Thursday, September 08, 2011

Angin Yang Berjasa



“Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.”


Yohanes 3:8

Dalam sebuah pertunjukan ludruk, seorang penonton yang sinis nampaknya tidak puas dengan apa yang dipertunjukkan hari ini. Alih-alih bertepuk tangan, dia berteriak kepada pemain ludruk: “Apa sih kalian ini, isinya cuma angin!” katanya. Sang aktor ludruk bukannya marah malah tertawa, lalu menghadap si penonton tadi. “Bapak kesini naik apa?” tanyanya. “Naik motor!” jawab si penonton. “Kalo gitu, coba bayangin kalo bannya kempes, nggak ada anginnya!” katanya. Penonton pun tertawa terbahak-bahak.

Kita memang kadang-kadang melupakan pentingnya angin ini. Angin memang tidak berbentuk, hanya bersuara seperti yang dijelaskan dalam Alkitab. Angin ini juga malah menjadi kiasan untuk sesuatu yang kosong, hampa, tidak berisi dan tidak bermutu. Angin tidak bisa dilihat, bahkan ilmu pengetahuan dan kamera tercanggih pun tidak bisa menangkap pergerakan angin. Sehingga ketika Tuhan Yesus menggunakan kata angin untuk melukiskan orang yang lahir dari Roh, apalagi ketika berbicara dengan Nikodemus yang berpendidikan dan Ahli Taurat, pasti Ia sudah memilih kata-kataNya dengan cermat.

Ban adalah bukti betapa pentingnya angin. Dari sejak jaman dokar ditarik lembu, sampai mobil Ferrarri tercepat di dunia, semuanya membutuhkan ban yang isinya angin. Tanpa angin, bahkan pesawat jet Sukhoi yang paling canggih sekalipun tidak bakal bisa terbang. Tidak ada teknologi yang menggantikan angin, sehingga bahaya ban kempes bisa mengancam dari delman, motor, mobil, sampai penerbangan Lion Air dengan Boeing 737-900ER. Bahkan saya yang sudah siap bekerja pun hanya bisa bengong ketika kelihat ban saya kempes habis kemarin!

Dalam perikop diatas, Nikodemus mempertanyakan konsep kelahiran baru. Bagaimana seseorang bisa lahir kembali? Apakah dia harus balik ke rahim ibunya dan dilahirkan kembali? Begitu pertanyaannya. Tuhan Yesus menjawab, bahwa yang lahir dari daging adalah daging, dan dari Roh adalah Roh. Jadi, Tuhan Yesus mendefinisikan bahwa daging dan Roh memang dua hal yang berbeda. Seseorang boleh jadi sudah lahir secara daging, tapi belum secara Roh. Ketika Roh itu hadir dalam hidup seseorang, barulah terjadi kelahiran Roh.

Lalu, bagaimana proses kejadian ‘kelahiran Roh’ ini? Dapatkah kita memasang kamera untuk merekamnya seperti proses kelahiran daging? Tuhan Yesus menyebut dengan jelas dalam perikop diatas, bahwa kita tidak tahu dan tidak bisa melihat prosesnya, tetapi kita ‘bisa mendengar bunyinya’. Ya! Orang-orang yang lahir secara Roh, pasti terasa di masyarakat. Lihatlah pecandu narkoba yang bisa sembuh, orang-orang sakit yang tetap memiliki semangat hidup tinggi, orang yang depresi bisa menemukan semangatnya kembali, dan lain-lain. Banyak sekali buku-buku dan cerita kesaksian mengenai ‘kelahiran Roh’, yang bisa kita dengar dimana-mana. Prosesnya sendiri adalah proses yang sangat pribadi, yang tidak bisa didokumentasikan atau direkam seperti kelahiran daging. Namun, efeknya bisa terlihat dengan jelas, sama seperti nikmatnya perjalanan kita tadi pagi, karena angin kasat mata yang ada di dalam ban kendaraan kita.

Kedoya, 8 September 2011

Wednesday, September 07, 2011

Sabar!

“Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.”
Galatia 5:22-23



Pernahkan Anda terjebak kemacetan ketika Anda sudah terlambat? Kalau Anda tinggal di Jakarta, ibukota macet sedunia, pasti Anda ingat betapa mengerikannya situasi seperti itu. Anda harus tiba di Sudirman pada jam 14.00, sementara sekarang sudah jam 13.30, posisi Anda di Slipi. Di depan Anda berjajar mobil-mobil berdesakan, motor yang melintas nekad, bus yang malang-melintang, metromini dan kopaja yang gagah memotong jalur siapa saja yang menantangnya, serta busway yang berusaha menyeruak di tengah kerumunan lalu lintas Jakarta. Padahal, rapat sore ini sangat penting, Anda bertemu pelanggan dari Jepang yang terkenal sangat tepat waktu, ingin mengadakan pembicaraan finalisasi order yang sangat Anda butuhkan dan sudah Anda rintis sejak 3 bulan yang lalu. Celaka dua belas, bukan?



