Sunday, April 24, 2011

Tuhan Itu Baik!

“Pujilah Tuhan, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!
Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu,
Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat!”

Mazmur 103:2-4

Kawan, saya dan banyak orang lain seringkali lebih banyak mengeluh kepada Tuhan daripada memuji. Lihat saja blog ini, dan banyak blog-blog saya lainnya. Semuanya penuh dengan desahan, keluhan, helaan napas panjang, dan kesesakan. Padahal, kalau Anda bertemu saya dalam kehidupan sebenarnya, maka Anda akan heran. Saya orang yang beruntung! Sangat beruntung. Begitu pula Anda. Sadarkah Anda, bahwa Tuhan sudah begitu baik terhadap saya? Bahwa Tuhan sangat sayang sama saya? Bahwa Ia selalu menyediakan yang terbaik untuk saya?

Bayangkan, dua tahun lalu, saya adalah seseorang yang sangat kesepian. Saya berada sendirian di luar negri. Saya memang bergelimang harta dan kesuksesan: pekerjaan sedang bagus, karir saya naik, dan pekerjaan saya sangat menarik. Namun, hati saya merasa sangat kesepian. Saya merasa sedih melihat orang-orang seumur saya yang sudah berkeluarga, yang sudah punya momongan. Saya merasa kesepian, di sebuah apartemen yang mewah tetapi kosong, hanya saya sendiri isinya. Karena saya diluar negri, kesepian ini semakin menjadi, karena saya jauh dari teman dan keluarga. Lalu, di dalam kesepian itu, saya berdoa kepada Tuhan. Tuhan, berikanlah saya jalan keluar!

Dan kemudian jalan keluar itu terjadi juga. Butuh waktu memang, dan Ia selalu menunggu sampai saya pasrah. Ketika saya sudah berada di titik dimana saya tidak bisa berdoa dengan kata-kata lagi, saya hanya terdiam di hadapanNya. Karena apa yang harus saya minta? Saya sendiri tidak tahu solusinya. Saya tidak bisa bilang ‘Lakukanlah A ya Tuhan, maka masalah saya selesai!’. Tidak. Semua begitu rumit sampai-sampai saya hanya bisa berdiam saja. Dan, kemudian, Tuhan bertindak!

Dalam kepasrahan saya memutuskan untuk keluar dari perusahaan yang sudah saya ikuti selama 9 tahun. Saya sendiri belum paham benar mengapa, tapi satu tekad saya: saya harus pulang! Dan Tuhan pun, pada saat itu, menganugerahkan kepada saya sebuah pekerjaan baru. Pekerjaan baru ini sungguh luar biasa, sebuah solusi yang tepat untuk saya. Dengan benefit yang bagus, perusahaan kecil, di sebuah bidang usaha yang memang sedang berkembang, dengan lingkungan yang sangat dekat satu sama lain. Luar biasa bukan? Dari ratusan CV yang saya kirim, hanya satu yang memanggil untuk wawancara. Dan yang satu itu, adalah yang tepat untuk saya! Persis dalam waktu 1 minggu, dimana saya memang hanya berada di Indonesia 1 minggu itu. Luar biasa bukan?

Dan, sekarang saya baru tahu, bahwa posisi HRD Manager di perusahaan baru sayapun ternyata sama: beliau juga sudah pasrah. Beliau sudah pasrah karena setiap hari ditekan oleh atasannya untuk mencari pengganti seorang pegawai yang mendadak keluar, dalam kondisi dimana perusahaan sangat membutuhkan pegawai baru. Beliau pun sudah pasrah, menjawab “Ya, minggu depan ada kandidat bagus!” pada atasannya, tanpa satu kandidat pun di tangan. Pada saat itulah, lewat tengah malam, ketika ia sudah pasrah, ia menarik resume saya. Sementara saya, ribuan kilometer di negeri orang, pada saat yang sama, membulatkan tekad untuk kembali pulang. Seminggu kemudian, kami bertemu dalam sebuah wawancara kerja! Seminggu setelah itu, saya memtuskan pindah. Luar biasa bukan? Betapa Tuhan mampu mengatur sedemikian indahnya, sehingga dua orang yang pasrah yang terpisah ribuan kilometer bisa bertemu!

Lalu, Tuhan mulai mengatur hidup saya kembali. Ia memberikan solusi yang sulit namun memberi saya kekuatan untuk melaluinya. Ia mengatur supaya kerja saya di perusahaan baru bisa berjalan baik, Ia menyediakan bisnis yang sedang berkembang sehingga saya punya waktu untuk kehidupan pribadi saya. Ia mempertemukan saya dengan seseorang yang kemudian mewarnai hari-hari saya, sehingga hidup terasa lebih berarti. Bahkan sekarang ini, dalam keadaan kehidupan rohani yang sangat kering, tiba-tiba kantor saya mengadakan persekutuan. Puji Tuhan! Bahkan pada saat saya butuh pengajar rohani, pada saat saya tidak bisa menemukan persekutuan di gereja, Ia menyediakan persekutuan untuk saya. Sebuah anugrah yang luar biasa bukan? Malu hati rasanya, mengingat betapa sering saya mengeluh kepadaNya.

