“Lalu Ia mengajar mereka, kataNya: ‘Bukankah ada tertulis: rumahKu akan disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun!’”
Markus 11:17
Tuhan Yesus adalah seorang tokoh yang kontroversial. Bukan saja untuk orang Kristen, tetapi juga untuk semua orang. Tuhan Yesus dikenal sebagai seorang tokoh reformasi, tokoh pendobrak, yang tidak takut menghadapi kekuatan yang lebih besar. Ia tetap teguh pada ajarannya, konsekuen sampai setiap senti dari kehidupannya, dan sesuai nubuat para nabi, akhirnya dijatuhi hukuman salib secara tidak adil. Tapi, pernahkah kita memperhatikan, apa yang membuat Tuhan Yesus begitu berpengaruh pada masyarakat Yahudi saat itu? Mengapa kehadiran dan ajaranNya langsung bisa diterima oleh banyak orang?
Pada masa hidup Tuhan Yesus, bangsa Yahudi berada di bawah jajahan Romawi. Setelah beberapa kali gagal melakukan pemberontakan, penjajah Romawi menghancurkan seluruh sendi pemerintahan dan keyakinan orang Yahudi sehingga hanya reruntuhan Bait Allah yang tersisa. Kebencian terhadap penjajah Romawi kemudian memuncak, sehingga ada kerinduan yang kuat dari bangsa Yahudi untuk hadirnya seorang pemimpin. Tetapi, bukan hanya itu. Ada penjajah yang justru lebih kejam, justru lebih bertangan besi. Mereka adalah golongan petinggi agama Yahudi sendiri, yakni orang Farisi, orang Saduki, dan Mahkamah Agama Yahudi.
Para petinggi agama Yahudi memang sarat dengan penyelewengan. Salah satu yang pertama tercatat adalah masalah korupsi pada seorang bujang Elia (II Raja-raja 5:26). Kekuasaan pemuka agama yang mutlak dan turun-temurun menjadi sarat dengan penyelewengan, dimana kekuasaan mereka tidak digunakan secara semestinya. Agama yang seharusnya membawa kedamaian dan ketertiban, malah membawa ketakutan dan rasa tidak aman. Setiap orang bisa diciduk dan didakwa dengan dalih agama, padahal belum tentu bersalah. Agama kemudian menjadi momok yang menakutkan! Itulah sebabnya, mereka acapkali menjadi sasaran kritik Tuhan Yesus. Berkali-kali mereka mencobai, menjebak, dan ingin menjerumuskan Tuhan Yesus, hanya karena Ia membongkar topeng dan kemunafikan mereka. Berkali-kali pula Tuhan Yesus menunjukkan sikap yang sangat kontras dengan para pemuka agama, yakni akrab dan dekat dengan kaum lemah: kaum miskin, cacat, pemungut cukai, dan kaum tuna susila. Dengan kasihNya ia menunjukkan esensi dari kehidupan beragama yang sesungguhnya, yang membawa damai dan membela yang lemah.
Kalau Tuhan Yesus mengajarkan perlawanan pada penjajah Romawi, pastilah Ia dengan mudah didakwa. Tetapi, tidak pernah sekalipun Tuhan Yesus bertindak ke arah situ. Itulah sebabnya, Pontius Pilatus sampai tidak menemukan kesalahan pada Tuhan Yesus. Mahkamah Agamalah yang sekuat tenaga mengarang cerita supaya Tuhan Yesus bersalah, dengan delik dan aturan yang tidak jelas. Misi Tuhan Yesus adalah melawan penjajah dari bangsaNya sendiri, penjajah yang konon mendapat mandat dari BapaNya, namun menyelewengkannya sekehendak hati selama ratusan tahun. Itulah sebabnya para pemuka agama sangat membenci Tuhan Yesus, namun Ia sangat dicintai oleh rakyat kebanyakan. Karena Ia menunjukkan kepada mereka, siap penjajah yang sesungguhnya!
Embun pagi adalah kristalisasi hari. Uap, asap, debu, kabut, yang terakumulasi selama sehari penuh, akan mengalami transformasi akibat kondensasi dan sublimasi, menjadi embun pagi yang murni, suci, bersih. Demikian pula Firman Tuhan, sering tersamar dalam kotornya hari, namun selalu muncul kembali dalam bentuk murni di pagi hari. Asalkan kita rela luangkan waktu, bersihkan hati, biarkan Roh itu bekerja.
Thursday, March 09, 2006
Sunday, March 05, 2006
KPK a la Nabi Elisa
“’Tetapi penyakit kusta Naaman akan melekat kepadamu dan kepada anak cucumu untuk selama-lamanya.’ Maka keluarlah Gehazi dari depannya dengan kena kusta, putih seperti salju.”
II Raja-raja 5:27, baca perikop II Raja-raja 5:15-27
Bangsa Indonesia kini sedang berjuang menghadapi penyakit yang namanya korupsi. Korupsi, dengan konsep tukang parkir atau „Kiri, kanan, prit! Seribu rupiah“ – seperti istilah seorang rekan bisnis asal Eropa – sudah begitu mendarahdagingnya di masyarakat kita sampai-sampai dianggap sebagai hal yang ‚wajar’. Saya pernah sekali tersesat di pelosok Jakarta dan terpaksa bertanya jalan kepada penduduk sekitar. Betapa terkejutnya saya, karena sesudah mendapat petunjuk dengan ramah, dia berkata „Uang rokoknya dong bos!“. Entah kenapa, hati saya rasanya kesal, karena keramahan dan bantuannya ternyata mengharapkan imbalan. Bahkan, yang tidak membantu, tetapi ikut ‚mendengar’ pun, meminta imbalan, dengan dalih ‚uang dengar’. Bukankah wajar, menerima imbalan sesudah memberikan bantuan?
Alkitab Perjanjian Lama mencata sebuah kasus mengenai seorang koruptor yang tertangkap tangan. Dalam II Raja-raja 5 dikisahkan mengenai Naaman, panglima Raja Aram yang terkena kusta. Melalui kuasa Tuhan, Elisa kemudian menyembuhkan Naaman. Namun, ketika Naaman menawarkan hadiah kepada Elisa sebagai tanda terima kasih, Elisa menolaknya dengan menekankan bahwa ia hanya seorang pelayan dan kuasa sesungguhNya adalah dari Tuhan. Setelah Naaman pergi, Gehazi, bujang Elisa, kemudian berpikir bahwa sudah selayaknyalah dia menerima hadiah dari Naaman – pada jaman sekarang disebut ‚uang dengar’. Ketika Elisa mengetahui, bahwa Gehazi mengejar Naaman dan meminta hadiah, Elisa langsung mengutuk Gehazi yang walaupun menerima harta dari Naaman tapi akan terkena penyakit kusta sampai keturunannya.
Sayangnya, KPK tidak berkuasa menjatuhkan penyakit kusta! Tapi paling tidak, kasus ini menjadi peringatan bagi semua orang kristen yang pernah terlibat dengan ‚uang jasa’ atau ‚uang dengar’. Kita harus selalu sadar, bahwa semua berkat dan talenta yang kita miliki adalah dari Tuhan – bukan hasil usaha kita sendiri. Jadi, tentu saja tidak elok meminta ‚uang jasa’ apalagi ‚uang dengar’ bagi sesuatu yang bukan milik kita. Bukannya jika Tuhan memberi berkat begitu melimpahnya, Ia juga akan mencukupi kebutuhan kita? Mengapa harus melakukan korupsi, jika kita selalu percaya bahwa berjalan bersama Tuhan adalah jalan yang paling baik? Ingatlah apa yang dialami Gehazi: harta memang bisa dimiliki, tapi kita seseorang terkena kusta atau tulah lainnya akibat perbuatan korupsi, dengan berapa talenta emaskah kesembuhan itu bisa dibayar?
