari semakin gelap, dan satu persatu lampion mulai dinyalakan. Ada yang berbentuk gereja, pohon natal, salib, berwarna-warni. Ketika matahari benar-benar terbenam, maka saya melihat pemandangan menakjubkan: jalanan hanya diterangi oleh lampion! Dengan lidah api yang menari-nari, berbagai bentuk lampion yang melambangkan peristiwa Natal nampak kelap-kelip, tampak sempurna di kegelapan malam. Walaupun dalam kegelapan, hati saya menjadi hangat rasanya, ketika melihat pendar cahaya lampion-lampion itu!

Begitu sampai di rumah, seluruh keluarga Djanggur, dalam rumah yang diterangi lilin, sudah berkumpul di meja makan. Ibunda Pak Fery Djanggur, yang berumur 70-an, nampak sibuk menyiapkan makanan di meja. Cucu-cucunya berlarian keliling ruangan, namun tiba-tiba berhenti ketakutan ketika mendengar petir menyambar. Diluar sana, hujan deras mulai turun. Semua orang duduk, diam, karena bisingnya suara butiran air hujan yang menhantam atap seng diatas kami. Di Flores, hampir semua rumah beratapkan seng! Bunyi deras hujan disertai petir, membuat kebersamaan kami di ruangan ini terasa bagai lilin yang menerangi ruangan yang kelam.
Sesudah hujan mereda, waktu makan pun tiba! Apa yang dihidangkan? Oma Djanggur (demikian saya memanggil Ibunda Pak Fery) memasak beberapa masakan sederhana malam itu: daging babi masak kecap, sayur kacang panjang dengan parutan kelapa, dan beberapa sayuran lainnya termasuk sayur pakis. Waktu itu, saya masih awam sehingga tidak mencatat semua makanannya, tapi buat saya santapan malam itu sangat unik. Babi kecapnya lain dengan babi kecap yang saya kenal dengan bawang putih, babi kecap ini disertai irisan jahe dan beberapa bumbu lain sehingga rasa herbalnya lebih terasa - cenderung mirip babi kecap bali. Sayur kacang panjang dengan parutan kelapa rasanya unik, manis dan segar. Sayur paku juga hadir tanpa cah bawang putih, namun ditumis dengan rasa herbal yang juga kuat. Tak ketinggalan nasi dan roti kompiang - roti keras bertabur wijen yang merupakan makanan khas Ruteng.

Sesudah makan, keluarga Djanggur pun berkumpul di ruang tengah, masih gelap gulita diterangi lilin-lilin. Oma Djanggur bercerita tentang Opa Djanggur yang sudah lama meninggal - bahwa Opa Djanggur adalah seorang guru, yang fasih berbahasa Belanda. Bahwa di para-para masih banyak buku-buku sekolah jaman Belanda peninggalan Opa Djanggur. Pak Fery kemudian bercerita beberapa kisah mistis yang umum di Flores. diantaranya pada saat dapur mereka tiba-tiba atapnya terbakar, konon karena api yang dikirim ’lawan politik’ dari keluarga Djanggur waktu itu. Kopi pun dihidangkan untuk semua - lho, kok malam-malam minum kopi? ”Iya, di Ruteng memang ada minum kopi sebelum tidur” kata Kak Trudi. Ruteng memang terkenal dengan kualitas kopinya yang terbaik di Flores, karena alam pegunungannya. Kopi ini bukan beli di pasar, melainkan kopi dari pohon sendiri di belakang rumah yang dipanggang dan diolah sendiri! Body-nya kuat, walaupun manis sekali, seperti kesukaan orang disana. Kamipun menyeruput kopi sambil terus mengobrol sampai larut malam.

Tepat jam 12 malam, bunyi lonceng berdentangan di seluruh Flores - Natal telah tiba! Kamipun saling bersalaman, sementara diluar terdengar suara gaduh orang-orang yang sedang berjalan ke gereja untuk menghadiri misa tengah malam. Kami memutuskan untuk pergi ke gereja pada keesokan harinya. Sebelum tidur, kami berdoa bersama, dipimpin oleh Oma Djanggur. Hati saya senang, sekaligus rindu pada keluarga saya di Bandung. Setelah berdoa, sayapun masuk ke kamar dan mencoba tidur, namun sulit karena suasana gaduh diluar serta hati yang tak sabar untuk misa natal di Flores.

Paginya, sesudah bergiliran mandi, kami bersiap untuk berjalan ke gereja. Berjalan? Ya - pada hari Natal di Flores, semua kegiatan terhenti, karena semua orang pergi ke gereja. Angkot tidak beroperasi, bus antarkota pun berhenti di terminal, karena semua supir dan keneknya pergi ke gereja. Saya bersama keluarga Djanggur - yang pada hari itu menggunakan pakaian terbaik mereka - berjalan menyusuri jalan utama menuju Katedral yang terletak diatas bukit. Sambil berjalan Pak Fery asyik bernostalgia karena kami melewati sekolah TK dan SD tempatnya dulu belajar. Jalan nampak semakin mendaki, dan setelah melalui beberapa anak tangga, kami sampai di pelataran Katedral.

Ketika saya membalik ke belakang, nampak sebuah pemandangan yang sangat indah: karena gereja letaknya di bukit, terlihat rombongan orang yang berbaris menuju gereja datang dari segala penjuru. Rata-rata menggunakan sarung tenun khas Manggarai, yang berwarna hitam dengan motif jelujur berwarna-warni. Setiap kelompok yang berbaris datang dari satu dusun yang sama, dengan kepala dusun berjalan di depan menggunakan pakaian adat lengkap dan membawa hasil bumi untuk persembahan: padi, jagung, ubi jalar, dan lain-lain. Sebagian besar nampak datang dari tempat yang cukup jauh, sehingga iring-iringan mereka nampak sangat cantik, yang nampak bagai kereta warna-warni yang mendekat perlahan menuju gereja.

Misa yang dilaksanakan pada hari Natal merupakan Misa Ekaristi biasa, namun dengan perbedaan sebuah upacara adat, yangki penyerahan hasil bumi sebagai persembahan. Ketika datang waktu persembahan, para kepala dusun nampak menghadap pastor dengan hormat, membawa hasil bumi terbaik mereka. Pastor yang melayani Ekaristi menerima satu-persatu persembahan ini, diiringi nyanyian natal. Sebuah perayaan yang sangat sederhana, tanpa hura-hura, namun membumi, begitu erat terjalin antara umat dengan Tuhan. Saya jadi ingat pada sebuah tulisan yang terdapat di salah satu kantor pemerintahan di NTT, bunyinya kira-kira demikian:

Tuhan Yesus telah datang
Pada sebuah palungan di dalam kandang
Kandang dan palungan sebagai simbol kemiskinan
Bahwa Tuhan Yesus berpihak kepada yang miskin
Bahwa kemiskinan itu ada dan harus dibasmi
Bukan hanya diseminarkan di kota-kota besar


Selamat Natal dan Tahun Baru!

-Harnaz-

Thursday, December 04, 2008

Pulang ke Palungan

Dingin menggigit kulitnya, di pagi buta itu. Matahari belum lagi menampakkan wujudnya, hanya gelap gulita dan dingin yang seolah mencengkeram kulit, yang terlihat dimana-mana. Ia bergegas menuju antrian pertama: proses check-in. Kira-kira lima puluh orang berada di depannya. Hatinya sangat kesal, melihat antrian yang panjang seperti ini. Sial, pikirnya. Kalau sedang terburu-buru, pasti saja ada halangannya!

”Sir, we have a problem” kata wanita angkuh yang berdiri di balik meja penerima. Aduh, apalagi ini, pikirnya kesal.
“You luggage is overweight, sir” katanya dingin.
“But normally is it allowed - how much is the allowance?”
“25 kilos sir, as written in the tickets”
“Yes, but I have 27 kilos! Just two kilos over, can’t you just check it in?”
“No sir, it’s the rule. You need pay” kata wanita berwajah mirip burung hantu ini. Haduh, ada-ada saja. Sementara 10 menit lagi, pintu boarding akan ditutup. Ia segera membuka tasnya. Dua bungkus coklat seberat kira-kira 2 kg ia keluarkan dari tasnya. Kemudian, sang wanita tadi pun menimbang tasnya kembali.
“It is OK sir, but you have to hurry. Time not much” katanya lagi.
Daritadi ia juga sudah tahu, waktunya memang sempit.
Denagn tergopoh-gopoh ia membuang bungkusan coklat tadi, sambil menenteng ranselnya menuju ke imigrasi.