Namun, memang ada satu hal yang belum terwujud: mengenai pasangan hidup. Mengenai ini pergumulan saya cukup berat, namun juga perlahan-lahan semakin membaik. Dari semula bersemangat, kecewa, ngotot, lalu kemudian apatis, kini saya pasrah. Saya terus bertanya pada Tuhan, Tuhan, apakah ini orangnya? Jika ya, puji Tuhan, ini adalah anugerahNya yang terindah! Dengan kepasrahan ini, saya tidak terfokus pada satu orang, namun memfokuskan diri kepadaNya. Ya Tuhan, jika Ia jodohku, dekatkanlah Ia padaku! Tetapi jika bukan, biarlah yang terbaik Tuhan, yang Engkau pilih! Dan warna itu pun kini mewarnai hari-hari saya. Puji Tuhan!

Memang, masa-masa ini cukup berat. Satu hal utama yang menjadi pokok doa saya sejak saya masih di luar negri belum tercapai: keinginan untuk berkeluarga. Namun, sebuah kalimat dalam lagu yang kami nyanyikan dalam persekutuan Jumat lalu, membuat saya tercekat. Air mata menggenang di mata saya, suara tidak bisa keluar, diganti isakan tangis yang seolah tumpah ruah ke dalam relung hati yang paling dalam. Kalimat sederhana itu berbunyi:

“Takkan Kubiarkan engkau berjalan sendirian!”

Amin, Tuhan Yesus, amin! Terpujilah namaMu selama-lamanya!

Selamat merayakan Paskah!

Monday, April 04, 2011

Ketika Tuhan Membisu

‘Maka kata Pilatus kepadaNya: “Tidakkah Engkau mau bicara dengan aku? Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?” Yesus menjawab: “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. Sebab itu: dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya”’
Yohanes 19:10-11

Dalam suasana Paskah seperti sekarang ini, kita diingatkan kembali oleh sebuah film controversial yang disutradarai oleh Mel Gibson dan dibintangi oleh James Carviziel, berjudul “The Passion of Christ”. Film ini controversial sekaligus indah karena menyajikan gambaran visual dalam bentuk film mengenai peristiwa Paskah, mulai dari penangkapan Tuhan Yesus, proses pengadilannya baik di hadapan Mahkamah Agama maupun di hadapan Pilatus, kemudian peristiwa penyaliban, sampai Ia bangkit dari kubur di hari ketiga. Film ini controversial baik karena sudut pandang yang diambilnya maupun dari sinematografinya, yang menunjukkan banyak sekali kekerasan, darah, dan kekejaman. Film ini seolah mengingatkan kita kembali mengenai apa yang disebut ‘penyaliban’ itu sebenarnya: bukan sesuatu yang agung, megah, apalagi cantik, melainkan sebuah proses yang keji, penuh darah, dan mengerikan.

Namun, menarik merenungkan komentar rekan yang bukan beragama Kristen setelah menonton film ini. Beliau bertanya dengan polos: mengapa Tuhan-nya umat Kristen begitu lemah? Bayangkan, sesosok Tuhan bagi sebuah agama biasanya melambangkan kekuatan, keperkasaan, dan kemenangan. Tapi, kisah Tuhan Yesus dalam penyalibanNya justru sebaliknya: Tuhan umat Kristen ditunjukkan selalu dalam keadaan terpojok, terdesak, disiksa, dan tak berdaya. Bahkan, Tuhan Yesus digambarkan hanya diam saja. Ia tidak membalas tuduhan Imam Besar dengan retorika dan pidato berapi-api, tidak menguliahi Pilatus dengan khotbah yang jenius, dan tidak berusaha berpidato di hadapan rakyat banyak supaya mereka berbalik mengeroyok Imam Kelapa dan Ahli Taurat. Apakah Tuhan Yesus tidak bisa melakukan hal itu? Pasti bisa! Ia pernah mengucapkan Sabda Bahagia pada khotbah di sebuah bukit yang berhasil mencengangkan ribuan orang. Ia pernah membuat Ahli Taurat kehilangan kata-kata ketika Ia menyembuhkan seorang sakit pada hari Sabat. Ia pernah menyembuhkan anak seorang prajurit Romawi. Ia bahkan pernah membalikkan meja-meja dagang di Bait Allah. Ia bisa dengan mudah menjawab tuduhan dan fitnahan terhadapNya dengan khotbahNya yang jenius. Walaupun Ia tidak menurunkan malaikat untuk menolongNya, bisa saja Ia melawan, berdebat, atau berperang dengan musuh-musuhNya. Toh, Ia tidak melakukannya. Ia hanya diam. Menghadapi fitnah keji, cacian, ludahan, pukulan, hinaan, dan cambukan. Ia hanya diam, dan diam.