II Raja-raja 5:27, baca perikop II Raja-raja 5:15-27
Bangsa Indonesia kini sedang berjuang menghadapi penyakit yang namanya korupsi. Korupsi, dengan konsep tukang parkir atau „Kiri, kanan, prit! Seribu rupiah“ – seperti istilah seorang rekan bisnis asal Eropa – sudah begitu mendarahdagingnya di masyarakat kita sampai-sampai dianggap sebagai hal yang ‚wajar’. Saya pernah sekali tersesat di pelosok Jakarta dan terpaksa bertanya jalan kepada penduduk sekitar. Betapa terkejutnya saya, karena sesudah mendapat petunjuk dengan ramah, dia berkata „Uang rokoknya dong bos!“. Entah kenapa, hati saya rasanya kesal, karena keramahan dan bantuannya ternyata mengharapkan imbalan. Bahkan, yang tidak membantu, tetapi ikut ‚mendengar’ pun, meminta imbalan, dengan dalih ‚uang dengar’. Bukankah wajar, menerima imbalan sesudah memberikan bantuan?
Alkitab Perjanjian Lama mencata sebuah kasus mengenai seorang koruptor yang tertangkap tangan. Dalam II Raja-raja 5 dikisahkan mengenai Naaman, panglima Raja Aram yang terkena kusta. Melalui kuasa Tuhan, Elisa kemudian menyembuhkan Naaman. Namun, ketika Naaman menawarkan hadiah kepada Elisa sebagai tanda terima kasih, Elisa menolaknya dengan menekankan bahwa ia hanya seorang pelayan dan kuasa sesungguhNya adalah dari Tuhan. Setelah Naaman pergi, Gehazi, bujang Elisa, kemudian berpikir bahwa sudah selayaknyalah dia menerima hadiah dari Naaman – pada jaman sekarang disebut ‚uang dengar’. Ketika Elisa mengetahui, bahwa Gehazi mengejar Naaman dan meminta hadiah, Elisa langsung mengutuk Gehazi yang walaupun menerima harta dari Naaman tapi akan terkena penyakit kusta sampai keturunannya.
Sayangnya, KPK tidak berkuasa menjatuhkan penyakit kusta! Tapi paling tidak, kasus ini menjadi peringatan bagi semua orang kristen yang pernah terlibat dengan ‚uang jasa’ atau ‚uang dengar’. Kita harus selalu sadar, bahwa semua berkat dan talenta yang kita miliki adalah dari Tuhan – bukan hasil usaha kita sendiri. Jadi, tentu saja tidak elok meminta ‚uang jasa’ apalagi ‚uang dengar’ bagi sesuatu yang bukan milik kita. Bukannya jika Tuhan memberi berkat begitu melimpahnya, Ia juga akan mencukupi kebutuhan kita? Mengapa harus melakukan korupsi, jika kita selalu percaya bahwa berjalan bersama Tuhan adalah jalan yang paling baik? Ingatlah apa yang dialami Gehazi: harta memang bisa dimiliki, tapi kita seseorang terkena kusta atau tulah lainnya akibat perbuatan korupsi, dengan berapa talenta emaskah kesembuhan itu bisa dibayar?
Mulailah Dengan Yang Mudah
“Manakah yang lebih mudah, mengatakan kepada orang lumpuh ini: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah?”
Markus 2:9
Kambing apa yang paling banyak dicari di Indonesia? Jawabannya: kambing hitam! Lelucon garing namun nyelekit ini memang sudah sering kita dengar dan kita maklumi keberadaannya. Betapa ketika kita melihat seseorang yang sedang mengalami masalah, atau bahkan kita sendiri yang sedang dirundung malang, yang selalu dicari adalah kambing hitam – siapa atau apa yang menyebabkan kemalangan ini terjadi. Dan kenapa si kambing ini harus spesifik berwarna hitam? Karena, kambing yang hitam memang sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Alhasil, ketika berhasil menjerat si kambing hitam, nyaris mustahil untuk mengkonfirmasi apakah ini kambing hitam yang benar-benar bertanggung jawab atau hanya kambing yang kebetulan kesasar masuk perangkap kita.
Begitulah sifat prasangka manusia. Tudingan bahwa permasalahan yang diperoleh seseorang merupakan ‘hukuman’ atas tindakan di masa lalu membuat sang penderita seperti jatuh dan tertimpa tangga. Tudingan ini bukannya meringankan beban sang penderita, tetapi justru membuatnya tambah sengsara, penasaran mencari penyebab azab yang dideritanya itu.
