“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.”
“Datanglah seorang yang diutus Allah, namanya Yohanes; ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya”
Yohanes 1:1,6-7
Injil Yohanes, berbeda dengan Injil Matius dan Lukas, tidak menceritakan tentang kelahiran Yesus. Tetapi, Yohanes memulai kisahnya dengan sebuah perumpamaan, sebuah alegori yang mengacu kepada konsep kelahiran Tuhan Yesus itu sendiri.
Ia menyebutkan bahwa pada mulanya adalah Firman. Memang, sampai Tuhan Yesus lahir, manusia hanya bisa berpegang kepada Firman. Firman ini digaungkan berkali-kali dalam Perjanjian Lama, melalui berbagai macam nubuatan para nabi. Bahwa akan datang seorang Mesias yang akan menyelamatkan manusia, yang oleh bilur-bilurNya kita menjadi sembuh. Bahwa akan datang seorang Raja, yang akan memerintah kerajaan yang tidak akan berakhir sampai selamanya. Selama beratus-ratus tahun, di tengah praktek budaya manusia yang najis saat itu – perbudakan, nabi-nabi palsu, penyembahan dewa-dewa – bangsa Israel bertahan dengan Firman itu, bertahan dengan janji itu, walaupun jatuh bangun diterpa perkembangan jaman.
Kemudian, Yohanes secara menarik melukiskan bahwa Firman itu kemudian menjadi terang. Firman adalah janji, yang walaupun semanis madu, tetap saja sebuah janji, tanpa wujud yang sesungguhnya. Tanpa jaminan, tanpa hakikat. Tetapi, ketika Firman itu berubah menjadi terang, maka Firman itu mulai terlihat. Firman itu tidak lagi berupa rangkaian kata yang tertulis di dalam sebuah kitab, melainkan bisa dilihat, bisa dirasakan hangatnya, bisa dilihat warnanya.
Firman itu mulai terwujud sebagai sebuah terang, cahaya yang menerangi dunia yang kelam.
Kelahiran Tuhan Yesus dilukiskan penuh dengan cahaya. Bintang terang di langit, sebagai pertanda kelahiranNya, tentu saja merupakan petunjuk yang penting. Bayi Yesus pun dilukiskan bercahaya, terbaring diatas palungan. Uniknya, Ialah satu-satunya cahaya di tempat kelahiranNya. Ia tidak lahir di Istana, yang terang benderang dan berlampu banyak, Ia juga tidak lahir di rumah bersalin yang memiliki penerangan cukup. Ia lahir di kandang, yang memang gelap gulita. Dalam keadaan gelap, secercah cahaya pun akan terasa terang. Itulah kelahiranNya, yang berpendar di tengah kegelapan malam, dibawah naungan bintang terang, siap menerangi ruang-ruang gelap dalam hati manusia.
Saya ingat pengalaman saya ketika naik ke Penanjakan untuk melihat matahari terbit di Gunung Bromo. Kami naik ke puncak Bromo kira-kira pukul empat pagi. Hawa udara dingin menggigit, sepertinya jaket tebal saya tidak cukup untuk membendung hantaman angin ini. Titik-titik cahaya seperti pasir nampak terhampar di kaki gunung, menambah dingin suasana. Tubuh saya mulai merasakan akibatnya: leher mulai sakit, kepala mulai pusing, badan mulai masuk angin, ketika saya bersiap memandang ke arah Bromo untuk menunggu mentari. Tiba-tiba, ketika sinar mentari mulai terbit, dan wilayah sekitar mulai terang, bukan saya mata yang bisa melihat jelas. Tubuh pun tiba-tiba terasa hangat, leher mendadak membaik, padahal suhu sekitar belum naik banyak. Kehangatan mentari tidak hanya terasa di tubuh secara fisik, namun juga di hati, sehingga pelan-pelan tubuh kembali pulih.
Seperti itulah terang yang dilukiskan oleh Yohanes: terang yang jatuh ke bumi yang gelap dan dingin. Terang yang hangat, dirasakan oleh semua orang, terlihat dan teraba dengan jelas efeknya. Dan Terang ini akan terus menjadi kesaksian, sampai semua orang menjadi percaya.
Amin.