Suara lagu di radio yang biasanya merdu menjadi jeritan yang menakutkan. Tawa renyah penyiar radio bagaikan tawa kuntilanak yang menertawakan keterlambatan Anda. AC mobil yang sudah disetel maksimum gagal mencegah mengucurnya keringat Anda. Jantung Anda berdetak semakin kencang, ingin rasanya membunuh dan mencincang motor atau pejalan kaki yang memotong jalan di depan Anda. Tidak sedikitpun Anda memberi kesempatan pada orang lain untuk melintas, kalau perlu, tabrak saja! Tekanan darah terasa meningkat, setitik saja kejadian bisa memicu pertengkaran, adu jotos, bahkan saling merusak. Ya – Anda siap membunuh siapa saja yang menghalangi jalan Anda! Semuanya yang sudah lambat bergerak semakin lambat, seolah-olah seperti melalui lorong waktu. Sementara detik waktu melalui kelipan tanda titik dua di jam digital mobil Anda berkelip-kelip tanpa dosa, begitu cepatnya, seolah tidak peduli pada suasana super stress yang Anda alami.


Namun, rute yang sama pernah pula saya alami dengan suasana yang jauh berbeda. Jamnya sama, hanya kali ini saya ada di Slipi jam 2 sore, tetapi janji rapat saya adalah jam 4 sore, pada hari yang sama. Mobil-mobil berdesakan seperti biasa, motor-motor berseliweran tak perduli. Bus damri pun tetap memotong jalan dengan gagahnya. Tetapi mengapa hati saya lebih tenang? Lantunan musik Jazz dari sebuah radio mengalun merdu, bahkan sesekali lelucon penyiar radio membuat saya tertawa terbahak-bahak. Saya sempat mengeluarkan kamera untuk memotret gedung pencakar langit di jalan S. Parman yang nampak cantik diterpa sinar mentari sore, dan tersenyum pada motor yang menyerempet spion saya. Mengapa perjalanan ini menjadi terasa indah, menyenangkan, santai?



Padahal, waktu tempuh dari Slipi ke Sudirman tetap sama. Dari keluar tol Slipi sampai Gedung Mid Plaza, butuh waktu kira-kira 1 jam. Mau saya lalui dengan super stress, marah-marah, atau dengan tersenyum sambil foto-foto, waktu tempuhnya tetap 1 jam, bukan? Tapi, ketika saya punya banyak waktu, jalanan nampak mengalir tenang, sementara pada saat saya terpepet waktu, semuanya terasa seperti slow motion. Heran ya, bisa sedemikian besar bedanya, untuk jarak dan waktu tempuh yang sama?



Teman, jalanan ,macet tadi adalah hidup kita, dan anugerahnya adalah kesabaran. Kita punya hidup yang sudah digariskan olehNya, dari satu titik awal ke satu titik akhir. Jarak tempuhnya tetap sama. Kita punya dua pilihan: melaluinya dengan penuh ketidaksabaran, seperti ketika terlambat tadi, atau melaluinya dengan kesabaran, seperti contoh berikutnya. Waktu tempuhnya tetap sama. Macetnya pun sama. Tetapi, dengan kesabaran, perjalanan menjadi sangat indah, bukan? Segala amarah dan detakan jantung ekstra serta makian pada motor, toh tidak akan mempercepat perjalanan kita barang sedetik pun. Namun, betapa stress yang diakibatkannya sungguh terasa bagi tubuh kita!



Lalu, bagaimana menyiapkan waktu yang cukup dalam kehidupan kita, tanpa terjebak seperti contoh pertama? Jawabannya adalah kesabaran. Kita seringkali tidak sabar pada Tuhan. Kita ingin segalanya terjadi sekarang dan saat ini juga. Kita ingin masalah segera selesai, persoalan segera tuntas, problem secepat mungkin menguap. Padahal, tidak bisa! Sama seperti di jalan raya, setiap masalah kita bersinggungan dengan orang lain, dan ketika kita diuntungkan secara tiba-tiba, maka pasti ada orang lain yang merugi. Sementara, Dia yang memberi keputusan adalah adil. Maka, kita harus bersabar dalam menghadapi hidup. Bersabar menanti keputusanNya pada saat yang tepat, bersabar menunggu hasilNya yang sempurna. Toh, segala usaha kita untuk marah dan memaki, sama seperti derasnya kucuran keringat dan peningkatan detak jantung pada suasana macet tadi: hanya sia-sia, tidak bisa sedetikpun mempercepat perjalanan kita.



Jadi, tidak heran bahwa kesabaran adalah salah satu buah roh yang diharapkan ada pada orang beriman. Bersabar pada kehidupan, bersabar pada Tuhan, memberikan ruang kepadaNya agar bisa menyiapkan segala sesuatunya dengan sempurna. Niscaya, perjalanan hidup Anda akan terasa indah, semuanya bergerak secara sinkron, bahkan ada waktu untuk foto-foto sebagai kenang-kenangan. Berilah ruang padaNya untuk bekerja, dan bersabarlah!



Kedoya, 7 September 2011