“Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus, yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.”
Efesus 4:21 - 24
Pada hari Sabtu menjelang Paskah tahun ini, 22 Maret 2008, saya berkesempatan berkunjung ke situs Bukit Kasih di Tomohon, Sulawesi Utara. Walaupun saya tidak berkesempatan ke gereja, namun perjalanan mendaki Bukit Kasih membuat saya melakukan perenungan rohani yang sangat relevan dengan peristiwa Paskah.
Bukit Kasih adalah sebuah situs rohani yang terletak di sebuah bukit yang cukup tinggi. Dari kejauhan yang pertama kali nampak adalah sebuah tugu dengan lima sisi, yang tidak dindingnya melambangkan 5 agama yang diakui di Indonesia: Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Islam. Di setiap dinding terdapat plakat yang melambangkan tiap agama dan sebuah kutipan dari kitab suci masing-masing. Tugu ini menandai titik awal dari ziarah di Bukit Kasih. Dari sini, ada ratusan anak tangga yang berliku-liku untuk mencapai puncak ziarah yang tertinggi.
Sayapun mulai mendaki. Tangganya sangat terjal! Dengan kemiringan mencapai 45-50 derajat, napas saya langsung terengah-engah. Anak tangga pun menjadi tak beraturan, makin tinggi. Perut buncit ditambah jarang olah raga, membuat pendakian menjadi semakin sulit. Sekilas mirip dengan kondisi iman manusia yang jarang dilatih, sehingga menghadapi tanjakan kehidupan, cepat sekali terengah-engah. Ketika tujuan belum juga nampak, saya mulai bingung. Lanjut atau teruskan? Apakah saya punya tenaga cukup? Sekarang sudah jam 4 sore, dan mendung pula. Bagaimana jika nanti turun hujan? Bagaimana jika kami kemalaman pada saat kembali? Bimbang dan ragu. Sebuah refleksi kehidupan, dimana kita berada dalam kondisi iman yang gundah. Apakah saya sanggup mengikut Yesus? Apakah mengikut Yesus adalah jalan yang benar? Disini, peran teman-teman seperjalanan yang memberikan semangat sangat menentukan. Akhirnya, langkah demi langkah saya lewati sampai jalanan kemudian menjadi landai. Lega!
Saya sampai pada sebuah dataran yang indah di punggung bukit. Dari situ saya bisa melihat daerah perbukitan Kawanua yang indah. Pelataran tersebut merupakan tujuan ziarah, dimana terdapat rumah ibadah untuk 5 agama. Gereja, kapel, mesjid, pura, dan wihara berdiri berdampingan, melambangkan toleransi dari agama-agama di Indonesia. Tapi, apakah ini puncak tertinggi dari ziarah? Bukan! Rupanya, jauh diatas, di puncak bukit yang tertinggi, terdapat sebuah salib raksasa! Itulah titik tertinggi dari ziarah ini. Rupanya, arsitek dari Bukit Kasih ini sangat cerdik. Tempat ibadah 5 agama tidak diletakkan di tempat tertinggi, sebagai tujuan utama ziarah, melainkan sebagai perhentian saja. Bukankah setiap agama adalah jalan menuju Tuhan, menuju Sang Esa? Dengan demikian, agama memang bukan Tuhan, melainkan jalan menuju Tuhan. Tuhan Yang Esa sendiri, berada diatas sana - nun jauh di puncak tertinggi yang dilingkupi awan-awan!
Permasalahan berikutnya: apakah kita sanggup menaiki tangga lagi menuju Salib? Kalau tangga sebelumnya saja sudah membuat kita terengah-engah, bagaimana kita harus mendaki lagi? Kami pun naik tangga dengan ragu-ragu. Kalau tadi saja sudah jam 4 sore, kini waktu menunjukkan jam 5 sore. Awan mendung menggulung-gulung diatas, sementara kawah yang ada dibawah mengepulkan asap sulfur yang menyesakkan napas, membuat perjalanan menjadi semakin sulit. Tangga pun semakin menanjak, kini puncak bukit diselimuti kabut sehingga tidak terlihat. Makin lama tangga semakin sempit, terjepit oleh akar-akaran dan tumbuhan liar. Sementara, rintik-rintik hujan mulai terasa. Beberapa orang yang tadinya mendaki bersama kami memutuskan untuk menyerah dan kembali, karena konon ‘tempat di depan terkenal angker’. Saya pun menjadi bimbang - lanjut atau terus?
Kalau dalam mencapai agama kita mendapat ujian berupa tangga yang curam, untuk mencapai Tuhan ujiannya akan lebih berat lagi. Yang pertama adalah karena Tuhan berada di tempat yang lebih tinggi, sehingga semakin sulit untuk mencapaiNya. Yang kedua, adalah karena puncak bukit - Tuhan sendiri - tidak bisa dilihat dengan mata! Saya hanya bisa percaya, bahwa Salib itu ada disana - dibalik bukit yang menjulang dan kabut tebal yang menggantung. Saya tidak tahu berapa lama lagi harus berjalan, dan apakah tujuan itu benar-benar ada. Mendung dan matahari yang semakin condong ke Barat membuat hati menjadi ciut. Jika tenaga sudah habis, nyali sudah ciut, apalagi yang tersisa? Iman! Imanlah yang menjadi kunci. Imanlah yang tinggal, yang selalu membisikkan bahwa Ia ada diatas sana, Ia menunggu kita di tempat yang sudah disediakanNya. Kita tidak bisa melihatnya, bahkan tidak tahu berapa jauh lagi sampai disana. Tapi iman kita mengatakan bahwa Ia disana, dan Ia menunggu!
Akhirnya, setelah sempat bimbang, saya melanjutkan perjalanan, Pukul 5.30 sore, saya berhasil melangkahi anak tangga terakhir, dan jalan berubah menjadi jalan tanah. Saya bisa merasakan bahwa tujuan sudah dekat! Benar saja, tak lama kemudian, nampaklah Salib itu - kokoh berdiri di puncak bukit! Sebuah salib putih yang sederhana, yang membuatnya istimewa adalah beratnya perjalanan untuk mencapainya. Sebuah lambang dari ujian iman kehidupan yang terberat untuk mencapaiNya. Dari sana, tidak lagi terlihat dunia, melainkan hanya kabut dan awan tebal sejauh mata memandang. Haleluya! Saya sudah sampai! Dan puji Tuhan, ketika saya turun, semua nampak berubah. Awan yang tadinya menggulung mengancam kini lenyap diganti langit cerah dengan matahari bersinar terang. Tangga yang tadi begitu seram dan sempit, kini terlihat lebar dan bersahabat. Pepohonan yang tadinya seolah menyimpan ular yang bisa setiap saat mematuk, kini terlihat seperti semak biasa.
Itulah manusia baru! Manusia yang dikuatkan oleh iman, setelah perjalanan rohani untuk mencapaiNya. Itulah jiwa yang telah mengalami pencerahan, sebuah reformasi rohani yang mampu mengubah sudut pandang kita. Dari mendung menjadi cerah, dari mengancam jadi bersahabat. Tak heran bahwa ciri manusia baru adalah sikap ramah dan memaafkan, sikap kasih sayang dan persahabatan - karena setelah Ia mengubah sudut pandang kita, semuanya nampak indah dan bersahabat!
Bagaimana dengan kehidupan kita sekarang? Mungkin, kita sedang mendaki di tangga pertama, dimana kita masih bergulat dengan pemahaman agama dan segala peraturannya. Atau, kita sudah melalui tingkat kedua, perjalanan yang lebih sulit dalam mencapai lahir baru sebagai puncak kehidupan rohani kita. Apakah kita memutuskan untuk mundur dan mencoba jalan lain, atau menyerah dan kembali ke tempat asal? Ataukah kita sedang berhenti di tengah tangga dan memandang keatas dengan bimbang?
Saudaraku, jangan ragu dan bimbang. Yang kau lihat di bawah sana adalah kehidupanmu yang dulu - yang penuh dengan kesuraman awan mendung yang menggulung, penuh dengat pagut ular dari semak belukar, diisi oleh asap yang menyesakkan. Langkahkan kaki dan jangan ragu! Allahmu ada diatas sana. Jalan memang terjal dan sempit, namun iman jugalah yang nantinya akan menuntun kita sampai kesana. Dan, setelah sampai, jangan kuatir, karena reformasi rohani akan mengubah sudut pandang kita - mendung menjadi cerah, yang mengancam menjadi bersahabat. Dengan demikian lengkaplah transformasi rohani kita menjadi manusia baru, seperti Yesus yang bangkit dari kematianNya. Hosiana, puji Tuhan Semesta Alam!
Amin.