“Worship GOD if you want the best, Worship opens doors to
all His goodness”
“Kalau kau tidak bisa makan (karena ikut Tuhan), kau kasih tahu aku! Aku akan berhenti jadi pendeta, kucopot togaku ini!” tegasnya.
Dan sampai saat ini, memang Chris tidak pernah tidak makan! Luar biasa memang kasih karunia Tuhan. Dari situlah Chris memulai perjalanannya sebagai hamba Tuhan.
Psalm 34:9 (MSG)
Khotbah oleh Pdt. Chris Manusama dan Penyembahan &
Pujian oleh GBI Rock Ambon, JPCC, 21 September 2014
Hari Minggu 21 September 2014, saya bersama istri hadir di
kebaktian pertama JPCC di Kota Kasablanka, Jakarta. Pagi itu, kami disambut
oleh nyanyian penyembahan dan pujian yang sangat indah dari GBI Rock Ambon.
Rupanya, dalam tema Penyembahan atau Worship
di bulan September, JPCC mengundang mereka untuk melayani di hari itu. Saya
langsung terkesan dengan pelayanan musik dari GBI Rock ini.
Lihat! Paduan Suara berdiri teratur menghadap mikrofon
dengan sudut ideal sehingga suaranya terdengar lantang dan seimbang. Musik
ditata dengan rapi. Noly, sebagai pemimpin nyanyian, posturnya tinggi besar,
suaranya bariton yang mantap. Wajahnya, ekspresinya, dan komandonya, dengan
tegas memimpin nyanyian sehingga seluruh jemaat hanyut dalam keindahan harmoni
musik. Saya tercekat, tidak bisa menyanyi dengan lancar, karena mata seringkali
mendadak basah karena air mata haru. Sesuatu yang ada di udara saat ini, alunan
musik ini, menyentuh hati saya, seolah tangan Tuhan sendiri mengelusnya sampai
terasa sangat damai. Tuhan, terasa hadir disitu.
Belum habis saya terkesan, mulailah Pdt. Chris Manusama
berkhotbah. Yang kami dengar adalah bagian yang pertama, yakni ‘Elemen Surga’.
Namun, ijinkan saya menuliskan kesan saya secara umum terhadap Firman Tuhan
yang dibagikan saat itu.
Chris Manusama adalah seorang pemusik terkenal di jamannya. Beliau
pengarang lagu Kidung yang
dipopulerkan Chrisye, juga lagu Kasih
oleh Lidya/Imaniar. Jadi, beliau tentu mahfum akan kehidupan gemilang musisi di
tahun 1980-an. Sampai kira-kira 25 tahun yang lalu, Chris – menurut beliau
sendiri – sedang ‘guling-guling’ di Puncak ketika bertemu dengan J.P. Sinaga,
ketua Lembaga Alkitab Indonesia pada masa itu.
“Chris, kau mau ikut Tuhan?” tanya Sinaga dengan logat Batak
yang kental.
“Mau Pak”“Kalau kau tidak bisa makan (karena ikut Tuhan), kau kasih tahu aku! Aku akan berhenti jadi pendeta, kucopot togaku ini!” tegasnya.
Dan sampai saat ini, memang Chris tidak pernah tidak makan! Luar biasa memang kasih karunia Tuhan. Dari situlah Chris memulai perjalanannya sebagai hamba Tuhan.
Dan Chris memiliki bidang yang unik: ahli penyembahan.
Apakah penyembahan itu mudah? Yang penting nyanyi kan? Yang penting bilang
Haleluya, bilang Puji Tuhan, lalu tepuk tangan. Beri kemuliaan bagi Tuhan! Lalu
kitapun bertepuk tangan. Kalau tepuk tangan adalah kemuliaan bagi Tuhan, maka
lebih banyak kemuliaan di lapangan bola daripada di gereja! Tukas Chris. Betul
sekali bukan?
Ternyata, penyembahan memiliki arti yang mendalam. Bukan
sekedar menyanyi, bukan sekedar memetik gitar. Tapi, menghasilkan sesuatu dari
hati, membuat karya yang sungguh-sungguh keluar dari hasil usaha kita untuk
Tuhan. Bukan sekedar tampil keren dengan rambut landak. Tapi, latihan
berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, demi sebuah lagu, mungkin hanya 5
menit, namun sempurna, bak biduan yang bersiap menyanyi di hadapan kaisar.
Itulah penyembahan yang sejati!
Dan kata-kata Chris yang membuat saya terhenyak adalah bahwa
pujian dan penyembahan yang indah buat Tuhan itu berdaya cipta. Maksudnya apa? Kemudian
Chris memberikan Daud sebagai contoh. Kata-kata apakah yang ingin kita katakan
pada Tuhan yang belum dikatakan oleh Daud? “Biarlah renunganku manis kedengaran
kepadaNya!” (Maz. 104:34), “Ke mana ku dapat pergi menjauhi roh-Mu” (Maz
139:7). Betapa ungkapan kasih pada Tuhan membuat seorang Daud menjadi pujangga
besar. Dan bukan cuma Daud! Johann Sebastian Bach menghasilkan ratusan karya
musik klasik jenius yang ditujuan untuk penyembahan. Michelangelo menghasilkan
lukisan luar biasa, yang dipersembahkan untukNya. Kahlil Gibran menulis ratusan
puisi indah untukNya. Dan banyak lagi contohnya, bagaimana penyembahan bisa
berdaya cipta, mencipta suatu karya yang melampaui masaNya dan menyentuh jadi
Tuhan!
Kemudian, dimanakah kita? Sudahkah kita menghasilkan karya
tersebut? Sudahkah penyembahan kita berdaya cipta?
Disinilah kemudian Chris menjelaskan: berapa nilai yang kita
beri untuk Tuhan? Apakah perjuangan kita untuk Tuhan hanya cukup dengan bangun
pagi di hari Minggu? Apakah layak kita membalas kasih karuniaNya dengan
menyanyi 3 lagu dalam satu kebaktian? Apakah sudah cocok jika kita mengimbangi
perhatianNya dengan dua lembar lima puluh ribuan di dalam kantung persembahan?
Kemudian, Chris memulai sebuah pemaparan yang membuat saya
terhenyak. Empat puluh tahun Tuhan memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir.
Empat puluh tahun lamanya Tuhan menurunkan roti, menurunkan daging , memberi
air, menudungi dengan awan, dan mengawal Israel dengan gada api. Dan ada waktu
dimana Tuhan memerintahkan Musa membawa bangsa Israel ke Gunung Horeb, karena
Ia rindu disembah oleh umatNya! Begitu penting penyembahan sehingga Tuhan pun
rindu!
Dimanakah kita empat puluh tahun lalu? Bagaimana kondisi
kita saat itu? Kita masih kuliah, kita kesulitan biaya, kita takut menikah,
kita melangkah dengan gentar. Dan dimanakah kita sekarang? Kita bisa hadir di
gedung kebaktian yang megah, kita bisa naik mobil baru, kita bisa menikmati AC
yang dingin, tidak masalah bayar parkir belasan ribu. Lalu, kalau Tuhan mau
kita bersyukur, menyembahNya untuk semua anugerah itu, mengapakah kita masih
menyanyi malu-malu? Mengapakah kita masih berpuas diri dengan satu jam seminggu
di gereja? Datang terlambat, pulang sebelum selesai. Takut antri?
Jangan biarkan masalah mengambil nyanyian dari mulutmu!
Jangan biarkan tantangan mengambil lagu dari hatimu! Jangan biarkan takut antri
merampok 10 menit dari waktu penyembahanmu! Jangan biarkan bunyi smartphone memalingkan
wajahmu dari Tuhan!
Pak Chris, terima kasih untuk membukakan mata saya. Dan
terima kasih atas pujian yang indah, yang bahkan di DVD-nya tidak ada, namun
masih saya ingat betapa waktu itu memang frekuensinya berbeda – ada Elemen
Surga yang saya rasa. Terima kasih GBI Rock Ambon yang membawa saya lebih dekat
dengan Tuhan. Saya menghargai Anda berkhotbah dengan kata-kata runut, puitis,
tanpa sepatah katapun dalam bahasa asing. Anda telah membuktikan, tidak perlu
bahasa asing untuk menyembah Tuhan – selama semangat Daud ada dalam pelayanan
kita.
Saya akan berusaha mencapai standar yang Anda buat, dengan
apa yang saya bisa: merangkai kata menjadi untaian inspirasi, menjangkau hati melalui
jembatan sastrawi.
Terima kasih!
-Harry Nazarudin-