Monday, May 10, 2010

Janji Allah dan Janji Sales

“Aku bersumpah demi diriKu sendiri demikianlah Firman Tuhan: Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakMu yang tunggal kepadaKu, maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firmanKu”
Kejadian 22:16 – 18


Di jaman modern seperti sekarang ini, nilai kata ‘janji’ mengalami penurunan drastis. Ini tak lain adalah akibat dari kemajuan teknologi informasi, dimana setiap saat kita bisa mengontak rekan dan saudara di tempat lain, propinsi lain, bahkan benua lain, dengan cepat dan murah pula. Saya jadi ingat komentar supir kami di Bandung yang dulunya bekerja sebagai supir angkot lalu bangkrut. Kenapa angkotnya bisa bangkrut? Jawabannya adalah karena dua hal: motor dan HP. Motor, karena dengan banyaknya kredit motor, pelanggan lebih suka naik motor daripada naik angkot (ya jelas lah!). Lalu HP, apa hubungannya? “Dulu, orang sering pergi ke pinggiran kota mengunjungi keluarga yang ada disana” katanya. “Sesudah ada HP, sms aja, atau telepon, paling 250 perak! Jadi, ya nggak perlu lagi repot naik angkot untuk ngunjungin keluarganya” katanya. Hmmm, benar juga ya!

Saya tadinya mau melakukan argumen balik dengan teori marketing bahwa kebangkrutan angkotnya bukan karena itu saja, tetapi karena tidak ada perbaikan pelayan dari pihak penyelenggara angkot sendiri. Tapi, sudahlah! Wong sudah bangkrut kok, nasihatnya terlambat. Apa hubungannya angkot dengan janji? Terbayang kan, bahwa dulu, kalau seorang anak berkata pada ibunya, “Bu, selama saya kerja di kota, setiap Jumat saya akan kontak Ibu, ya!”. Yang disebut ‘kontak’ itu dulu melibatkan kerja keras, naik angkot, ganti tiga kali, jalan dua jam, jalanan buruk, banjir dan hujan, untuk diwujudkan. Sekarang? Seratus perak, atau bahkan gratis kalau ada promo, dengan modal HP dan sedikit pulsa.

Alhasil, yang namanya ‘janji’sering menjadi tinggal janji, karena semakin mudah mewujudkannya. Ketemuan dengan teman pun, kini tidak pernah menyebutkan tempat spesifik dan waktunya. “Nanti ya, begitu saya sampai, saya telepon atau sms, baru kita janjian ketemu dimana!”. Wajar bukan? Kita bahkan tidak berani memberikan janji ketemu di Lantai 3 Kios A14 jam 14.00, seperti waktu dulu saya masih SD, jaman HP belum umum. Makin rendah kualitas janjinya, kalau ngaret pun tidak apa-apa! Bayangkan kontrasnya nilai ‘janji’ ini dengan nilai ‘janji’ yang kita lihat di film-film silat Hongkong. Ketika mau pergi naik kuda, sang pendekar memberikan sembah, sambil berkata “Kakak kedua, saya janji, di tempat ini, kita akan bertemu tiga bulan lagi!”. Tiga bulan juga, tanpa sepotongpun alternatif untuk mencari berita sebelumnya kecuali lewat merpati pos, sang kakak kedua menunggu. Dan, adiknya datang beneran! Begitu juga kehidupan para pelaut, yang berbulan-bulan di lautan, atau tentara di medan perang jaman dahulu.

Dengan demikian, kadang-kadang kita memandang janji dengan nilai yang terlalu rendah. Janji menjadi seperti karet, bisa mulur atau mengkerut. Muncullah istilah baru: janji sales! Janji seorang sales, yang bisa diatur sesuai keadaan. Pemahaman ini juga melanda ranah rohani, ketika kita mendengar ‘janji Tuhan’. Apakah janji Tuhan sama seperti janji Sales? Kan repot kalau kita sudah berbuat baik seumur hidup, menjadi anak Tuhan yang baik, dan ketika sampai di pintu Surga, yang menjaga pintu menyodorkan sebuah kontrak “Lho, Bapak mengira akan masuk Surga ya? Pak, seharusnya Bapak membaca dulu Syarat dan Ketentuannya dengan teliti yang dicetak dibawah dengan huruf kecil....”. Apa tidak cilaka empat belas kuadrat kalau hal seperti itu?