Tiba-tiba, seorang petugas menghentikannya di gerbang pemeriksaan bea cukai.
“Sir, need to check weight” kata seorang berwajah dogol sambil menunjuk ke tas ranselnya.
“Oh come on, I have only little time!” katanya kesal. Ketika ia mencoba menerobos masuk, dua orang petugas sengaja berdiri di hadapannya. Satu orang bahkan mencengkeram pundaknya, sambil berteriak dalam bahasa yang tidak ia kenal. Orang yang pertama tadi juga memegangi ranselnya - seperti anjing yang teguh mempertahankan tulang makanannya. Setelah ia merasa putus asa, diberikannya ransel tersebut pada orang yang pertama tadi.
“8 kilos, too heavy sir, you need pay” kata si muka dogol. Ia nyaris saja meninjunya dengan sepenuh hati.
“What? Since when do you have limitation on carry on?”
“No understand, need pay!” kata si muka dogol lagi, kali ini dengan senyum menyeringai, menunjukkan sederetan gigi yang menghitam karena alkohol.
Sial, pikirnya. Tinggal dua puluh menit untuk naik pesawat. Bagaimana ini?
Ia membuka ranselnya, dan melempar keluar 4 buah buku yang tadinya akan dijadikan hadiah untuk keponakannya. Iapun masuk ke imigrasi, diiringi tatapan puas si muka dogol yang sedari tadi menunggu kemenangan ini.

Ia turun dari pesawat terbang, setelah melalui lebih dari 10 jam perjalanan sejak ia bangun subuh tadi. Kini sudah sore di Jakarta. Badannya yang lelah kini semakin meradang diterjang hawa panas menyengat ibukota negara asalnya ini. Tapi, paling tidak ia sudah menempuh dua pertiga perjalanannya. Kini, tinggal satu kali lagi naik pesawat, kemudian naik bus selama delapan jam, menuju kampungnya di puncak pegunungan Bukit Barisan, Bengkulu. Membayangkan masih betapa jauh perjalanannya, ingin rasanya ia terbang bagai gatotkaca, langsung ke rumahnya.

Pesawat kecil yang ditumpanginya berkali-kali terguncang. Diluar sana gelap, hanya sesekali kilat menyambar. Hatinya berdebar-debar. Akan sampaikah ia ke rumahnya malam nanti? Dalam hati, ia menyesal mengapa memilih pesawat kecil ini. Sekali lagi, pesawat tergoncang keras, kali ini membuat semua penumpang berteriak. Seorang anak kecil yang duduk di depan, yang sudah menangis sejak tadi, makin keras saja tangisannya. Hatinya bergidik membayangkan apa yang terjadi jika petir menyambar pesawat kecil ini. Apakah ia akan mati disini? Tidak akan lagi bertemu istrinya, yang kini sedang menunggu di rumah? Apakah disini akan berakhir riwayatnya? Pesawat tergoncang sekali lagi. Jendela pesawat nampak basah terkena air hujan. Ya Tuhan, tolong, tolonglah hambaMu ini!

Delapan jam naik bus, tiga kali nyaris mati masuk ke jurang, dua kali nyaris bertabrakan dengan truk tanah, empat kali muntah, dan dua kali buang air kecil di dalam botol aqua. Badannya sudah bau tak keruan, seamburadul wajah bus antar kota ini dari dalam. Kursinya dekil, atapnya dekil, dindingnya dekil, bahkan penumpangnya pun dekil-dekil semua. Sangat jauh dengan pesawat pertama yang dinaikinya subuh tadi. Total, sejak ia bangun pagi tadi, sudah lebih dari 20 jam ia berada dalam perjalanan. Kini, ia melompat turun, menghirup udara segar wilayah perbukitan yang semakin ke Barat akan bangkit menjadi Pegunungan Bukit Barisan.

Ia membuka pintu untuk masuk ke ruangan yang serba putih. Disana, disebuah ranjang yang sederhana, duduklah seorang wanita yang amat dikenalnya. Ia tidak cantik, tidak juga modern. Namun, wajahnya tulus. Ketulusan yang membuatnya jatuh cinta, lebih dari segala macam wanita gaya yang ditemuinya diseluruh dunia. Dan, kini, didekapannya, ada sebuah wajah mungil, yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Wajah yang baru, yang bahkan belum pernah dilihat dunia. Wajah yang menyiratkan wajahnya sendiri - apakah hidungnya? Atau matanya? Ia tidak tahu. Namun, ia yakin, adalah wajahnya sendiri yang tersirat di wajah itu.
”Mas, akhirnya sampai juga” kata wanita cantik nan tulus itu.
”Ini anakmu Mas, baru dua jam lalu lahir ke dunia...”
Puji Tuhan!

Malam ini, ranjang tua dari sebuah klinik bidan menjadi palungannya. Wanita tulus yang menjadi istrinya menjelma menjadi Maria. Ruangan klinik yang serba ada menjadi kandang hewan. Dan, dalam bayi itu, ia melihat harapan, ia melihat masa depan, ia melihat berkat. Ia melihat Tuhan Yesus, yang tersenyum kepadanya malam ini.

Renungan Advent I - 4 Desember 2008

Sunday, November 23, 2008

Titik Balik

Lalu mereka menjawab Yosua, katanya: “Segala yang kauperintahkan kepada kami akan kami lakukan dan kemanapun kami akan kausuruh, kami akan pergi; sama seperti kami mendengarkan perintah Musa, demikianlah kami akan mendengarkan perintahmu. Hanya, Tuhan, Allahmu, kiranya menyertai engkau, seperti Ia menyertai Musa.”
Yosua 1:16-17


Dalam sejarah, selalu ada titik balik. Yang disebut sebagai titk balik adalah sebuah titik dimana keadaan seolah berbalik - dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Pembalikan ini bisa jadi melalui sebuah proses, atau terjadi begitu saja, namun yang pasti sudah melalui waktu yang lama. Contohnya, ketika Perang Dunia II berkecamuk, nampaknya tidak ada satu negarapun yang mampu menghentikan laju ekspansi yang beringas dari Jerman di Eropa dan Jepang di Asia. Jerman dengan Wehrmacht-nya seolah tidak terkalahkan, menghancurkan nyaris seluruh Eropa Barat dan kini mengancam Inggris. Sementara di Asia, Jepang sudah menghantam Korea dan dalam waktu beberapa hari saja sudah bisa menaklukkan raksasa Cina, dan kini berekspansi semakin ke Selatan menuju Pasifik. Lalu, siapa yang bisa melawan mereka?

Rupanya, sejarah pun mengingat akan titik balik Perang Dunia II. Titik balik pertama adalah kalahnya Jerman di Rusia, akibat musin dingin dan kegigihan perlawanan tentara Rusia. Kemudian, tentara Jerman juga terpukul di Afrika Utara, sementara Angkatan Udara Inggris berhasil mengagalkan rencana Hitler menaklukkan negara pulau itu. Di Asia, Jepang langsung bertekuk lutut ketiks Hisroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat. Titik balik ini kadang-kadang terlihat seperti terjadi begitu saja, seperti ‚nasib’, padahal, titik balik ini terjadi melalui perjuangan yang panjang.

Ketika kita membaca Yosua, nampak jelas bahwa bangsa Israel kini memiliki mental yang sudah berbeda dibanding ketika keluar dari Mesir dahulu. Dalam ayat ini dikatakan bahwa bangsa Israel berjanji setia kepada Yosua, seperti mereka setia kepada Musa. Bahkan setelah ditantang oleh Yosua, bangsa Israel berjanji setia kepada Allah. Padahal, kalau dipikir kembali, apakah bangsa Israel setia kepada Musa? Tidak juga. Baru ditinggal sebentar saja, bangsa Israel sudah membuat patung lembu emas dan menyembahnya. Berkali-kali bangsa Israel mangkir, sampai-sampai nyaris dihabisi oleh Allah. Namun sesudah melalui perjalanan yang panjang, kepedihan, dan menunggu waktu, Yosua kini menjadi titik balik bangsa Israel. Sebuah titik, dimana sesudah itu bangsa Israel bisa mencapai apa yang dicita-citakan: tinggal di Tanah Kanaan yang dijanjikan.

Dalam hidup, kadang-kadang kita berharap akan titik balik. Kita sudah berusaha, berdoa, dan jatuh-bangun, namun nampaknya masih belum ada harapan di ujung terowongan. Jika demikian, bersabarlah, dan tetaplah berdoa! Titik balik yang diharapkan itu belum waktunya untuk muncul. Waktu, menjadi suatu faktor yang hanya dikuasai oleh Tuhan, menjadi satu-satunya faktor penentu mengenai kapan datangnya titik balik itu. Kelak, disaat kita sudah siap, barulah kita akan merasakan sebuah titik balik dalam kehidupan kita. Barulah kita mengerti, mengapa begitu lama kita berjuang, begitu lama kita menunggu.

