Sunday, November 08, 2009

Kehampaan Yang Mengisi Kehampaan

“Sebab di mana ada dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah -tengah mereka”
Matius 18:20

Karen Armtrong adalah seorang penulis asal Inggris yang mengkhususkan diri di bidang komparasi agama. Salah satu karyanya adalah buku “A History of God”, yang mengisahkan sejarah pergumulan antara tiga agama samawi: Kristen, Islam, dan Yahudi. Karen, seorang mantan biarawati Katolik, dalam buku ini menulis dengan sudut pandang orang ketiga dan sangat piawai dalam menempatkan tiga agama tersebut secara adil. Namun, ada satu kesimpulan yang ia tarik, yang menarik untuk dibahas hari ini.

Setelah mendalami sejarah perjalanan agama Kristen dari kebangkitan Tuhan Yesus sampai lahirnya gerakan kharismatik, perjalanan agama Yahudi dari jaman Nabi Musa sampai aliran Kaballah, dan perjalanan agama Islam dari Nabi Muhammad SAW sampai gerakan Wahabi, beliau menarik sebuah kesimpulan. Bahwa, agama adalah sesuatu yang dinamis, karena manusia sendiri juga sangat dinamis. Manusia – seberapapun maju teknologinya atau tinggi ilmu filsafatnya, akan merasakan sebuah kehampaan (void) dalam dirinya. Kehampaan inilah yang membuat manusia gelisah, berusaha mengisinya dengan kegiatan rohani, bahkan berani memulai suatu revolusi rohani, karena ia merasa kebutuhan yang amat sangat untuk mengatasi kehampaan dalam dirinya.

Salah satu contoh kehampaan ini juga bisa kita lihat dalam buku “Eat, Pray, Love” oleh Elizabeth Gilbert. Dalam buku ini, Elizabeth mengisahkan perjalanan hidup seseorang yang merasa hampa dalam hidupnya. Tokoh dalam buku tersebut adalah seorang yang kaya dan tinggal di daerah mewah di New York, Amerika Serikat. Tapi kemudian ia menjual semua miliknya dan berkelana ke Italia, dimana ia berusaha mengisi kehampaan itu dengan makanan yang enak-enak dan pemandangan yang cantik. Kemudian, ketika kehampaan itu ternyata masih bercokol, ia terbang ke India, dan berguru di sebuah biara yoga disana. Di dalam biara ini, ia belajar bermeditasi, terus-menerus, sampai ia merasakan sebuah ‘kekuatan spiritual’ yang ada dalam dirinya. Namun, kehampaan itu masih ada! Akhirnya, Elizabeth pergi ke Pulau Bali, dimana ia bisa belajar tentang hidup yang saling membantu, saling mengasihi – Love. Rupanya, Elizabeth mengisi kehampaannya dengan kekuatan dirinya sendiri di Italia dan India, tetapi di Bali-lah ia menemukan keseimbangan. Justru interaksi dengan orang lain, menjadi anggota sebuah keluarga – itulah yang pada akhirnya berhasil mengisi kehampaan dalam dirinya.

Saya saat ini sedang berada di Republik Rakyat Cina (RRC). Negara yang kini sedang maju sangat pesat ini, memang sangat mengandalkan kekuatan diri sendiri. Rekan-rekan saya disini, terutama yang seumur dengan saya, selalu heran ketika saya menundukkan kepala untuk berdoa. “Mengapa harus berdoa? Bukankah kita mengandalkan kekuatan sendiri?” katanya – bukan dalam nada menginterogasi atau mengecilkan agama, tetapi karena betul-betul tidak mengerti mengapa orang berdoa. Ia betul-betul tidak paham, apa gunanya memejamkan mata dan berbisik dalam hati – seolah-olah ada yang mendengar diatas sana. Sesudah itu saya selalu bercanda kalau kita sedang mengerjakan sesuatu yang resikonya besar: “I hope to God, and you hope to yourself, that the machine will work!”

