Monday, May 10, 2010

'Passive Income' Dalam Alkitab

‘Lalu FirmanNya kepada manusia itu: “Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu”’
Kejadian 3: 17 – 19

Robert Kiyosaki, seorang motivator ulung dunia, pernah terkenal dengan teori kuadran-nya. Dia menyebutkan bahwa manusia yang bekerja bisa dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran pertama adalah E atau employee, pegawai yang bekerja pada sebuah perusahaan, yang bergantung pada gaji bulanan untuk hidup sehari-hari. Kuadran kedua adalah S atau self-employed, seorang pekerja lepas, yang dibayar karena kemampuannya tetapi tidak bekerja pada perusahaan tertentu. Kuadran ketiga adalah B atau business owner, pemilik bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan dari bisnisnya. Kuadran keempat adalah I atau investor yang mendapatkan keuntungan dari uang yang diinvestasikan.

Dari teori ini, banyak orang memiliki pemahaman yang sebenarnya kurang tepat, yakni dimana seseorang dipacu untuk berada pada kuadran I atau B. Dalam kuadran ini, disebutkan seolah-olah bahwa ‘uang akan datang sendiri’, dimana Anda tinggal ongkang-ongkang kaki bersantai ria di rumah, dan ‘uang yang akan bekerja untuk Anda’. Uang akan menghasilkan uang secara otomatis dimana Anda tinggal menikmati hidup saja, tidak perlu kerja. Apakah benar demikian?
Saya sendiri adalah seorang pemilik bisnis walaupun kecil-kecilan. Saya sudah berusaha agar bisnis saya menjadi mandiri, dengan memberikan kepercayaan kepada pegawai. Saya berusaha untuk mengecilkan peran saya, memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya kepada pegawai. Tujuannya, saya ingin mencoba teori ini. Walaupun hasilnya tidak besar, bukankah menyenangkan jika bisa menghasilkan uang secara otomatis begini? Dimana uang akan datang sendiri tanpa tangan kita yang ikut bekerja?

Ternyata, kenyataan tidak seindah deskripsi awalnya. Memang, saya bisa mendapatkan keuntungan yang lumayan dari bisnis ini. Dan memang juga, bahwa saya sendiri tidak harus ikut bekerja, nongkrong dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore di kantornya. Tapi, bukan berarti saya ongkang-ongkang kaki saja. Ketika ada kerusakan barang milik orang lain sampai yang bersangkutan ingin menuntut kami ke pengadilan, sayalah yang ditelepon. Ketika neraca negatif sampai rugi cukup besar, sayalah yang menanggungnya. Ketika mesin rusak dan para pegawai harus begadang semalam suntuk untuk menyelesaikan order, saya memang tidak ikut bekerja, tapi saya ikut tidak bisa tidur! Karena saya tahu, kalau pelanggan kami besok kecewa karena kami tidak bisa menyelesaikan order, sayalah yang akan kena damprat di telepon!

Jadi, there is no such thing as a free lunch, kata orang Amerika. Demikian pula dalam hal pendapatan. Tidak mungkin uang datang sendiri tanpa kerja: pasti ada usaha yang harus kita lakukan untuk memperoleh hasil. Dan usaha secara fisika didefinisikan sebagai gaya dikalikan waktu, sehingga selalu dibutuhkan tenaga dan waktu untuk menghasilkan sesuatu. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam perikop Kejadian, ketika manusia dibuang ke bumi. Ini adalah salah satu kutukan dasar bagi manusia: tanah, yang di Surga menghasilkan segala sesuatu dengan sendirinya, di bumi harus ‘diusahakan’ agar bisa menghasilkan hasil. Jika tidak, maka hasilnya hanya semak duri dan rumput duri! Jadi, bahkan Alkitab pun setuju dengan fisika dan termodinamika: bahwa tidak mungkin ada hasil tanpa usaha!

Ada sebuah ilustrasi yang buat saya lebih cocok. Konon seorang ibu yang bijak pada suatu hari didatangi oleh seorang pengemis yang tangannya cacat. Pengemis ini berkata bahwa ia tidak bisa bekerja, dan memohon agar sang ibu mengasihani dia dan memberinya uang. Namun, sang ibu bilang, bahwa ia tidak punya uang, tapi punya makanan. Sang pengemis boleh makan, syaratnya adalah ia harus memindahkan setumpuk batu bata dari halaman depan rumah sang ibu ke halaman belakang. Sang pengemis pun, dengan satu tangan, susah payah memindahkan semua bata itu, sampai akhirnya ia bisa makan. Kemudian, hari keduanya, ia datang lagi, kali ini sang ibu meminta supaya bata yang ada di pekarangan belakang dipindahkan lagi ke depan, baru bisa makan. Begitu seterusnya, sampai suatu saat sang pengemis berhenti datang ke rumah sang ibu.
Bertahun-tahun kemudian datang sebuah kendaraan sedan mewah yang parkir di rumah sang ibu, yang tetap sederhana seperti dulu. Dari dalam mobil turun seorang yang nampak perlente, dengan jas dan jasi. Kacamata emasnya mengkilap berkilauan, jam swiss-nya yang berharga ratusan juta rupiah nampak terlingkar cantik di pergelangan tangan kirinya. Tangan kanannya tidak terlihat, rupanya beliau tangannya cacat. Ia lalu mengetuk pintu dan ketika sang ibu membuka pintu, sang ibu nyaris tidak mengenalinya lagi.

“Ibu, saya dulu adalah pengemis cacat yang pernah ikut makan di rumah ibu. Mula-mula saya tidak mengerti, mengapa Ibu meminta saya memindahkan bata bolak-balik dari depan ke belakang. Saya pikir Ibu kejam pada saya. Namun kemudian saya sadar, bahwa Ibu mencoba mengajarkan satu pelajaran penting: bahwa tidak ada makan yang gratis, semua datang dari keringat dan kerja keras. Setelah saya sadar, saya kemudian mencari kerja, dan menjadi sukses seperti sekarang. Saya datang kembali Ibu, untuk berterima kasih atas pelajaran hidup yang Ibu berikan...”

Cikarang, 2 Mei 2010

No comments: