Thursday, July 29, 2010

Gusti Ora Sare

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah”
Roma 8:28


Seorang pebisnis global pernah menulis sebuah artikel yang menarik di majalah CNN Travel. Di dalam artikel tersebut dia menceritakan tentang perjalanan bagasi dalam perjalanan udara, jadi apa yang terjadi pada koper dan tas kita setelah di-check-in-kan di counter check-in maskapai penerbangan. Koper-koper itu diberi tanda atau tag, yang kemudian di-scan dengan sensor infra merah pada setiap pintu. Lalu, tergantung airportnya, mulailah perjalanan unik sang bagasi yang tidak kalah padat dengan pemiliknya.


Koper-koper ini akan berjalan melalui sistem konveyor yang rumit, bergerak dari satu terminal ke terminal lain menuju gate penerbangannya. Kemudian, dari sana bagasi akan masuk ke kompartemen bagasi dari alumunium berbentuk kotak. Dari situ akan ditarik oleh sebuah mobil untuk dimasukkan ke dalam bagasi pesawat. Bagasi pesawat tidak memiliki pelindung suhu seperti dalam kabin penumpang, sehingga suhu bisa jatuh sampai 5oC. Ketika transit, prosesnya lebih rumit lagi, karena bagasi-bagasi ini bergerak secara otomatir dari satu terminal ke terminal lain, mengikuti penumpangnya – yang mungkin sedang ngopi di salah satu kafe bandara – untuk ke pesawat yang dituju. Sampai sana, bagasi masuk kotak aluminium lagi, dan begitu sampai di tujuan, barulah ia bertemu kembali dengan pemiliknya.


Proses ini begitu tersembunyi, begitu otomatis, sehingga kita tidak pernah memperhatikannya. Yang kita ingat hanyalah pada saat bagasi kita hilang – lalu dengan lantang kita mengajukan keluhan pada sistem bagasi yang ngawur atau teknologi yang kurang canggih. Padahal, bayangkan: sekitar 1 dari 100.000 bagasi mengalami masalah dalam perjalanan – sisanya semuanya lancar! Kita sendiri, mungkin mengalami 1 – 2 kali kehilangan atau kerusakan bagasi, tetapi berapa kali kita mengalami pengantaran bagasi yang lancar, mulus, tiba dengan selamat?
Saya rasa, begitulah juga Allah turut bekerja dalam kehidupan kita. Allah Maha Kuasa, Ia mengetahui dan mengatur semua aspek kehidupan kita. Ia tahu kapan waktu yang tepat, Ia tahu kapan kita menangis, tertawa, atau kesakitan. Ia bekerja, dalam segala sesuatu, seperti yang ada dalam perikop diatas. Tapi, apakah kita pernah bersyukur? Yang kita ingat hanyalah masa-masa sial, dimana kita mengalami musibah atau bencana. Namun, jutaan kali matahari terbit dan terbenam tepat waktu, ribuan kali musim berganti sesuai jadwal, dan kerja Allah lain dari besar sampai kecil, kadang kurang kita perhatikan. Marilah bersyukur atas hal-hal kecil – karena Allah tidak tidur, Gusti ora sare!

Thursday, July 15, 2010

Berdamai Dengan Kematian

Menghadapi kematian memang gampang-gampang susah. Gampang, karena mengucapkan kata 'mati' itu lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata "Mampus lu!" atau "Mati dah gua..." sering sekali kita ucapkan, baik sengaja maupun tidak, hehe. Bahkan mati seolah-olah menjadi pilihan dalam hidup, seolah-olah sebagai emergency button yang kadang-kadang dengan warnanya yang merah dan bentuknya yang menonjol dengan sexy-nya, menggoda kita untuk menekannya. Padahal, kematian yang sesungguhnya, apalagi yang tidak diduga-duga, sangat lain bentuknya dengan 'mampus' yang kita lafalkan. Kematian yang sesungguhnya sangat berat, karena merupakan sebuah kondisi yang konstan, padahal hidup ini tidak ada yang konstan. Makan, lapar lagi. Kaya, bisa miskin. Mati adalah konstan, sehingga kadang-kadang pikiran kita seolah-olah ditampar berkali-kali setiap kali dia mengecek kenyataan dan mendapatkan bahwa yang mati tetaplah mati dan belum berubah.

