Monday, January 18, 2010

Kuatkanlah Lututmu Hai manusia

Mahluk Sorgawi itu mengetuk pintu perlahan-lahan, seolah tidak ingin mengganggu pembicaraan yang sedang berlangsung dalam ruangan itu. Kemudian, Ia membuka pintunya sedikit, untuk melihat ke dalam.

Di dalam ruangan itu, nampak beberapa mahluk Sorgawi dan malaikat yang sedang mengadakan rapat. A, salah seorang malaikat, merasakan ada seorang mahluk Sorgawi yang ingin berkomunikasi denganNya. Iapun menoleh dan mendapati seorang mahkul Sorgawi di dekat pintu.

“Ada apa? Kami sedang rapat” kataNya.
“Iya Pak, tetapi ada sesuatu yang mendesak. Tentang manusia N Pak” katanya perlahan.
“Ah ya, manusia N” kata A sambil sedikit tersenyum.
“Apakah jawabannya sudah tiba?”
“Sudah Pak. Jawabannya negatif”
“Apa?! Negatif? Bagaimana bisa?!” jawab Malaikat A dengan nada tinggi. Air mukanya berubah, sayapnya bergetar kaget.
“Iya Pak. Alasannya sama: tidak ada perasaan, Pak” jawab sang Mahluk Sorgawi lagi.
Malaikat A merenung sejenak, lalu berkata singkat: “Baiklah, Saya akan pamitan dulu, sesudah itu mari kita bicarakan di ruang kerja Saya.”

Iapun berpamitan, kemudian melayang diikuti Mahluk Sorgawi yang menemuinya, menuju sebuah ruangan tempatNya bekerja. Iapun duduk, berhadapan dengan Mahluk Sorgawi yang mengikutinya.
Sambil menghela napas, Ia mulai bertanya.
“Jadi bagaimana ceritanya?”
“Ini kami peroleh dari monitor kami Pak” jawabnya pelan.
“Jawabannya negatif. Ia benar-benar tidak bisa menerima manusia N menjadi kekasihnya”
“Apa yang menjadi alasannya?”
“Ia merasa tidak ada feeling, Pak, walaupun ia tahu manusia N ini baik hati, berbakat, dan….”
“Punya masa depan cerah, ya, ya, semua tahu itu! Tapi, selalu ada tapinya!” potong Malaikat A
“Dan sebagai tanda terima kasih, manusia C memberikan hadiah pada manusia N, Pak”
“Apa hadiahnya?”
“Sebuah lilin kecil, Pak” jawab sang Mahluk Sorgawi, sambil setengah berbisik.
“Astaga – sebuah lilin kecil!” kata Malaikat A dengan suara meninggi.
“Mengapa harus lilin itu lagi?!”

Malaikat A teringat kira-kira sepuluh tahun dunia yang lalu, ketika Ia menjaga manusia N melewati masa-masa terpenting dalam hidupnya. Manusia N pada waktu itu memiliki iman yang sangat kuat, percayanya kepada Allah sangat dominan. Ia aktif di gereja, punya banyak teman, dan sangat berbakat. Namun, ketika tiba waktunya manusia N mencari pasangan, nampaknya ada sesuatu yang menghalanginya. Rupanya manusia N sangat canggung menyatakan perasaannya, sebuah kelemahan yang bisa dilihatNya dengan jelas melalui mata batinnya. Berkali-kali cintanya ditolak, sampai-sampai manusia ini nyaris putus asa.

Beberapa lama kemudian, manusia N jatuh cinta pada manusia D, seorang rekannya di gereja. Manusia N berdoa begitu kerasnya, supaya manusia D menerima cintanya. Waktu itu, Ia pun begitu yakin, bahwa manusia N bisa mencapai apa yang diinginkannya. Ia memulai maneuver untuk mengabulkan doa sang manusia: ia bertemu dengan Malaikat Penjaga manusia D, ia mengadakan pertemuan dengan AtasanNya, sampai-sampai mengorganisir sebuah pertemuan khusus untuk itu. Namun, keputusan ternyata jauh dari yang diharapkan. Manusia D menolak cinta manusia N, karena tidak ada perasaan cinta, katanya. Sebagai tanda terima kasih atas perhatian manusia N selama ini, ia memberikan sebuah lilin kecil.