Kalau Doen Moen lewat lagunya ‘Shout to the Lord’ bisa berani lantang berkata, nothing compares to the promise I have in You (tidak ada yang sebanding dengan janjiMu), sebenarnya, janji apa sih yang dimaksud? Mari kita cek buku ‘Syarat dan Ketentuan’ kita dalam huruf kecil – yaitu Alkitab. Jangan-jangan, yang disebut janji-janji itu malah tidak pernah tertulis?
Kata ‘promise’ dalam Alkitab versi New English Translation disebut sebanyak 121 kali. Kalau kita runut, janji Allah kepada manusia yang pertama adalah Kejadian 17, yang menjelaskan mengenai perjanjian antara Allah dengan Abraham. Dari pihak Allah, Ia berjanji akan membuat Abraham berketurunan banyak dan Ia akan menjadi Allah bagi bangsa keturunan Abraham ini. Sementara dari pihak Abraham, harus membalas dengan berjanji melakukan sunat, yaitu membuang kulit khatan di alat kelamin pria, sebagai tanda perjanjian. Ini adalah perjanjian yang pertama, kemudian Allah juga berjanji memberikan putra bagi Abraham melalui Sarah, istri pertamanya. Janji ini disambut dengan tawa oleh Abraham, bahkan tercatat dalam Alkitab. Abraham berpikir, ini pasti janji sales: mana mungkin setua Sarah bisa melahirkan anak? Tapi ya sudah, Abraham hanya menjalankan saja.

Tapi, kemudian janji Tuhan ternyata bukan janji sales. Sarah benar-benar mengandung dan melahirkan seorang putra! Abraham langsung senang sekali. Ia bahagia, bahwa Allahnya adalah Allah yang baik, yang memenuhi janjiNya. Ia adalah Allah yang penuh kasih, yang akan memberkati Ia dan keturunanNya. Namun, tiba-tiba sesuatu terjadi. Malaikat Allah kemudian memerintahkan Abraham untuk membunuh anaknya sendiri sebagai korban bagi Allah! Abraham sangat gentar. Padahal, Allah berjanji memberinya banyak keturunan, yang bukan dari Hagar. Lalu, kalau sekarang Allah minta Abraham membunuh Ishak, bukankah itu namanya janji sales juga? Janji yang tidak ditepati? Apakah Abraham bisa memegang janji Allahnya?

Inilah nilai janji yang sesungguhnya. Disinilah iman Abraham betul-betul diuji. Kalau Abraham benar-benar percaya akan janji Allah, berarti ia harus mengikuti perintahnya dan mengorbankan Ishak. Dengan hati hancur, ia menyiapkan segala sesuatunya: kayu untuk bakaran, pisau, lalu....

Kita semua tahu, peristiwa dramatis apa yang akan terjadi. Malaikat Allah datang dan menampik pisau yang akan membunuh Ishak. Lalu, disinilah janji Allah itu diperbaharui. Karena, Abraham sudah melalui ujian yang begitu besar, ujian yang menggojlok kualitas kepercayaan Abraham terhadap sebuah janji Allah. Tidak ada handphone, tidak bisa kirim sms pada Allah dan bertanya: “Pagi Ya Allah, ini maksudnya bagaimana? balas”, bahkan tidak bisa post di facebook untuk minta penjelasan. Yang bisa dilakukan hanya satu: percaya akan janji Allah, yang kemudian dilakukan Abraham dengan sepenuh hati, sehingga malaikat Allah membaharui janjinya seperti perikop diatas. Begitu terkesannya Allah dengan iman Abraham yang mengorbankan anak tunggalnya, sampai Iapun akhirnya mengorbankan Anak TunggalNya untuk keselamatan manusia. Jelaslah, janji Allah bukan janji sales – Ia akan menepatinya!

Kedoya, 10 Mei 2010

'Passive Income' Dalam Alkitab

‘Lalu FirmanNya kepada manusia itu: “Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu”’
Kejadian 3: 17 – 19

Robert Kiyosaki, seorang motivator ulung dunia, pernah terkenal dengan teori kuadran-nya. Dia menyebutkan bahwa manusia yang bekerja bisa dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran pertama adalah E atau employee, pegawai yang bekerja pada sebuah perusahaan, yang bergantung pada gaji bulanan untuk hidup sehari-hari. Kuadran kedua adalah S atau self-employed, seorang pekerja lepas, yang dibayar karena kemampuannya tetapi tidak bekerja pada perusahaan tertentu. Kuadran ketiga adalah B atau business owner, pemilik bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan dari bisnisnya. Kuadran keempat adalah I atau investor yang mendapatkan keuntungan dari uang yang diinvestasikan.