Tahap pertama dalam menghadapi kematian pasti adalah menerima kematian itu. Sebenarnya penerimaan ini bukan pilihan - mau tidak mau ya harus diterima. Hanya, memang pikiran dan jiwa manusia butuh waktu untuk me-register dalam prosesornya bahwa yang bersangkutan sudah tidak ada. Pikiran kita berkali-kali mengecek kenyataan, bahkan rasanya tidak akan kaget bila yang sudah meninggalkan kita itu masih mengirim sms atau pesan facebook. Ini adalah sebuah proses yang sangat-sangat melelahkan, karena berkali-kali proses pengecekan dilakukan, berkali-kali pula kita disadarkan akan kepahitan dan kehilangan yang terjadi. Lalu muncul pertanyaan yang paling jahat: mengapa? Dan demikian seterusnya.

Tetapi, Tuhan memang Maha Adil. Beliau sudah menyiapkan suatu sistem dalam jiwa kita yang membuat proses ini tidak berlangsung selamanya. Otak dan hati kemudian akan mulai belajar menerima kenyataan kehilangan tersebut. Hati dan pikiran mulai sedikit rileks, tidak lagi melakukan mengecekan berulang-ulang. Ini berarti kehilangan yang bersangkutan sudah diregister dalam alam bawah sadar kita. Hidup mulai kembali normal, biasanya dalam jangka waktu setahun setelah kehilangan. Saya sendiri merasa heran, betapa besar perbedaan antara setahun sebelum dan sesudah kehilangan. Tuhan memang Maha Adil.

Sesudah bisa menerima, tahap berikutnya adalah hidup dengan kematian. Ini artinya, antara hidup dan kematian berjalan berdampingan. Hati dan otak sudah meregister bahwa yang bersangkutan sudah tidak ada. Hidup berjalan kembali. Matahari terbit dan tenggelam, anak-anak lulus dan pindah sekolah. Tapi, yang bersangkutan tetap tidak ada. Otak sudah tidak teriak lagi, tetapi masih diam. Tidak berceloteh. Hidup diusahakan berjalan tanpa yang bersangkutan. Kalau bisa jangan diingat, kalau bisa ditiadakan. Kalau bisa jangan dibicarakan, supaya hidup tidak terganggu. Tapi, masalahnya, kematian adalah konstan. Mau dicuekin pun, kematian tetap ada di pojok. Menyeringai dengan jahatnya. Begitu kita sedih, begitu otak lelah dan lengah, kematian menelusup masuk. Mengungkit kenangan dan argumen lama. Keluarlah kalimat pengandaian yang paling jahat: seandainya... kalau waktu itu...

Inilah yang disebut hidup dengan kematian. Hidup berjalan, kematian juga berjalan. Berdampingan, sikut-sikutan. Masing-masing berebut perhatian otak dan hati kita. Masing-masing berusaha menarik perhatian nurani dan jiwa kita. Masing-masing teguh berada di tempatnya, membuat kita seolah tercabik di tengah-tengah. Hidup menjadi kosong, karena kita berada diantara hidup dan kematian. Ke kiri tidak, ke kanan tidak. Lama-lama, tenaga akan habis, dan kepahitan akan menaklukkan optimisme kita. Itu kalau kita tenggelam dalam tahap ini, dan tidak berbuat sesuatu untuk maju ke tahap berikutnya!