Kadangkala kita merasa Tuhan berlaku seperti itu dalam kehidupan kita. Ia diam seribu basa. Ia tahu persis kita sedang dalam keadaan terpuruk. Ia mengerti benar kita sedang berusaha merangkak keluar dari kubangan permasalah kita. Ia bisa melihat dengan jelas, betapa dengan membuka satu pintu itu, Ia bisa menolong kita. Menyelamatkan kita dari masalah, memberikan kita kebebasan dan kelegaan. Ia bisa mengangkat kita, memberikan kita kesuksesan dan keberhasilan sehingga kita bisa bahagia. Kita bisa gembira, keluar dari belitan masalah yang bertubi-tubi. Namun, Ia tidak melakukan itu. Ia hanya terdiam, diam seribu basa. Kemudian kita menangis di sudut ruangan, sambil bertanya: Tuhan, mengapa Engkau membisu? Mengapa Engkau diam, tidak menjawab semua pertanyaan dan tuduhan yang diberikan kepadaMu?

Tanpa sadar, kita sudah menjadi Pilatus dalam perikop diatas. Menjadi Pilatus, yang bertanya kepada Tuhan Yesus: mengapa Engkau diam? Dalam merenungkan kisah Paskah, kita semua tahu, mengapa Tuhan Yesus terdiam. Ia terdiam karena Ia tahu apa yang akan terjadi. Ia Maha Tahu, bahkan di Taman Getsemani ia sudah bisa melihat apa yang akan terjadi, apa yang harus dilaluiNya untuk menjadi Juruselamat manusia. Pandangannya jauh ke depan: manusia di sekitarnya hanya bisa melihat 30%, sementara Ia memiliki pandangan 100%. Ia tahu, bahwa Ia harus disalibkan, mati dan dikuburkan, dan bangkit pada hari ketiga. Ia tahu, bahwa hanya dengan cara inilah Iblis bisa dikalahkan, dosa bisa dipulihkan, dan manusia bisa diselamatkan. Ia tahu, inilah satu-satunya jalan keselamatan manusia, dan Ia memiliki kasih yang luar biasa sehingga Ia rela mati untuk menyelamatkan umat manusia. Betapa berat perjalanannya – bayangkan, di Taman Getsemani Ia sudah bisa melihat betapa Ia akan disiksa, dicambuk, dipaku, dibunuh! Itulah sebabnya Ia menangis sampai berdarah. Namun, kita semua paham, bahwa kematian dan kebangkitanNya kemudian menjadi titik awal keselamatan manusia. KebangkitanNya membawa sebuah kehidupan baru, dimana dosa dikalahkan dan maut dibekuk.

Mengapa Ia diam? Karena Ia lebih tahu. Ia lebih paham. Ia diam, karena Ia sedang mempersiapkan sesuatu. Tidak ada gunanya berbicara, sehingga Ia diam. Tetapi Ia bekerja: menekan perasaanNya, membiarkan nubuatan terjadi. Ia bertekun, dan kemudian menang dengan gemilang. Hidup kita, adalah pada titik manusia-manusia di sekitar Tuhan Yesus sebelum Ia disalib. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Dan kita melihat Ia diam, diam seribu basa. Menghadapi fitnah, menghadapi cambukan, menghadapi cacian. Kita menghadapi masalah, kita menunggu cinta, kita terbelenggu hutang, kita diberondong sakit penyakit. Tetapi Ia diam.

Namun, diamNya bukan berarti Ia menyerah. DiamNya adalah diam yang dalam, dimana Ia sedang bekerja, menyiapkan sebuah rencana kehidupan yang indah bagi kita. Mungkin sulit kita memahami apa yang kita alami saat ini, karena kita hanya memiliki 30% informasi mengenai situasi kita. Namun percayalah, bahwa Ia mengenal kita dan situasi kita 100%. Ia bisa melihat jauh ke depan, memilih apa yang terbaik bagi kita, dan menyiapkan segala sesuatunya untuk kebaikan kita, karena kasihNya. Lalu, apakah yang kita bisa lakukan dalam penantian yang seolah tiada akhir ini?

Apa yang bisa kita kerjakan selain menangis dan meratap? Lakukanlah seperti apa yang Tuhan Yesus lakukan di Taman Getsemani. Berdoalah, untuk orang-orang terdekat, untuk masalah kita. Berdoalah, agar kita diberi kekuatan, supaya cawanNya, yang harus kita minum, segera berlalu. Supaya kita kuat dan sabar menghadapi penantian ini. Supaya kita diberi kekuatan untuk bertekun dan menunggu, tidak kehilangan akal atau iman kita. Supaya kita menyaksikan Tuhan Yesus yang diam dengan hati teguh, bahwa rencanaNya-lah yang terbaik untuk kita. Niscaya Allah akan mengirimkan malaikatNya untuk menghibur kita, dan kita akan dikuatkanNya.

Amin.

Tomang, 4 April 2011