Minggu lalu, saya sedang mengurus Surat Ijin Mengemudi di pinggiran kota tempat saya tinggal, ditemani seorang rekan dari kantor. Seperti biasa, lokasi Kantor Polisi berada di sebuah jalan yang hiruk-pikuk, dengan perumahan padat dan jejeran pabrik-pabrik tidak jauh dari situ. Ternyata saya harus mengambil pas foto, sehingga kami menyeberang menuju tempat pengambilan fotonya. Betapa terkejutnya saya, bahwa di tengah-tengah kepadatan pinggiran kota ini, ada sebuah gereja, persis di depan tempat foto! Sebuah gereja katolik yang sangat sederhana, tanpa ukiran apapun. Dindingnya bersih, nampaknya baru dicat. Ketika masuk, hanya ada sebuah meja altar sederhana, dengan hiasan bunga plastik dan guntingan kertas warna. Diatas tabernakel, ada patung Tuhan Yesus besar – tidak dalam posisi disalib, tetapi berjubah dan sedang mengangkat tangan. Saya menduga, patung itu sebenarnya patung Yusuf – karena biasa dalam gereja Katolik ada patung Maria di sebelah kiri dan Yusuf di sebelah kanan, tapi kali ini hanya ada patung Maria saja. Di dalam gereja, ada kursi-kursi yang sudah reot, dengan bantal-bantal jerami sebagai alas untuk berlutut. Benar-benar mengingatkan saya pada gereja-gereja sederhana di pedalaman Flores. Sebuah ruang gereja yang kosong, dengan langit-langit tinggi, yang memberikan rasa teduh dalam hati, terpisah dari hingar-bingar di luar sana.

Saya kemudian masuk ke dalam gereja itu, dan duduk sejenak untuk berdoa. Sejak pindah ke Cina, saya larut dalam keseharian masyarakat disana. Hiruk-pikuk pekerjaan, setiap hari berjuang mendapatkan pesanan, menyelesaikan masalah, untuk mendapatkan uang. Uangnya untuk apa? Untuk belanja, membeli barang mewah. Bahkan, banyak orang menggunakannya untuk kesenangan pribadi – wanita dan minuman keras, sampai-sampai ritual ‘mabuk’ menjadi ritual yang umum dalam dunia bisnis di Cina. Dimana-mana ada kebebasan duniawi – mau apa saja boleh, asal ada uang. Tetapi, apakah semua kesenangan duniawi ini membawa kebahagiaan? Tidak. Tingkat stress makin tinggi, bahkan tidak sedikit orang bunuh diri atau membunuh orang lain karena mengendarai mobil sambil mabuk. Kehampaan itu – walaupun dalam kondisi ekonomi yang begitu baik – mulai muncul dan dirasakan oleh setiap orang. Lalu, apa yang bisa mengisi kehampaan ini? Apa yang bisa mengisi kekosongan ini?

Jawabannya ada pada gereja kecil ini – sebuah kekosongan, kehampaan! Lalu, bagaimana kehampaan bisa mengisi kehampaan? Ya – karena dalam kehampaan di gereja ini, ada Tuhan! Ketika rekan saya yang berasal dari Cina datang menjemput saya, ia ikut masuk ke dalam gereja. Karena kami masih harus menunggu, ia pun duduk di dekat saya, sambil ikut menundukkan kepala. Ia bahkan berbicara sambil berbisik dan mematikan suara ponselnya. Di Cina, hal ini sangat tidak lazim. Budaya Cina memang terbiasa dengan bicara dengan suara keras dan ponsel yang berbunyi – dan diangkat – setiap saat. Hal ini juga terjadi ketika pimpinan kami dari Eropa datang – sehingga kami sering harus menjelaskan supaya sang tamu tidak tersinggung, karena beginilah budaya di Cina. Lalu, mengapa di ruang kosong ini – di tengah kehampaan ini, rekan saya mendadak berbisik dan mematikan suara ponselnya? Padahal ia tidak mengerti apa itu agama, apalagi mengenal Tuhan Yesus?

Berarti, bahkan seseorang yang sangat pragmatis seperti rekan saya, bisa merasakan kehadiran Tuhan di gereja kecil itu. Benarlah apa yang Ia katakan dalam Matius 18:20, “Dimana dua-tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, Aku ada disana!”. Tuhan memang sungguh-sungguh ada dan hadir di dalam kekosongan ruang gereja itu. Dan, justru kekosongan inilah yang dibutuhkan oleh manusia! Kekosongan yang berarti jeda, istirahat, terpisah dari hingar-bingar dunia luar. Terputus dari kekuatan uang, kekuasaan, dan alkohol, tercerabut dari nafsu-nafsu duniawi. Sebuah ruang kosong, ruang hampa, dimana yang ada hanya kita – manusia, dan kehadiran Tuhan, Allah kita. Sebuah kekosongan yang bisa mengisi kekosongan dalam diri kita. Sebuah ruang hampa, yang disediakan Tuhan, supaya kita bisa duduk tenang, bersandar padaNya, berserah kepada rencanaNya.

Amin.

1 comment:

Arifjiddan said...

subhanallah