Apakah tahap berikutnya? Berdamai dengan kematian. Sebuah kata-kata indah yang saya dapatkan dari sebuaj episode Kick Andy di MetroTV. Episode yang mengisahkan keluarga yang ditinggalkan sanaknya ketika menjadi korban jatuhnya pesawat Adam Air beberapa tahun lalu. Trenyuh melihat mereka di TV. Saya baru kehilangan seorang adik saja sudah begini, apalagi ini, satu keluarga seketurunan hilang semua dalam waktu singkat. Namun, judul episode ini membuat saya tersentuh, karena inilah tahap berikutnya. Kita harus berdamai dengan kematian.

Maksudnya berdamai adalah, kenyataan kehilangan bukan lagi dianggap sebuah tabu. Orang yang kita cintai tidak lagi kita simpan dalam-dalam dalam kotak hati yang tertutup rapat, kalau bisa jangan diperlihatkan siapa-siapa. Kenangan-kenangan yang ada kita buang, kita letakkan nun jauh disana, kalau bisa jangan teringat lagi. Ini bukan damai namanya, ini berarti musuhan dengan kematian. Kematian kita anggap musuh, kita jauhkan, kita lupakan. Namun, sudah menjadi sifat kematian yang sangat konsisten. Seringainya tetap tersungging di pojok saja, dan ia akan kembali sejauh apapun kita berusaha menghindar. Ingat, kita selalu berubah, sementara kematian konstan. Ia persisten. Ia tetap disana, sementara kita bolak-balik. Dalam proses bolak-balik ini, pasti satu atau dua kali kita bersenggolan dengan kenangan kematian, dan seringainya sekali lagi melemahkan kita.

Berdamai berarti berjalan berdampingan dengan kematian. Berdamai berarti mengenang orang terkasih sebagaimana adanya. Berdamai berarti tidak menghindar dari kenangan kematian, tetapi bergandengan tangan dan melangkah bersama mengarungi kehidupan. Mengganggap kematian sebagai sebuah kenyataan pahit yang akan membawa berkah, yang sudah terencana. Menerima, bahwa rencanaNya diatas rencana kita. Mengakui, bahwa toh kita semua akan berakhir sama - kita hanya berbeda waktu. Jadi, untuk apa ditangisi? Untuk apa dihindari? Waktu toh sama konsistennya dengan kematian. Waktu toh tidak bisa kita rem atau kita percepat. Waktu kita sendiri, tidak bisa sedetikpun kita percepat atau perlambat. Jadi, nikmati saja! Waktunya akan tiba bahwa kita berkumpul kembali. Kenanglah waktu-waktu yang lalu, bersiaplah menuju waktu yang akan datang, tiba waktunya.

Tuhan memang Maha Adil. Ketika Ia menciptakan kematian yang konstan, ia juga menciptakan waktu yang sama konstannya. Waktu pada akhirnya akan menang, sampai Ia datang untuk kedua kalinya. Untuk apa kita kuatir?

Berdamai dengan kematian berarti menghargai kematian dan kehidupan apa adanya. Berdamai dengan kematian berarti mengenang yang tercinta dengan terbuka, tidak menyimpannya dalam hati. Berdamai dengan kematian adalah langkah terakhir, yang tidak jatuh dari langit, tetapi sesuatu yang harus kita usahakan. Harus kita perjuangkan, dan menjadi pembelajaran besar buat hati kita. Itulah sebabnya banyak sekali jiwa-jiwa besar hidup di tahun 1960-an. Karena, begitu banyak orang pada waktu itu didera kehilangan hebat akibat Perang Dunia II. Lihat apa akibatnya! Mereka keluar sebagai pemenang, jiwa mereka kuat, hatinya teguh, jauh jika dibandingkan dengan generasi sekarang. Itulah manfaat dan kekuatan yang diperoleh dari perdamaian dengan kematian.

Jadi, berdamailah dengan kematian. Jangan musuhi dia, jangan hindari dia. Hadapi dia - jabatlah tangannya. Nicaya seringai sinis itu akan menjadi senyum manis, dan kenangan yang dulu indah, akan menjadi indah kembali.

Toh.... kita cuma berbeda waktu!