Amin.

Monday, October 13, 2008

Dunia Finansial Yang Tak Setegar Batu Karang

“Berbahagialah orang, yang menaruh kepercayaannya pada TUHAN, yang tidak berpaling kepada orang-orang yang angkuh, atau kepada orang-orang yang telah menyimpang kepada kebohongan!”
Mazmur 40:5

Selama bertahun-tahun, masyarakat dunia menaruh kepercayaan besar terhadap sistem finansial. Kalau kita ditanya: apakah hal yang paling penting di dunia yang fana ini? Tentu saja uang. Benda apa lagi yang bisa membuat nyawa melayang, saudara kandung bermusuhan, bahkan ayah mengusir anaknya sendiri? Lalu, bukankah setiap orang yang memiliki uang, akan secara naluriah menyimpannya di tempat yang terbaik dan teraman? Tentu saja. Lalu institusi apa yang begitu dipercaya oleh orang-orang terkaya di dunia, oleh perusahaan-perusahaan paling kuat di tiap benua? Tuhan? Bukan, melainkan bank investasi. Ada yang namanya Bear Stearns, Lehman Brothers, Merryl Lynch, dan masih banyak lagi. Lalu apa yang terjadi kalau bank-bank ini kolaps? Masih ada asuransi. Jadi, kombinasi antara bank dan asuransi, menjadi begitu diimani oleh para nasabahnya: dianggap aman, abadi, bahkan melebihi iman kebanyakan orang kepada Tuhan.

Lalu, apa yang terjadi akhir-akhir ini? Tanpa hujan belerang atau tulah kodok, tiba-tiba bumi finansial gonjang-ganjing dan perusahaan-perusahaan yang lebih diimani daripada Tuhan ini bertumbangan dengan sendirinya. Coba lihat ukuran mereka: Bear Stearns: 29 milyar dollar AS, bubar. Lehman Brothers: 692 milyar dollar AS, tamat. Bank investasi perumahan Amerika, Fanny Mae dan Freddy Mac, 200 milyar dollar AS, bangkrut. Ah, tidak apa-apa. Janganlah gentar imanmu, karena toh masih ada perusahaan asuransi yang menjamin keamanan uang kita? Mohon maaf: American International Group atau AIG, asuransi terbesar di Amerika, bangkrut dengan sisa 85 milyar dollar AS!

Banyak orang kaya yang pusing tujuh keliling menyaksikan uang mereka menguap di udara. Saya tidak menyalahkan mereka, atau menganggap bahwa dunia finansial adalah dunia kelam yang tidak kristiani. Sama sekali tidak. Saya ikut sedih membayangkan jutaan dollar dana yang lenyap, hasil kerja keras bertahun-tahun. Tapi, saya hanya ingin mengajak kita semua untuk merenungkan arti iman dan kepercayaan. Bayangkan saja, bahwa bank investasi seperti Lehman Brothers bisa mengumpulkan uang sebesar 692 milyar dollar AS hanya dengan modal kepercayaan. Tidak ada tanah yang dibeli, tidak ada aset atau mesin pabrik yang berpindah tangan. Sesudah kita menyetor dana kita, yang kita peroleh hanyalah selembar surat. Dan, sekarang, kepercayaan yang nampaknya setegar batu karang itupun hancur berantakan.

Lalu, mengapa begitu sulit bagi kita untuk menaruh kepercayaan kita kepada Tuhan? Apakah kita tidak sadar, bahwa selama 2000 tahun sesudah wafatnya di kayu salib, Tuhan Yesus masih dengan konsisten hadir di dunia melalui gerejaNya? Lehman Brothers sendiri didirikan tahun 1850, dan tamat pada usianya yang ke 158 tahun. Bagaimana kita mendefinisikan kepercayaan? Mazmur 40 menuliskan satu prinsip sederhana yang kadang-kadang kita lupakan, yaitu: letakkanlah kepercayaanmu hanya kepada Tuhan! Karena dunia ini - bahkan pemerintah yang terkuat, bank investasi tertua, atau asuransi terbesar sekalipun - bisa hancur begitu saja. Sementara, kasih Tuhan Yesus, Tuhan kita, abadi! Amin.

Monday, August 11, 2008

Dari VIP menjadi NIP

”Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan”
Lukas 14:11

Kota Jakarta memang memiliki ’hawa persaingan’ yang cukup kuat. Apa maksudnya? ’Hawa persaingan’ adalah atmosfir lingkungan dimana kita selalu berada dalam kompetisi dengan banyak orang dan harus berjuang - kalau perlu merugikan orang lain - untuk mendapatkan hasil. Coba saja kita runut: sejak bangun pagi, kira harus terbirit-birit berangkat kerja karena rumah kita berada di pinggiran kota. Bahkan, sebelum matahari terbit, kita sudah siap dengan kemeja dan dasi. Lalu, pertarungan pertama: menghadapi kemacetan ibukota. Setiap mobil saling serobot, dan kita harus sangat agresif kalau mau cepat. Kalau perlu, mobil sebelah kita serempet, atau motor kita tabrak jatuh. Tentu saja kita yang akan terserempet jika kebetulan yang mepet dari samping adalah metromini atau bus damri - yang dengan dalih ’urusan perut’ tidak peduli perut orang lain, hanya memikirkan perut sendiri saja.

Di kantor, di dalam meeting atau bahkan melalui e-mail, pertarungan pun terjadi. Bahkan konon, semakin tinggi Anda meniti jenjang karir, semakin kencang pertarungan yang terjadi. Waktu masih jadi operator, masalahnya adalah bagaimana bekerja dengan baik sesuai prosedur. Namun, kalau sudah jadi manajer atau direktur, masalahnya bukan lagi tugas, melainkan kepentingan. Kepentingan siapa yagn harus dibela? Apa akibatnya bila kepentingan si A saya dahulukan daripada si B? Belum lagi pertarungan dengan ‘musuh’ yang sederajat - dimana kepentingan saya dan dia bertabrakan dan kita lihat siapa yang lebih kuat!

Persaingan semacam ini bukan saja di jalan raya atau di kantor, tapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Lihat saja: betapa banyak orang yang terjebak utang kartu kredit hanya karena iri hati pada barang-barang milik tetangga atau saudara yang lebih mampu. Memang ini adalah contoh klasik seperti di film Si Unyil, namun ini benar-benar terjadi. Apalagi, di kota besar seperti Jakarta. Ini bisa dibilang sebagai hukum ekonomi: ketika peminat banyak, dan kesempatan terbatas, maka akan terjadi persaingan. Jakarta, untuk Indonesia, adalah tempat dimana persaingan ini terjadi dengan sangat kuat.

Lalu bagaimana efek persaingan dalam kehidupan kita? Persaingan membuat kita berada dalam ‘red alert’ terus-menerus. Seolah-olah kita selalu mengganggap semua orang di sekitar kita adalah musuh, yang bisa menjegal kita setiap saat, dan setiap saat juga harus kita jegal duluan. Orang pun menjadi gila hormat - setelah memenangkan persaingan, saya ingin seluruh dunia tahu bahwa saya yang menang! Obsesi ini muncul dalam berbagai pelayanan ‘VIP’ - dilarang parkir kecuali VIP, dilarang masuk kecuali VIP, bahkan jalan tol sekalipun bisa ditutup gara-gara ada VIP. Akibatnya, kita ingin selalu menjadi VIP - selalu di depan, di tempat yang tinggi, selalu menang. Perubahan sifat karena persaingan ini paling terasa ketika dari Jakarta kita mengunjungi kota-kota lain yang lebih kecil. Kita mendadak terlihat selalu terburu-buru, tukang marah-marah, dan tidak mau mengalah dibandingkan warga Tegal atau Purwokerto yang adem ayem.

Perikop Lukas 14: 7-11 adalah sebuah perikop sederhana, yang saking sederhananya mungkin jarang dijadikan ayat dasar khotbah-khotbah gereja. Namun, di dalamnya terkandung sebuah kebijakan praktis yang sangat relevan untuk kita. Sebuah perumpamaan yang sederhana. Dalam adai istiadat Yahudi, seperti juga di budaya-budaya lain, dalam pesta pernikahan pasti ada hirarki, bahwa orang-orang penting dan keluarga dekat duduk di tempat tertentu yang sudah disediakan. Nasihat Tuhan Yesus sangat sederhana: kalau kita tidak pasti akan posisi kita, pilihlah tempat yang paling rendah. Maka, hanya ada dua kemungkinannya: di-upgrade atau paling sial tetap di tempat yang sama! Kalau kita selalu menempatkan diri menjadi paling penting, paling terhormat, dan paling didahulukan, maka jangan-jangan kita nanti menjadi malu ketika ternyata kita tidak penting-penting amat.

