”Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan”
Lukas 14:11
Kota Jakarta memang memiliki ’hawa persaingan’ yang cukup kuat. Apa maksudnya? ’Hawa persaingan’ adalah atmosfir lingkungan dimana kita selalu berada dalam kompetisi dengan banyak orang dan harus berjuang - kalau perlu merugikan orang lain - untuk mendapatkan hasil. Coba saja kita runut: sejak bangun pagi, kira harus terbirit-birit berangkat kerja karena rumah kita berada di pinggiran kota. Bahkan, sebelum matahari terbit, kita sudah siap dengan kemeja dan dasi. Lalu, pertarungan pertama: menghadapi kemacetan ibukota. Setiap mobil saling serobot, dan kita harus sangat agresif kalau mau cepat. Kalau perlu, mobil sebelah kita serempet, atau motor kita tabrak jatuh. Tentu saja kita yang akan terserempet jika kebetulan yang mepet dari samping adalah metromini atau bus damri - yang dengan dalih ’urusan perut’ tidak peduli perut orang lain, hanya memikirkan perut sendiri saja.
Di kantor, di dalam meeting atau bahkan melalui e-mail, pertarungan pun terjadi. Bahkan konon, semakin tinggi Anda meniti jenjang karir, semakin kencang pertarungan yang terjadi. Waktu masih jadi operator, masalahnya adalah bagaimana bekerja dengan baik sesuai prosedur. Namun, kalau sudah jadi manajer atau direktur, masalahnya bukan lagi tugas, melainkan kepentingan. Kepentingan siapa yagn harus dibela? Apa akibatnya bila kepentingan si A saya dahulukan daripada si B? Belum lagi pertarungan dengan ‘musuh’ yang sederajat - dimana kepentingan saya dan dia bertabrakan dan kita lihat siapa yang lebih kuat!
Persaingan semacam ini bukan saja di jalan raya atau di kantor, tapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Lihat saja: betapa banyak orang yang terjebak utang kartu kredit hanya karena iri hati pada barang-barang milik tetangga atau saudara yang lebih mampu. Memang ini adalah contoh klasik seperti di film Si Unyil, namun ini benar-benar terjadi. Apalagi, di kota besar seperti Jakarta. Ini bisa dibilang sebagai hukum ekonomi: ketika peminat banyak, dan kesempatan terbatas, maka akan terjadi persaingan. Jakarta, untuk Indonesia, adalah tempat dimana persaingan ini terjadi dengan sangat kuat.
Lalu bagaimana efek persaingan dalam kehidupan kita? Persaingan membuat kita berada dalam ‘red alert’ terus-menerus. Seolah-olah kita selalu mengganggap semua orang di sekitar kita adalah musuh, yang bisa menjegal kita setiap saat, dan setiap saat juga harus kita jegal duluan. Orang pun menjadi gila hormat - setelah memenangkan persaingan, saya ingin seluruh dunia tahu bahwa saya yang menang! Obsesi ini muncul dalam berbagai pelayanan ‘VIP’ - dilarang parkir kecuali VIP, dilarang masuk kecuali VIP, bahkan jalan tol sekalipun bisa ditutup gara-gara ada VIP. Akibatnya, kita ingin selalu menjadi VIP - selalu di depan, di tempat yang tinggi, selalu menang. Perubahan sifat karena persaingan ini paling terasa ketika dari Jakarta kita mengunjungi kota-kota lain yang lebih kecil. Kita mendadak terlihat selalu terburu-buru, tukang marah-marah, dan tidak mau mengalah dibandingkan warga Tegal atau Purwokerto yang adem ayem.
Perikop Lukas 14: 7-11 adalah sebuah perikop sederhana, yang saking sederhananya mungkin jarang dijadikan ayat dasar khotbah-khotbah gereja. Namun, di dalamnya terkandung sebuah kebijakan praktis yang sangat relevan untuk kita. Sebuah perumpamaan yang sederhana. Dalam adai istiadat Yahudi, seperti juga di budaya-budaya lain, dalam pesta pernikahan pasti ada hirarki, bahwa orang-orang penting dan keluarga dekat duduk di tempat tertentu yang sudah disediakan. Nasihat Tuhan Yesus sangat sederhana: kalau kita tidak pasti akan posisi kita, pilihlah tempat yang paling rendah. Maka, hanya ada dua kemungkinannya: di-upgrade atau paling sial tetap di tempat yang sama! Kalau kita selalu menempatkan diri menjadi paling penting, paling terhormat, dan paling didahulukan, maka jangan-jangan kita nanti menjadi malu ketika ternyata kita tidak penting-penting amat.
Dengan kata lain, Tuhan Yesus menganjurkan supaya kita tidak selalu memposisikan diri sebagai VIP, tapi sebagai NIP: Not Important Person. Masuklah paling belakang - berikan tempat bagi orang lain. Belajarlah untuk mengalah, karena mengalah berarti memposisikan diri menjadi NIP, dan sewaktu-waktu kita bisa di-upgrade menjadi VIP dengan sendirinya, tanpa marah-marah atau beradu argumen dulu. Bukankah lebih menyenangkan di-upgrade menjadi VIP - seperti diundang pemilik pesta ke tempat yang lebih terhormat - daripada menjadi VIP dengan pandangan sebelah mata, karena hasil marah-marah? Dan coba pikirkan baik-baik: bukankah VIP sejati justru selalu nampak rendah hati? Beberapa kali saya bertemu dengan profesor terkenal, peneliti handal, atau pejabat pemerintah yang terkenal jujur - mereka selalu nampak sederhana dan tidak menonjolkan diri. Tapi - begitu mereka masuk ruangan - semua orang langsung berebut menyambut memberikan tempat terbaik. Bukankah itu lebih indah, daripada orang-orang yang dari awal sudah petantang-petenteng dengan mobil Lexus, tas Louis Vuitton, dan kacamata Chanel, seolah selalu mengingatkan bahwa mereka adalah VIP, padahal semua tahu bahwa uangnya hasil korupsi? Selalu posisikan diri Anda sebagai NIP, supaya Anda menjadi VIP di mata Tuhan!