Dingin menggigit kulitnya, di pagi buta itu. Matahari belum lagi menampakkan wujudnya, hanya gelap gulita dan dingin yang seolah mencengkeram kulit, yang terlihat dimana-mana. Ia bergegas menuju antrian pertama: proses check-in. Kira-kira lima puluh orang berada di depannya. Hatinya sangat kesal, melihat antrian yang panjang seperti ini. Sial, pikirnya. Kalau sedang terburu-buru, pasti saja ada halangannya!
”Sir, we have a problem” kata wanita angkuh yang berdiri di balik meja penerima. Aduh, apalagi ini, pikirnya kesal.
“You luggage is overweight, sir” katanya dingin.
“But normally is it allowed - how much is the allowance?”
“25 kilos sir, as written in the tickets”
“Yes, but I have 27 kilos! Just two kilos over, can’t you just check it in?”
“No sir, it’s the rule. You need pay” kata wanita berwajah mirip burung hantu ini. Haduh, ada-ada saja. Sementara 10 menit lagi, pintu boarding akan ditutup. Ia segera membuka tasnya. Dua bungkus coklat seberat kira-kira 2 kg ia keluarkan dari tasnya. Kemudian, sang wanita tadi pun menimbang tasnya kembali.
“It is OK sir, but you have to hurry. Time not much” katanya lagi.
Daritadi ia juga sudah tahu, waktunya memang sempit.
Denagn tergopoh-gopoh ia membuang bungkusan coklat tadi, sambil menenteng ranselnya menuju ke imigrasi.
Tiba-tiba, seorang petugas menghentikannya di gerbang pemeriksaan bea cukai.
“Sir, need to check weight” kata seorang berwajah dogol sambil menunjuk ke tas ranselnya.
“Oh come on, I have only little time!” katanya kesal. Ketika ia mencoba menerobos masuk, dua orang petugas sengaja berdiri di hadapannya. Satu orang bahkan mencengkeram pundaknya, sambil berteriak dalam bahasa yang tidak ia kenal. Orang yang pertama tadi juga memegangi ranselnya - seperti anjing yang teguh mempertahankan tulang makanannya. Setelah ia merasa putus asa, diberikannya ransel tersebut pada orang yang pertama tadi.
“8 kilos, too heavy sir, you need pay” kata si muka dogol. Ia nyaris saja meninjunya dengan sepenuh hati.
“What? Since when do you have limitation on carry on?”
“No understand, need pay!” kata si muka dogol lagi, kali ini dengan senyum menyeringai, menunjukkan sederetan gigi yang menghitam karena alkohol.
Sial, pikirnya. Tinggal dua puluh menit untuk naik pesawat. Bagaimana ini?
Ia membuka ranselnya, dan melempar keluar 4 buah buku yang tadinya akan dijadikan hadiah untuk keponakannya. Iapun masuk ke imigrasi, diiringi tatapan puas si muka dogol yang sedari tadi menunggu kemenangan ini.
Ia turun dari pesawat terbang, setelah melalui lebih dari 10 jam perjalanan sejak ia bangun subuh tadi. Kini sudah sore di Jakarta. Badannya yang lelah kini semakin meradang diterjang hawa panas menyengat ibukota negara asalnya ini. Tapi, paling tidak ia sudah menempuh dua pertiga perjalanannya. Kini, tinggal satu kali lagi naik pesawat, kemudian naik bus selama delapan jam, menuju kampungnya di puncak pegunungan Bukit Barisan, Bengkulu. Membayangkan masih betapa jauh perjalanannya, ingin rasanya ia terbang bagai gatotkaca, langsung ke rumahnya.
Pesawat kecil yang ditumpanginya berkali-kali terguncang. Diluar sana gelap, hanya sesekali kilat menyambar. Hatinya berdebar-debar. Akan sampaikah ia ke rumahnya malam nanti? Dalam hati, ia menyesal mengapa memilih pesawat kecil ini. Sekali lagi, pesawat tergoncang keras, kali ini membuat semua penumpang berteriak. Seorang anak kecil yang duduk di depan, yang sudah menangis sejak tadi, makin keras saja tangisannya. Hatinya bergidik membayangkan apa yang terjadi jika petir menyambar pesawat kecil ini. Apakah ia akan mati disini? Tidak akan lagi bertemu istrinya, yang kini sedang menunggu di rumah? Apakah disini akan berakhir riwayatnya? Pesawat tergoncang sekali lagi. Jendela pesawat nampak basah terkena air hujan. Ya Tuhan, tolong, tolonglah hambaMu ini!
Delapan jam naik bus, tiga kali nyaris mati masuk ke jurang, dua kali nyaris bertabrakan dengan truk tanah, empat kali muntah, dan dua kali buang air kecil di dalam botol aqua. Badannya sudah bau tak keruan, seamburadul wajah bus antar kota ini dari dalam. Kursinya dekil, atapnya dekil, dindingnya dekil, bahkan penumpangnya pun dekil-dekil semua. Sangat jauh dengan pesawat pertama yang dinaikinya subuh tadi. Total, sejak ia bangun pagi tadi, sudah lebih dari 20 jam ia berada dalam perjalanan. Kini, ia melompat turun, menghirup udara segar wilayah perbukitan yang semakin ke Barat akan bangkit menjadi Pegunungan Bukit Barisan.
Ia membuka pintu untuk masuk ke ruangan yang serba putih. Disana, disebuah ranjang yang sederhana, duduklah seorang wanita yang amat dikenalnya. Ia tidak cantik, tidak juga modern. Namun, wajahnya tulus. Ketulusan yang membuatnya jatuh cinta, lebih dari segala macam wanita gaya yang ditemuinya diseluruh dunia. Dan, kini, didekapannya, ada sebuah wajah mungil, yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Wajah yang baru, yang bahkan belum pernah dilihat dunia. Wajah yang menyiratkan wajahnya sendiri - apakah hidungnya? Atau matanya? Ia tidak tahu. Namun, ia yakin, adalah wajahnya sendiri yang tersirat di wajah itu.
”Mas, akhirnya sampai juga” kata wanita cantik nan tulus itu.
”Ini anakmu Mas, baru dua jam lalu lahir ke dunia...”
Puji Tuhan!
Malam ini, ranjang tua dari sebuah klinik bidan menjadi palungannya. Wanita tulus yang menjadi istrinya menjelma menjadi Maria. Ruangan klinik yang serba ada menjadi kandang hewan. Dan, dalam bayi itu, ia melihat harapan, ia melihat masa depan, ia melihat berkat. Ia melihat Tuhan Yesus, yang tersenyum kepadanya malam ini.
Renungan Advent I - 4 Desember 2008
No comments:
Post a Comment