Tuesday, December 16, 2008

[Cerita Advent 2] Natalan di Flores

Sore menjelang malam, tanggal 24 Desember. Ketika itu saya berada di Ruteng, Flores, bersama keluarga Djanggur tempat saya menginap. Waktu itu saya belum punya kamera, belum punya pengalaman jalan-jalan, apalagi menuliskannya. Flores merupakan tujuan wisata ransel saya yang pertama, dan salah satu yang paling nekad, yang membuat saya langsung jatuh cinta pada petualangan.

Ruteng waktu itu masih ibukota kabupaten Manggarai, yang berbatasan langsung dengan Pulau Komodo. Kota ini merupakan kota kecil dan sejuk yang terletak diatas gunung. Suasana Ruteng menjadi khas karena hanya kota Ruteng dan Bajawa di Pulau Flores yang terletak di gunung, sementara yang lainnya di laut. Alih-alih suasana pantai, di Ruteng kita mendapatkan pemandangan gunung gemunung yang mengelilingi kota, awan mendung yang menggantung di sore hari, serta hawa dingin yang menyergap di malam hari.

Bagaimana warga Ruteng merayakan Natal? Unik, tidak terbayangkan oleh kita. Mayoritas penduduk di Ruteng memeluk agama Katolik, sehingga suasana Natal di Ruteng nampak semarak, namun dengan ciri khas tersendiri. Tidak ada orang yang memasang lampu kelap-kelip di depan rumah, atau bahkan terlihat memasang pohon natal di halaman. Yang banyak terlihat adalah lampion! Lampion sederhana yang dibuat dari rangka bambu, dengan plastik atau kertas minyak transparan yang warna-warni. Setiap rumah memasang lampion ini di berandanya, dan pemerintah kota Ruteng sendiri memasang lampion-lampion di tiang-tiang listrik kota. Kira-kira pukul lima sore, saya berjalan kaki di sekitar rumah, di Jl. El Tari, sekedar untuk menikmati suasana.

Ketika hari menjelang sore, lampion pun dinyalakan. Lampion di rumah-rumah bukan diterangi oleh listrik, tetapi oleh lilin! Tak lama kemudian saya tahu sebabnya kenapa. Rupanya, Ruteng waktu itu sedang dilanda krisis listrik, sehingga diadakan pemadaman bergilir. Dan, ketika sore semakin gelap, bagian kota tempat saya tinggal kebetulan sedang dilanda mati listrik. Hari semakin gelap, dan satu persatu lampion mulai dinyalakan. Ada yang berbentuk gereja, pohon natal, salib, berwarna-warni. Ketika matahari benar-benar terbenam, maka saya melihat pemandangan menakjubkan: jalanan hanya diterangi oleh lampion! Dengan lidah api yang menari-nari, berbagai bentuk lampion yang melambangkan peristiwa Natal nampak kelap-kelip, tampak sempurna di kegelapan malam. Walaupun dalam kegelapan, hati saya menjadi hangat rasanya, ketika melihat pendar cahaya lampion-lampion itu!

Begitu sampai di rumah, seluruh keluarga Djanggur, dalam rumah yang diterangi lilin, sudah berkumpul di meja makan. Ibunda Pak Fery Djanggur, yang berumur 70-an, nampak sibuk menyiapkan makanan di meja. Cucu-cucunya berlarian keliling ruangan, namun tiba-tiba berhenti ketakutan ketika mendengar petir menyambar. Diluar sana, hujan deras mulai turun. Semua orang duduk, diam, karena bisingnya suara butiran air hujan yang menhantam atap seng diatas kami. Di Flores, hampir semua rumah beratapkan seng! Bunyi deras hujan disertai petir, membuat kebersamaan kami di ruangan ini terasa bagai lilin yang menerangi ruangan yang kelam.
Sesudah hujan mereda, waktu makan pun tiba! Apa yang dihidangkan? Oma Djanggur (demikian saya memanggil Ibunda Pak Fery) memasak beberapa masakan sederhana malam itu: daging babi masak kecap, sayur kacang panjang dengan parutan kelapa, dan beberapa sayuran lainnya termasuk sayur pakis. Waktu itu, saya masih awam sehingga tidak mencatat semua makanannya, tapi buat saya santapan malam itu sangat unik. Babi kecapnya lain dengan babi kecap yang saya kenal dengan bawang putih, babi kecap ini disertai irisan jahe dan beberapa bumbu lain sehingga rasa herbalnya lebih terasa - cenderung mirip babi kecap bali. Sayur kacang panjang dengan parutan kelapa rasanya unik, manis dan segar. Sayur paku juga hadir tanpa cah bawang putih, namun ditumis dengan rasa herbal yang juga kuat. Tak ketinggalan nasi dan roti kompiang - roti keras bertabur wijen yang merupakan makanan khas Ruteng.

