Alkisah, pada jaman maraknya pengaruh Partai Komunis Indonesia atau PKI tahun 1960-an, seorang Jenderal Angkatan Darat yang dikenal anti-PKI terkejut ketika mendengar ayahnya di pedalaman Solo masuk PKI. Ia pun langsung pulang ke kampungnya dan bertemu sang ayah, untuk menanyakan mengapa sang ayah masuk PKI. Sang ayah kemudian memberikan jawaban yang sangat sederhana. Seumur hidup, katanya, ia selalu berhutang karena jeratan tukang ijon dan rentenir. Ia selalu terpaksa menjual padinya dengan harga sangat murah kepada tukang ijon, dan berhutang kepada rentenir untuk membeli bibit. Tetapi, suatu hari, seseorang yang mengaku dari PKI datang, memberikan kredit tanpa bunga, plus mau membeli benih masak dan tidak diijon.
“Pak, tetapi PKI kan komunis? Kita kan beragama, mengapa Bapak mau ikut mereka?” tanya sang Jenderal yang masih keheranan.
”Nak, saya tidak peduli apa PKI itu komunis apa bukan. Yang jelas seumur hidup saya berhutang, lalu ketika PKI datang saya terbebas. Apapun juga yang dikatakan PKI, saya akan ikut!”
Ilusrtrasi diatas menggambarkan taktik PKI dalam melakukan penyebaran ideologinya, yang sebenarnya sangat bagus. Sadar bahwa ideologinya sulit diterima mentah-mentah, PKI menggunakan cara yang jitu – membuat targetnya merasakan langsung kehadiran PKI. Tanpa banyak pidato, tanpa banyak propaganda, cukup dengan niat tulus melunasi hutang, membelikan rumah, atau membayar uang sekolah, sudah cukup untuk membuat orang menerima PKI begitu saja. Karena jelas: manfaatnya sudah terasa!
Dalam perikop Yohanes 9, kita dapat mengamati hal yang sama pada sang pengemis yang buta. Karena kebutaannya, tentu saja orang ini juga tidak berpendidikan. Seorang pengemis lagi: pasti kumal dan miskin. Namun, sesudah sembuh, orang ini berkali-kali dengan tegas, bahkan lebih tegas daripada Petrus, mengakui kuasa Yesus yang menyembuhkannya (Yoh 9:13-34). Bahkan, di ayat 34, orang ini mampu memberikan jawaban yang membuat muka para Farisi yang terpelajar itu memerah, sampai ia diusir keluar. Bahkan orang tuanya sekalipun takut pada orang Yahudi – tetapi dia dengan gagah berani membela kesembuhannya di depan orang Farisi. Mengapa si pengemis buta bisa begitu teguhnya? Mengapa si kumal miskin ini begitu penuh hikmat berbicara di depan orang Farisi? Jelas – karena ia sembuh! Ia sudah merasakan manfaat dari kasih Kristus. Walaupun tanpa pengetahuan agama, tanpa latar belakang Taurat, ia dengan gamblang mengakui (Yoh 9:25), bahwa baginya semua itu tidak penting. Yang paling penting hanya satu: ia sembuh!
Banyak gereja yang melupakan prinsip ini ketika melakukan penginjilan atau menyebarkan Firman Tuhan. Yang dilakukan adalah dengan menegur orang dalam bis, di pasar, atau di mal. Disangkanya ketika mengatakan Firman Tuhan maka ada cahaya dari langit yang akan mempertobatkan orang yang tak dikenal. Kemungkinan itu memang ada, tetapi sangat kecil. Kemungkinan besar orang itu akan tersinggung dan malah antipati terhadap iman kita. Lalu caranya bagaimana? Sama seperti dalam perikop ini – buatlah orang itu merasakan manfaatnya! Berikanlah sesuatu – pakaian bagi yang telanjang, makanan bagi yang lapar, rumah bagi yang terlantar. Pastikan dahulu bahwa sebanyak mungkin orang merasakan manfaat langsung dari kekristenan! Baru kita bicara Firman Tuhan lebih dalam. Contohnya misalnya Ibu Theresa, yang bersedia berkorban demi melayani kaum miskin di Calcutta, India. Walaupun agama mayoritas di India adalah Hindu, tetapi Ibu Theresa dihormati oleh semua kalangan. Mengapa? Karena ia tidak berfokus pada penginjilan secara harafiah, melainkan memberikan kesempatan bagi masyarakat umum untuk merasakan kasih Allah yang dirasakannya, dan juga yang kita rasakan setiap hari, supaya masyarakat bisa merasakan sendiri manfaat dari kasih itu. Jika Sang Kasih itu sudah mengalir – siapa yang dapat menghentikanNya?
No comments:
Post a Comment