Kisah ini dimulai ketika Tuhan Yesus berjalan melewati seorang yang buta sejak lahir. Sudah merupakan pendapat umum bagi orang Yahudi di masa itu, bahwa jika seseorang lahir dengan cacat atau tertimpa musibah dalam hidupnya, musibah itu adalah ‘kutuk’ atau hukuman dari Tuhan karena kesalahan nenek moyangnya (seperti terdapat dalam Mazmur…). Maka, wajar saja, ketika rombongan berjalan melalui seseorang yang buta sejak lahir, seorang muridNya bertanya kepada Yesus: “Rabi, siapakah yang berdosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yoh 9:2). Tuhan Yesus kemudian menjelaskan dengan penuh hikmat dalam Yoh 9:3-5. Ia menjawab bahwa kebutaan atau ketidaksempurnaan orang itu bukanlah akibat dari dosanya maupun dosa nenek moyangnya, melainkan karena Allah memiliki rencana yang harus digenapi (Yoh 9:3). Kemudian, dengan cara yang tidak biasa, Ia menyembuhkan orang buta itu, dengan terlebih dahulu menyuruhnya untuk membersihkan diri di kolam Siloam, yang berarti ‘yang diutus’ (Yoh 9:6-7).
Reaksi para murid untuk mencari siapa yang bertanggung jawab atas kebutaan si pengemis itu merupakan ‘penyakit’ yang sering juga menjangkiti kita. Jika terjadi musibah atau penderitaan, maka yang dicari adalah ‘salah siapa’, atau ‘siapa yang bertanggung jawab’. Dalam banyak kasus, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan di tempat kerja, banyak sekali waktu, uang, dan tenaga disia-siakan utnuk sekadar mencari siapa yang bersalah. Si kambing hitam itu dicari dengan sepenuh tenaga, bahkan kalau perlu berbohong, sehingga dengan bangga kita bisa menunjuk mukanya dan berkata “Bukan saya Pak, itu salah dia”. Apakah dengan demikian masalahnya selesai? Problemnya terpecahkan? Tidak. Siapapun yang berdosa, si pengemis tetaplah buta. Siapapun yang bersalah, mesin produksi tetap saja rusak. Jadi, apalah gunanya mencari siapa yang salah? Lebih baik energi itu digunakan untuk mencari solusi, menemukan penyelesaikan untuk masalah yang terjadi.
Tuhan Yesus melakukan ini, yakni dengan tanpa tedeng aling-aling, tanpa menghakimi sang pengemis maupun nenek moyangnya, menyembuhkan mata sang pengemis itu. Ia memberikan solusi, Ia tidak membuang waktu untuk mencari siapa yang salah. Ia bahkan berkata, bahwa kebutaan sang pengemis diakibatkan oleh karena pekerjaan Allah yang harus dinyatakan dalam dia (Yoh 9:3).
Sampai sekarang, kita sering berpikiran sama dengan para murid Yesus. Ketika melihat seseorang yang terkena musibah, atau memiliki cacat sejak lahir, kita cenderung ’menghakimi’ orang tersebut dengan anggapan bahwa itu adalah ’karma’ akibat perbuatan seseorang. Inilah yang membuat sang penderita semakin sedih, karena tidak tahu apa yang dilakukannya sehingga ia menerima ’hukuman’ semacam ini! Tuhan Yesus dalam perikop ini menjelaskan dengan gamblang, bahwa tidak semua musibah yang menimpa seseorang diakibatkan oleh kutuk. Ada juga orang, seperti sang pengemis ini, yang memang memiliki cacat dengan tujuan supaya rencana Allah digenapi. Jadi, kebutaannya merupakan anugerah, bagian daripada rencana Allah untuk menyatakan kuasaNya. Kita sering mendengar tentang kisah Hellen Keller atau Fanny Crosby yang tuna netra, tetapi dalam kekurangannya kemudian menjadi kesaksian yang luar biasa bagi namaNya. Jika Tuhan punya rencana begitu indah untuk mereka, apalagi bagi kita, yang dianugerahi kelengkapan jasmani dan rohani. Pasti kita juga memiliki tempat dalam rencanaNya, memiliki andil dalam skenarioNya. Jadi, jangan rendah diri dengan kekurangan apapun yang kita miliki. Karena, seperti dibuktikan dalam perikop ini, Tuhan mampu mengubah kelemahan yang paling lemah sekalipun untuk menunjukkan kuasaNya!
No comments:
Post a Comment