Sesudah makan, keluarga Djanggur pun berkumpul di ruang tengah, masih gelap gulita diterangi lilin-lilin. Oma Djanggur bercerita tentang Opa Djanggur yang sudah lama meninggal - bahwa Opa Djanggur adalah seorang guru, yang fasih berbahasa Belanda. Bahwa di para-para masih banyak buku-buku sekolah jaman Belanda peninggalan Opa Djanggur. Pak Fery kemudian bercerita beberapa kisah mistis yang umum di Flores. diantaranya pada saat dapur mereka tiba-tiba atapnya terbakar, konon karena api yang dikirim ’lawan politik’ dari keluarga Djanggur waktu itu. Kopi pun dihidangkan untuk semua - lho, kok malam-malam minum kopi? ”Iya, di Ruteng memang ada minum kopi sebelum tidur” kata Kak Trudi. Ruteng memang terkenal dengan kualitas kopinya yang terbaik di Flores, karena alam pegunungannya. Kopi ini bukan beli di pasar, melainkan kopi dari pohon sendiri di belakang rumah yang dipanggang dan diolah sendiri! Body-nya kuat, walaupun manis sekali, seperti kesukaan orang disana. Kamipun menyeruput kopi sambil terus mengobrol sampai larut malam.

Tepat jam 12 malam, bunyi lonceng berdentangan di seluruh Flores - Natal telah tiba! Kamipun saling bersalaman, sementara diluar terdengar suara gaduh orang-orang yang sedang berjalan ke gereja untuk menghadiri misa tengah malam. Kami memutuskan untuk pergi ke gereja pada keesokan harinya. Sebelum tidur, kami berdoa bersama, dipimpin oleh Oma Djanggur. Hati saya senang, sekaligus rindu pada keluarga saya di Bandung. Setelah berdoa, sayapun masuk ke kamar dan mencoba tidur, namun sulit karena suasana gaduh diluar serta hati yang tak sabar untuk misa natal di Flores.

Paginya, sesudah bergiliran mandi, kami bersiap untuk berjalan ke gereja. Berjalan? Ya - pada hari Natal di Flores, semua kegiatan terhenti, karena semua orang pergi ke gereja. Angkot tidak beroperasi, bus antarkota pun berhenti di terminal, karena semua supir dan keneknya pergi ke gereja. Saya bersama keluarga Djanggur - yang pada hari itu menggunakan pakaian terbaik mereka - berjalan menyusuri jalan utama menuju Katedral yang terletak diatas bukit. Sambil berjalan Pak Fery asyik bernostalgia karena kami melewati sekolah TK dan SD tempatnya dulu belajar. Jalan nampak semakin mendaki, dan setelah melalui beberapa anak tangga, kami sampai di pelataran Katedral.

Ketika saya membalik ke belakang, nampak sebuah pemandangan yang sangat indah: karena gereja letaknya di bukit, terlihat rombongan orang yang berbaris menuju gereja datang dari segala penjuru. Rata-rata menggunakan sarung tenun khas Manggarai, yang berwarna hitam dengan motif jelujur berwarna-warni. Setiap kelompok yang berbaris datang dari satu dusun yang sama, dengan kepala dusun berjalan di depan menggunakan pakaian adat lengkap dan membawa hasil bumi untuk persembahan: padi, jagung, ubi jalar, dan lain-lain. Sebagian besar nampak datang dari tempat yang cukup jauh, sehingga iring-iringan mereka nampak sangat cantik, yang nampak bagai kereta warna-warni yang mendekat perlahan menuju gereja.

