“Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: ‘Hai
perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?’
Jawabnya: ‘Tidak ada, Tuhan.’ Lalu kata Yesus: ‘Aku pun tidak menghukum engkau.
Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang’”
Yohanes 8:10-11
Persekutuan Doa Agape, Petrotec Group, 19 September 2014
Oleh: Pdt. Berghouser Benget
Pdt. Berghouser Benget dari GKI Ampera sudah dua kali hadir
di PD Agape. Kali ini, tema yang dibawakan cukup berat, yakni pesan Tuhan Yesus
kepada wanita yang nyaris dirajam karena tertangkap basah berdosa. Pesan yang
sederhana, lembut, namun membawa bobot yang berat. Pesan untuk ‘jangan berbuat
dosa lagi’. Berat nih! Bagaimana caranya? Ketika membaca tema ini, panitia
segera paham bahwa tugas ini bukan untuk orang biasa, melainkan perlu
mengundang pembicara luar.
Pak Benget memulai khotbahnya dengan sebuah pertanyaan: “Apakah
ada diantara kita yang pernah tertangkap basah?”. Pernah, tentu saja. Waktu
kecil mencuri mangga tetangga, atau ketahuan polisi masuk jalur busway. Saya
pun terbayang para tersangka kasus korupsi KPK yang tertangkap basah, betapa
pucat wajahnya ketika ditangkap. Bahkan mantan hakim konstitusi sampai
menempeleng seorang wartawan, disaksikan jutaan rakyat Indonesia melalui
televisi! “Bagaimana perasaannya waktu tertangkap basah?” tanya Pak Benget
lagi. Kami pun terdiam.
Menurut Pak Benget, jika seseorang berbuat dosa, maka sudah
ada hukuman yang terpaut pada dosa itu sendiri tanpa dijatuhkan hukuman
tambahan, yakni rasa bersalah. Itulah sebabnya beliau bertanya apakah kita
sendiri pernah tertangkap basah. Tidak enak bukan? Baik itu mencuri jambu
tetangga atau melirik istri tetangga, namanya ketahuan pasti tidak enak. Tanpa
dihukum pun, orang sudah jera. Itu sebabnya, sebagian besar – tidak semua
memang – akan jera jika sudah tertangkap basah.
Lalu apa esensi dari tindakan Tuhan Yesus dalam peristiwa
ini? Kasusnya sama: seorang wanita tertangkap basah berzinah. Hukumannya jelas:
dirajam sampai mati. Walaupun sudah menanggung malu, para kaum Farisi dan Ahli
Taurat, sebagai pihak yang lebih suci, ingin menambahkan sebuah hukuman yang
sempurna: hukuman mati. Jika perempuan ini mati, maka ia tidak bisa berdosa
lagi bukan? Maka dunia akan lebih baik jadinya! Inilah hukum manusia.
Tuhan Yesus, seperti biasa, sangat cerdik. Pertama-tama ia
bertanya kepada yang akan menghukum – kebanyakan laki-laki tentu saja. “Yang
merasa tidak berdosa, silahkan lempar batu pertama!” kata Tuhan Yesus. Apakah
hukuman rajam bagi wanita yang ketahuan berzinah itu adil? Bagaimana dengan
partner zinahnya, seorang laki-laki? Dimana dia? Pernah dengar ada laki-laki
dirajam karena zinah? Tidak pernah bukan? Apa jangan-jangan, wanita itu
berzinah sendirian? Tentu saja tidak bisa. Dengan satu kalimat, Tuhan Yesus
mematahkan konsep ‘adil’ pada hukuman rajam karena zinah.
Lalu, proses berikutnya juga sangat indah. Ketika yang
tadinya mau menghukum satu-persatu pulang, tinggallah si wanita tadi. Ia
bertanya kepada Yesus, satu-satunya orang yang berhak melempar batu dan
menjatuhkan hukuman, karena Ia tidak berdosa. Dan Ia menjawab dengan bijak: “Aku
tidak menghukum kamu. Pergilah, jangan berbuat dosa lagi!”
Jika Anda tertangkap basah mencuri jambu, lalu dikejar oleh
pemilik pohon, dan Anda tertangkap. Lalu pemilik pohon tersenyum, membiarkan
Anda membawa jambunya dan berkata: “Dik, kalau mau jambu, ketuk saja ya! Nanti
Bapak ambilkan... tidak peru repot-repot memanjat!”. Apakah Anda akan mencuri
lagi? Inilah yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Ia tidak memberikan ‘hukuman mati’,
tetapi ia memberikan ‘hukuman hidup’. Ia mengijinkan perempuan itu untuk hidup lebih lanjut, dengan tanggung jawab
baru dari pengalaman pahit di hari itu. Jangan diulangi lagi!
Karena temanya adalah mengenai aplikasi kekristenan dalam
kehidupan karir, maka diskusi berlanjut. Beberapa rekan menyuarakan bahwa bila
semua rekan di kantor diperlakukan dengan prinsip ‘cinta kasih’ – tidak boleh
ditegur, dihukum, diberi SP, atau di-PHK, maka kacaulah perusahaan kita.
Tetapi, ada suara yang berlawanan: bahwa tidak selalu suara ‘kristiani’ berarti
‘mengampuni semua kesalahan’. Bukankah Tuhan Yesus adalah seorang yang tegas,
dan bukan lemah?
Kemudian, Pak Benget menutup diskusi dengan sangat bagus.
Bagaimana jika ada seorang karyawan yang melakukan kesalahan? Haruskah kita
rajam, atau kita ampuni? Kalau diampuni, lalu bagaimana dengan SOP perusahaan?
Jawabannya sederhana. “Tuhan itu membenci dosa, tetapi mengasihi manusia yang
berdosa” kata Pak Benget. Itulah jawabannya! Membenci dosa, tapi mengasihi
manusia yang berdosa, dan memberikannya tanggung jawab untuk menjadi manusia
lebih baik.
Amin, terima kasih Pak Benget!