“Aku bersumpah demi diriKu sendiri demikianlah Firman Tuhan: Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakMu yang tunggal kepadaKu, maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firmanKu”
Kejadian 22:16 – 18
Di jaman modern seperti sekarang ini, nilai kata ‘janji’ mengalami penurunan drastis. Ini tak lain adalah akibat dari kemajuan teknologi informasi, dimana setiap saat kita bisa mengontak rekan dan saudara di tempat lain, propinsi lain, bahkan benua lain, dengan cepat dan murah pula. Saya jadi ingat komentar supir kami di Bandung yang dulunya bekerja sebagai supir angkot lalu bangkrut. Kenapa angkotnya bisa bangkrut? Jawabannya adalah karena dua hal: motor dan HP. Motor, karena dengan banyaknya kredit motor, pelanggan lebih suka naik motor daripada naik angkot (ya jelas lah!). Lalu HP, apa hubungannya? “Dulu, orang sering pergi ke pinggiran kota mengunjungi keluarga yang ada disana” katanya. “Sesudah ada HP, sms aja, atau telepon, paling 250 perak! Jadi, ya nggak perlu lagi repot naik angkot untuk ngunjungin keluarganya” katanya. Hmmm, benar juga ya!
Saya tadinya mau melakukan argumen balik dengan teori marketing bahwa kebangkrutan angkotnya bukan karena itu saja, tetapi karena tidak ada perbaikan pelayan dari pihak penyelenggara angkot sendiri. Tapi, sudahlah! Wong sudah bangkrut kok, nasihatnya terlambat. Apa hubungannya angkot dengan janji? Terbayang kan, bahwa dulu, kalau seorang anak berkata pada ibunya, “Bu, selama saya kerja di kota, setiap Jumat saya akan kontak Ibu, ya!”. Yang disebut ‘kontak’ itu dulu melibatkan kerja keras, naik angkot, ganti tiga kali, jalan dua jam, jalanan buruk, banjir dan hujan, untuk diwujudkan. Sekarang? Seratus perak, atau bahkan gratis kalau ada promo, dengan modal HP dan sedikit pulsa.
Alhasil, yang namanya ‘janji’sering menjadi tinggal janji, karena semakin mudah mewujudkannya. Ketemuan dengan teman pun, kini tidak pernah menyebutkan tempat spesifik dan waktunya. “Nanti ya, begitu saya sampai, saya telepon atau sms, baru kita janjian ketemu dimana!”. Wajar bukan? Kita bahkan tidak berani memberikan janji ketemu di Lantai 3 Kios A14 jam 14.00, seperti waktu dulu saya masih SD, jaman HP belum umum. Makin rendah kualitas janjinya, kalau ngaret pun tidak apa-apa! Bayangkan kontrasnya nilai ‘janji’ ini dengan nilai ‘janji’ yang kita lihat di film-film silat Hongkong. Ketika mau pergi naik kuda, sang pendekar memberikan sembah, sambil berkata “Kakak kedua, saya janji, di tempat ini, kita akan bertemu tiga bulan lagi!”. Tiga bulan juga, tanpa sepotongpun alternatif untuk mencari berita sebelumnya kecuali lewat merpati pos, sang kakak kedua menunggu. Dan, adiknya datang beneran! Begitu juga kehidupan para pelaut, yang berbulan-bulan di lautan, atau tentara di medan perang jaman dahulu.
Dengan demikian, kadang-kadang kita memandang janji dengan nilai yang terlalu rendah. Janji menjadi seperti karet, bisa mulur atau mengkerut. Muncullah istilah baru: janji sales! Janji seorang sales, yang bisa diatur sesuai keadaan. Pemahaman ini juga melanda ranah rohani, ketika kita mendengar ‘janji Tuhan’. Apakah janji Tuhan sama seperti janji Sales? Kan repot kalau kita sudah berbuat baik seumur hidup, menjadi anak Tuhan yang baik, dan ketika sampai di pintu Surga, yang menjaga pintu menyodorkan sebuah kontrak “Lho, Bapak mengira akan masuk Surga ya? Pak, seharusnya Bapak membaca dulu Syarat dan Ketentuannya dengan teliti yang dicetak dibawah dengan huruf kecil....”. Apa tidak cilaka empat belas kuadrat kalau hal seperti itu?