3 Tahun Meninggalnya dr. Erina Natania Nazarudin
Kedoya, 15 Juli 2010

Sunday, July 11, 2010

Mengapa Orang Gerasa Takut Kepada Yesus?

'Dan Yesus bertanya kepadanya: “Siapakah namanu?” Jawabnya: “Legion,” karena ia kerasukan banyak setan.'

Lukas 8:30

'Orang-orang yng telah melihat sendiri hal itu memberutahukan kepada merek, bagaimana orang yang dirasuk setan itu telah diselamatkan. Lalu seluruh penduduk daerah Gerasa meminta kepada Yesus, supaya Ia meninggalkan mereka, sebab mereka sangat ketakukan. Maka naiklah Ia ke dalam perahu, lalu berlayar kembali'

Lukas 8:36-37

'Dan orang yang telah ditinggalkan setan-setan itu meminta supaya ia diperkenankan menyertai-Nya. Tetapi Yesus menyuruh dia pergi, kataNya: “Pulanglah ke rumahmu dan ceriterakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu.” Orang itupun pergi mengelilingi seluruh kota dan memberitahukan segala apa yang telah diperbuat Yesus atas dirinya'

Lukas 8:38-39

Kisah misterius ini membuat kita sulit percaya bahwa kejadian ini benar-benar terjadi. Kita berpikir, mungkin ini adalah suatu kiasan, atau Tuhan Yesus sedang membuat perumpamaan mengenai sesuatu. Jika tidak, bagaimana sesuatu yang dramatis seperti ini bisa terjadi? Bahwa satu orang bisa dirasuki bukan satu, tapi 2000 setan? Bahwa kemudiannya setan tersebut tidak diusir tetapi masuk ke dalam babi? Babinya kemudian terjun ke dalam laut? Dan, yang paling aneh lagi, bukannya berterima kasih, mengapa penduduk setempat malah meminta Tuhan Yesus pergi? Dan, orang yang disembuhkan justru tidak boleh mengikut Yesus?

Secara jurnalistik, kalau kisah ini adanya hanya di salah satu kitab, kebenarannya bolehlah diperdebatkan. Tetapi, kisah pengusiran setan orang Gerasa ini dikisahkan bukan hanya dalam satu, tetapi tiga Injil sekaligus: dalam Matius 8:28—34, Markus 5:1-20, dan Lukas 8:30-39. Semuanya mengisahkan ceritra yang mirip. Mengenai makna pengusiran setannya sendiri, sudah banyak dibahas di berbagai tulisan dan khotbah. Namun, ketika saya mendengar khotbah ini di GKI Cikarang, yang mengganggu benak saya adalah: mengapa masyarakat sekitar bukannya menerima Tuhan Yesus, tetapi malah takut dan meminta Tuhan Yesus pergi?

Bayangkan jika hal ini terjadi di kampung Anda: ada orang yang sudaj lama gila, tinggalnya di kuburan. Orang ini tidak berpakaian, sering kerasukan dan mengguling-guling sambil berteriak-teriak. Pernah dicoba dipasung, tapi orang ini saking kuatnya, pasungannya sampai bisa dipatahkan. Akhirnya dia berjalan-jalan saja di kuburan, seperti orang liar, mengganggu dan mengancam keamanan setempat. Apa yang Anda lakukan? Ya – memanggil dukun atau pendeta atau pastor, bukan? Lalu, kalau setannya berhasil keluar, Anda pasti berterima kasih pada orang yang mengusirnya. Nah, lalu bagaimana orang Gerasa ini? Mengapa mereka justru disebutkan 'takut' dan meminta Tuhan Yesus pergi?