Dengan kata lain, Tuhan Yesus menganjurkan supaya kita tidak selalu memposisikan diri sebagai VIP, tapi sebagai NIP: Not Important Person. Masuklah paling belakang - berikan tempat bagi orang lain. Belajarlah untuk mengalah, karena mengalah berarti memposisikan diri menjadi NIP, dan sewaktu-waktu kita bisa di-upgrade menjadi VIP dengan sendirinya, tanpa marah-marah atau beradu argumen dulu. Bukankah lebih menyenangkan di-upgrade menjadi VIP - seperti diundang pemilik pesta ke tempat yang lebih terhormat - daripada menjadi VIP dengan pandangan sebelah mata, karena hasil marah-marah? Dan coba pikirkan baik-baik: bukankah VIP sejati justru selalu nampak rendah hati? Beberapa kali saya bertemu dengan profesor terkenal, peneliti handal, atau pejabat pemerintah yang terkenal jujur - mereka selalu nampak sederhana dan tidak menonjolkan diri. Tapi - begitu mereka masuk ruangan - semua orang langsung berebut menyambut memberikan tempat terbaik. Bukankah itu lebih indah, daripada orang-orang yang dari awal sudah petantang-petenteng dengan mobil Lexus, tas Louis Vuitton, dan kacamata Chanel, seolah selalu mengingatkan bahwa mereka adalah VIP, padahal semua tahu bahwa uangnya hasil korupsi? Selalu posisikan diri Anda sebagai NIP, supaya Anda menjadi VIP di mata Tuhan!

Sunday, July 27, 2008

Mempertanyakan Tuhan

“Mengapa kamu mengejar aku, seakan-akan Allah, dan tidak menjadi kenyang makan dagingku? Ah, kiranya perkataanku ditulis, dicatat dalam kitab, terpahat dengan besi pengukir dan timah pada gunung batu untuk selama-lamanya!”
Ayub 19:22-24

”Apakah si pengecam hendak berbantah dengan Yang Mahakuasa? Hendaklah yang mencela Allah menjawab!”
Ayub 40:2

“Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit dari atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataKu sendiri menyaksikannya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu”
Ayub 19:25-27


Pernahkan kita mempertanyakan Tuhan? Tentu saja pernah. Mempertanyakan bukan berarti sekedar bertanya, melainkan cenderung menggugat, menyalahkan, atau bahkan tidak setuju dengan keputusan atau tindakanNya. Tindakan ini bisa memiliki konsekuensi fatal di kehidupan sehari-hari jika dilakukan pada manusia. Seorang pelayan bar pernah ditembak sampai mati hanya karena bertanya apakah kartu kredit tamunya masih berfungsi. Ya, mempertanyakan tindakan atau keabsahan seseorang, berarti meragukan otoritasnya, tidak mempercayai integritasnya.

Namun, seringkali kita berada dalam situasi yang memang layak dipertanyakan. Satu tahun yang lalu, 15 Juli 2007, di sebuah hari Minggu yang nampaknya biasa saja, saya mendapatkan kabar bahwa adik saya yang bertugas sebagai dokter di Fakfak mengalami kecelakaan. Anehnya, tidak seperti disambar geledek di siang bolong, namun berita itu hadir lewat telepon dan datang begitu saja. Saya ingat menanyakan kepada yang menelepon ,”Apa sudah tidak bisa tertolong lagi? Apa tidak bisa diusahakan?” - seolah-olah sedang menawar harga barang di Mangga Dua. Namun, bagai bayangan gelap yang berkelebat cepat, kepedihan dan perasaan kehilangan segera menyergap kami sekeluarga. Tangis pilu pun terdengar di rumah kami, yang bertahun-tahun jarang sekali menemui isak tangis. Hari itu, kami kehilangan Erina, sebuah kenyataan yang mulai terasa pahit dan menyakitkan di hati.

Dalam kondisi ini, salahkah bila saya mempertanyakan Tuhan? Bila kami sekeluarga, yang adalah orang Kristen yang cukup taat, mengacungkan jari dan bertanya kepada Tuhan? Begitu pula yang dilakukan Ayub dalam perikop diatas. Ayub, yang tidak bercacat cela, juga tiba-tiba mengalami bertubi-tubi penderitaan yang seolah jatuh dari langit. Tidak ada sebabnya, tidak ada penjelasannya, tiba-tiba saja semua yang dimiliki Ayub diambil oleh Tuhan. Dan manusiapun mulai bertanya: mengapa? Pertanyaan inilah yang kemudian menjadi akar masalah. Seperti teman-teman Ayub yang berhati keji, manusia kemudian berusaha menjawab pertanyaan ‘mengapa’ dengan teori konspirasi yang bukannya melegakan hati, melainkan menambah beban yang menderita. Lihat saja Ayub, apakah ia kemudian merasa lega ketika berbicara dengan teman-temannya? Tidak, hatinya tambah hancur!

Lalu bagaimana jawaban Tuhan atas pertanyaan Ayub? Bagaimana Ia menjawab pertanyaan ‘mengapa’ dari Ayub?

Perhatikan perikop Ayub 40, ketika Tuhan mulai menjawab Ayub. Bagaimanakah Ia menjawab? Apakah ia menjelaskan alasanNya, memberikan sebuah runutan kronologis yang berujung pada keputusanNya, bermuara pada penderitaan Ayub? Apakah Ia memberikan alasan, sebab-akibat, dan kausa prima? Tidak! Ia menjawab dengan perumpamaan mengenai ciptaanNya, proses alam yang ada dalam kuasaNya. Ia melukiskan kuasaNya dalam menciptakan binatang-binatang yang kuat dan hebat, yang kemudian membandingkannya dengan situasi Ayub: apakah Ayub berhak bertanya? Dan kalaupun Tuhan memberikan sebuah teori, apakah kita bisa mengerti? Tidak. KuasaNya diluar akal kita, hikmatNya melebihi rongga jiwa kita. IlmuNya tidak tertampung dalam selaksa otak manusia, bahkan kerlingNya bisa membakar kita sampai hangus. Lalu apakah hak manusia untuk mengerti? Tidak. Ayubpun sadar dan memberikan keputusan akhir kepada Tuhan.

Saudaraku, jika kita mengalami sebuah bencana, satu hal yang tidak boleh kita tanyakan: mengapa! Siapa, dimana, kapan, dan bagaimana bisa saja dijelaskan, tapi mengapa adalah hak Tuhan. Jangan berteori sendiri, beranggapan macam-macam, dan mencari-cari dosa yang membuat yang bersangkutan layak dihukum - jika demikian, kita sama seperti teman-teman Ayub yang dibenci Tuhan. Tetapi, percayalah akan kuasaNya, hikmatNya, dan kemuliaanNya. RencanaNya yang jauh diatas rencana kita. Jika Ia mampu merencanakan musim semi dan musim panas, cantiknya warna anggrek bulan yang menggantung di pohon, atau indahnya pemandangan koral di dasar samudera - siapakah kita, meragukan kemampuanNya untuk merancang hidup kita sesuai rencananya? Apakah kita bisa melihat apa yang dilihatNya, atau mengerti apa yang penjadi pengertianNya? Tidak. Maka hanya ada satu yang harus kita lakukan: percaya, seperti nelayan percaya kepada angin yang tak berwujud, seperti seorang penerbang yang percaya pada sebatang jarum di panel kontrolnya. Bangkitlah, berjalanlah! Karena Tuhan sudah memanggil kita lewat pecutNya yang pedih. PecutNya yang sekarang memacu kita untuk lebih cepat lagi sampai ke tujuan yang sudah dirancangNya. Amin!

Chicago, 15 Juli 2008
Satu tahun perginya dr. Erina Natania Nazarudin, 15 Juli 2007 - 15 Juli 2008.

Thursday, April 03, 2008

Renungan Paskah dari Bukit Kasih

“Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus, yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.”
Efesus 4:21 - 24

Pada hari Sabtu menjelang Paskah tahun ini, 22 Maret 2008, saya berkesempatan berkunjung ke situs Bukit Kasih di Tomohon, Sulawesi Utara. Walaupun saya tidak berkesempatan ke gereja, namun perjalanan mendaki Bukit Kasih membuat saya melakukan perenungan rohani yang sangat relevan dengan peristiwa Paskah.