Kalau Doen Moen lewat lagunya ‘Shout to the Lord’ bisa berani lantang berkata, nothing compares to the promise I have in You (tidak ada yang sebanding dengan janjiMu), sebenarnya, janji apa sih yang dimaksud? Mari kita cek buku ‘Syarat dan Ketentuan’ kita dalam huruf kecil – yaitu Alkitab. Jangan-jangan, yang disebut janji-janji itu malah tidak pernah tertulis?
Kata ‘promise’ dalam Alkitab versi New English Translation disebut sebanyak 121 kali. Kalau kita runut, janji Allah kepada manusia yang pertama adalah Kejadian 17, yang menjelaskan mengenai perjanjian antara Allah dengan Abraham. Dari pihak Allah, Ia berjanji akan membuat Abraham berketurunan banyak dan Ia akan menjadi Allah bagi bangsa keturunan Abraham ini. Sementara dari pihak Abraham, harus membalas dengan berjanji melakukan sunat, yaitu membuang kulit khatan di alat kelamin pria, sebagai tanda perjanjian. Ini adalah perjanjian yang pertama, kemudian Allah juga berjanji memberikan putra bagi Abraham melalui Sarah, istri pertamanya. Janji ini disambut dengan tawa oleh Abraham, bahkan tercatat dalam Alkitab. Abraham berpikir, ini pasti janji sales: mana mungkin setua Sarah bisa melahirkan anak? Tapi ya sudah, Abraham hanya menjalankan saja.
Tapi, kemudian janji Tuhan ternyata bukan janji sales. Sarah benar-benar mengandung dan melahirkan seorang putra! Abraham langsung senang sekali. Ia bahagia, bahwa Allahnya adalah Allah yang baik, yang memenuhi janjiNya. Ia adalah Allah yang penuh kasih, yang akan memberkati Ia dan keturunanNya. Namun, tiba-tiba sesuatu terjadi. Malaikat Allah kemudian memerintahkan Abraham untuk membunuh anaknya sendiri sebagai korban bagi Allah! Abraham sangat gentar. Padahal, Allah berjanji memberinya banyak keturunan, yang bukan dari Hagar. Lalu, kalau sekarang Allah minta Abraham membunuh Ishak, bukankah itu namanya janji sales juga? Janji yang tidak ditepati? Apakah Abraham bisa memegang janji Allahnya?
Inilah nilai janji yang sesungguhnya. Disinilah iman Abraham betul-betul diuji. Kalau Abraham benar-benar percaya akan janji Allah, berarti ia harus mengikuti perintahnya dan mengorbankan Ishak. Dengan hati hancur, ia menyiapkan segala sesuatunya: kayu untuk bakaran, pisau, lalu....
Kita semua tahu, peristiwa dramatis apa yang akan terjadi. Malaikat Allah datang dan menampik pisau yang akan membunuh Ishak. Lalu, disinilah janji Allah itu diperbaharui. Karena, Abraham sudah melalui ujian yang begitu besar, ujian yang menggojlok kualitas kepercayaan Abraham terhadap sebuah janji Allah. Tidak ada handphone, tidak bisa kirim sms pada Allah dan bertanya: “Pagi Ya Allah, ini maksudnya bagaimana? balas”, bahkan tidak bisa post di facebook untuk minta penjelasan. Yang bisa dilakukan hanya satu: percaya akan janji Allah, yang kemudian dilakukan Abraham dengan sepenuh hati, sehingga malaikat Allah membaharui janjinya seperti perikop diatas. Begitu terkesannya Allah dengan iman Abraham yang mengorbankan anak tunggalnya, sampai Iapun akhirnya mengorbankan Anak TunggalNya untuk keselamatan manusia. Jelaslah, janji Allah bukan janji sales – Ia akan menepatinya!
Kedoya, 10 Mei 2010