Misa yang dilaksanakan pada hari Natal merupakan Misa Ekaristi biasa, namun dengan perbedaan sebuah upacara adat, yangki penyerahan hasil bumi sebagai persembahan. Ketika datang waktu persembahan, para kepala dusun nampak menghadap pastor dengan hormat, membawa hasil bumi terbaik mereka. Pastor yang melayani Ekaristi menerima satu-persatu persembahan ini, diiringi nyanyian natal. Sebuah perayaan yang sangat sederhana, tanpa hura-hura, namun membumi, begitu erat terjalin antara umat dengan Tuhan. Saya jadi ingat pada sebuah tulisan yang terdapat di salah satu kantor pemerintahan di NTT, bunyinya kira-kira demikian:

Tuhan Yesus telah datang
Pada sebuah palungan di dalam kandang
Kandang dan palungan sebagai simbol kemiskinan
Bahwa Tuhan Yesus berpihak kepada yang miskin
Bahwa kemiskinan itu ada dan harus dibasmi
Bukan hanya diseminarkan di kota-kota besar


Selamat Natal dan Tahun Baru!

-Harnaz-

Thursday, December 04, 2008

Pulang ke Palungan

Dingin menggigit kulitnya, di pagi buta itu. Matahari belum lagi menampakkan wujudnya, hanya gelap gulita dan dingin yang seolah mencengkeram kulit, yang terlihat dimana-mana. Ia bergegas menuju antrian pertama: proses check-in. Kira-kira lima puluh orang berada di depannya. Hatinya sangat kesal, melihat antrian yang panjang seperti ini. Sial, pikirnya. Kalau sedang terburu-buru, pasti saja ada halangannya!

”Sir, we have a problem” kata wanita angkuh yang berdiri di balik meja penerima. Aduh, apalagi ini, pikirnya kesal.
“You luggage is overweight, sir” katanya dingin.
“But normally is it allowed - how much is the allowance?”
“25 kilos sir, as written in the tickets”
“Yes, but I have 27 kilos! Just two kilos over, can’t you just check it in?”
“No sir, it’s the rule. You need pay” kata wanita berwajah mirip burung hantu ini. Haduh, ada-ada saja. Sementara 10 menit lagi, pintu boarding akan ditutup. Ia segera membuka tasnya. Dua bungkus coklat seberat kira-kira 2 kg ia keluarkan dari tasnya. Kemudian, sang wanita tadi pun menimbang tasnya kembali.
“It is OK sir, but you have to hurry. Time not much” katanya lagi.
Daritadi ia juga sudah tahu, waktunya memang sempit.
Denagn tergopoh-gopoh ia membuang bungkusan coklat tadi, sambil menenteng ranselnya menuju ke imigrasi.

Tiba-tiba, seorang petugas menghentikannya di gerbang pemeriksaan bea cukai.
“Sir, need to check weight” kata seorang berwajah dogol sambil menunjuk ke tas ranselnya.
“Oh come on, I have only little time!” katanya kesal. Ketika ia mencoba menerobos masuk, dua orang petugas sengaja berdiri di hadapannya. Satu orang bahkan mencengkeram pundaknya, sambil berteriak dalam bahasa yang tidak ia kenal. Orang yang pertama tadi juga memegangi ranselnya - seperti anjing yang teguh mempertahankan tulang makanannya. Setelah ia merasa putus asa, diberikannya ransel tersebut pada orang yang pertama tadi.
“8 kilos, too heavy sir, you need pay” kata si muka dogol. Ia nyaris saja meninjunya dengan sepenuh hati.
“What? Since when do you have limitation on carry on?”
“No understand, need pay!” kata si muka dogol lagi, kali ini dengan senyum menyeringai, menunjukkan sederetan gigi yang menghitam karena alkohol.
Sial, pikirnya. Tinggal dua puluh menit untuk naik pesawat. Bagaimana ini?
Ia membuka ranselnya, dan melempar keluar 4 buah buku yang tadinya akan dijadikan hadiah untuk keponakannya. Iapun masuk ke imigrasi, diiringi tatapan puas si muka dogol yang sedari tadi menunggu kemenangan ini.