Bukit Kasih adalah sebuah situs rohani yang terletak di sebuah bukit yang cukup tinggi. Dari kejauhan yang pertama kali nampak adalah sebuah tugu dengan lima sisi, yang tidak dindingnya melambangkan 5 agama yang diakui di Indonesia: Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Islam. Di setiap dinding terdapat plakat yang melambangkan tiap agama dan sebuah kutipan dari kitab suci masing-masing. Tugu ini menandai titik awal dari ziarah di Bukit Kasih. Dari sini, ada ratusan anak tangga yang berliku-liku untuk mencapai puncak ziarah yang tertinggi.

Sayapun mulai mendaki. Tangganya sangat terjal! Dengan kemiringan mencapai 45-50 derajat, napas saya langsung terengah-engah. Anak tangga pun menjadi tak beraturan, makin tinggi. Perut buncit ditambah jarang olah raga, membuat pendakian menjadi semakin sulit. Sekilas mirip dengan kondisi iman manusia yang jarang dilatih, sehingga menghadapi tanjakan kehidupan, cepat sekali terengah-engah. Ketika tujuan belum juga nampak, saya mulai bingung. Lanjut atau teruskan? Apakah saya punya tenaga cukup? Sekarang sudah jam 4 sore, dan mendung pula. Bagaimana jika nanti turun hujan? Bagaimana jika kami kemalaman pada saat kembali? Bimbang dan ragu. Sebuah refleksi kehidupan, dimana kita berada dalam kondisi iman yang gundah. Apakah saya sanggup mengikut Yesus? Apakah mengikut Yesus adalah jalan yang benar? Disini, peran teman-teman seperjalanan yang memberikan semangat sangat menentukan. Akhirnya, langkah demi langkah saya lewati sampai jalanan kemudian menjadi landai. Lega!

Saya sampai pada sebuah dataran yang indah di punggung bukit. Dari situ saya bisa melihat daerah perbukitan Kawanua yang indah. Pelataran tersebut merupakan tujuan ziarah, dimana terdapat rumah ibadah untuk 5 agama. Gereja, kapel, mesjid, pura, dan wihara berdiri berdampingan, melambangkan toleransi dari agama-agama di Indonesia. Tapi, apakah ini puncak tertinggi dari ziarah? Bukan! Rupanya, jauh diatas, di puncak bukit yang tertinggi, terdapat sebuah salib raksasa! Itulah titik tertinggi dari ziarah ini. Rupanya, arsitek dari Bukit Kasih ini sangat cerdik. Tempat ibadah 5 agama tidak diletakkan di tempat tertinggi, sebagai tujuan utama ziarah, melainkan sebagai perhentian saja. Bukankah setiap agama adalah jalan menuju Tuhan, menuju Sang Esa? Dengan demikian, agama memang bukan Tuhan, melainkan jalan menuju Tuhan. Tuhan Yang Esa sendiri, berada diatas sana - nun jauh di puncak tertinggi yang dilingkupi awan-awan!

Permasalahan berikutnya: apakah kita sanggup menaiki tangga lagi menuju Salib? Kalau tangga sebelumnya saja sudah membuat kita terengah-engah, bagaimana kita harus mendaki lagi? Kami pun naik tangga dengan ragu-ragu. Kalau tadi saja sudah jam 4 sore, kini waktu menunjukkan jam 5 sore. Awan mendung menggulung-gulung diatas, sementara kawah yang ada dibawah mengepulkan asap sulfur yang menyesakkan napas, membuat perjalanan menjadi semakin sulit. Tangga pun semakin menanjak, kini puncak bukit diselimuti kabut sehingga tidak terlihat. Makin lama tangga semakin sempit, terjepit oleh akar-akaran dan tumbuhan liar. Sementara, rintik-rintik hujan mulai terasa. Beberapa orang yang tadinya mendaki bersama kami memutuskan untuk menyerah dan kembali, karena konon ‘tempat di depan terkenal angker’. Saya pun menjadi bimbang - lanjut atau terus?

Kalau dalam mencapai agama kita mendapat ujian berupa tangga yang curam, untuk mencapai Tuhan ujiannya akan lebih berat lagi. Yang pertama adalah karena Tuhan berada di tempat yang lebih tinggi, sehingga semakin sulit untuk mencapaiNya. Yang kedua, adalah karena puncak bukit - Tuhan sendiri - tidak bisa dilihat dengan mata! Saya hanya bisa percaya, bahwa Salib itu ada disana - dibalik bukit yang menjulang dan kabut tebal yang menggantung. Saya tidak tahu berapa lama lagi harus berjalan, dan apakah tujuan itu benar-benar ada. Mendung dan matahari yang semakin condong ke Barat membuat hati menjadi ciut. Jika tenaga sudah habis, nyali sudah ciut, apalagi yang tersisa? Iman! Imanlah yang menjadi kunci. Imanlah yang tinggal, yang selalu membisikkan bahwa Ia ada diatas sana, Ia menunggu kita di tempat yang sudah disediakanNya. Kita tidak bisa melihatnya, bahkan tidak tahu berapa jauh lagi sampai disana. Tapi iman kita mengatakan bahwa Ia disana, dan Ia menunggu!

Akhirnya, setelah sempat bimbang, saya melanjutkan perjalanan, Pukul 5.30 sore, saya berhasil melangkahi anak tangga terakhir, dan jalan berubah menjadi jalan tanah. Saya bisa merasakan bahwa tujuan sudah dekat! Benar saja, tak lama kemudian, nampaklah Salib itu - kokoh berdiri di puncak bukit! Sebuah salib putih yang sederhana, yang membuatnya istimewa adalah beratnya perjalanan untuk mencapainya. Sebuah lambang dari ujian iman kehidupan yang terberat untuk mencapaiNya. Dari sana, tidak lagi terlihat dunia, melainkan hanya kabut dan awan tebal sejauh mata memandang. Haleluya! Saya sudah sampai! Dan puji Tuhan, ketika saya turun, semua nampak berubah. Awan yang tadinya menggulung mengancam kini lenyap diganti langit cerah dengan matahari bersinar terang. Tangga yang tadi begitu seram dan sempit, kini terlihat lebar dan bersahabat. Pepohonan yang tadinya seolah menyimpan ular yang bisa setiap saat mematuk, kini terlihat seperti semak biasa.

Itulah manusia baru! Manusia yang dikuatkan oleh iman, setelah perjalanan rohani untuk mencapaiNya. Itulah jiwa yang telah mengalami pencerahan, sebuah reformasi rohani yang mampu mengubah sudut pandang kita. Dari mendung menjadi cerah, dari mengancam jadi bersahabat. Tak heran bahwa ciri manusia baru adalah sikap ramah dan memaafkan, sikap kasih sayang dan persahabatan - karena setelah Ia mengubah sudut pandang kita, semuanya nampak indah dan bersahabat!

Bagaimana dengan kehidupan kita sekarang? Mungkin, kita sedang mendaki di tangga pertama, dimana kita masih bergulat dengan pemahaman agama dan segala peraturannya. Atau, kita sudah melalui tingkat kedua, perjalanan yang lebih sulit dalam mencapai lahir baru sebagai puncak kehidupan rohani kita. Apakah kita memutuskan untuk mundur dan mencoba jalan lain, atau menyerah dan kembali ke tempat asal? Ataukah kita sedang berhenti di tengah tangga dan memandang keatas dengan bimbang?

Saudaraku, jangan ragu dan bimbang. Yang kau lihat di bawah sana adalah kehidupanmu yang dulu - yang penuh dengan kesuraman awan mendung yang menggulung, penuh dengat pagut ular dari semak belukar, diisi oleh asap yang menyesakkan. Langkahkan kaki dan jangan ragu! Allahmu ada diatas sana. Jalan memang terjal dan sempit, namun iman jugalah yang nantinya akan menuntun kita sampai kesana. Dan, setelah sampai, jangan kuatir, karena reformasi rohani akan mengubah sudut pandang kita - mendung menjadi cerah, yang mengancam menjadi bersahabat. Dengan demikian lengkaplah transformasi rohani kita menjadi manusia baru, seperti Yesus yang bangkit dari kematianNya. Hosiana, puji Tuhan Semesta Alam!

Amin.

Tuesday, February 12, 2008

Happy Birthday To Me!

Setiap tahun, karena lahir di bulan Februari, ulang tahun saya selalu berdekatan dengan Imlek. Jadi, pas ulang tahun, sisa-sisa angpau masih ada di dompet. Sisa-sisa inilah yang biasanya jadi modal saya buat nraktir temen-temen yang memberi selamat.