Alasan umum yang sering dikutip adalah bahwa orang Gerasa kehilangan peliharaannya yang berharga, yaitu babi. Dalam Alkitab tidak disebutkan jumlahnya, tetapi satuan legion dalam militer Romawi berarti 2000 pasukan, sehingga kira-kira ada 2000 ekor babi yang mati. Namun, kalau memang orang Gerasa kesal atau marah, mengapa disebut takut? Kata 'takut' dalam Alkitab sering juga berarti kagum, seperti ketika Tuhan Yesus menyembuhkan orang lumpuh dalam Matius 9:8. Namun, sesudah itu dalam Matius 9 dikisahkan orang-orang yang takut kemudian memuji danmemuliakan Allah, yang ini kok malah meminta Tuhan Yesus pergi? Rasanya, kalau alasannya kehilangan uang, mereka pasti punya reaksi yang berbeda. Atau, Alkitab pasti menuliskan reaksi mereka sebagai marah, kesal, atau terganggu. Tapi, tidak ketakukan, bukan?

Untuk memahami hal ini, kita perlu memahami latar belakang orang Gerasa. Gerasa adalah salah satu bagian dari Dekapolis yang terletak di sebrang Danau Galilea kalau dilihat dari arah Nazareth. Gerasa, sama seperti Kaesarea Filipi, adalah wilayah diluar daerah inti Israel. Artinya, di daerah ini pengaruh Yahudi tidak lagi kuat, bahkan bahasa yang digunakan sudah bukan lagi bahasa Yahudi tetapi bahasa Romawi dan Yunani. Disebutkan bahwa di wilayah Gerasa ini, pengaruh Yunani sangat kuat.

Yunani memiliki sejarah yang unik, mirip dengan peradaban Eropa masa kini. Yunani memulai peradaban mereka dengan mistisisme yang kuat, seperti konsultasi dengan 'dukun' bernama 'Orakel' di kuil Pantheon, yang konon bisa menatap masa depan. Tapi, perkembangan sastra dan intelektualitas membuat orang Yunani menjadi sangat pragmatis. Muncul universitas-universitas, serta filsuf-filsuf handal seperti Plato dan Aristoteles, yang membawa semangat mirip jaman pencerahan di Eropa. Budaya Yunani terkenal menjadi sangat pragmatis, materialis, dan mengandalkan otak dan kekuatan manusia. Buat mereka, dunia orang Yahudi yang penuh dengan ritual, mukjijat, dan aturan agama, pastilah terlihat sangat 'kuno', aneh, dan – menakutkan.

Menurut saya, inilah alasan mengapa orang Gerasa takut. Namun, dalam perikop ini terbukti bahwa yang pragmatis belum tentu suci. Dalam sejarah Alkitab, tidak pernah Tuhan Yesus mengusir begitu banyak setan dari satu orang, dari satu tempat. Bisa terbayang, betapa besar kekuatan setan pada waktu itu: menyebrang Danau Galilea saja, belum sampai menyebrang lautan – sekali ketemu orang, setannya ada 2000! Sepertinya, kehadiran setan ini justru diakibatkan oleh masyarakat Gerasa yang cuek tentang hal-hal rohaniah, soal moral dan agama. Ini mirip dengan dunia kita saat ini, dimana teknologi dan ilmu pengetahuan mengambil alih ritual dan agama. Hati-hati! Jangan-jangan ada ribuan setan yang mengintai kita!

CS Lewis, seorang penulis Kristen dari Amerika, memiliki pendapat yang sangat cocok mengenai perikop ini. Menurut beliau, ada dua sikap yang sama-sama salah dalam menghadapi dunia rohaniah atau dunia gaib, di luar jangkauan ilmu pengetahuan. Di satu pihak, terlalu percaya sehingga menjadi pemuja setan, penyuka jimat dan hal-hal klenik, adalah salah. Di lain pihak, terlalu cuek, sehingga tidak menghiraukan hal-hal yang tidak duniawi, juga adalah dosa. Manusia perlu menggunakan kerohaniannya seperti menggunakan akal budinya, dengan takaran tertentu agar seimbang. Seperti Albert Einstein, yang walaupun demikian kuat nalarnya, masih menyisakan ruang untuk Tuhan dalam alam pikirannya. “God does not play dice” katanya. Tuhan tidak seperti bermain dadu ketika menciptakan dunia.

Amin.

Cikarang, 11 Juli 2010