Ia turun dari pesawat terbang, setelah melalui lebih dari 10 jam perjalanan sejak ia bangun subuh tadi. Kini sudah sore di Jakarta. Badannya yang lelah kini semakin meradang diterjang hawa panas menyengat ibukota negara asalnya ini. Tapi, paling tidak ia sudah menempuh dua pertiga perjalanannya. Kini, tinggal satu kali lagi naik pesawat, kemudian naik bus selama delapan jam, menuju kampungnya di puncak pegunungan Bukit Barisan, Bengkulu. Membayangkan masih betapa jauh perjalanannya, ingin rasanya ia terbang bagai gatotkaca, langsung ke rumahnya.

Pesawat kecil yang ditumpanginya berkali-kali terguncang. Diluar sana gelap, hanya sesekali kilat menyambar. Hatinya berdebar-debar. Akan sampaikah ia ke rumahnya malam nanti? Dalam hati, ia menyesal mengapa memilih pesawat kecil ini. Sekali lagi, pesawat tergoncang keras, kali ini membuat semua penumpang berteriak. Seorang anak kecil yang duduk di depan, yang sudah menangis sejak tadi, makin keras saja tangisannya. Hatinya bergidik membayangkan apa yang terjadi jika petir menyambar pesawat kecil ini. Apakah ia akan mati disini? Tidak akan lagi bertemu istrinya, yang kini sedang menunggu di rumah? Apakah disini akan berakhir riwayatnya? Pesawat tergoncang sekali lagi. Jendela pesawat nampak basah terkena air hujan. Ya Tuhan, tolong, tolonglah hambaMu ini!

Delapan jam naik bus, tiga kali nyaris mati masuk ke jurang, dua kali nyaris bertabrakan dengan truk tanah, empat kali muntah, dan dua kali buang air kecil di dalam botol aqua. Badannya sudah bau tak keruan, seamburadul wajah bus antar kota ini dari dalam. Kursinya dekil, atapnya dekil, dindingnya dekil, bahkan penumpangnya pun dekil-dekil semua. Sangat jauh dengan pesawat pertama yang dinaikinya subuh tadi. Total, sejak ia bangun pagi tadi, sudah lebih dari 20 jam ia berada dalam perjalanan. Kini, ia melompat turun, menghirup udara segar wilayah perbukitan yang semakin ke Barat akan bangkit menjadi Pegunungan Bukit Barisan.

Ia membuka pintu untuk masuk ke ruangan yang serba putih. Disana, disebuah ranjang yang sederhana, duduklah seorang wanita yang amat dikenalnya. Ia tidak cantik, tidak juga modern. Namun, wajahnya tulus. Ketulusan yang membuatnya jatuh cinta, lebih dari segala macam wanita gaya yang ditemuinya diseluruh dunia. Dan, kini, didekapannya, ada sebuah wajah mungil, yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Wajah yang baru, yang bahkan belum pernah dilihat dunia. Wajah yang menyiratkan wajahnya sendiri - apakah hidungnya? Atau matanya? Ia tidak tahu. Namun, ia yakin, adalah wajahnya sendiri yang tersirat di wajah itu.
”Mas, akhirnya sampai juga” kata wanita cantik nan tulus itu.
”Ini anakmu Mas, baru dua jam lalu lahir ke dunia...”
Puji Tuhan!

Malam ini, ranjang tua dari sebuah klinik bidan menjadi palungannya. Wanita tulus yang menjadi istrinya menjelma menjadi Maria. Ruangan klinik yang serba ada menjadi kandang hewan. Dan, dalam bayi itu, ia melihat harapan, ia melihat masa depan, ia melihat berkat. Ia melihat Tuhan Yesus, yang tersenyum kepadanya malam ini.

Renungan Advent I - 4 Desember 2008