Nah, Imlek kemarin, ada yang lucu yang baru saya sadari. Kalau dulu, di usia belasan tahun, sesudah sojah ke orang tua, papi mami akan dengan muka tersenyum dan sumringah memberikan amplop merah berisi angpau. Isinya tidak begitu banyak, namun rasanya senang benar dapat uang lebih. Beranjak ke usia dua puluhan, saya sudah kerja di luar kota, sehingga kedatangan ke rumah waktu Imlek pun selalu ditunggu-tunggu, dan wajah papi mami masih tetap gembira memberikan angpau. Isinya lebih banyak, dan lumayan untuk menambah kebutuhan sehari-hari.

Di usia 30 ini? Wajah papi mami sudah tidak sumringah lagi. Bahkan memberikan angpaunya diselipkan saja, seperti pelanggar lalu lintas yang sedang menyogok polisi. "Sampai kapan seeeh ni anak dikasih angpau mulu".... pikir papi mami. "Kapan kawinnya? Bosen nih kita ngasih angpau melulu..." Hehehe

Jawabnya gampang: "Bulan Mei..... Meibe soon, meibe later" hehehe...

Cerita ini cuma bohongan yah, papi mami masih sumringah dan ikhlas kok memberi angpau! Eniwei buswei, happy birthday to me. Semoga rambut bisa tebal lagi, jodoh bisa ketemu, bisnis bisa lancar, dan karir terus maju! Jangan lupa banyak berdoa dan dekat sama Tuhan!

Cheers,

-Harnaz-

Longing for an Imperfect Life

“Jesus said unto him, If thou wilt be perfect, go and sell that thou hast, and give to the poor, and thou salt have treasure in heaven: and come and follow me. But when the young man heard that saying, he went away sorrowful: for he had great possesions.”
Matthew 19:21-22

A good friend of mine has a unique life story. I admire him a lot because of the decisions he made - the ones that changed his life. He was a long-time bachelor - up to late forties, he was still living single. Of course, with not so many family-related expenses, he had a good life. Moreover, he is a brilliant manager, and has started his career very early in age. As a result, by mid thirties, he already held a high managerial position in his company. Life was good for him - cars and housings provided by the company, with driver, secretaries, and dedicated office boys. He spent many nights entertaining customer on a management’s budget - those who work in business must know what I am talking about! His smart brain really pushed him to the top - but he was alone at the top.

Then, he made a daring decision to get married in his late forties age. Coincidentally, he had to give up his glorious career. He had a disagreement with one of the company owners, so he decided to quit. All of a sudden, he lost almost all of his priviledges - no more luxury company cars, no driver, not even an office boy - he even had to use everything he got to buy a small house in the suburb. Now he has a small business, giving mediocre returns. They’re fine, but nothing compared to what he had before. You can say he’s at rock bottom - but not alone, for now he has his wife with him!

In all wordly measures, my friend is a born loser. But not in Godly term, because he is happier now, looks much younger, and is much more healthy. No more late-night entertainments, no more greasy business dinners - meals are cooked at home, cheaper by the dozen. It looks sad, but he seems to be very happy - he feels to be more of a human than before. I remembered when I visited him about a week after his marriage. He was watering his small garden in his house. “You know what” he said, “in forty something years of my life, this is the first time that I water my garden like this!”. It was not meant as a complaint - his cheerful face clearly defied that.

The marriage itself was not easy. Being alone for a very long time, he had many disagreement with his wife. From difficulties to get a ‘passport’ out of the house, until the very different hobbies that they have. He likes adventures, singing in karaokes, and watching highly-qualified movies. His wife doesn’t sing, likes to stay at home, and loves sinetrons. Sometimes they bump into each other, and he complains a bit about that. But his conclusion is always firm: no matter what, it is better to be with somebody, better than being alone.

My friend was perfect when he was a bachelor. So do many bachelors and bachelorettes out there: they tend to be ‘perfect’. In fact, you can only have a perfect life if you are alone. No financial problems, always sufficient, no fights with anyone. Single and singular - perfect! Unfortunately, life needs to be imperfect. Just look at my friend: he was perfect before, but he was longing for something imperfect: someone to fight with, someone who would complain if he comes home too late, someone who - well - always remind him that he’s not perfect. Even if this imperfection means not only to have somebody, but also to lost all his previous glory, he still sees it as worth while.

What is the utmost example of imperfection in life? Children. Another friend of mine was married in an early age but had no children for a long time. He too, was a perfectionist - until his first born. Children are perfect example of imperfection: they cry in the middle of the night, they poop while eating, they are always naughty, and trying to control them is futile. One wonders, why bother having them at all? Again, it is the sweet imperfection. The greatest joy of raising a child is to see him/her obey you once after the 100th time you told him/her to do something. To see that there is compliance afterall - made it worth while to repeat the lesson 100 times more.

So, for you guys and gals out there who are still looking for ‘the one’, stop looking for perfection. Also for those who feels that their spouses are not perfect - bingo! It is not the perfection, it is indeed the imperfections that matters in life. Life is, and tends to be, imperfect. That’s why when a perfect man asked Jesus what he should do more to be perfect, His answer was highly unexpected. “If thou wilt be perfect, go and sell that thou hast, and give to the poor”. In short: forget your perfection and embrace imperfection. For having an imperfect live means that you are not in control. But God is, and that’s the way He wanted it to be.

For my dear family, friend and mentor IW, who has started to find imperfection.

Tuesday, January 08, 2008

Shine On, Sister!

Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kataNya, ”Inilah tubuhKu yang diserahkan bagi kamu, perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.”
Lukas 22:19

Natal 2007 dan tahun baru 2008 terasa sangat sulit dilalui bagi keluarga kami. Maklum, kami baru saja kehilangan adik saya tercinta Erina Natania yang meninggal dalam tugas tanggal 15 Juli 2007. Sejak jauh-jauh hari saya sudah menyiapkan tiket pesawat agar kami sekeluarga pergi keluar kota, sekedar untuk memudahkan melalui Natal tanpa Erina. Kamipun kemudian berkeliling Jawa Tengah, dan secara umum perjalanan berlangsung sangat mengasyikkan.

Namun, ada satu hal yang tetap berbeda. Tidak satupun dari kami yang ke gereja pada hari Natal! Saya sendiri sempat mencoba untuk mengajak keluarga ke gereja pada tanggal 25 Desember. Namun, terus terang, saya takut untuk ke gereja. Bagaimana tidak? Menyanyikan lagu-lagu Natal dan duduk bersama di gereja, tanpa Erina, akan terasa sangat menyakitkan. Apalagi, Erina-lah yang biasanya paling rajin ke gereja (walaupun terlambat bangunnya), dan ialah yang paling semangat jika bernyanyi. Lagipula, sebagai manusia, tidak ada dari kami, termasuk saya, yang luput dari perasaan menyalahkan Tuhan. Mengapa Tuhan justru ‚mengambil’ Erina? Mengapa orang lain, melainkan Erina? Dengan demikian, menghadap wajah Tuhan - yang mengambil Erina - menjadi sulit kami lakukan.

Baru hari ini saya ke gereja lagi, tanggal 6 Januari 2008. Kebetulan, saya ada di Cikarang, dan hati itu adalah Perjamuan Kudus. Biasanya saya sudah hopeless jika ke gereja Cikarang, karena khotbahnya yang selalu sangat (bahkan terlalu) sederhana. Apakah dalam kondisi seperti ini, dalam kondisi iman dan jiwa yang sedang babak belur, hanya ke gereja Cikarang bisa memberikan kesejukan? Mungkin inilah yang dirasakan keluarga saya, sampai-sampai kami menjadi jarang ke gereja. Terus terang, saya kemudian nyaris tertidur waktu khotbah. Sayup-sayup terdengar suara Pak Pendeta yang menguraikan secara teoritis mengenai tema khotbah hari ini. Saya kembali putus asa, dan berharap proses liturgi ini cepat selesai, ketika roti perjamuan dibagikan.

Seperti biasa, potongan roti susu yang berbentuk persegi itu saya pegang di tangan saya. Lalu sayapun memandang roti itu, namun ada sesuatu yang lain di hati saya. Demikian juga gelas kecil anggur, yang berwarna merah gelap, seperti darah Erina yang masih menempel di handphone-nya ketika kami menerimanya. Daging seperti milik Erina, ketika kami melihat ia terbaring di dalam petinya. Inilah yang disebut darah dan daging - kematian! Inilah yang disebut memakan daging dan meminum darah - pengorbanan! Seperti Erina yang rela menyabung nyawa demi tugasnya disana.