Sesudah itu. manusia N begitu kecewa, hatinya begitu terluka. Ia bisa melihat bilur-bilur kekecewaannya, pertanyaannya yang menusuk, mengapa doanya tidak dikabulkan. Ia begitu marah dan sakit hati, sampai-sampai Malaikat A harus memanggil bala bantuan untuk membisikkan suara hati supaya si manusia ini terhibur. Ia ingat, betapa manusia A melemparkan lilin kecil itu keluar jendela rumahnya di lantai tiga, dan memandang pecahan lilin di lantai dengan mata nanar, seolah membayangkan pecahan kepalanya sendiri. Betapa manusia N sudah mulai memanjat jendela untuk melompat dan bunuh diri, ketika Ia mengirimkan bala bantuan dari Sorga untuk menghibur dan menguatkan si manusia kecil itu. Walaupun secara fisik ia bisa diselamatkan, namun hatinya tetap terluka. Setelah peristiwa itu, si manusia berjalan gontai kesana-kemari, tenggelam dalam dosa dan kenajisan, karena akar pahit dalam hatinya.

Sampai akhir-akhir ini, ketika si manusia ini bertemu dengan manusia E, yang dicintainya. Manusia E yang memberinya harapan, bahwa mungkin, kali ini, permohonannya akan dikabulkan. Mungkin, inilah akhir pencariannya, setelah begitu banyak rekan seusianya menemukan kekasih. Ia sudah begitu beku, sudah begitu kaku, setelah hampir sepuluh tahun didera kebuntuan cinta. Baru saja ia belajar kembali terbuka, belajar kembali jujur pada dirinya, dan berbicara apa adanya tanpa kebohongan. Ia masih ingat, kemarin waktu dunia, baru saja manusia N pulang dengan hati berbunga-bunga. Ia begitu lega, melihat senyumnya, melihat kebahagiannya – yang masih jauh dari sempurna, namun setidaknya ada secercah harapan.

Sampai kepada keputusan hari ini. Dengan hadiah lilin yang sama pula! Betapa hancur hati sang manusia, dan betapa ironis kejadiannya – dengan hadiah yang sama, di hari yang sama!

“Baiklah kalau begitu” kata Malaikat A setelah sejenak merenung.
“Saya akan memohon waktu bertemu Atasan Saya, untuk menanyakan masalah ini. Terima kasih atas informasinya, dan tolong monitor terus manusia N. Kalau ada apa-apa yang berbahaya, segera beritahu saya” katanya.
Mahluk Sorgawi di hadapannya mengangguk, lalu melayang pergi.

Iapun menutupkan sayapnya, memejamkan matanya, dan mulai berkonsentrasi. Ia memohon waktu untuk bertemu AtasanNya. Permohonannya dikabulkan, dalam waktu sepuluh menit waktu Sorgawi, Ia akan bertemu AtasanNya.

Iapun melayang, menuju tempat pertemuan itu. Koridor demi koridor dilaluiNya, sampai kepada sebuah tabir yang besar berwarna kesumba. Ia masuk, tanpa menyibakkan tabir tersebut. Beberapa Malaikat nampak berjaga-jaga di dalam Ruang Suci, dan segera mendapatkan konfirmasi melalui komunikasi Illahi, bahwa Ia sudah punya janji untuk bertemu AtasanNya. Iapun masuk ke Ruang Mahasuci, sebuah ruangan yang sederhana namun agung. Ia duduk, berkonsentrasi, memejamkan matanya, mengatupkan sayapnya, dan bersiap menghadapi kehadiran AtasanNya. Tak lama kemudian, ruangan itu dipenuhi cahaya. AtasanNya telah tiba.