Dari teori ini, banyak orang memiliki pemahaman yang sebenarnya kurang tepat, yakni dimana seseorang dipacu untuk berada pada kuadran I atau B. Dalam kuadran ini, disebutkan seolah-olah bahwa ‘uang akan datang sendiri’, dimana Anda tinggal ongkang-ongkang kaki bersantai ria di rumah, dan ‘uang yang akan bekerja untuk Anda’. Uang akan menghasilkan uang secara otomatis dimana Anda tinggal menikmati hidup saja, tidak perlu kerja. Apakah benar demikian?
Saya sendiri adalah seorang pemilik bisnis walaupun kecil-kecilan. Saya sudah berusaha agar bisnis saya menjadi mandiri, dengan memberikan kepercayaan kepada pegawai. Saya berusaha untuk mengecilkan peran saya, memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya kepada pegawai. Tujuannya, saya ingin mencoba teori ini. Walaupun hasilnya tidak besar, bukankah menyenangkan jika bisa menghasilkan uang secara otomatis begini? Dimana uang akan datang sendiri tanpa tangan kita yang ikut bekerja?

Ternyata, kenyataan tidak seindah deskripsi awalnya. Memang, saya bisa mendapatkan keuntungan yang lumayan dari bisnis ini. Dan memang juga, bahwa saya sendiri tidak harus ikut bekerja, nongkrong dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore di kantornya. Tapi, bukan berarti saya ongkang-ongkang kaki saja. Ketika ada kerusakan barang milik orang lain sampai yang bersangkutan ingin menuntut kami ke pengadilan, sayalah yang ditelepon. Ketika neraca negatif sampai rugi cukup besar, sayalah yang menanggungnya. Ketika mesin rusak dan para pegawai harus begadang semalam suntuk untuk menyelesaikan order, saya memang tidak ikut bekerja, tapi saya ikut tidak bisa tidur! Karena saya tahu, kalau pelanggan kami besok kecewa karena kami tidak bisa menyelesaikan order, sayalah yang akan kena damprat di telepon!

Jadi, there is no such thing as a free lunch, kata orang Amerika. Demikian pula dalam hal pendapatan. Tidak mungkin uang datang sendiri tanpa kerja: pasti ada usaha yang harus kita lakukan untuk memperoleh hasil. Dan usaha secara fisika didefinisikan sebagai gaya dikalikan waktu, sehingga selalu dibutuhkan tenaga dan waktu untuk menghasilkan sesuatu. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam perikop Kejadian, ketika manusia dibuang ke bumi. Ini adalah salah satu kutukan dasar bagi manusia: tanah, yang di Surga menghasilkan segala sesuatu dengan sendirinya, di bumi harus ‘diusahakan’ agar bisa menghasilkan hasil. Jika tidak, maka hasilnya hanya semak duri dan rumput duri! Jadi, bahkan Alkitab pun setuju dengan fisika dan termodinamika: bahwa tidak mungkin ada hasil tanpa usaha!

Ada sebuah ilustrasi yang buat saya lebih cocok. Konon seorang ibu yang bijak pada suatu hari didatangi oleh seorang pengemis yang tangannya cacat. Pengemis ini berkata bahwa ia tidak bisa bekerja, dan memohon agar sang ibu mengasihani dia dan memberinya uang. Namun, sang ibu bilang, bahwa ia tidak punya uang, tapi punya makanan. Sang pengemis boleh makan, syaratnya adalah ia harus memindahkan setumpuk batu bata dari halaman depan rumah sang ibu ke halaman belakang. Sang pengemis pun, dengan satu tangan, susah payah memindahkan semua bata itu, sampai akhirnya ia bisa makan. Kemudian, hari keduanya, ia datang lagi, kali ini sang ibu meminta supaya bata yang ada di pekarangan belakang dipindahkan lagi ke depan, baru bisa makan. Begitu seterusnya, sampai suatu saat sang pengemis berhenti datang ke rumah sang ibu.
Bertahun-tahun kemudian datang sebuah kendaraan sedan mewah yang parkir di rumah sang ibu, yang tetap sederhana seperti dulu. Dari dalam mobil turun seorang yang nampak perlente, dengan jas dan jasi. Kacamata emasnya mengkilap berkilauan, jam swiss-nya yang berharga ratusan juta rupiah nampak terlingkar cantik di pergelangan tangan kirinya. Tangan kanannya tidak terlihat, rupanya beliau tangannya cacat. Ia lalu mengetuk pintu dan ketika sang ibu membuka pintu, sang ibu nyaris tidak mengenalinya lagi.

“Ibu, saya dulu adalah pengemis cacat yang pernah ikut makan di rumah ibu. Mula-mula saya tidak mengerti, mengapa Ibu meminta saya memindahkan bata bolak-balik dari depan ke belakang. Saya pikir Ibu kejam pada saya. Namun kemudian saya sadar, bahwa Ibu mencoba mengajarkan satu pelajaran penting: bahwa tidak ada makan yang gratis, semua datang dari keringat dan kerja keras. Setelah saya sadar, saya kemudian mencari kerja, dan menjadi sukses seperti sekarang. Saya datang kembali Ibu, untuk berterima kasih atas pelajaran hidup yang Ibu berikan...”

Cikarang, 2 Mei 2010