Sebelumnya, walaupun kami bertahun-tahun ke gereja, bertahun-tahun aktif di kegiatan gereja, kata-kata seperti ‘kematian’, ‘pengorbanan’, ‘daging’, dan ‘darah’ seringkali terngiang-ngiang di telinga, namun buat saya itu sama saja seperti bom yang meledak di Irak. Saya lihat gambarnya, namun tahukah saya arti bom yang meledak itu? Betapa bergetar hati waktu mendengarnya? Betapa ngeri kejadian sesudahnya? Tidak. Bom ya bom, kita bisa ikut sedih atau prihatin, tapi toh itu sebuah kejadian yang jauh dari kita, jauh dari keseharian kita. Sangat mudah untuk berkata: Oh, mengerikan ya? Oh, menyedihkan ya? - Namun akan terasa berbeda kalau kita mengalaminya sendiri. Jadi, selama ini, saya tidak mengerti arti pengorbanan, darah, dan daging. Bahkan arti kematian pun tidak saya mengerti - lalu bagaimana saya bisa mengerti soal kebangkitan, kalau mati saja tidak paham?

Saya lalu seperti tersadarkan diri. Inilah rasa asam cuka dari kematian, yang sedang saya alami sekarang, yang dicucukkan ke mulut Tuhan Yesus 2000 tahun yang lalu. Kematian yang diakibatkan oleh sikap pengorbanan dan kepahlawanan, yang dibuktikan dengan penghargaan negara yang begitu besar terhadap Erina. Inilah pahit getir penderitaan akibat kematian! Inilah cawan yang disebut-sebut Tuhan Yesus harus diregukNya! Inilah sebabnya, Tuhan Yesus berpesan agar ritual perjamuan diulang untuk mengingatNya. Inilah sebabnya, dari berbagai macam denominasi Kristen, dari Ortodox Syria, Ethiopia, Katolik Roma, sampai GKI, hanya satu ritual yang tetap sama bentuknya: ritual Perjamuan Kudus! Mengapa Tuhan Yesus justru ingin murid-muridNya mengenang kematianNya, dan bukan kebangkitanNya? Bukankah sangat menyakitkan bagi para murid, setiap kali roti dibelah dan anggur dituang, tanpa kehadiran Sang Guru yang mereka cintai? Ya, karena lewat Perjamuan Kudus ini, Tuhan Yesus ingin agar kita mengerti mengenai kematian. Karena tanpa pengertian soal kematian, suatu hal yang mustahil untuk memahami kebangkitan.

Jadi, tahapan berikutnya adalah jelas: bangkit! Lagu KJ 424 yang berjudul „Yesus Menginginkan Daku“, yang dinyanyikan sebagai nyanyian pengutusan, justru menjadi pesan Tuhan Yesus yang luar biasa untuk saya. Bagaimana kita harus bersinar - menjadi cahaya yang menerangi bumi, dan menyebarkan cahaya itu seluas mungkin. Inilah kebangkitan! Cahaya tidak punya bentuk, bahkan fisikawan paling ahli pun sampai sekarang tidak bisa menentukan wujudnya - apakah cahaya adalah gelombang atau partikel. Cahaya adalah abstrak, namun ada. Cahaya bisa menerangi, menghangatkan, dan menyejukkan hati yang gundah dirundung banjir. Apakah syarat menjadi cahaya? Kematian! Karena cahaya tidak berbentuk, maka bentuk harus dimatikan terlebih dahulu. Bentuk, yang bagai enam sisi tembok penjara, jika dijebol akan membuat cahaya menjadi bebas, berlari dengan kecepatan tertinggi yang mungkin ada menurut Einstein.

Jadi, Erina sekarang sudah menjadi cahaya. Cahaya yang bersinar dalam hati kita, cahaya yang dirasakan oleh setiap orang yang mengenalnya semasa hidup. Cahaya yang mengandung tanggung jawab bagi kita yang menerimanya - bahwa kita juga harus meneruskannya. Bahwa dengan pengertian ini, dengan pemahaman ini, saya, kita, harus giat menyebarkan kabar baik ke semua orang. Kabar tentang kebangkitan sesudah kematian. Kabar tentang Tuhan Yesus, Sang Cahaya yang terus bersinar.
Shine on, Sister!

Harry Nazarudin

Berkenalan Dengan Pendeta Google Dot Com

Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.
Matius 10:16

Saya pernah menghadiri sebuah kebaktian di dekat rumah saya. Liturgi berjalan seperti biasa, dengan beberapa lagu dan Pengakuan Iman Rasuli. Dan, tibalah saatnya untuk mendengarkan khotbah. Di dalam Kristen Protestan, khotbah atau Firman Tuhan menjadi pusat dari semua liturgi. Disinilah terjadi dialog antara Tuhan dengan manusia, dimana banyak orang bisa menatap wajah Yesus melalui kata-kata yang diilhami oleh Roh Kudus. Begitu pentingnya khotbah ini, sampai-sampai para anggota GKJJ (Gereja Kristen Jalan-Jalan - orang yang suka pindah-pindah gereja) biasanya memilih beribadah di tempat yang khotbahnya paling bagus. Jadi, wajar saja, kalau hati saya berdebar-debar ketika khotbah akan dimulai. Apa yang akan dikatakan Tuhan Yesus pada saya hari ini?

Dasar khotbah yang diberikan pada hari itu diambil dari Kisah Para Rasul 20:7-11. Cerita ini memang cukup aneh, menceritakan seorang pemuda bernama Eutikhus yang mengantuk lalu jatuh dari lantai atas ketika mendengarkan Rasul Paulus berkhotbah. Rasul Paulus lalu membangkitkan sang pemuda itu dari kematiannya (KIS 20:10). Wah, sebuah cerita mukjijat yang menakjubkan! Tapi, pelajaran apa yang bisa kita peroleh darinya? Memang tidak mudah, dan saya mengharapkan Pak Pendeta akan memberikn inspirasi yang baru di hari itu. „Jadi, Bapak dan Ibu sekalian...“ kata Pak Pendeta memulai khotbahnya. „Makanya, kalau mendengarkan khotbah, jangan sambil ngantuk ya! Nanti jatuh ke bawah dan mati sama seperti Eutikhus!“ kata beliau, disambut tawa hadirin. Masalahnya, Pak Pendeta tidak sedang melucu. Ia baru saja mengungkapkan inti khotbahnya.

Saya pulang, terus terang, dengan hati kesal. Masakan tidak ada makna lain selain ‚jangan ngantuk waktu berkhotbah’? Memang, ayat seperti ini tidak memiliki perintah atau ajaran tertentu yang tersurat. Karena penasaran, sayapun pulang ke rumah. Lewat internet Telkomnet yang murah tapi lambat bukan main, saya pun pergi ke www.google.com. Saya lalu memasukkan nama Eutychus, sang pemuda tadi, karena penasaran ingin mengetahui pemahaman teologis mengenai peristiwa kematiandan kebangkitannya.

Nama itu membawa saya ke website www.christiancourier.com. Ada sebuah artikel berjudul “The Case of Eutychus” oleh Wayne Jackson. Disana dibahas dengan sangat mendetail latar belakang teologis dari peristiwa tersebut. Bahkan sampai penyebutan ‚lampu’ (KIS 20:8) dijelaskan sebagai penekanan bahwa pertemuan kristiani tidak perlu dilakukan dalam gelap, seperti disyaratkan oleh beberapa aliran sesat pada waktu itu. Ternyata, peristiwa mati dan bangkitnya Eutikhus ini memiliki makna mendalam, yakni Paulus mendemonstrasikan kepada para tetua di Troas bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya, dan kuasa untuk melaluinya hanya ada pada Tuhan. Dan, itu baru satu website yang saya lihat. Dengan memasukkan nama Eutychus melalui Google, ada 65.700 website lain yang memuat nama tersebut. Sebuah gudang informasi yang luar biasa lengkap, tapi murah dan mudah dijangkau!

Hal yang sama juga terjadi di hari Minggu yang lain, dimana dibahas mengenai Khotbah Paulus di Athena, Kisah Para Rasul 17:22-32. Waktu itu Pak Pendeta lagi-lagi menjelaskan moral dan cerita yang bisa ditebaknya dari apa yang tersurat di Alkitab, betapa orang Yunani waktu itu adalah penyembah berhala, sehingga harus sehgera bertobat sebelum dihukum. Padahal, di dalam perikop ini disebutkan mengenai golongan Epikuros dan Stoa dan ‘Allah yang tidak dikenal’. Apakah maksud penulis Alkitab mencatat semua ini? Apakah hanya itu saja makna khotbah Paulus di Athena?