“Bapa, mengapa Engkau begitu berat mencobai manusia N, anakMu ini?”
Tanyanya dengan sedih.
“Hamba tahu ia penuh dosa dan kotor sekarang, tapi bukankah ia berusaha sekuat tenaganya, ya Bapa? Bukankah dosanya selama ini didasari atas kekecewaannya? Ketidak mengetiannya akan cinta dan kasih?”
“Hamba mengerti, bahwa si manusia ini begitu lemah tenaganya, begitu sulit berjuang melawan kelemahannya. Ia begitu tidak berdaya, dan ia sendiri pun nyaris tidak bersemangat untuk bertarung. Tetapi, tidakkah ia sudah berusaha sekuat tenaganya, ya Bapa? Mengapa Engkau tidak memberikan kesempatan kepadanya? Mengapa Engkau memberi kesempatan kepada rekan-rekannya, tetapi tidak kepadanya? Mengapa ia Kaubiarkan terpuruk kembali? Mengapa ia Engkau hujamkan kembali ke tanah, bahkan dengan lilin kecil yang sama pula? Mengapa Engkau tidak mau menolongnya, memberinya mukjijat, sekali ini saja? Mengapa ia Kaubiarkan hancur kembali?”

Malaikat A berhenti berkata-kata. Ia sedih, sayapnya bergetar menahan perasaannya sendiri. Namun, cahaya lembut nampak berpendar di dekatnya. Ia merasakan senyum AtasanNya yang agung, sebelum Ia mulai berkata demikian”

‘Sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak, “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkanNya,

Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya, dan ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak.”

Jika kamu harus menanggung ganjaran, Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?

Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang

Selanjutnya dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati, kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup?

Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusanNya

Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.

Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah,

Dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh.

Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan.’

Malaikat A menghela napas, ketika AtasanNya selesai. Cahaya di ruangan itupun meredup, dan Ia mulai membuka matanya.
Ia melayang keluar, kembali ke koridor-korikor yang kini mulai kosong. Hari sebentar lagi akan berganti menjadi hari ketujuh, dimana seluruh penghuni Sorga beristirahat.
Ia melayang menuju ruang pemantau. Ia mencari salah satu dari lima milyar layar disana. Setelah beberapa saat berkonsentrasi, Ia menemukan layar manusia N. Ia mendekat ke layar itu, sendirian, sambil memandanginya dengan sedih.

Manusia N, manusia kecil dan rapuh itu, sedang tertidur kelelahan. Sebuah hari yang melelahkan, pikirNya. Hari yang penuh kegiatan, termasuk salah satunya kekecewaan sepuluh tahun lalu yang hadir kembali. Kekecewaan yag terulang kembali, yang belum sembuh, dan kini tersayat kembali.

Namun, lihatlah manusia N itu. Dulu, ia begitu hancur. Begitu putus asa, begitu tidak berdaya. Kini, ia tertidur lelap. Sebuah dus kecil berisi lilin nampak tergeletak di meja kamarnya – ia bahkan tidak sanggup membukanya. Namun, kali ini ia tidak melompat keluar untuk bunuh diri. Ia tertidur lelap, setelah menimbang-nimbang sampai larut malam. Ia terluka, ia sedih, namun ia jauh lebih kuat dari sepuluh tahun lalu. Ia masih tidak tahu kemana ia akan pergi, ia masih terpuruk dan terluka. Namun, ia tidak berantakan. Ia utuh, dan lebih kuat sekarang.

Lewat mata batinnya, Ia bisa melihat, betapa manusia itu kini berkilau, seperti pisau yang semakin tajam diasah. Seperti perkakas tembaga yang baru dibersihkan, seperti sepatu yang baru disemir. Mengkilap, walau hanya sedikit.. Mudah-mudahan, ia bisa segera menemukan pasangannya, pikirNya sedih. Mudah-mudahan, AtasanNya bermurah hati menunjukkan arah langkah selanjutnya.

Dada manusia kecil itu nampak naik turun dengan tenang.

“Kuatkanlah hatimu, Nak!” kataNya pelan.
“Kuatkanlah…..”

Amin

No comments: