“Mengapa kamu mengejar aku, seakan-akan Allah, dan tidak menjadi kenyang makan dagingku? Ah, kiranya perkataanku ditulis, dicatat dalam kitab, terpahat dengan besi pengukir dan timah pada gunung batu untuk selama-lamanya!”
Ayub 19:22-24
”Apakah si pengecam hendak berbantah dengan Yang Mahakuasa? Hendaklah yang mencela Allah menjawab!”
Ayub 40:2
“Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit dari atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataKu sendiri menyaksikannya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu”
Ayub 19:25-27
Pernahkan kita mempertanyakan Tuhan? Tentu saja pernah. Mempertanyakan bukan berarti sekedar bertanya, melainkan cenderung menggugat, menyalahkan, atau bahkan tidak setuju dengan keputusan atau tindakanNya. Tindakan ini bisa memiliki konsekuensi fatal di kehidupan sehari-hari jika dilakukan pada manusia. Seorang pelayan bar pernah ditembak sampai mati hanya karena bertanya apakah kartu kredit tamunya masih berfungsi. Ya, mempertanyakan tindakan atau keabsahan seseorang, berarti meragukan otoritasnya, tidak mempercayai integritasnya.
Namun, seringkali kita berada dalam situasi yang memang layak dipertanyakan. Satu tahun yang lalu, 15 Juli 2007, di sebuah hari Minggu yang nampaknya biasa saja, saya mendapatkan kabar bahwa adik saya yang bertugas sebagai dokter di Fakfak mengalami kecelakaan. Anehnya, tidak seperti disambar geledek di siang bolong, namun berita itu hadir lewat telepon dan datang begitu saja. Saya ingat menanyakan kepada yang menelepon ,”Apa sudah tidak bisa tertolong lagi? Apa tidak bisa diusahakan?” - seolah-olah sedang menawar harga barang di Mangga Dua. Namun, bagai bayangan gelap yang berkelebat cepat, kepedihan dan perasaan kehilangan segera menyergap kami sekeluarga. Tangis pilu pun terdengar di rumah kami, yang bertahun-tahun jarang sekali menemui isak tangis. Hari itu, kami kehilangan Erina, sebuah kenyataan yang mulai terasa pahit dan menyakitkan di hati.
Dalam kondisi ini, salahkah bila saya mempertanyakan Tuhan? Bila kami sekeluarga, yang adalah orang Kristen yang cukup taat, mengacungkan jari dan bertanya kepada Tuhan? Begitu pula yang dilakukan Ayub dalam perikop diatas. Ayub, yang tidak bercacat cela, juga tiba-tiba mengalami bertubi-tubi penderitaan yang seolah jatuh dari langit. Tidak ada sebabnya, tidak ada penjelasannya, tiba-tiba saja semua yang dimiliki Ayub diambil oleh Tuhan. Dan manusiapun mulai bertanya: mengapa? Pertanyaan inilah yang kemudian menjadi akar masalah. Seperti teman-teman Ayub yang berhati keji, manusia kemudian berusaha menjawab pertanyaan ‘mengapa’ dengan teori konspirasi yang bukannya melegakan hati, melainkan menambah beban yang menderita. Lihat saja Ayub, apakah ia kemudian merasa lega ketika berbicara dengan teman-temannya? Tidak, hatinya tambah hancur!
Lalu bagaimana jawaban Tuhan atas pertanyaan Ayub? Bagaimana Ia menjawab pertanyaan ‘mengapa’ dari Ayub?
Perhatikan perikop Ayub 40, ketika Tuhan mulai menjawab Ayub. Bagaimanakah Ia menjawab? Apakah ia menjelaskan alasanNya, memberikan sebuah runutan kronologis yang berujung pada keputusanNya, bermuara pada penderitaan Ayub? Apakah Ia memberikan alasan, sebab-akibat, dan kausa prima? Tidak! Ia menjawab dengan perumpamaan mengenai ciptaanNya, proses alam yang ada dalam kuasaNya. Ia melukiskan kuasaNya dalam menciptakan binatang-binatang yang kuat dan hebat, yang kemudian membandingkannya dengan situasi Ayub: apakah Ayub berhak bertanya? Dan kalaupun Tuhan memberikan sebuah teori, apakah kita bisa mengerti? Tidak. KuasaNya diluar akal kita, hikmatNya melebihi rongga jiwa kita. IlmuNya tidak tertampung dalam selaksa otak manusia, bahkan kerlingNya bisa membakar kita sampai hangus. Lalu apakah hak manusia untuk mengerti? Tidak. Ayubpun sadar dan memberikan keputusan akhir kepada Tuhan.
Saudaraku, jika kita mengalami sebuah bencana, satu hal yang tidak boleh kita tanyakan: mengapa! Siapa, dimana, kapan, dan bagaimana bisa saja dijelaskan, tapi mengapa adalah hak Tuhan. Jangan berteori sendiri, beranggapan macam-macam, dan mencari-cari dosa yang membuat yang bersangkutan layak dihukum - jika demikian, kita sama seperti teman-teman Ayub yang dibenci Tuhan. Tetapi, percayalah akan kuasaNya, hikmatNya, dan kemuliaanNya. RencanaNya yang jauh diatas rencana kita. Jika Ia mampu merencanakan musim semi dan musim panas, cantiknya warna anggrek bulan yang menggantung di pohon, atau indahnya pemandangan koral di dasar samudera - siapakah kita, meragukan kemampuanNya untuk merancang hidup kita sesuai rencananya? Apakah kita bisa melihat apa yang dilihatNya, atau mengerti apa yang penjadi pengertianNya? Tidak. Maka hanya ada satu yang harus kita lakukan: percaya, seperti nelayan percaya kepada angin yang tak berwujud, seperti seorang penerbang yang percaya pada sebatang jarum di panel kontrolnya. Bangkitlah, berjalanlah! Karena Tuhan sudah memanggil kita lewat pecutNya yang pedih. PecutNya yang sekarang memacu kita untuk lebih cepat lagi sampai ke tujuan yang sudah dirancangNya. Amin!
Chicago, 15 Juli 2008
Satu tahun perginya dr. Erina Natania Nazarudin, 15 Juli 2007 - 15 Juli 2008.