Sepulang dari gereja, saya lalu kembali ke www.google.com untuk mencari informasi. Ternyata, latar belakang sejarah yang bisa saya peroleh luar biasa banyaknya. Dengan memasukkan nama ‚Areopagus’, saya bisa memperoleh 231.000 halaman informasi. Lewat link ini pula saya bisa mengerti mengenai konsep ‚Allah yang tidak dikenal’, apa yang disebut golongan Epikuros dan Stoa (KIS 17:18 - untuk latihan, silakan masukkan kata-kata tersebut di Google dan lihatlah apa hasilnya!). Ternyata, khotbah Paulus di Athena sangatlah penting karena Paulus menantang ahli-ahli filsafat pada masa itu. Athena merupakan pusat intelektual dunia, tempat banyak orang cerdik cendekia berkumpul untuk mendiskusikan mengenai alam semesta dan konsep hidup. Bahkan nama-nama terkenal seperti Demokritos, penemu konsep atom, pernah singgah dan sekolah di Athena. Lalu, bagaimanakah seorang Paulus, yang tidak pernah sekolah, hanya berpendidikan seorang warganegara Roma, dengan konsep agama yang baru pula, bisa menantang para cerdik cendekia itu?

Dengan khotbah yang sangat singkat, Paulus ternyata memutarbalikkan pemahaman orang Yunani tentang alam semesta. Paulus menohok ke jantung kemunafikan filsafat Yunani - yang di satu sisi sangat menekankan konsep logika dan kebebasan berpikir, namun di sisi lain menganut paham polytheisme dan memiliki dewa-dewa yang begitu banyak dan tidak masuk akal. Bahkan sampai ada kuil yang ditujukan bagi ‚Dewa/Allah yang tidak dikenal’! Nah, konsep inilah yang digunakan Paulus untuk menjelaskan bahwa pastilah ada satu Zat, Sang Esa, yang berada di balik semua konsep alam semesta (KIS 17:24). Jadi, di tengah Majelis Areopagus Yunani, Kota Athena, yang merupakan jantung polytheisme, Paulus secara tajam dan ringkas berhasil memasukkan konsep monotheisme secara gamblang. Bukan main-main, sesudah khotbah Paulus, beberapa anggota Majelis Areopagus - seperti Dionysius - langsung menjadi percaya.

Hebat! Dan semuanya ini saya peroleh dalam petualangan saya ber-google dalam nama Tuhan. Dengan memasukkan kata kunci ‘Stoicism’ (bahasa Inggris dari golongan Stoa), saya mendapat 597.000 portal. Dengan kata kunci ‘Epicureanism’ (bahasa Inggris dari golongan Epikuros), saya bisa memperoleh 2.150.000 portal. Memang, isinya macam-macam - dari yang benar-benar berhubungan dengan Alkitab, sampai yang bertolak belakang. Namun, toh kita bisa mensortirnya dalam waktu singkat dan menemukan begitu banyak tafsir, latar belakang sejarah, dan artikel-artikel pendukung yang akan membuat pemahaman kita mengenai perikop tersebut lebih mendalam. Hanya butuh waktu beberapa menit dan beberapa ribu rupiah pulsa, namun informasi yang diperoleh begitu luar biasa, dibandingkan dengan membuka buku-buku tafsir yang tebal dan membingungkan. Ayo para pendeta, jangan gaptek! Bukankah Tuhan Yesus pernah berkata, kita harus cerdik seperti ular, dan tulus seperti merpati?

10 Tips Dalam Menggunakan Google Untuk Pemahaman Alkitab

1. Pastikan Anda sudah menggunakan ejaan bahasa Inggris yang benar. Sebagian besar sumber informasi kristiani berasal dari Amerika Serikat, sehingga penulisan bahasa Inggris yang tepat akan membawa hasil yang tercepat dan terbaik. Contohnya, kata kunci ‚Lukas’ akan membawa kita pada portal Lukas Haas, seorang aktor Amerika. Kata ‚Lucas’ juga langsung memberikan informasi mengenai George Lucas, sang sutradara film Star Wars. Hanya dengan menggunakan kata kunci ‚Luke’, maka urutan yang pertama keluar adalah ‚The Gospel of Luke’.

2. Bingung menentukan ejaan bahasa Inggris yang benar? Jangan putus asa. Google biasanya akan memberikan petunjuk jika Anda salah total dalam memasukkan sebuah kata kunci, dan akan mengusulkan kata terdekat yang mungkin lebih cocok.

3. Takut biaya pulsa melonjak tinggi, atau Telkomnet instan Anda terlalu terengah-engah untuk mendownload kilobyte dalam jumlah besar? Gampang. Sebagian besar informasi terdapat dalam bentuk tulisan, bukan gambar. Padahal yang banyak menyedot bandwidth adalah gambarnya. Jadi, lihatlah tulisannya saja, tidak perlu gambarnya! Caranya: di Internet Explorer, pilih menu Tools - Internet Options - Advanced. Lalu di bawah menu Multimedia, unclick (hilangkan tanda cek berwarna hijau) pada pilihan Play Animation, Play Sound, Play Video, dan Show PIctures. Setiap portal yang Anda download hanya akan menunjukkan tulisannya saja - just what you need.

4. Jika sudah menemukan portal langganan, yang selalu memberikan informasi yang benar, masukkanlah dalam Favourites (klik menu ‚Favourites’ pada Internet Explorer, lalu pilih ‚Add to Favourites’). Favourites adalah daftar kumpulan portal yang Anda pilih. Jadi, jika Anda ingin mencari informasi lagi, cobalah dulu pada daftar Favourites Anda sebelum ke Google. Siapa tahu yang Anda butuhkan sudah ada disana, dan tidak perlu berkeliling dunia lagi untuk mencarinya!

5. Gunakanlah kata kunci yang spesifik. Misalnya, untuk mencari ‚Perjamuan Terakhir’, bahasa Inggrisnya ‚The Last Supper’. Jika Anda hanya memasukkan kata ‘Supper’, maka akan muncul 20.200.000 portal, kebanyakan mengenai makanan. Pusing kan? Tapi dengan memasukkan kata kunci ‘The Last Supper’, portal yang muncul sebanyak 4.760.000 buah. Jadi, Anda menghemat 75% waktu pencarian dengan kata kunci yang lebih spesifik.

6. Gunakanlah kata-kata yang sespesifik mungkin. Jangan coba-coba mencari kata-kata umum seperti ‚berkat’ atau ‚roh’, karena akan muncul jutaan informasi yang tidak berguna buat Anda. Gunakanlah kata spesifik, misalnya ‚Areopagus’, ‚Stoa’, atau ‚Epikuros’, daripada kata-kata umum seperti ‚Paulus’ atau ‚Athena’. Pencarian Anda akan lebih tepat sasaran.

7. Hati-hati dengan apa yang Anda temukan. Dunia maya menyimpan milyaran informasi, dari yang benar sampai yang agak miring. Tidak mustahil bahwa Google akan menuntun Anda justru ke portal-portal atheis atau gnostik yang akan menjerumuskan Anda ke pengertian yang salah. Kalau yang Anda baca dirasa kurang ‚sreg’ di hati, tinggalkan saja, jangan dibaca.

8. Jika Anda menggunakan sebuah portal untuk bahan tulisan, biasakan untuk selalu mencantumkan portal tersebut dalam daftar pustaka. Selain menaati kaidah ilmiah dalam pengutipan karya orang lain, langkah ini paling tidak menghargai sang empunya ide yang menjadi sumber tulisan kita.

9. Biasakanlah untuk mengopi halaman yang menarik dan menyimpannya dalam satu file, untuk dibaca kemudian. Jarang sekali ada satu portal yang memuat semua keinginan kita - seringkali kita menemukan potongan-potongan informasi di beberapa portal, yang harus diolah lagi untuk mendapatkan benang merahnya. Jangan hanya menyalin saja - buatlah sesuatu yang baru!

10. Yang terakhir, berdoalah sebelum ber-google untuk Tuhan. Untuk makan saja kita selalu berdoa memohon bimbingan Tuhan Yesus, apalagi untuk berkelana di belantara dunia maya yang juga berisikan pornografi, kesesatan, dan bahkan portal pemandu bunuh diri? Asalkan hati kita tulus seperti merpati dan selalu berdoa dan berhati-hati, niscaya Tuhan akan beserta kita dalam ber-google ria.

Harry Nazarudin