Dalam perikop diatas, Tuhan Yesus ingin menunjukkan hal ini kepada para ahli Taurat.
Adalah anggapan umum dalam agama Yahudi bahwa apabila seseorang menderita cacat, hal itu dianggap sebagai hukuman dari dosanya maupun dosa nenek moyangnya di masa lampau. Akibatnya, penderita cacat ini sudah menderita masih dihakimi pula, sehingga membuat penderitaannya bertambah. Lewat ungkapan cerdik “mengampuni dosa”, Tuhan Yesus ingin menunjukkan, bukankah ungkapan “dosamu diampuni”, begitu melegakan bagi para penderita cacat itu? Bukankah ungkapan bahwa apa yang terjadi sekarang hanyalah bersifat sementara dan bukan konsekuensi dari apapun, terdengar begitu indah dan menenangkan? Dan bukankah itu mudah, karena tidak beresiko? Siapapun bisa melakukannya! Tapi, untuk berkata “Bangun dan berjalanlah”, dibutuhkan kekuatan mukjijat yang luar biasa, seperti ditunjukkan Tuhan Yesus. Dengan ungkapan perikop diatas, Tuhan Yesus memberikan tantangan kepada kita: kalau memang kita tidak memiliki kuasa mukjijat, mengapa tidak melakukan hal yang sederhana: dengan meringankan beban sang penderita lewat ungkapan yang menghibur? Mulailah dengan yang mudah!
Markus 2:9
Kambing apa yang paling banyak dicari di Indonesia? Jawabannya: kambing hitam! Lelucon garing namun nyelekit ini memang sudah sering kita dengar dan kita maklumi keberadaannya. Betapa ketika kita melihat seseorang yang sedang mengalami masalah, atau bahkan kita sendiri yang sedang dirundung malang, yang selalu dicari adalah kambing hitam – siapa atau apa yang menyebabkan kemalangan ini terjadi. Dan kenapa si kambing ini harus spesifik berwarna hitam? Karena, kambing yang hitam memang sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Alhasil, ketika berhasil menjerat si kambing hitam, nyaris mustahil untuk mengkonfirmasi apakah ini kambing hitam yang benar-benar bertanggung jawab atau hanya kambing yang kebetulan kesasar masuk perangkap kita.
Begitulah sifat prasangka manusia. Tudingan bahwa permasalahan yang diperoleh seseorang merupakan ‘hukuman’ atas tindakan di masa lalu membuat sang penderita seperti jatuh dan tertimpa tangga. Tudingan ini bukannya meringankan beban sang penderita, tetapi justru membuatnya tambah sengsara, penasaran mencari penyebab azab yang dideritanya itu.
Dalam perikop diatas, Tuhan Yesus ingin menunjukkan hal ini kepada para ahli Taurat.
Adalah anggapan umum dalam agama Yahudi bahwa apabila seseorang menderita cacat, hal itu dianggap sebagai hukuman dari dosanya maupun dosa nenek moyangnya di masa lampau. Akibatnya, penderita cacat ini sudah menderita masih dihakimi pula, sehingga membuat penderitaannya bertambah. Lewat ungkapan cerdik “mengampuni dosa”, Tuhan Yesus ingin menunjukkan, bukankah ungkapan “dosamu diampuni”, begitu melegakan bagi para penderita cacat itu? Bukankah ungkapan bahwa apa yang terjadi sekarang hanyalah bersifat sementara dan bukan konsekuensi dari apapun, terdengar begitu indah dan menenangkan? Dan bukankah itu mudah, karena tidak beresiko? Siapapun bisa melakukannya! Tapi, untuk berkata “Bangun dan berjalanlah”, dibutuhkan kekuatan mukjijat yang luar biasa, seperti ditunjukkan Tuhan Yesus. Dengan ungkapan perikop diatas, Tuhan Yesus memberikan tantangan kepada kita: kalau memang kita tidak memiliki kuasa mukjijat, mengapa tidak melakukan hal yang sederhana: dengan meringankan beban sang penderita lewat ungkapan yang menghibur? Mulailah dengan yang mudah!
Subscribe to:
Posts (Atom)